Sunday, August 30, 2020

 THE ART OF STORYTELLING


Menyampaikan sebuah kisah kepada anak yang baru belajar simbol huruf berbeda dengan anak yang sudah fasih membaca. Bercerita kepada anak saya yang bungsu akan membantu jika diberikan banyak gambar untuk menjembatani simbol huruf yang ia masih harus pelajari. Tapi untuk anak saya yang sudah biasa melahap buku lebih tebal dengan tanpa banyak ilustrasi di dalamnya. Akalnya lebih membutuhkan untuk lebih berimajinasi sendiri dengan menginterpretasikan kata-kata yang ia baca. Singkatnya, penyampaian sesuatu itu disesuaikan dengan kemampuan tangkap dan natur seseorang.


Menyampaikan sebuah kebenaran juga harus memerhatikan obyek yang kita ajak. Jika kebenaran disampaikan apa adanya tanpa dikemas dalam format yang pas bagi alamnya, biasanya akan mentah-mentah ditolak.


Contohnya, kalau saya mencoba menyampaikan kebenaran kepada orang yang sudah alergi dengan agama dan bahkan trauma mendengar kata Tuhan. Maka saya kemas kebenaran itu dalam bahasa yang lebih bisa ia terima. Misal, menggunakan kata "Universe", "Consciousness" dll. Dan menghindari penyebutan quote dari kitab suci sebagai referensi dari sesuatu. 


Strategi ini mirip dengan pemberian dosis makanan berbahan baku kacang dalam skala sangat kecil untuk kemudian ditingkatkan perlahan-lahan bagi seseorang yang punya alergi kuat terhadap bahan kacang. Sedemikian rupa kuatnya reaksi alergi ini seseorang bisa mati hanya gara-gara memakan satu biji kacang. Tapi tubuh ternyata punya respon canggih untuk mengatasi alergi ini. Caranya adalah dengan dipaparkan dengan bahan kacang dalam dosis sangat kecil dan terpantau oleh dokter. Dalam waktu tertentu maka ia tidak bisa aman mengkonsumsi kacang.


Nah, orang yang sudah sentimen dan anti dengan agama juga bisa kita dekati dengan strategi serupa. Tidak adil baginya untuk tiba-tiba harus menelan sekian informasi bulat-bulat dari kitab suci misalkan. Kita harus coba kemas dan terjemahkan dalam bahasa yang ia pahami. Karena kalau tidak, reaksi alerginya bisa membuat dia "mati", dalam arti makin lari dari agama, dari Tuhan. Kasihan kan...


Untuk orang jenis ini kita sesuaikan cara penyampaian kita. Seperti saya gambarkan perbedaan cara penyampaian cerita yang berbeda bagi dua anak tadi. Dibutuhkan kepekaan untuk mengidentifikasi kemampuan terimanya dan daya empati yang tinggi untuk bisa meraba luka-luka dalam hatinya agar kita tidak menyentuh topik-topik atau bahasa tertentu yang seolah menyentuh luka itu. Tunggu saja, seiring dengan waktu, doa dan kebaikan yang ada insya Allah tidak ada luka yang tidak sembuh. 


Baru di saat itu, ketika luka-lukanya mengering, ketika ia mulai bisa berjarak dari traumanya, ketika akalnya mulai siap menerima. Kita baru bisa bilang apa adanya. "Eh, sebenarnya semua hal yang aku bilang selama ini ada di Al Quran lho. Allah yang berfirman..." 


It's the art of storytelling.



Friday, August 28, 2020

 "Besok jam 10 pagi Pak Presiden bakal telepon, siap-siap ya." Kata sang sekretaris pribadi. 


Besoknya sejak jam 9-an pagi pun sudah mantenging telepon, memakai pakaian rapi, semprot minyak wangi kalau perlu, sampai bicara agar pas didengarnya. Ngobrol sama Bapak Presiden gitu lho, jarang-jarang kan? Bahkan mungkin semalaman sampai sulit tidur saking tegangnya takut salah kata dan sikap.


Tapi sekiranya telepon berdering dari nomor atau orang yang menurut dia ngga perlu dan ngga penting pasti di-ignore, di-silent. Bahkan kalau orangnya nyebelin bakal langsung diblokir.


Cara orang merespon sebuah panggilan menunjukkan penghadapan hati dia kepada seseorang.


