Wednesday, November 27, 2013

Arti Khusyu Dalam Kehidupan

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."
(QS Al Baqarah [2]: 45-46)

Disini terlihat bahwa sabar merupakan kunci mendapatkan pertolongan Allah. Bahkan untuk shalat pun diperlukan kesabaran. Maka dikatakan bahwa hal ini tidak mudah, kecuali buat mereka yang khusyu. Siapakah orang-orang yang khusyu dalam kehidupan itu? Yaitu orang-orang yang mengharapkan bertemu Allah, ini adalah aqidah dasar. Artinya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

Kalau kita masih menganggap akhirat itu sesuatu yang masih nun jauh di sana berarti kita belum mengintegralkan diri antara kehidupan hari ini dan hari nanti. Padahal kalau kita hanya berkutat di hari ini saja tanpa menghadirkan akhirat pasti akan tersandung dalam kebingungan, kekecewaan, dan keputus-asaan. Tapi sebaliknya bila kita mulai menjalani kehidupan akhirat di saat ini, bahwa surga dan neraka itu bisa mulai dirasakan per hari ini. Karena saat kita tidak menerima kehidupan, ngedumel dan tidak harmoni dengan kehendak-Nya sesungguhnya kita sedang menjatuhkan diri dalam neraka kehidupan. Akan tetapi dengan hati yang senantiasa terpaut mengharapkan pertemuan dengan-Nya sekalipun getir kehidupan yang dijalani, dia akan berkata "ah tidak apa-apa disini sementara menderita, nanti disana Allah ganjar dengan yang lebih baik; ah tidak apa-apa tidak dapat di dunia, nanti Allah simpankan untuk kehidupan yang akan datang…"

Monday, November 25, 2013

Ketika Tak Berdaya Dalam Kehidupan

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu"
(QS Al Baqarah [2]: 45)

Kata penolongmu (wasta’inu) dalam ayat tersebut berkaitan dengan doa yang senantiasa kita panjatkan dalam shalat; "iyyakana’budu wa iyyakanastain ihdinashiraathal mustaqiim." (QS Al Fatihah). Kita hanya minta pertolongan kepada Allah Ta’ala, ketika kita diseberangkan dalam jembatan shiraathal mustaqiim, itu petanya. 

Kenapa harus mohon pertolongan-Nya ketika diseberangkan dalam Shiraathal Mustaqiim? Karena dalam proses penyeberangan itu seorang insan akan dibersihkan, dibenarkan, diluruskan kehidupannya. Fenomenanya bisa tiba-tiba harta berkurang banyak, tiba-tiba susah mencari rezeki, tiba-tiba keluarga bermasalah, tiba-tiba terjebak hutang banyak, semua hal yang membuat kita tak berdaya.

Ingat, seorang insan pasti akan melewati suatu episode hidup dimana dia dalam keadaan tidak berdaya, kalau merasa tenang karena masih ada deposito, ada teman atau keluarga yang bisa membantu, itu namanya belum fakir. Fakir itu saat hati kita menjerit, "Ya Allah saya khawatir sekali…" Jadi kalau hati masih tenang-tenang saja, berarti belum sampai kondisi difakirkan dalam hidup.

Ketahuilah bahwa anugerah Allah itu akan turun sejauh kefakiran kita, semakin kurang fakir semakin sedikit anugerah-Nya. Saat kita tidak berdaya dalam hidup itulah saat dimana Allah hendak hadir ke dalam diri kita, Ia hendak tampil dan dikenali, kalau kita masih mengandalkan semua selain Allah, maka kehadiran-Nya akan terhijab, tak dikenali, maka kita pun tidak merasakan pengabdian yang dalam kepada-Nya.

Jadi, bersiap diri untuk menghadapi saat dimana alam semesta kita dibungkam tak berdaya; teman-teman tidak membantu, harta tidak ada, mursyid pun tidak memberi pertolongan. Dia kemudian bertanya "ayo mau kemana kamu mengadu?", baru kemudian kita bersungkur di hadapan-Nya dan berkata "ya Allah, hanya Engkau harapanku…" Kita lantas menjadi benar-benar mengandalkan Allah.

Pantang Mencela Orang Lain

Seorang muslim pantang mencela orang lain, karena setiap diri pasti punya kelemahannya masing-masing, diperbudak oleh syahwat atau hawa nafsunya masing-masing, hanya memang ada yang nampak jelas dan ada yang tidak nampak. Seringkali orang yang nampaknya melakukan suatu kesalahan dicela habis-habisan, dipergunjingkan, padahal yang menggunjingkan juga banyak penyakit hatinya. Lebih baik orang sederhana tapi mengenal kelemahan dirinya dibandingkan orang yang terlihat hebat tapi tidak mengenal kelemahan dirinya, karena orang yang diperkenalkan dengan kelemahan dirinya tanda Allah hendak menuntunnya. Salah satu tanda taubat kita benar adalah menyadari kelemahan diri, tidak ada gunanya lisan basah dengan istighfar setiap hari tapi diri merasa hebat, maka itu istighfar yang masih kosong dan hampa. Selama kita belum mengenal kelemahan diri maka kita tidak akan merasa fakir di hadapan-Nya, dan orang yang belum merasa fakir praktis tidak akan berjalan jiwanya (bersuluk). ***

Melihat Hidup Yang Tak Beraturan

Kisah Bani Israil yang diperbudak di zaman Mesir hingga kemudian menemukan ka’bahnya di Yerusalem sesungguhnya adalah kisah setiap insan, itu akan berlaku untuk setiap individu yang mencari Allah Ta’ala. Tugas kita masing-masing untuk bisa mengidentifikasi apa arti laut yang terbuka dalam hidup kita, apa arti terkatung-katung di Padang Tih selama 40 tahun dsb. Dengan harapan memasuki usia 40 tahunan kita sudah bertemu diri, menemukan shiraathal mustaqiim-nya. Rasulullah saw bersabda “Orang yang dalam shiraathal mustaqiim walaupun hidupnya terlihat tak beraturan (awut-awutan) tapi sesungguhnya dia melangkah dalam jalan yang haq”. Sang hamba telah berjalan dalam jalan yang tegak, berarah, teguh, kokoh, tidak lemah, lain dengan manusia yang tidak berjalan dalam shiraathal mustaqiim walaupun terlihat hebat di mata kebanyakan manusia.

Rasulullah saw pun bersabda “Tidak akan mencapai iman yang sempurna hingga ia melihat manusia seperti unta-unta dan seperti anai-anai yang berhamburan’.
Apa anai-anai itu? Ia adalah gambaran bagi sesuatu yang berhamburan tak punya arah.
Di dalam QS Al Qari’ah dikatakan bahwa “Al Qari’ah adalah suatu hari dimana keadaan manusia seperti anai-anai yang berhamburan”, hari itu bukan hanya terjadi nanti di alam akhirat, karena kiamat itu dua macam, ada kiamat kubro (kiamat besar) dan kiamat shugro (kiamat kecil). Di dalam diri manusia juga ada Al Qori’ahnya, kapan? Yaitu ketika tajali Allah hadir dalam diri seorang insan.

Jadi, orang yang Allah telah bertajali dalam dirinya itu adalah suatu kondisi keimanan dimana orang itu akan melihat manusia seperti anai-anai yang berhamburan atau hidup seperti ternak, tidak ada arah, terjebak dalam hiruk-pikuk dunia dan lupa akan amanah utamanya.***

Bagaimana Mengetahui Tindakan Kita Sejalan Dengan Kehendak-Nya?

Ada yang bertanya, “Bagaimana menentukan bahwa semua rasa dan tindakan kita sejalan dengan kehendak Allah?”
Tugas kita berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya serta sabar dalam kehidupan hingga Allah memberikan tanda-tanda.
Seseorang bisa sabar, rajin shalat, bergairah menuntut ilmu dsb itu buat kita sekedar tanda bahwa Allah sedang meniup bahtera kita, karena sungguh surga tidak akan bisa terbeli dengan semua amal kita.

Kita harus mensyukuri semua bentuk niatan baik, ilham dan tindakan baik yang Dia tiupkan. Amal itu terkait dengan ibadah hati, tidak berarti orang yang raganya sehat dan bugar kemudian otomatis rajin ibadahnya, bahkan bisa sebaliknya, ragasang orang itu Allah jadikan lemah tapi hatinya senantiasa bergairah beribadah kepadanya. Maka berbuat baiklah dimanapun dan kapanpun***

Apa Tanda Allah Ridha Kepada Kita?

Apa tanda Allah ridha kepada kita?
Begini saja,apakah kita sudah ridha dengan segala ketetapan yang Allah berikan dalam hidup kita? Apakah kita sudah belajar menerima masa lalu kita? Kesalahan yang kita dan orang lain lakukan? Keburukan atau kesialan dan kehidupan? Tidak mudah memang menerima hal-hal yang menyakitkan hati. Tapi tauhid dasarnya adalah bahwa segala sesuatu datang dari tangan-Nya, pasti tersimpan kebaikan yang banyak di dalamnya.

