Thursday, May 14, 2020


“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)”  (QS Al An’aam [6]: 59)


Masa depan masih gelap untuk kita. Apakah kita masih bekerja di tempat yang sama? Apakah bisnis kita akan bertahan lama? Apakah anak-anak akan sekolah dengan baik? Apakah masih akan tinggal di kota yang sama? Atau, apakah kita masih hidup lima tahun lagi, setahun lagi, sebulan lagi atau bahkan sehari lagi?


Sebelum wabah Corona yang mendunia ini, isu kematian kerap dianggap enteng. “Ah, masih lama” asumsinya demikian. Padahal Rasulullah mengatakan tidak ada yang lebih dekat kepada manusia selain kematiannya. 


Kematian bukan sesuatu yang mengerikan. Kita harus terbiasa membincangkan topik kematian menjadi bagian dari pengingat akan kehidupan yang berdampak positif. Bukan malah jadi lemes kalau ingat mati. Bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir – demikian dalam Al Quran sering digandengkan antara dua keimanan itu – maka kematian adalah sebuah keniscayaan untuk menjelang kehidupan yang akan datang. Cepat atau lambat ia akan datang.

Yang mengerikan seharusnya bukan pada kematiannya, tapi pada bagaimana nasib kita setelah jasadnya dimatikan sementara jiwa kita masih meneruskan perjalanan di alam lain. Sementara alam barzakh baru sebuah alam perantara, setelah itu masih ada kehidupan di akhirat yang jauh lebih lama, jika tidak selamanya. 


Allah menyatakan di ayat di atas bahwa kunci-kunci yang gaib ada pada-Nya, pernyataannya bahwa Dia mengetahui bahkan sehelai daun yang jatuh pun yang tidak terpantau oleh manusia, apalagi pergerakan sebiji benih di dalam kegelapan tanah pun dinamika ada permukaan yang basah atau kering. Semua dalam pengetahuan-Nya dengan detil. 


Mari coba berhenti sejenak. Bertafakur sesaat. Kalau hal yang nampaknya “remeh-temeh” seperti itu saja semua dalam pengetahuan, pemantauan dan kendali-Nya apalagi detil kehidupan manusia yang merupakan ciptaan-Nya yang paling mulia ini yang Dia pandangi dengan penuh rasa sayang dan mengharapkan kita semua kembali mengenal-Nya, bangkit dari amnesia saat dilahirkan di bumi untuk melakukan “recollection” dari semua pengetahuan yang sudah diajarkan kepada jiwa dulu.


Jadi, Allah memantau betul semua hidup kita. Saat bayi kita minum susu apa, pernah jatuh dimana, suka makan apa, saat sekolah pernah berbohong dimana, saat pernah menangis sesenggukan sendiri di kamar, ketika pernah jatuh cinta, saat mulai pusing memikirkan kuliah, ketika sibuk bekerja, saat mulai menikah, saat bercerai, saat sendiri di kamar dengan semua aktivitas fisik dan pikiran yang ada. Semua “basah-kering”nya hidup kita Allah tahu. Demikian pun Allah tahu apakah kita akan selamat melalui zaman wabah ini atau tidak. Semua sudah tertulis di Lauh Mahfuz.


Pertanyaan berikutnya, kalau semua sudah tertulis maka apakah apa peran manusia disana? Pertanyaan yang serupa pernah disampaikan oleh sahabat Rasulullah SAW bernama Abdullah bin Amr (dalam hadits riwayat Ahmad no.6563) saat Rasulullah memperlihatkan dua buku, satu berisi nama-nama penghuni surga dan yang lain berisi nama-nama penghuni neraka. Abdullah bertanya, “Kalau begitu apa maksud amalan jika semuanya sudah ditetapkan?” Perhatikan baik-baik jawaban Rasulullah SAW,


“Berusahalah dan mendekatlah karena sesungguhnya penduduk surga akan ditutup dengan amalan ahli surga meskipun ia mengamalkan apa saja…”


Jadi tugas kita adalah untuk mengoptimalkan ikhtiar. Berusaha mensikapi sebaik mungkin setiap yang Allah berikan dalam diri dan kehidupan kita. Yang biasanya merusak kesempurnaan usaha adalah tarikan-tarikan syaithan dari arah horizontal (depan-belakang-kiri-kanan), sedemikian rupa hingga manusia tidak bisa fokus di saat ini. Apa akibatnya? Permata-permata hikmah yang tertimbun di setiap jalan menjadi tidak terkuak karena orang kehilangan hari ininya. Maka dikatakan , there is a reason it called a “Present Moment”, because underneath lies a precious present for each of us.[]

No comments:

Post a Comment