Demikian juga, kalau seseorang memerhatikan waktu shalat di awal waktu. Langsung melepas apapun yang sedang dia kerjakan untuk merespon panggilan Sang Penguasa Alam-bukan sekadar presiden di wilayah yang relatif kecil di bumi ini. Maka itu menunjukkan penghadapan hatinya kepada Sang Pencipta.


Jadi ingat lirik lagu Bimbo,

"Aku jauh, Engkau jauh. Aku dekat,Engkau dekat. Hati adalah cermin..."

Tuesday, August 25, 2020

 Angin dingin mulai bertiup kencang.

Anak-anak dan orang tua mulai mengenakan jaket jika keluar rumah.

Kombinasi angin dan hujan biasanya efektif menggugurkan dedaunan yang berubah warna menjadi kekuningan.


Fall is coming. Musim gugur sudah melirik dari balik jendela. We have to say goodbye to the warmth of summer. Just move on. Seperti hidup, terus berjalan.


Perubahan empat musim menjadi ada karena bumi kita berotasi dengan  kemiringan 23,5 derajat. Dengannya intensitas paparan matahari di sebuah tempat di bumi pada waktu tertentu itu yang menciptakan empat musim. Dari mulai musim panas karena paparan matahari yang tinggi sampai di musim dingin yang kadang bisa bersalju tebal saat matahari seolah berjarak. 


Bagaimanapun Sang Pencipta sudah mengatur dengan amat presisi dengan menyimpan bumi berjarak hampir 150juta km dari matahari. Kalau terlalu dekat akan mati semua penghuninya karena variasi suhu yang ekstrem seperti di planet Merkurius yang siang hari bisa mencapai 430°C dan malam hari minus 180°C.


Hidup kita pun demikian, sudah diatur dan ditakar dengan presisi. Kapan basah, kapan kering, kapan senang, kapan sedih, kapan lapang dan kapan sempit. Inilah denyut semesta. Seperti jantung yang memompa isinya dan menghidupkan. Agar bangun jiwanya dan bangun raganya...aamiin.

Wednesday, August 19, 2020

 Ada orang yang menumpang tinggal di rumah. Kita sediakan kamar, makanan, internet, dll. Dia tidak perlu bayar. Cukup tatap muka beberapa menit sebagai adab. Masak iya numpang tinggal tapi tak pernah bahkan bertegur sapa dengan pemilik rumah, setidaknya beberapa kali ketika ke dapur untuk makan. Itu adab.


Tapi lama-lama si penumpang ini agak ngeselin juga tingkah lakunya. Kamarnya berantakan, bekas memakai kamar mandi tidak rapi, bekas masak tidak dibereskan. Lalu dia akhir-akhir ini banyak maunya. Minta dimasakin ini-itu, mengeluh kalau tidak ada snack kesukaannya, bawa temannya nginep ngga bilang-bilang, lalu minta dibantu ingin ganti gadget. Lho, memangnya aku ini emakmu opo? Wis, lama-lama aku suruh dia pindah aja ke tempat lain. Bikin kesal dan rusak suasana rumah.
Ini cerita fiktif, untung tak pernah mengalami.

Tapi, kalau boleh jujur. Jangan-jangan kelakuan si penumpang yang rodo kurang ajar itu ya kita ini. Sudah nebeng tinggal di bumi Gusti Allah, diberi sekian banyak fasilitas sejak lahir sampai sekarang dengan modal dengkul. Lalu makin dewasa kelakuan makin kurang sopan, banyak maunya dan mengeluh terus, seakan semua fasilitas hidup dan orang di sekitarnya kurang dan ga ada benernya. Masalahnya Sang Tuan Rumah yang mengurus kita itu Maha Ilmu. Kita ngga perlu ngomong pun Dia tahu apa yang kita pikirkan bahkan rasakan. Walaupun kita mengunci diri sendirian di kamar seakan tak ada yang tahu. Ya Dia Maha Tahu, nda perlu pasang CCTV atau alat penyadap sekalipun.