Semakin kita ridha bersama Allah, firasat hati kita akan semakin tajam. Jadi belajarlah ridha dulu sebelum mengatakan sesuatu itu haq atau tidak, karena bagaimana bisa belajar membaca sesuatu yang haq kalau kita tidak belajar ridha dengan qadha-Nya. Kalau masih bercampur, kadang ridha-kadang tidak, itu artinya mencampur aduk antara yang haq dan yang batil, tanda saja bahwa kita memang belum pada maqam ridha.

Ketika kita masih mengeluh, menjerit manakala didatangkan kesulitan dalam hidup, tandanya masih belum ridha, ia masih menangkap bentuk fenomena fisiknya “Aduh saya sakit hati, aduh saya sedang dihajar...dsb”. Adapun bagi orang yang bertaqwa kepada Allah, ia memandang bahwa semua urusan ada di tangan Tuhan, ia tidak melihat fenomenanya menyakitkan atau tidak, menyusahkan atau tidak, rugi atau untung, ia hanya akan mengatakan ini dari Allah Ta’ala. Kalaupun dia dicengkram oleh kesakitan menanggung beratnya ujian, dia hanya mengatakan “tangan Tuhan”, tidak fokus kepada bara apinya, tapi lebih melihat ke Dia yang sedang menjamah dirinya. Percayalah sahabat, ketika kita melihat sebuah bencana dengan keyakinan ini datang dari-Nya semata, tidak akan binasa kita ini, pasti kebaikan...pasti kebaikan..tidak akan binasa.***

Hati-Hati Menggunakan Firasat

Hati-hati dalam menggunakan firasat, kita harus belajar dulu sampai ke tahapan diridhai Allah, baru akan terasa mana yang haq (benar) dan mana yang tidak. Kalau dalam hati kita masih tercampur aduk bisa berbahaya, kita bisa mengira sesuatu itu haq padahal batil dan sebaliknya. 

Jadi tumbuhkan titik ridha dulu, cinta kepada Allah Ta’ala, karena itu tanda Allah ridha kepada kita. Entah apa yang membuat Dia ridha, kita hanya tiba-tiba dibuat mencintai-Nya, mencintai kehendak-Nya, mencintai ketetapan-Nya, memang bukan kita yang aktif, diberi begitu saja. Maka berbuat kebajikanlah banyak-banyak.

Tentang kebajikan (al birr) lihat QS Al Baqarah ayat 177.
...Kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan masa peperangan.***

Membebaskan Jiwa dari Dominasi Jasad

Proses membebaskan jiwa kita dari pengaruh jasad adalah proses yang panjang. Setelah sekian puluh tahun lamanya jasad kita terbiasa dengan pola makan tertentu, pola tidur tertentu, memiliki selera tertentu, keinginan tertentu yang semuanya seperti membentuk siapa diri kita, padahal semuanya kebanyakan terpengaruh dari orang tua, masa asuhan, keluarga dan masyarakat sekitar. 'man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu', kenali dirimu maka engkau akan mengenali Rabb-mu, proses membebaskan jiwa dari pengaruh jasadiyah merupakan bagian dari proses pengenalan diri.

Lalu dimulai dari mana? Minimal kita mengimani dulu bahwa kehidupan kita yang tampaknya berserakan dan tak berhubungan ini ada hubungannya dengan Al Quran, minimal itu. Karena kalau sudah tidak yakin dengan Al Quran maka Al Quran itu tidak akan bekerja untuk kita, jadi sesuatu yang tidak diyakini tidak akan mujarab.

Prinsipnya jika sudah ada kepercayaan bahwa ada hubungan antara kita dengan Al Quran, baru akan terbuka rahasianya. Kalau tidak peduli dengan Qurannya, dibaca pun tidak, tidak peduli dengan nasib kita, dan kita pun tidak berusaha mencari jawaban pertanyaan dalam kehidupan selain hanya menunggu entah mentor yang menerangkan, entah pak ustadz, maka sungguh harta karun itus tidak akan terbuka. Jadi masing-masing harus membuka sendiri, kenapa? Karena setiap orang beda-beda kepalanya, beda-beda ujiannya, beda jalan hidupnya. Tidak ada yang mengetahui dengan detil kehidupan sahabat sekalian kecuali diri sendiri dan Allah Ta'ala.***

Mengenal Kebenaran

"Janganlah engkau mencampur adukkan al haq dengan al bathil"
(QS Al Baqarah [2]: 42)

Al haq atau sering diterjemahkan kebenaran, adalah semua urusan yang berasal dari Allah. Dalam suluk kita mencoba untuk berserah diri kepada Allah Taála, mencoba ikhlas dengan pengaturan-Nya dalam kehidupan, itu sama dengan membiarkan Al Haq masuk ke dalam diri kita. Ini sebetulnya yang paling berharga dari seorang insan, elemen keberserah dirian.

Jadi orang yang hebat itu bukan yang bisa terbang, jalan di atas air, pandai ini-itu, punya ini-itu, sakti mandraguna dsb. Orang yang hebat itu adalah orang yang bisa melihat Al Haq dalam kehidupan, itu tidak mudah. Orang yang berkarakter seperti Bani Israil akan terpana dengan atribut lahiriyah, makanya pada zaman mereka alam 'diacak-acak', dibelah lautan, diangkat gunung dan lain-lain tapi kemudian hanya sedikit dari mereka yang melihat kebenaran, walaupun Allah Taála sudah mendemonstrasikan besar-besaran melalui Nabi-Nya mukjizat yang agung. Sebaliknya, pada zaman Rasulullah saw tidak begitu banyak peristiwa mukjizat namun banyak yang dapat melihat kebenaran. Sesuai kata Ali ra, "Seandainya langit terbelah pun tidak akan menambah keimananku kepada Allah Taála". Karena memang iman sesungguhnya tidak perlu bukti seperti itu.

Ketika seseorang hanya mendengarkan kebenaran dari orang yang penampilannya memukau, retorikanya baik dan seolah banyak mukjizatnya, sesungguhnya ia akan mudah terjebak dalam dunia fenomena dan sulit melihat kebenaran yang tersembunyi. Sebaliknya dia akan menuduh seorang ulama benar (Haq) dengan kata-kata "Wah ramalannya tidak terbukti, tidak bisa menyembuhkan orang yang sakit "dsb. Kalau kita senantiasa menuntut bukti ya susah, karena sebenarnya mukjizat itu diperuntukkan bagi orang kafir, bukan untuk orang beriman. Istilah mujizat itu adalah sesuatu yang melemahkan, yang menundukkan, jadi memang fenomenanya dibuat menakjubkan agar menundukkan kebandelan dan meruntuhkan kesombongan orang yang bersangkutan. Jadi, jangan terlalu terpana dengan atribut dunia yang ada pada seseorang, coba benar-benar tafakuri, renungi apa yang membuat seseorang benar.

Tanda Hati Sudah Berserah Diri

Saat kita menyiapkan hati agar ingin diatur Allah dalam kehidupan, maka Al Haq akan mulai mengalir ke dalam diri. Kehadiran Al Haq dalam diri akan meruntuhkan konsep yang salah dalam pikiran, waham yang tidak tepat dalam kehidupan dan sikap yang tidak pas. Tadinya takut miskin jadi kurang takut, tadinya kurang berani menjadi mengalir keberaniannya. Kalau kita minta diatur oleh Allah Ta'ala, maka Dia akan mengatur, sebaliknya kalau sekadar bicara ingin diatur oleh Allah tapi hatinya belum siap, maka Al Haq tidak akan pernah tampil dalam diri kita, sekalipun kita riyadhoh (latihan olah jiwa) setiap hari sekalipun. Jadi semua berawal dari niat.

Proses mengalirnya Al Haq dalam diri kita menandakan kita sudah mulai berada pada status orang yang berserah diri kepada Allah Ta'ala. Apapun yang kita miliki diserahkan kepada Allah Ta'ala, Sang Pemilik semua, apakah itu kepandaian kita, cita-cita kita, kegelisahan kita, kesedihan kita, anak kita yang kita khawatirkan masa depannya, serahkan semuanya. Kalau sudah kosong nanti Al Haq akan muncul dan semua kegelapan kita akan diganti dengan cahaya kebenaran.***

Perbedaan Dua Penyikapan Hidup

Seorang mukmin itu Allah atur kehidupannya. Kita harus memahami ini, bahwa kehidupan kita sejak lahir hingga meninggal nanti itu Allah atur sebenarnya, semuanya berada dalam satu garis di Lauh Mahfuzh, siapapun kita hanya ada satu garis kehidupan. Kemanapun kita merancang dan berencana yang akan terjadi tetap saja ketetapan-Nya.

Orang yang tidak paham dalam kehidupan akan merasa hidupnya penuh derita dan rintangan, "Kok saya sudah berusaha tapi gagal terus, kenapa hidup saya awut-awutan, kenapa masa lalu saya kelam sekali, kenapa suami saya begini, kenapa istri saya begitu, kenapa anak saya susah diatur dsb" Semua itu membuat seolah-olah hidup kita berantakan, seolah-olah kita salah jalan, seolah-olah kita gagal.

Orang yang hatinya terang dan yang hatinya gelap akan mengalami takdir kehidupan yang sama, hanya bedanya orang yang dalam kegelapan sepanjang hidupnya hanya sibuk berkeluh-kesah, protes dan berprasangka buruk kepada Allah Ta'ala. Sedangkan bagi orang yang hatinya dibuka dengan cahaya Allah ia telah diberi pengetahuan yang haq, maka walaupun ia mengalami ujian yang sama berat tapi hatinya tetap bersyukur.

Ujian dan kesulitan hidup hanya akan membuat orang yang tertutup hatinya menjadi sebuah penderitaan, sedangkan bagi orang yang beriman semua adalah kebaikan. Semua mengalami kesulitan yang sama dalam hidup hanya yang satu dihiasi dengan sumpah serapah dan sampah keluhan dalam hatinya, sedangkan yang satu hatinya penuh dengan senyum dan kebersyukuran kepada Allah Ta'ala. ***

Monday, October 7, 2013

bahaya lisan

Bahkan makhluk yang paling tinggi, malaikat muqarabuun pun terhukum dengan kata-katanya, mempertanyakan rencana Allah Ta’ala, dan kita manusia yang kurang iman kepada Allah suka tidak terkendali lisannya, menanyakan sesuatu yg belum saatnya.
Jadi pertanyaan misal Nabi Musa kepada Nabi Khidir itu sebuah pertanyaan ‘kenapa engkau begini ? kenapa membunuh anak kecil? kenapa melubangi perahu?’ ini pun sama hakikatnya dengan malaikat yang suci mempertanyakan sesuatu kepada Allah Ta’ala,  itu bahayanya lidah buat semua makhluk, maka pangkal iman itu di lidah, dan manusia itu celaka dengan lidahnya, kata Rasulullah ‘tidak ada sesuatu yg lebih menakutkan manusia di akhirat nanti selain lidahmu, jika engkau beriman kepada Allah dan akhirat hendaklah menjaga lidah dan kemaluannya’.

Para malaikat yang suci pun terpeleset karena lidahnya, seorang Nabi Musa pun terpelesat karena lidahnya

Iman seseorang juga tidak akan teguh hingga teguh hatinya dan hati manusia tidak akan teguh sebelum teguh lidahnya.
Allah akan memperbaiki amal-amalmu itu haq, saya pernah menemukan ini, ini haq, jadi rupanya yang membuat kita tidak pernah baik akhlak kita karena kita ngomongnya ngga bener, ceplas-ceplos menyakiti hati orang, terlalu banyak bercanda.
Kita masih mencari hiburan dalam senda gurau sebagai hati yang lalai.

Kalau hati yang benar kesenangannya dalam kebenaran, dalam pengetahuan, kalau hati yang belum melihat kebenaran, kesenangannya dalam hal-hal lain karena belum melihat kebenaran. Atau kesenangannya dalam gosip orang lain

Tuesday, August 20, 2013

Ujian Bernama Kesempatan

Allah mengujimu dengan binatang buruan yang mudah didapat
- Al Quran

Tidak jarang kita kedatangan tawaran pekerjaan atau bisnis yang tampaknya menggiurkan. Sebenarnya tidak masalah apabila semua terukur kemampuannya. Tapi masalah akan timbul kalau pekerjaan itu dipaksakan dan kadar pemaksaan itu kita masing-masing yang mengetahuinya. Jangan sampai hati nurani yang sebenarnya tidak mau mengerjakannya dibungkam rapat-rapat karena berdalih 'kesempatan tidak datang dua kali' atau sudah putus asa karena tidak ada tawaran lain, jadi main sabet saja apa yang ada di depan mata dengan kalap.

Sahabat, ketahuilah bahwa seseorang yang menerima sesuatu pekerjaan yang dipaksakan , keluar dari natur jiwanya, by definition dalam Al Quran, dia itu murtad dari jati dirinya, ini adalah suatu dosa, hal yang tidak Allah sukai karena merusak sang hamba tersebut.

Bagaimana cara memilahnya? Pertama kita harus membaca betul siapa diri kita. Kenali betul potensi kita. Amati dibidang mana kita merasa sangat mengalir mengerjakannya. Lihat kembali perjalanan kehidupan, mana hal-hal yang Allah mudahkan kita untuk mengerjakannya. Hati nurani selalu berkata-kata, saat menerima sesuatu, diam dulu, istikharah, endapkan semua gemuruh keinginan dan ambisi duniawi dan dengarkan suara hati nurani yang lembut itu. Sungguh dalam kesempatan yang datang dan seolah-olah menggiurkan bisa jadi terletak ujian di sana.

(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Zamzam AJT, Januari 2006)


Amar Makruf: Tidak Sekedar Menasihati Pada Kebaikan

Agama adalah nasihat
- Rasulullah saw

Saling menasihati, amar makruf nahi munkar adalah kewajiban di antara kita.
Suatu masyarakat yang baik adalah sistem yang didalamnya subur mekanisme saling menasihati tentang kebenaran, dimulai dari etika, akhlak, persoalan muamalah hingga amar makruf yang tertinggi yaitu menasihati seseorang berkaitan dengan jati diri orang tersebut.

Amar makruf berkaitan dengan kata amr suatu tugas suci dari Allah Ta'ala. Jadi bukan sekedar menasihati melakukan perbuatan yang baik, tapi juga seyogyanya perbuatan itu harus sesuai dengan jati diri orang itu. Ini memang tidak mudah, oleh karenanya wajib untuk saling mengenal dengan baik sahabat kita, inilah ladang amalnya. Oleh karena itu dikatakan dalam Al Quran ;

"Siapa yang menghidupkan seorang manusia sama dengan menghidupkan seluruh manusia"

Karena kebangkitan jiwa satu manusia yang terhubung dengan Yang Maha Kuasa akan juga menerangi sekitarnya. Mari mulai mengenal dengan baik, menunjukkan antusiasme, ketertarikan kepada mereka yang Allah hadirkan di sekitar kita, mulai dari pasangan yang terdekat, orang tua, adik, kakak, saudara, teman, tetangga dan seterusnya.

(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, Januari 2006)


Thursday, August 15, 2013

Berani Menghadapi Kehidupan

Seseorang datang kepada Rasulullah dalam kesakitan dan mengeluh kepada beliau,
"Ya Rasulullah, aku dianiaya dan dipukul." 
Nabi menjawab dengan nada tegas, "Ketahuilah bahwa umat yang dahulu sungguh berat siksaannya, mereka disiksa dengan ditarik tubuhnya dari segala arah hingga putuslah ia, atau diikat dengan ikat baja hingga lepas daging dari tulangnya. Bersabarlah!"

Diperlukan modal keberanian bagi siapapun yang menempuh suluk. Berani untuk menanggung kesempitan, bencana dan keguncangan dalam hidup yang semuanya sebenarnya berfungsi untuk membersihkan diri kita di dunia ini. Pada akhirnya semua orang akan memasuki fase pembersihan-Nya, hanya ada yang diproses sejak dalam kehidupan dunia dan berani menghadapinya dengan sabar dan ada yang diproses di alam selanjutnya dengan konsekuensi kehilangan momen melakukan amal shaleh di dunia.

Orang yang berani bukan berarti orang yang berotot, atau orang yang ilmunya tinggi dan petantang-petenteng, akan tetapi mereka yang berani adalah mereka yang bersabar dan menjalani setiap fase kehidupan yang Allah takdirkan dengan hati yang sabar dan syukur. Ia berani untuk tidak mudah berkeluh kesah. Ia berani untuk tidak berhenti dalam perjalanan karena dirasa terlalu berat. Ia berani untuk menegakkan perintah-Nya saat yang lain melawannya. Dia juga berani untuk menerima kenyataan bahwa dirinya salah dan perlu perbaikan. Sungguh memulai perjalanan panjang ini membutuhkan kualitas orang yang pemberani. Sebagaimana seorang shiddiqiin berkata, ada 5 K , kunci untuk bertemu diri :
1. Keberanian
2. Ketabahan
3. Keuletan
4. Kemampuan
5. Kesabaran

(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Zamzam AJT, 21 Januari 2006)



Wednesday, August 14, 2013

Duka Cita Itu Bagaikan Muntahan

Nabi Muhammad mengatakan alasan engkau yang tidak menemukan kedamaian, 
Jadi kenapa engkau tidak menemukan kedamaian dan terus menerus dilanda duka cita? 
Karena duka cita itu bagaikan muntahan. 
Selama masih ada kenikmatan yang tinggal dalam perutmu engkau tidak akan diberikan apapun untuk dimakan. Dan orang yang muntah tidak akan mampu makan apapun
Ketika sudah selesai muntah lantas ia mampu makan...


(Jalaluddin Rumi)

Warna hidup kita,takdir yang menimpa kita itu semua muntahan hati kita. Buram atau cemerlangnya kehidupan yang menerpa kita adalah manifestasi dari apa yang terkandung di hati yang termanifestasikan ke bentuk luar. 