Mbok ya kalau numpang itu ya terima saja apa adanya. Sudah syukur dikasih tempat berteduh dan makanan juga, sekadar untuk melanjutkan kehidupan. Tapi toh yang Dia beri jauh lebih dari sekedar apa yang kita bayangkan. Bener ngga sih? Ah, saya kontemplasi seperti ini dialog ke dalam diri saja. Menyadari bahwa masih belum kuat sabarnya, masih kurang syukurnya, dan masih hilang timbul kerelaan menerima semua ketetapan-Nya. Astaghfirullah ya Rabb. Maaf ya…semoga Engkau memaafkan. Jangan sampai hamba diusir dari kolong langit dan bumi-Mu ini. Lantas mau kemana?

“Sesungguhnya aku ini Allah, tiada ilah selain Aku, Barang siapa yang tidak bersabar atas cobaan-ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-ku Serta”Tidak rela terhadap keputusanku”. Maka hendaklah ia keluar dari kolong langit dan bumi dan mencari tuhan selain Aku”. (Hadits Qudsiy)

Tuesday, August 18, 2020

 

Ada kisah lucu tapi menyimpan hikmah besar. Yaitu ketika Nasruddin Hoja suatu malam ditemukan oleh kawannya tengah berputar-putar di dekat lampu jalanan sambil menunduk tampaknya sedang mencari sesuatu. Sang kawan bertanya, “Hai Nasruddin, apakah kau mencari sesuatu?”

“Iya, kunciku hilang” jawab Nasruddin sambil masih merunduk dan menyusuri area terang yang disinari cahaya lampu.

“Dimana, kau terakhir kali ingat meninggalkan kunci itu?” tanya kawannya yang saat itu mulai bergerak membantu Nasruddin mencari kuncinya yang hilang.

“Di dalam rumah itu” Nasruddin mengarahkan telunjuknya ke sebuah rumah yang terletak tak jauh dari tempat mereka berada.

“Lantas, mengapa kau mencarinya di jalanan ini?” kawannya kebingungan.

“Ya, karena di dalam rumah itu gelap, disini lebih terang.”

-----

Kita bisa tertawa geli dengan keluguan Nasruddin yang mencari kunci di tempat yang pasti tak akan ditemukan disana dengan alasan yang polos semata-mata bahwa tempat itu terang. Padahal kuncinya jelas ada di dalam rumah.

Itulah “logical fallacy” sebuah upaya mencari solusi dengan menggunakan logika yang salah, akhirnya pasti hasil yang diinginkan tidak akan tercapai. Kalau mau jujur, kita kerap terperangkap dalam kesalahan berpikir yang serupa dalam beragama.

Contoh sederhana, kita punya sekian masalah dalam kehidupan. Betul kan? Siapa sih orang hidup yang tidak punya masalah? Semua punya medan perjuangannya masing-masing. Kadang sesuatu yang tidak ditangkap oleh orang luar yang mengira kita tenang-tenang  saja hidupnya. Tapi gejolak hati, perasaan dan pikiran seseorang siapa yang tahu?

Kita butuh bantuan Allah sebenarnya membereskan persoalan rumah tangga kita yang berantakan, merapikan pekerjaan kita yang terbengkalai, mendisiplinkan anak yang mulai berulah dsb. Bukankah alam semesta dalam genggaman Dia Dzat Yang Maha Kuasa? Teorinya hafal betul kita. Tapi praktiknya ketika anak sakit, ketika butuh uang, ketika butuh bisnis lancar, ketika butuh jodoh dll apakah yang pertama kali kita minta tolong adalah Allah?

Coba ingat-ingat lagi dan jujur. Respon pertama kita di saat ada kesulitan. Apakah mengandalkan pasangan? Mengharap dibantu keluarga? Mengandalkan tabungan atau gaji bulanan? Menyenderkan diri pada janji ini-itu dari si fulan. Mengandalkan dokter yang terkenal itu. Bahkan mengandalkan kyai tertentu sekalipun. Sementara Allah sendiri biasanya diandalkan di saat-saat akhir, ketika semua upaya horizontal habis dan biasanya tak berbuah. Baru kita berteriak, “Ya Allah, tolong…”