Ketika Nur Allah bertajali ke dalam hati kita, maka yang pertama kali terlempar itu adalah segala bentuk hijab-hijab hati, segala duka cita kita, hwa nafsu kita, kesombongan kita, semua hal itu akan mencengkram diri kita. 


Seseorang yang diberi rahmat oleh Allah Ta'ala akan dihabiskan proses pembersihan hatinya selama hidup di dunia, karena apabila seseorang mati sementara dalam hatinya masih banyak hijab maka semua itu akan termanifestasi. Oleh karena itu Rasulullah saw mengatakan bahwa di hari kiamat nanti orang-orang yang sombong akan dimakan oleh anjingnya sendiri. Anjing-anjing itu adalah kesombongan yang berwujud, diberikan bentuk luar. Sesungguhnya alam akhirat itu adalah alam manifestasi dari hati kita masing-masing, semuanya berbentuk konkrit di sana, apakah itu kesombongan, amarah, dendam, dengki, dsb.


(Disajikan ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Zamzam AJT, 21 Januari 2006)

Bersiap Untuk Diuji dan Menjadi Miskin

Seorang sahabat berkata kepada Nabi saw,
"Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mencintai Allah!"
Nabi menjawab, "Jika demikian, bersiap-siaplah untuk diuji."
Kemudian sahabat itu berkata, "Ya Rasulullah, saya juga mencintaimu!" 
Rasulullah menjawab, "Jika demikian, siap-siaplah untuk miskin."

Ujian hidup itu suatu hukum yang pasti menimpa setiap orang, sejak orang tersebut dilahirkan hingga meninggal dunia takdir-takdir ujian hidup sudah ditetapkan yang tidak ada seorang pun bisa melarikan diri darinya, jadi tidak bisa kita hidup ini ingin santai-santai saja, tidak ingin ada masalah, itu hanya ilusi. Oleh karena itu penting untuk mengerti apa maksud Allah Ta'ala dibalik penimpaan ujian tersebut.

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah berdoa sbb :

"Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin,
wafatkanlah aku dalam keadaan miskin, 
dan bangkitkanlah aku di antara orang-orang yang miskin."

Kemiskinan yang dimaksud Rasulullah saw ini adalah suatu situasi yang patut kita pahami dengan baik.
Dalam sejarah Rasulullah saw sendiri adalah seorang pedagang sukses, akan tetapi pengertian doa tersebut adalah beliau menginfakkan hartanya untuk sebuah kepentingan ummatan wahidah. Oleh karena itu, menjelang ajalnya Rasulullah menginfakkan semua harta yang dimilikinya hingga simpanannya yang di bawah tikar. Maka dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa kalau para nabi itu ketika meninggal tidak meninggalkan harta benda tapi meninggalkan pengetahuan agama.
Artinya miskin, karena ia menginfakkan semua atau sebagian besar hartanya fii sabilillah sehingga saat meninggal dunia harta itu tidak melekat di hatinya dan menjadi hijab di alam berikutnya.

(Disajikan ulang dari catatan pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 21 Januari 2006)


Sebuah Kebaktian

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian (al birr),
akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa
(QS Al Baqarah : 177)

Seorang yang beriman kepada Allah Ta'ala belum tentu dalam tingkatan orang yang berbakti (Al Abror) karena ciri orang yang berbakti diungkap secara detail dalam Al Qur'an, yang khas dari sekian banyak ciri tersebut adalah sifat memberikan apa yang dicintai. Sebenarnya hakikat dari memberikan apa yang dicintai sudah terungkap dalam ayat sebelumnya

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan beritakanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."
(QS Al Baqarah: 155)

Maka tetap saja seseorang itu tidak akan bisa menghindari ketetapan Allah berupa kehilangan jiwa, kehilangan harta, orang tua meninggal, anak meninggal, bercerai, berpisah dengan anak, dan poligami pun suatu bentuk kehilangan jiwa.  Hal yang paling dicintai bagi setiap orang tidak sama, ada yang lebih menyukai uangnya, ada yang sangat terikat pada pasangannya, ada yang sayang luar biasa pada anaknya, ada yang hidupnya tercurah untuk membangun bisnisnya dst, atau juga kecintaan pada sesuatu yang tak terlihat, seperti cinta pada penghargaan, pujian orang dll. Apapun itu obyek-obyek kecintaan kita kepada selain Allah pada hakikatnya adalah sebuah hijab yang menghalangi antara diri kita dan Dia Yang Maha Kasih. Perbuatan memberikan yang paling dicintai membutuhkan kejujuran tingkat tinggi dan keberanian untuk melaksanakannya, memang tidak mudah sehingga banyak manusia tidak mau melalui jalan ini dan Dia pun harus 'memaksa' manusia menempuhnya lewat desain takdir kehidupan. Namun di setiap rasa sakit yang meradang di situ terletak keterbukaan hati (qalb) kita.

(Disajikan ulang dari catatan pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 21 Januari 2006)

Perintah Berperang

Diwajibkan padamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui

(QS Al Baqarah: 216)

Ayat di atas adalah perintah agar setiap hamba-Nya mempersiapkan diri untuk menghadapi perang. Memang ketika ayat ini diturunkan peperangan dalam bentuk fisik sedang terjadi di zaman Rasulullah.
Lalu apa relevansi ayat ini dengan kehidupan kita per hari ini? Terutama pada saat kita sedang tidak menghadapi peperangan secara nyata. Untuk menjembataninya, maka kita lihat ayat ini sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? 
Mereka ditimpa oleh bencana, kesempitan serta keguncangan (dalam kehidupan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" 
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.

(QS Al Baqarah 214)

Jadi, peperangan batin dalam kehidupan adalah suatu keniscayaan yang dihadapi setiap ciptaan-Nya terlepas ia beriman atau tidak, karena itu semua adalah perwujudan rahmat Allah Ta'ala untuk mensucikan hamba-hamba-Nya. Mempersiapkan diri menghadapi itu semua dengan sabar, syukur, tawakal dan ikhlas adalah sebuah kewajiban untuk menghadapi hukum kehidupan yang telah ditetapkan-Nya dengan sikap yang terbaik.

(Disajikan ulang dari pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 21 Januari 2006)


Thursday, August 8, 2013

Bencana, Kesempitan dan Guncangan Kehidupan

Apakah engkau mengira bahwa akan masuk jannah sedangkan belum datang kepadamu apa yang menimpa kepada kaum sebelummu. Mereka ditimpa oleh bencana, kesempitan dan guncangan dalam kehidupan...
- QS Al Baqarah 214

Ayat ini adalah ayat yang sangat penting bagi para pejalan, karena ketiga hal itu merupakan hal yang akan menimpa setiap pencari Allah. Untuk melengkapi ayat di atas, mari kita lihat ayat-ayat yang serupa dalam Al Quran.

Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga? Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.
- QS Ali Imran 142

Jadi kalau kita belum penyabar pasti akan ditempa, kalau kita menuju Allah Taála.

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan jiwamu dan kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyulitkan hati , jika kamu bersabar dan bertaqwa maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang diutamakan.
- QS Ali Imran 186

Tidaklah patut bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitarnya tidak turut menyertai Rasulullah berperang dan tidak patut bagi mereka mencintai diri mereka sendiri daripada mencintai Rasul. Yang demikian itu adalah karena mereka tidak ditimpa oleh kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah.
- QS At Taubah 120

Jadi sebuah bencana atau kesulitan itu adalah sebuah kewajiban bagi mereka yang mencari Allah, itulah mekanisme rahmat Allah Taála. Orang tidak akan kemudian melihat tajali Al Jamal tanpanya. Segala macam gerinda kehidupan dalam bentuk bencana, kesempitan dan keguncangan akan membuat hijab kita dengan Allah makin menipis. Maka kemudian dikatakan, Ïngatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat, ini mengisyaratkan suatu kondisi hijab-hijab yang mulai menipis setelah sang hamba ditempa sekian lama dengan ujian. 

Semoga Allah Taála menolong kita.

(Disajikan ulang dari catatan pengajian Kajian HIkmah AL QUran yang disampaikan Zamzam AJT, 14 Januari 2006)

Tuesday, August 6, 2013

Membangun Kecintaan Kepada Allah

Tidak mudah membangun kecintaan (mahabbah) kepada Allah. Bagaimana kita mencintai sesuatu yang abstrak, yang tidak serupa dengan laki-laki atau perempuan atau dengan sesuatu apapun. Sungguh imajinasi pikiran kita terbatas dalam menjangkaunya. Sehingga kita butuh anugerah untuk bisa mencintai-Nya.

Beruntunglah kita diberi tuntunan di dalam Al Qurán mengenai hal ini yang tanpa ada keterangan ini para pencari Tuhan akan dirundung keputusasaan. Al Quran memandu Ïkuti aku (Rasulullah saw), niscaya Allah akan mencintaimu."Namun kemudian untuk mencintai sang Nabi juga tidak mudah, beliau adalah seorang nabi yang sederhana, tidak mendemonstrasikan mukjizat sedahsyat Nabi Isa atau Nabi Musa, beliau beristri banyak - isu yang merupakan hantaman besar bagi kebanyakan wanita. Mungkin kita mengklaim cinta Rasul di bibir saja karena kita sudah didoktrin sekian lama. Tapi apakah kita pernah membaca sejarah hidupnya dengan seksama dan memahami pribadinya? Kebanyakan orang masih harus bertarung untuk yang satu itu. Sekali lagi kita betul-betul butuh pertolongan-Nya.

(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Zamzam AJT, 7 Januari 2006)


Dunia Sekitar Sebagai Cerminan Kondisi Hati

Hati atau qalb manusia disebut sebagai Baitullah, namun tidak sembarang qalb bisa disinggahi oleh kekuasaan-Nya, di dalam hadits dikatakan:

"Langit-Ku dan bumi-Ku tidak dapat memuat-Ku
Tapi yang dapat memuat-Ku hanyalah qalb hamba-Ku yang mukmin"

Jadi, qalb seorang manusia yang sudah ditempa menjadi seorang mukmin lah yang dapat dihampiri oleh kuasa Allah, insipirasi-Nya, pengetahuan-Nya, kebijakan-Nya, ilmu-Nya dan sifat-sifat-Nya , bukan Dia secara Dzat yang ada di sana.

Cahaya Allah yang bertajali di dalam qalb manusia itu bagaikan sinar proyektor yang menimpa klise film, klise itu adalah hati kita, apapun yang ada dalam klise akan terpantul keluar oleh cahaya tersebut. Semua kehidupan kita sejak kecil menjejak di qalb masing-masing, apa-apa yang kita lihat dengan mata dan tangkap dengan indera kita semua menempel di hati - oleh karenanya penting untuk menggunakan indera kita dengan baik, sesuai dengan aturan-Nya.

Seorang hamba yang dirahmati Allah akan Ia pancarkan cahaya kuasa-Nya ke dalam qalbnya yang akan menampakkan isi hati orang itu. Kadang proyeksi dalam kehidupan bisa berupa suatu kesialan, musibah atau hal-hal yang menyenangkan, yang semuanya itu tidak lain merupakan cerminan kondisi hati kita per saat itu, jadi kehidupan kita adalah layar tiga dimensi dari hati masing-masing.

Dalam Al Quran dikatakan bahwa "semua hasanah berasal dari Allah sedangkan semua musibah itu berasal dari jiwamu sendiri". Qalb manusia terletak di dalam jiwa, yang merupakan entitas inti manusia. Kalau kita masih murung terhadap kehidupan, jangan lantas menyalahkan Tuhan, tapi coba pahami apa yang sebenarnya tengah terjadi, hidup ini apa sebenarnya? apa makna sebuah musibah? apa hikmah di balik segala peristiwa. Bukan sekedar mencari benar atau salah, tapi harus belajar memahami mekanismenya.

Kalau permukaan qalb orang itu jernih, hatinya bersih, maka ketika Allah bertajali dan semua isi hati dipancarkan dalam pandangan dia indah saja, walaupun pada fenomenanya itu adalah sebuah peperangan kehidupan, ini disebut tajali Al Jamal, warnanya dibaca secara subyektif oleh orang itu. Jadi apapun itu yang terjadi segeralah berkaca kepada hati masing-masing.

(Disajikan ulang dari Kajian HIkmah Al Quran, Disampaikan oleh Zamzam AJT, 7 Januari 2006)

Monday, August 5, 2013

Bukti Kita Terhijab Dari Allah Taála

Ada hukum kehidupan yang Allah Taála nyatakan dalam Al Qurán, tentang keniscayaan ujian dalam kehidupan khususnya bagi mereka yang mencari Allah Taála. Di sisi lain, bagi orang yang kufur kepada-Nya maka Dia akan bukakan pintu-pintu khazanah dunia; semua hal dibuat mudah, cari rezeki mudah, bisnis untung terus, manusia tertentu akan dibuat tenggelam dalam dunianya masing-masing apakah itu dalam bisnis, akademi, kehidupan sosial atau bahkan yang seolah-olah berbau spiritual. Tapi semua yang dia lakoni bukan membuat hatinya dekat dengan Allah Taála, dan tahu-tahu maut datang menjemput. Naudzubillahimindzalik.

Bukti hatinya masih berjarak dengan Allah Taála adalah ketidakmengertiannya atas beberapa fenomena yang menimpa dirinya atau kehidupan, keraguannya dalam perjalanan, kecemasannya akan masa depan, ketakutannya terhadap masa lalu, ketidaksabarannya menghadapi ujian, kesombongannya menikmati limpahan karunia-Nya, keputusannya dengan Al Qurán dan bahkan memaki-maki Allah di lisan atau hati, menuduh Dia tidak adil! Dia bikin aku sengsara! Dia tidak mengabulkan doaku!

Semoga Allah Taála berkenan mengangkat hijab dalam hati kita.

(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Zamzam AJT, 7 Januari 2006)

Pedihnya Keterpisahan

"...hingga berkata ar rasul dan orang-orang yang beriman besertanya : 
   'kapan datangnya pertolongan Allah'"
(QS Al Baqarah 214)

Kejenuhan atau kelelahan yang terasa menyesakkan dada yang disebabkan oleh panjangnya keterhijaban dengan Allah Taála adalah suatu keniscayaan. Ayat di atas menggambarkan bahwa para rasul dan orang-orang beriman - suatu tingkatan manusia yang sudah lebih khusus - hingga menjerit hatinya setelah melalui jihad yang panjang dan lamanya keterpisahan, disitu kesabaran mereka mulai meluntur dan mereka menghendaki suatu penghijarahan ke kehidupan yang lebih baik, yang lebih dekat dengan-Nya.
Adapun rasa sakit yang mereka alami semata-mata timbul dari kuatnya mahabbah (cinta) mereka kepada Allah Taála.

(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 7 Januari 2006)

Inilah Medan Perang Kita

Dan apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga ? 
Sementara kepadamu belum datang sesuatu semisal yang telah menimpa orang-orang yang sebelummu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan dan diguncangkan...
(QS Al Baqarah:214)

Ayat ini memang turun berkaitan dengan peperangan yang terjadi di zaman Rasulullah saw. Namun Al Quran juga berlaku kontekstual sesuai dengan zamannya. Kita memang tidak sedang hidup di tengan peperangan pada saat sekarang, namun sekian bentuk ujian kehidupan yang merupakan malapetaka, kesengsaraan dan mengguncangkan hati kita masing-masing tak luput kita hadapi.

Ada yang diuji dengan sakit fisik bertahun-tahun, ada yang diuji dengan kelakuan anaknya, ada yang diuji dengan hubungan dalam rumah tangga, ada yang guncang oleh kematian orang terdekatnya, ada yang dibuat pontang-panting mencari rezeki, ada yang menunggu jodoh yang tak kunjung tiba, ada yang dibuat tidak betah dengan pekerjaan dsb. Semua itu adalah medan perang yang kita hadapi sehari-hari. JIhad akbar kita terletak pada penyikapan yang terbaik dalam menyongsong setiap takdir yang Allah Taála tetapkan. []

(Disajikan ulang dari materi Kajian Hikmah Al Quran, yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 7 Januari 2006)


Sunday, July 28, 2013

Membaca Kadar Diri

Hamba yang Allah rahmati itu akan Allah pancarkan ke dalam qalbnya cahaya kuasa-Nya sehingga menampilkan apa-apa yang ada di dalam, maka sesungguhnya dunia yang dihadapi orang tersebut tiada lain merupakan gambaran kondisi hatinya sendiri.

Dalam tingkat fenomena proyeksi dari hati itu bisa berupa kesialan, musibah, atau kemudahan dan kebahagiaan.Biasanya manusia cenderung menunjuk orang atau melempar kesalahan kepada sesuatu di luar dirinya alih-alih berintrospeksi ke dalam diri. Fenomena yang tampak di sekitar kita bagaikan layar tiga dimensi dari hati masing-masing, menjadi warna kehidupan yang menimpa setiap orang, jadi kalau kita murung jangan salahkan Tuhan, akan tetapi harus paham hidup ini apa, bukan masalah benar atau salahnya, tapi hendaklah belajar memahami mekanismenya. Setiap warna kehidupan yang terpancar tentu dibaca subyektif oleh setiap individu, adapun Allah dari awal sampai akhir hanya memancarkan cahaya kaish-Nya yang sama. Jadi, daripada menunjuk-nunjuk hidung orang, mencari kambing hitam dan menyimpan amarah atau benci kepada seseorang, lebih baik energi yang ada dipakai untuk membaca kondiri hati per saat ini. Tampaknya itu lebih meringankan hati.

(Disajikan ulang dari pengajian Hikmah Al QUran yang disampaikan Zamzam AJT, 7 Januari 2006)

Kapan Datangnya Pertolongan Allah?