Padahal adabnya bukan begitu. Kepada Allah dulu adukan semua permasalahan dan kebutuhan kita. Ini justru titik awal yang akan membuat proses berikutnya berbeda sejauh langit dan bumi. Kenapa? Karena kalau Allah dihadirkan di awal waktu, di awal respon, maka Dia akan hadir. Karena janji-Nya, “Ingatlah kepada-Ku, Aku akan ingat kepadamu.” Spontan. Begitu saja.Bahkan tidak ada kata sambung “dan Aku akan ingat kepadamu.” Kalimatnya lugas, jelas, “ingat Aku – Aku ingat kamu”. As simple as that. Bedanya kalau Allah mengingat seseorang, maka orang itu tengah menjadi sasaran pandangan-Nya. Kehadiran tatapan-Nya itu akan membuat seseorang dan kehidupannya berubah. Yang tadinya rapuh jadi lebih kuat, yang tadinya mudah putus asa menjadi lebih kokoh, yang tadinya sulit “move-on” jadi lebih mudah “let it go”. Begitupun semestanya bisa “kun faya kun” diubah.  Jalan keluar tiba-tiba terbuka, hal yang sulit jadi mudah, penyakit pun bisa dibuat hilang dan sembuh begitu saja. Dan tidak sekadar dimudahkan urusan dunia, tapi hikmah dan makrifatnya dapat. Sehingga dengan terbukanya kesulitan hidup maka bertambahlah cinta dan ketakjuban kita kepada-Nya.

Itu kunci yang kita cari. Kunci yang mengubah kehidupan kita lahir dan batin yang terletak pada kualitas hubungan kita dengan Allah Ta’ala dan pilarnya dibangun saat shalat. Maka, kalau kita masih terjerembab pada permasalahan yang itu lagi, kalau kita masih terjerat dalam kesulitan hidup yang lama. Coba renungkan, jangan-jangan kita berlaku seperti Nasruddin tadi, mencari-cari kunci di tempat yang tidak semestinya.[]

 

“TUGAS LANGIT”

Setiap kita harus mengidentifikasi “tugas langit”nya masing-masing. Sesuatu yang Allah mudahkan dalam kehidupan kita karena kita dibekali itu sejak kita lahir bahkan menentukan dari orang tua mana kita dilahirkan, kapan dan dimana, serta seluruh semesta yang disediakan dengan takaran yang presisi dan timbangan keadilan-Nya.

“Tugas langit” itu tidak ditentukan semata-mata oleh pencapaian akademik, pangkat yang diraih atau status sosial masyarakat. Bisa jadi tugas itu begitu sederhana yaitu mengurus keluarga kecilnya dan sang anak yang perlu bimbingan khusus. Memang ada pula yang tugasnya untuk menjangkau khalayak  yang lebih luas di masyarakat.

Apapun itu, kita wajib mengidentifikasi peran spesifik yang Allah ingin kita kerjakan di penggal waktu yang singkat di bumi ini.

Gambarannya adalah seperti yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi, ketika seorang raja mengurus menterinya ke sebuah kota dalam situasi perang untuk membangun jembatan yang berfungsi strategis untuk menghubungkan antara dua wilayah. Untuk melaksanakan misi itu sang menteri dibekali dengan sekian banyak pekerja, kuda-kuda untuk mengangkut barang dan sekian banyak perkakas dan para ahli yang akan berguna untuk membangun jembatan. Sang menteri diutus ke kota itu dalam kurun waktu tertentu. Dengan harapan dalam rentang waktu itu, jembatan yang sang raja inginkan sudah selesai dibangun.

Waktu berlalu, sang raja kemudian mengirim utusan untuk mengevaluasi pekerjaan sang menteri. Dan terkejutlah utusan itu ketika melihat pekerjaan jembatan bahkan belum setengahnya dikerjakan. Akan tetapi alih-alih menyelesaikan deadline pembuatan jembatan sang menteri malah memanfaatkan waktu dan segenap sumber daya yang ada untuk membuat bangunan lain berupa rumah-rumah tinggal yang nyaman, rumah ibadah, perpusatakaan dll untuk mempercantik kota itu.

Sekarang, bayangkan jika utusan raja itu kembali kepada sang raja untuk melaporkan hal ini. Jika sahabat adalah raja itu bagaimana akan merespon?

Tentu marah. Wajar, karena ini sedang situasi genting berperang. Jembatan itu sangat dinanti agar bisa digunakan untuk kepentingan perang. Sedangkan sang menteri yang diutus untuk menyelesaikan satu misi penting untuk membangun jembatan malah asyik membangun ini-itu.