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata 'Kapankah datang pertolongan Allah?'Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.
(QS Al Baqarah [2]: 214)

Ayat ini memang berkaitan dengan peperangan di zaman Rasulullah, terutama dengan perang Badar, tapi  ayat ini juga berlaku untuk kita semua di setiap keadaan, jadi bukan hanya pada zaman Rasulullah saw atau pada sebuah zaman dimana peperangan terjadi secara fisik. 

Dalam di ayat ini disebutkan yang bertempur adalah kaum mukminin dan kaum kafirin, istilah 'ummat' bisa  juga melekat dalam masyarakat, bisa juga dalam sebuah insan, bisa juga dalam sebuah keluarga. 

Adapun tafsir Ibnu Arabi tentang ayat ini adalah : 
Apakah kalian mengira akan memasuki surga tajali al jamal padahal belum datang kepada kalian keadaan orang yang telah terdahulu sebelum kalian, yakni mereka yang disentuh oleh malapetaka ketertinggalan dan tajrid atau penanggalan, dan al faqr - dan al istiqar
Yaitu suatu kesulitan atau kesengsaraan dalam mujahadah dan riyadhoh, dan pecahnya an nafs atau jiwa dengan ibadah, keterguncangan karena kerinduan, dan mahabbah dari tempat berdiamnya nafs-nafs mereka, agar Dia menzahirkan apa-apa yang ada di dalam istidaad mereka dengan suatu kekuatan (al quwwah) hingga berkata ar rasul dan orang-orang yang beriman besertanya ‘kapan datangnya pertolongan Allah’, artinya hingga mereka merasakan suatu kejenuhan/kelelahan yang disebabkan oleh panjangnya keterhijaban dan banyaknya jihad yang dilakukan karena keterpisahan (al hiraq), dan hilangnya kesabaran mereka untuk musyahadah al jamal dan dzauq al wishal . Dan mereka meminta pertolongan Allah dengan tajali atas kedalaman sifat-sifat nafs mereka. 
Dan mereka menghendaki dengan bala/musibah tersebut sebuah hijron (penghijrahan) dan menjadikan mereka merasakan sebuah keterpisahan karena kuatnya mahabbah.  

Ibnu Arabi berkata, bagaimana dengan jalan selain mereka? 
Artinya yang menuju Allah itu akan ditempa dengan bala bencana, nah bagaimana dengan orang2-orangyang tidak mencari Allah?  Maka Allah akan mengabulkan apa yang mereka cari ketika telah habis kekuatan mereka. Kemudian makna bahwa pertolongan Allah itu dekat artinya pengangkatan hijab-hijab dan tampilnya atau mendhahirnya jejak-jejak al jamal.

(Dari catatan pengajian Hikmah Al Quran. Disampaikan oleh Zamzam AJT, 7 Januari 2006)

Tuesday, July 23, 2013

Nafs Wahidah

Insan manusia itu bukan sekedar jiwa atau sekedar raga penyatuan antara aspek malakutiyah dan aspek jasadiyah. Adapun seseorang yang sudah integral aspek jasadnya yang terdiri dari banyak elemen panca indera ke dalam jiwa itu dinamakan sebagai ummatan wahidah.

Jalan menuju peng-ummatan wahidah melalui jihadun nafs, suatu perjuangan seumur hidup yang Rasullah saw katakan sebagai jihadul akbar. Manakala kita nanti semua berhasil menyatukan komponen dalam raga kita, artinya dengan menggunakan perangkat apapun dalam indera kita, telinga, mata hidung kita selalu dzikrullah, selalu mengantarkan kepada ahadiyahnya Allah, itu baru disebut nafs wahidah. 

Kita seringkali berteriak dengan lantang bahwa semua masalah yang kita terima adalah dari Allah bukan dari yang lain, karena tidak ada hal yang tercipta selain dari Allah Ta'ala, tetapi ketika masalah mendera kita terjebak dalam kebingungan dan kekhawatiran, itu belum dikatakan nafs wahidah. Karena orang yang sudah menyatu semua komponen dirinya (Divine oneness ) akan melihat semua fenomena, mencium dan mendengar semua hal sebagai representasi Dia, bukan sesuat yang terpisah dari Allah Taála. Hal itu dikarenakan akal nafsul wahidah sudah menyinari dalam dirinya.

Maka kalau kita masih berkeluh kesah dalam kehidupan, itu praktis sudah menunjukkan belum adanya akal wahidah dalam diri. Atau kita masih menyombongkan diri, menganggap remeh yang lain, saling dengki, itu semua otomatis merupakan sebuah dalil yang haq akan tiadanya aql wahidah dalam dirinya, dan dia pada prinsipnya belum menegakkan diinnya.

(Dari catatan pengajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 31 Desember 2005)

Hasil Dari Shaum

Allah swt berfirman,…
“Wahai Ahmad!... 
Mengertikah engkau hasil dari shaum?..” 

“Tidak..” jawab Nabi Saw.

Allah Ta’ala menjawab,.. 
“Hasil dari shaum adalah sedikit berbicara dan sedikit makan,…
Hasil dari diam adalah kebijaksanaan; 
Hasil dari kebijaksanaan adalah pencerahan;
Hasil dari pencerahan adalah keyakinan; 
Dan ketika seseorang mencapai kedudukan keyakinan yang mulia, ia senantiasa tidak menjadi cemas, bagaimana ia akan memulai hari-harinya, Apakah dengan kemudahan, atau dengan kesulitan,… tragedi ataukah kesenangan.

Yang demikian itu adalah keadaan orang-orang yang telah mencapai maqam ridla.
Barangsiapa mencapai kedudukan ini, maka ia akan mendapatkan tiga ciri-ciri yang tak terpisahkan,… 
- Bersyukur yang tidak dikotori dengan kebodohan (jahil), 
- Zikir yang tidak bercampur dengan kelalaian, 
- Dan cinta yang tidak bercampur dengan cinta yang lain. 

Barangsiapa yang mencintai-Ku dengan cara yang demikian, tanpa mencampurkan cinta yang lain dengan persahabatan-Ku, maka Aku pun mencintainya dan menjadikan yang lain mencintainya; menjadikan mata hatinya terbuka, sehingga ia dapat menyaksikan keindahan dan keagunganKu; Aku akan memberinya pengetahuan dan pencerahan, yang tidak Kuberikan kepada selainnya;… Baik ditengah-tengah kegelapan malam maupun cerahnya siang, akan senantiasa berbisik dan berbincang-bincang dengannya, sehingga ia menjadi tidak nyaman bersama orang lain;.. 
Namun akan membuatnya mendengarkan pembicaraanKu,… dan pembicaraan para malaikatKu;… rahasia-rahasia-Ku yang Aku terus sembunyikan dari orang lain akan dibukakan untuknya. Aku akan memenuhi kebijaksanaanya dengan pencerahan ma’rifat-Ku,… 

Dan akan mendudukan Diri-Ku di tempat kebijaksanaannya;… 
Akan menjadikan sakitnya sakaratul maut dan kesulitannya menjadi mudah baginya agar ia dapat masuk ke dalam surga dengan keadaan yang mudah dan senang."

Ketika malaikat maut turun kepadanya,… 
Ia akan berkata kepadanya,.. 
‘Selamat datang!... Selamat datang!... Allah tengah menantimu!...’

Pada saat itulah Allah akan berbicara kepadanya, 
‘Inilah surga-Ku…. anggaplah ini rumah sendiri, 
Dan ini adalah lingkungan-Ku dimana engkau akan bertempat selamanya.’ 

Kemudian orang itu akan mengatakan, 
‘Yaa Rabbku!... 
Engkau telah memperkenalkan diri-Mu kepadaku,… 
dan setelah mengenal-Mu, aku pun terpisah dari semua makhluk-Mu. 
Demi keindahan dan keagungan-Mu,.. 
Aku bersumpah bahwa bila untuk mencapai ridla-Mu aku mesti terpenggal tujuh puluh kali dengan penderitaan dan siksaan yang paling menyakitkan, maka ridlaMu pun tetap merupakan hal yang paling berharga dan yang paling kuidamkan.’ 

Sampai di sini, Allah Ta'ala akan berkata kepadanya,…
‘Aku bersumpah dengan keindahan dan keagungan-Ku bahwa mulai sekarang, tidak akan pernah ada lagi hijab di antara Aku dan engkau, sehingga engkau dapat melihat-Ku kapan saja engkau mau; demikianlah cara Aku memperlakukan para sahabat."

*diambil dari buku "Puasa Ramadhan.", Mirza Javad Agha Maliki Tabriz, hal-29

Ketika Alam Semesta Menolak Amanah

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada lelangit dan bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya..."
(QS Al Ahzab [33]: 72)

Satu ketika Allah Taála menawarkan amanah kepada lelangit, gunung-gunung, lebah-lebah, sungai-sungai, batu-batu, planet-planet, matahari-matahari dan semua makhluk yang ada di alam semesta, jauh sebelum alam semesta diciptakan dan bentuk-bentuk setiap jiwa dari makhluk-mahluk itu terbentuk. Kemudian mereka menolak karena takut mengkhianati amanah, kecuali manusia yang kemudian menerima amanah itu.