Begitulah kira-kira gambarannya. Sang Maha Raja, Allah Ta’ala pun mengutus kita ke bumi ini untuk mengerjakan sebuah tugas langit yang spesifik yang kerap dilalaikan oleh kebanyakan orang karena lupa, tidak paham dan tersesatkan oleh hawa nafsu dan syahwatnya untuk mengerjakan hal yang lain.[]

Thursday, August 13, 2020

 Patience is seeing Creator in the wound.

- Jalaluddin Rumi


Kehidupan tak luput dari luka-luka. Hati terluka karena perkataan atau sikap seseorang, perasaan tercederai oleh situasi yang tidak kita sukai, atau tak jarang rasa tergerinda karena pikiran dan persepsi kita sendiri terhadap sebuah keaadaan.


Kata orang, "You don't always get what you want." Kita paham betul itu. Yang belum kita mahir melakoninya adalah bagaimana merespon situasi yang menyakitkan. Karena kalau respon hati masih menyerang balik, making a scene, atau selalu mencari cara agar segera keluar dari situasi itu maka sesungguhnya itu masih respon primitif laiknya seorang anak kecil yang merengek-rengek jika apa yang dia inginkan tak didapatnya.


Bedanya rengekan seorang dewasa tidak lagi dengan ekspresi yang sama dengan tangisan spontan seorang anak kecil. Cara orang dewasa "merengek" adalah dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan menyakitkan, panik mencari jalan keluar dari situasi yang dia tidak sukai atau menyalahkan apa-apa yang ada di sekitarnya hingga menghembuskan sekian banyak hawa keluhan panas baik yang diucapkan atau yang beredar di hati atau pikirannya.


Apapun itu yang namanya "rengekan" mendatangkan ketidaktenangan bagi diri maupun  lingkungannya.


Agama dihadirkan oleh Sang Pencipta agar membimbing manusia menemukan kedamaian yang hakiki bahkan di tengah amuk badai kehidupan sekalipun. Itu ajaib.


Adapun agama dibangun oleh tiga pilar yaitu berserah diri (al islam), keyakinan (al iman) dan al-ihsan, sebuah kualitas hati yang memaandang bahwa Allah dan dirinya sangat dekat hingga Allah mengetahui seluruh gerak geriknya lahir dan batin. Tiga pilar ini jika telah tertanam kokoh dalam diri seseorang maka apapun yang terjadi dalam hidupnya terutama hal yang menyakitkan akan lebih mudah ia berdamai menjalaninya karena ia sadar bahwa tidak akan mungkin seekor nyamuk menggigit kulitnya, sejasad virus memasuki tubuhnya dan menimbulkan penyakit ataupun seseorang membuat manuver tertentu yang membuatnya pusing kepala jika semua itu Allah izinkan.


Orang beriman akan meyakini bahwa semua hal yang Allah izinkan pastilah memiliki kebaikan dan menyimpan khazanah hikmah yang banyak. Sehingga ia tidak terjebak memandang sesuatu hanya secara superfisial semata. Kesadaran bahwa segala sesuatu ada dalam kendali-Nya membuat hati orang beriman tenang. Karena Allah pasti hanya memberi yang terbaik. Itu akhlak-Nya. Perkara kita belum melihat kebaikan itu saat ini, itu hal yang harus kita istighfari karena akal hati yang terhijab tidak akan mampu menjangkau hikmah.


Akhirnya payung kesabaran akan mengembang di dalam diri seorang yang dikaruniai tiga pilar kokoh agama itu; keberserahdirian (islam), iman dan ihsannya membuat ia mampu melihat semua yang hadir adalah dari-Nya, semua yang mewujud adalah terhubung kepada-Nya. Dan hanya dengan mengingat-Nya hati menjadi tenang...

Saturday, August 8, 2020

 "Alastu birabbikum?"


"Bukankah Aku Tuhanmu?" Begitu cara Allah memperkenalkan dirinya saat jiwa-jiwa kita masih di alam persaksian (alam alastu) dulu. Peristiwa ini direkam dalam Al Qur'aan surat Al A'raaf [7]: 172.


Dia yang bertanya tentu yang paling tahu jawabannya. Tapi yang menarik, penyampaiannya bukan dalam kalimat seperti "Aku Tuhanmu." Titik. Melainkan dalam kalimat tanya. Menarik bukan?


Nampaknya jiwa kita akan mengeluarkan khazanahnya secara optimal jika dihadapkan dalam iklim dialogis dan bukan dogmatis. Dalam keadaan dialog terbuka ruang perenungan yang tak terbatas. Dengan demikian jawaban dari pertanyaan "Alastu birabbikum" semestinya adalah hasil dari pengalaman, pencarian dan perenungan yang dalam. Mungkin bahkan melalui kegagalan dan keterpurukan, terjebak dalam tuhan-tuhan palsu demi mengenal Tuhan Yang Sejati.


Oleh karenanya situasi kehidupan dan dunia kita akan selalu dibuat samar dan gaib. Disitu justru membuka peluang untuk mengembangkan perenungan yang tak bertepi. Karena memang semua ini adalah demi mengenal Dia yang laisa kamislihi syaiun, yang tak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya. 


Masalahnya waktu pengenalan di alam ini sangat terbatas, sementara tipuannya besar. Akhirnya banyak yang tenggelam dalam ilusi dunia dan lalai untuk mengenal Sang Rabb hingga akhirnya gelagapan untuk sekadar menjawab pertanyaan pertama saat pindah ke alam barzakh nanti, "Man Rabbuka?" - Siapa Tuhanmu?

Amsterdam, 8 Agustus 2020

12.30 siang di dalam flixbus otw to Brussels

Friday, August 7, 2020

 I have learned the hard way kalau hidup itu tidak usah ngoyo. Kalau memang harus pindah dan beralih ke episode lain maka pada saatnya akan dimudahkan and its almost effortlessly.


Contohnya saat saya sedang berkarir di Indonesia. Ada saatnya hati sudah mulai tidak sreg dg pekerjaan yang ada, inspirasi sudah kering dan semangat rasanya padam. Beberapa bulan lamanya saya kasak-kusuk melamar kerja sampai beberapa kali datang interview ke Jakarta. Hasilnya nihil. Padahal sudah menyita banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya. Tapi ketika saatnya tiba malah tawaran pekerjaan tiba begitu saja, saya malah dapat telepon langsung dari direktur perusahaannya dengan posisi yang jauh lebih baik dari yang saya cari dengan susah payah sebelumnya. Tuh kan...


Contoh lain, waktu anak kedua saya mau lahir heboh ingin cari baby sitter atau tempat penitipan anak yang pas. Sempat coba tempat penitipan anak yang dekat rumah ternyata si kakak kurang pas, setiap saat saya titipkan disana dia menangis pilu. Ya ngga tega lah. Sempat nemu di iklan ada penitipan anak yang tampaknya bagus dengan harga sangat kompetitif, eh entah kenapa pas survei tempatnya ngga ditemukan malah tersesat di jalan padahal sudah dipandu googlemap sambil broyong-broyong rempong naik angkutan umum dengan bawa stroller. Akhirnya pas waktu lahiran tiba, alhamdulillah ada bantuan dari teman orang Indonesia yang sempat nginep di rumah bantu jagain si kakak. Beberapa bulan setelah itu sepulang antar si bungsu vaksinasi tiba-tiba dihampiri perempuan paruh baya yang sangat ramah, santun sambil ia menyodorkan kartu nama. Dia bilang, "Kalau kamu butuh oppas (baby sitter) hubungi saya". Ternyata dia buka layanan Gastouder, tempat penitipan bayi bersertifikat di rumahnya. Terbatas untuk 4-5 anak saja. Pertama kali ditinggal disana anak-anak malah ngga mau diajak pulang. Sampai sekarang kami memanggil beliau tante dan masih kontak-kontak walaupun yang bersangkutan sudah pindah ke Curacao, negara asalnya. Nah kan, kalau sudah tiba saatnya semua lancar dan jauh lebih enak menjalaninya. Point taken😉


 Kalau boleh jujur kita ini sebenarnya kan tidak berdaya mengatur kehidupan ini. Tidak berkutik mengatur sekadar keluarga kecil kita. Jangankan itu, mengatur diri sendiri saja masih pontang-panting. Mulai dari raga saja kita sebenarnya tidak tahu apa-apa selain yang tampak di permukaan kulit. Paling banter ya bisa olah raga, makan sehat dan live a healthy life.