Karena alam semesta dan isinya menolak amanah tersebut, maka Allah Taála memberi mereka masing-masing perwujudan yang paling pas dengan jati dirinya, maka terbentanglah langit dengan ketinggiannya, matahari dengan ukuran dan panasnya yang telah ditentukan, lebah dengan desainnya yang seperti itu, semua adalah makhluk yang berserah diri pada ketentuan Allah. Maka kita lihat alam semesta ini adalah wajah dari Ahadiyah Allah Taála, semua hidup dalam gerak yang harmonis, tidak bertabrakan satu sama lain. Kalau kita punya dzauq (rasa dalam diri) kita juga bisa menyaksikan betapa bintang yang ada nun jauh di sana ada hubungannya dengan elektron yang dekat di sini, dengan semut yang sedang bergerak di dinding ini. Tegaknya alam ini dengan indah adalah bukti representasi dari satu Allah, karena jika ada lebih dari satu pengatur dalam alam semesta niscaya akan terjadi tabrakan dan ketidakteraturan.

Alam semesta adalah makhluk Tuhan yang ridha dengan ketetapannya, mereka adalah makhluk yang berserah diri kepada takdir-Nya, maka kita bisa merasakan kedamaian hati dan kelapangan jiwa saat berinteraksi dengan alam. Dari alam kita belajar, apabila diri mau berserah diri diatur dengan kuasa-Nya, niscaya kita tidak akan mengalami 'tabrakan'dalam kehidupan.

(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 24 Desember 2005) 

Thursday, July 18, 2013

Orang Yang Dihidupkan Indera Batinnya

Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu kecuali datangnya Allah 
bersama malaikat dalam naungan awan...
(QS Al Baqarah 210)

Hamba Allah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah mereka yang mengharapkan dirinya untuk diubah oleh Sang Maha Ilmu, setelah menyadari banyak kekufuran, banyak hijab, banyak kebodohan dan kegelapan dalam dirinya, bahwa dirinya tak lain hanya hamba yang lemah dan tidak tahu apa-apa, oleh karenanya ia menantikan datangnya kuasa Allah dalam dirinya.

Maka nuansa ayat ini adalah nuansa kehancuran, karena cahaya Allah apabila ia datang dalam hati seseorang, ia akan menghancurkan kebatilan, meruntuhkan hijab-hijab hati, kehancuran itu bisa jadi dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan, tapi sebetulnya bukan diri kita yang sejati yang hancur akan tetapi ego kita, hawa nafsu kita, obsesi kita dan sekian banyak bentuk-bentuk kekufuran dan sisi gelap dalam diri. Perlahan-lahan sang hamba mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya, yang sebelumnya gampang tersinggung menjadi lebih legowo hatinya, yang tadinya mudah marah menjadi sabar, yang tadinya pelit tak ketulungan menjadi lebih pemurah, cahaya Allah berwujud menjadi sifat-sifat baik yang merahmati alam sekitarnya.

Adapun pengertian turunnya malaikat, ia adalah simbol dari kekuatan samawiyah, terbukanya indera-indera batin berupa mata hati, telinga hati, sirr, ruh, lub dll yang merupakan perangkat batin yang Allah berikan untuk membantu sang hamba mengenal kebenaran di balik fenomena kehidupan. Dalam skala besar peristiwa yang juga pernah didemonstrasikan pada zaman Musa as saat menerima 10 perintah Allah ini niscaya akan kita alami juga di alam mahsyar. Dalam konteks saat ini di dunia, ada orang-orang yang Allah hidupkan indera-indera batinnya untuk mengenal kebenaran.

(Disajikan ulang dari catatan pengajian hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 17 Desember 2005)

Wednesday, July 17, 2013

Bertaubatlah dan Berserahdirilah

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). 
(QS Az Zumar: 54)

Pada ayat yang terlihat sederhana ini tersimpan rahasia yang besar. Perhatikan bahwa kata bertaubat disandingkan dengan Rabb sedangkan kata berserah diri ditujukan untuk-Nya (Huwa).
Rabb adalah pangkat yang Dia (Huwa) miliki.

Kenapa kita bertaubat kepada Rabb?
Karena mengenal Rabb adalah gerbang untuk mengenal-Nya. KIta berinteraksi dengan Allah melalui Rubbubiyah-Nya. Allah sebagai Rabb yang memberi kita kehidupan, menggoreskan takdir, dilimpahkan ketetapan dan amr yang berbeda-beda. Setiap orang diciptakan berbeda-beda potensinya, kecerdasannya, raut wajahnya, kadar rezeki dan usianya. Dia sebagai Rabb yang menata, mengurus, mengqadha dan mengkadar seluruh kejadian dalam alam semesta ini. Maka apabila seorang manusia berbuat melampaui batas yang Dia tetapkan, dia patut bertaubat kepada-Nya sebagai Rabbul Áalamiin.

Dalam lingkup pertaubatan selalu ada komponen berserah diri. Jalan tarekat adalah jalan pertaubatan dan mekanismenya adalah dengan berserah diri. Berserah diri inilah yang ditata dengan teknik riyadhoh, fana itu berserah diri. Riyadhoh yang dikerjakan sebetulnya hanya metoda agar diri kita sampai ke maqam Al Islam, sebuah penyerahan diri yang haq. Tapi seringkali orang berserah diri dengan tanpa pengetahuan, pasrah begitu saja tanpa belajar apa-apa. Tanpa mempelajari Kitabullah, tanpa berkaca ke proses penyerahan diri yang dicontohkan para nabi dan orang-orang terang kita hanya akan menduga-duga bahwa kita telah berserah diri dengan benar. Sebagai pejalan pemula kita seringkali jatuh bangun dalam memaknai penyerahan diri kepada Allah, bagaimana itu ketaatan kepada Allah, kepada rasul, kepada mursyid dst, memang tidak mudah, kita belajar terus.

Pada intinya tiada pertaubatan kecuali diikuti dengan penyerahan diri, maka jalan manapun yang mengatakan sebagai jalan pertaubatan pasti ada mekanisme berserah diri kepada Allah taála, Adapun berserah diri yang sesungguhnya bukan semata-mata terletak pada pemotongan pikiran, syahwat, hawa nafsu, tapi sebuah mentalitas, sebuah jiwa, sebuah kesadaran. Berserah kepada Allah taála adalah sesuatu abstrak, ukurannya apa? Kita hanya membentuk pengalaman pribadi masing-masing dan kita berinteraksi antara takdir yang ditetapkan kepada kita. Melalui takdir harian kehidupan itulah  kita belajar menemukan cara berserah diri yang Dia ridhai untuk diri masing-masing.

(Sajian ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Kang Zam, 17 Desember 2005)


Wednesday, July 10, 2013

Kita Sedang Disaksikan

"Bekerjalah, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat apa yang kamu kerjakan..."(QS At Taubah [9]: 105)

Bekerjalah di sini adalah bekerja untuk memperbaiki agama, tentu tahapannya dengan terlebih dahulu memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Apapun yang kita kerjakan, profesi apapun, posisi apa saja diniatkan dalam rangka bersyukur kepada-Nya. Dimulai dengan mengerjakan apapun yang Allah Taála berikan dalam kehidupan kita, pekerjaan yang ada di tangan kita, suami, istri, anak atau keluarga yang diamanahkan kepada kita, semuanya patut diberi perhatian dengan adil, karena di balik masing-masing itu semua ada kehendak-Nya Yang Maha Ilmu. Niatkan untuk semata-mata menolong agama Allah, yang dengan itulah Allah akan menolong kita.

Yakinlah bahwa pada saat yang sama semua tingkah laku kita disaksikan oleh Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Perbuatan baik yang kita lakukan akan membuat mereka senang adapun apabila kita tergelincir melakukan keburukan di muka bumi maka akan membuat mereka sedih. Maka bekerjalah dengan baik, sungguh kita sedang disaksikan...

(Sajian ulang dari pengajian Hikmah Al Quran, disampaikan oleh Zamzam AJT, 3 Desember 2005)


Wednesday, June 26, 2013

Bekal Menghadapi Kompleksitas Hidup

Kehidupan manusia tidak akan sama dari waktu ke waktu. Walaupun secara fenomena tampaknya menjalani rutinitas yang itu-itu saja, tetapi sebenarnya pengetahuan yang Allah tanamkan di setiap kejadian pada setiap detiknya tidaklah sama. Seorang manusia, apalagi seorang mukmin akan selalu dituntut meningkatkan pengetahuannya.

Rasulullah saw berpesan:
"Barangsiapa yang keadaan amalnya hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka ia terlaknat. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung." (HR. Bukhari)

Maka Allah akan senantiasa meningkatkan kompleksitas kehidupan hamba-hamba yang mencari-Nya. Yang seringkali dipersepsikan dengan datangnya masalah dan ujian dalam pandangan kebanyakan manusia. Padahal Allah Ta'ala membacanya sebagai proses penyempurnaan iman dan pengangkatan derajat.