Kalau mau jujur siapa coba yang mengatur ritme detak jantung sehingga ia bisa berdenyut dengan baik 100ribu kali dalam sehari, 35 juta kali dalam setahun dan rata-rata manusia didetakkan jantungnya sebanyak 2,5 milyar kali sepanjang hidupnya.

Lalu siapa pula yang mengaturkan nafas kita yang sebanyak 20ribuan kali sehari itu. Yang memastikan oksigen yang kita hirup masuk ke pembuluh darah untuk ditransportasikan ke semua sel di dalam tubuh.

Di dalam semesta tubuh kita saja banyak mekanisme alamiah yang tanpa sadari kita nikmati. Kita enak saja memakai tubuh ini, bahkan kerap salah pakai sambil lupa sekadar berucap syukur dan terima kasih kepada Dia yang meminjamkannya dan mengaturkan semua komponen tubuh ini.

Jadi, dari tataran ragawi saja kita sudah mutlak bergantung kepada Dia Yang Maha mengaturkan semuanya. Belum lagi semesta kita, keluarga, pekerjaan, tetangga dll yang kita kerap dibuat sesak nafas dan ‘makan ati’ dengan segala dinamika yang ada. Kita betul-betul membutuhkan pertolongan-
Nya untuk menjaga keluarga kecil kita dari fitnah, untuk merawat dan menjaga anak-anak kita, untuk melancarkan pekerjaan dan usaha kita, untuk melapangkan kesempitan hidup kita dll.

Tapi apa kunci seseorang ditolong oleh Allah? Dalam surat Muhammad ayat 7, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” . Ada kunci penting disini, yaitu “menolong agama Allah”, Iya coba baca pelan-pelan, agamanya siapa? Betul, agamanya Allah, bukan agama kita. Jadi yang paling tahu bagaimana cara menolong agama Dia ya Allah Ta’ala sendiri. Kita tidak bisa asal merekayasa dan langsung terjun berkarya ini-itu dengan nama “menolong agama-Nya’ tanpa mendapat bimbingan dari-Nya. It’s simply logic.

Yang namanya menolong agama Allah itu tentunya tidak mesti berupa kegiatan yang nampaknya agamis. Tidak semua harus jadi ustadz atau ustadzah, kan harus ada juga yang mengajar di kampus, bekerja di kantor, berkarya di pemerintahan, berniaga, mengolah tanah dan pertanian dll. Kita semua punya urusan dan bidang yang dimudahkan, tinggal berjuang menemukan dharma yang spesifik yang disitu rezeki manna dan salwa tercurah optimal dari langit dan bumi. Di titik itulah turunnya pertolongan Allah turun lebat, di orbit diri kita masing-masing.

Simply put. Kalau hidup masih terasa tidak nyaman, rentan dirundung oleh kegelisahan, masih banyak bingungnya, masih sering ngga nerimanya. Itu hanya sinyal bahwa kita memang belum menemukan orbit diri yang tepat. Belum berada di shiraathal mustaqiim masing-masing.

Lantas bagaimana cara menemukan shiraathal mustaqiim itu? Ya tanya dan minta bimbingan kepada Dia yang membuat semesta ini saja, simple toh? And bytheway ada setidaknya lima saat dimana shiraathal mustaqiim itu dibukakan bahkan diseru dengan jelas. Seruannya datang lewat suara adzan yang menggema di seluruh alam dan saat itu adalah di awal waktu shalat.[]

Sunday, August 2, 2020

Ada sebuah masa ketika aku dalam sebuah pencarian yang dalam tentang kehidupan
Sekelebat pengalaman yang singkat, ketika dua lirikan mata beradu pandang

Sejak itu hatiku selalu tertawan kepada-Mu
Sejak itu hati selalu merindukan-Mu
Sejak itu hal selain-Mu menjadi kenikmatan yang hambar dan sesaat

Kurindukan tatapan itu selalu
Wahai Bulan Purnama yang kurindu menatap-Mu

Semua akan kuterjang demi menatap-Mu dalam-dalam
Biarkan setelah itu aku lebur bersama-Mu
Dan tak ada lagi yang memisahkan kita...

Amsterdam, Minggu 11.36 jelang siang hari
Musim panas yang hangat, 2 Agustus 2020, 12 Dzulhijjah 1441 H