Untuk mengerti mekanisme penyempurnaan Allah Ta'ala melalui kehidupan yang kita jelang setiap harinya. Maka penting membekali diri dengan sebaik-baik pemahaman kepada Al Qur'aan, karena itu adalah murni kata-kata Allah Ta'ala. Barangsiapa yang mengaku dirinya pencari Allah, namun tidak akrab dengan Al Qur'aan maka sesungguhnya itu kebohongan semata! Masing-masing diri harus membuktikan benar bahwa Al Qur'aan memang berfungsi sebagai suatu syifaa (obat) dan mukjizat dalam kehidupan.

Sungguh waktu kita sangat terbatas di dunia ini, apabila kita masih menunda-nunda mempelajari Al Qur'aan, sungguh ini adalah suatu bentuk kesombongan yang nyata! Maka bangkitlah dari tidur kita, dan bergegaslah menempuh jalan-Nya. Jadikan Al Qur'aan menyatu dalam setiap nafas hidup kita. Karena mustahil kita bisa menempuh kehidupan dengan baik dan benar tanpa bimbingannya.

Wallahu'alambishawwab

(Disarikan dari beberapa pengajian Hikmah Al Qur'aan, Yayasan Islam Paramartha)

Sunday, June 16, 2013

Antara Takdir dan Ikhtiar Manusia

Dan bagi setiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya
- Al Quran

Sungguh pengetahuan tentang sekat-sekat takdir yang membatasi kehidupan kita masing-masing adalah sesuatu yang sangat besar dan untuk memahaminya diperlukan banyak bekal pengetahuan dan kebijaksanaan.

Kita terlahir ke muka bumi ini tidak diberikan pilihan mau dilahirkan dari orang tua seperti apa, keluarga yang bagaimana, bentuk fisik yang mana dsb, sebagaimana seseorang tidak dapat menegosiasikan berapa lama dia akan hidup. Kesadaran akan garis-garis kehidupan yang telah ditorehkan di Lauh Mahfuz yang sebagaimana kuatnya keinginan manusia tidak akan mampu merubahnya - itulah yang membuat manusia menjadi lebih bisa berkompromi dengan kehidupan alih-alih memaksakan kehendaknya sampai babak belur.

Banyak ketetapan hidup yang Allah memang sudah gariskan, tidak bisa diubah, tapi ada wilayah yang sepenuhnya menjadi 'free will', kehendak bebas manusia, yaitu hatinya sendiri, semesta yang luas yang tak terbatas. Adalah hati yang bisa liar ke mana-mana, bisa naik ke surga yang paling tinggi atau ke neraka yang paling bawah. Inilah pilihan yang dalam Al Quran dikatakan sebagai

"Datanglah kepada-Ku dalam keadaan suka cita atau terpaksa"

Kesukacitaan dan keterpaksaan letaknya di dalam hati. Kita lah yang menetukan apakah semesta hati kita mau tunduk dan berserah diri dengan keadaan yang ada atau menjalaninya dengan ngedumel, ngomel-ngomel, dan marah-marah.

Ibaratnya setiap manusia diberikan buku mewarnai masing-maisng dengan desain dan pola yang berbeda-beda. Gambarnya telah tersedia, tugas kita hanya mewarnai dengan sebaik mungkin. Ada yang berusaha merubah gambar yang ada, ada yang iri dengan gambar orang, ada yang mewarnai dengan serampangan, dan yang terbaik tentu mewarnai dengan sapuan warna serapih dan sebaik mungkin sehingga menyenangkan hati Yang Memberikan buku.

Suatu saat nanti masing-masing kita akan menerima buku kehidupannya sendiri. Warna-warna hati yang kita torehkan saat ini akan dilihat hasilnya di suatu masa yang akan tiba. Semoga kita mendapati buku kita dalam keadaan yang indah, aamiin.

(Disajikan ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Zamzam AJT, 26 November 2005)



Wednesday, June 12, 2013

Nilai Manusia Dihitung Dari Shalatnya

"Sebaik-baik amal manusia adalah shalat"
- Imam Ali k.w.

Rasulullah saw bersabda, "Segala hal memiliki wajah, dan wajah Islam adalah shalat"
Wajah adalah karakter dan kepribadian seseorang, maka seorang yang mengaku muslim tetapi tidak shalat maka sebenarnya ia bukan seorang muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw,

"Telah kafirlah seorang muslim yang tidak mengerjakan shalat"


Jadi sebenarnya harga setiap manusia itu dihitung dari shalatnya, karena sebaik-baik amal adalah shalat. 
Shalat juga merupakan pilar dari semua amal shaleh, dengen demikian walaupun seseorang berhaji, berinfak banyak, jihad fi sabilillah dan belajar ilmu yang banyak jika tidak shalat itu tidak ada artinya, karena amal-amal yang berikutnya itu akan mengikuti cahaya shalat. 

Demikian juga apabila shalat seseorang benar, maka akan benar yang lainnya, karena shalat yang dikerjakan dengan benar akan mencegah seseorang dari perbuatan fahsya dan munkar. Dalam hadits Rasulullah saw bersabda , 

"Barangsiapa orang bersholat kemudian dalam sholatnya tidak menambah dekat kepada Allah. Barangsiapa sholat yg sholatnya tidak mencegah dari fahsya dan munkar maka tidak menambah kecuali jauhnya dengan Allah ta’ala."

Begitu pentingnya shalat dalam kehidupan sehingga Umar bin Khaththab berwasiat kepada menteri dan gubernurnya ihwal menegakkan shalat agar menjadi hal yang diperhatikan. Umar berkata "Barangsiapa yang menyia-nyiakan shalat pasti lebih menyia-nyiakan yang lainnya"

Semoga Allah Ta'ala membantu kita menjadi hamba-Nya yang menegakkan shalat. Aamiin.

(Disajikan ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 26 November 2013)

Sunday, June 9, 2013

Berhenti Menyalahkan Keadaan

"Saya tidak peduli apa yang akan menimpa saya esok, apakah sebuah penderitaan atau suatu kesenangan, karena bagi saya semua sama"
- Umar bin Khaththab ra

Orang yang ihsan dalam kehidupan tidak akan terperangkap oleh fenomena semata karena ia akan lebih melihat apa yang ada di balik kejadian yang Allah berikan (the divine meaning).

Oleh karenanya orang yang mencari Allah selalu berupaya menangkap apa maksud Allah di balik segala keadaan atau perasaan hati yang tengah berkecamuk, ia tidak akan menyalahkan kondisi atau orang lain untuk sekedar mencari kambing hitam. Ini adalah tauhid yang baik.

(disajikan ulang dari pengajian hikmah Al Quran, Kang Zamzam AJT. 26 November 2005)



Friday, May 24, 2013

Kebanyakan Manusia Gagal Mencari Allah Ta'ala

Terlahir dalam alam yang merupakan ujung terjauh dari 'selendang-Nya', manusia kerap terperangkap dalam bentuk-bentuk dunia ini. Entah dia seorang milyuner atau seorang tukang sampah sekalipun sering ia lupa kepada siapa yang memberikan qadha (ketetapan) itu kepadanya. Bahwa Dia menetapkan ada yang rezekinya banyak, sedang dan sedikit di dunia ini. Allah Ta'ala menetapkan amal-amal manusia sebagai sesuatu yang mengikat dalam kehidupannya dan ia tidak bisa lari dari ketetapannya itu, adapun hati manusia maka Allah Ta'ala bebaskan, ada hati yang bersukur dan hati yang mengingkari-Nya.

Maka nilai seorang manusia terletak pada kebeningan hatinya masing-masing, sejauh mana hatinya mencari Allah Ta'ala. Seorang Sulaiman yang kaya raya menjadi hamba kesayangan-Nya karena hatinya mencari Sang Kekasih, sama derajatnya seperti seorang waliyullah yang berprofesi sebagai tukang tikar biasa. Allah hanya melihat hati manusia, bukan pernak-pernik dunia yang ia miliki yang sebenarnya semua datang dan ditetapkan oleh-Nya.

Sebetulnya pada apapun yang Allah berikan, besar atau kecil di mata manusia, selalu ada kemuliaan di dalamnya. Takdir kehidupan yang mengalirkan kita ke tempat dimana kita sekarang berada adalah bersifat suci dan mensucikan karena semua datang dari tangan-Nya. Sadarilah bahwa hidup kita dinaungi oleh kemuliaan-Nya, jangan terpaku oleh bentul-bentuk lahiriah dan fenomena semata, agar kita menjadi hamba-Nya yang bersyukur atas apapun yang Ia berikan.

Syukur memang kata yang singkat namun tidak mudah dilakukan dalam kehidupan, butuh kesabaran untuk bisa berkompromi dengan ketetapan-Nya sementara dalam benak kita dipenuhi oleh seribu satu keinginan dan harapan. Untuk sekedar menerima dengan baik penggal kehidupan kita yang telah lewat atau yang sedang dilakoni pun butuh rahmat-Nya. Memang kebanyakan manusia tidak mensyukuri dirinya dan gagal mencari Allah Ta'ala.



(Sajian ulang dari Pengajian Hikmah Al Qur'an yang disampaikan Kang Zamzam AJT, 26 November 2005)