Thursday, January 28, 2021

MARAHAN
Saya sedang memasak di dapur ketika temannya anak saya berlari keluar rumah untuk pulang sambil bercucuran air mata, sebuah adegan yang dramatis. Anak saya pun tak kalah dramatisnya, berkali-kali berkata kencang ke arah dia "I'm sorry...i'm sorry..." Jelas, keduanya baru saja beseteru. Saya peluk dia dan memberinya waktu untuk menenangkan diri. Butuh beberapa lama untuk akhirnya mengerti duduk persoalannya, sambil menunggu emosi si anak mereda.
Ternyata permasalahannya adalah ketika mereka main Maincraft bersama anak saya nyeletuk "You're not good at it" dan itu membuat temannya sedih luar biasa hingga langsung berhenti bermain dan pulang ke rumahnya.
Peristiwa ini menjadi topik utama saat kami makan malam. Sebagai orang tua kami menekankan tidak baik kalau menyakiti hati seseorang. Rumi bilang berkali-kali "Yes, but i said i'm sorry..." Kami pun merangkulnya. But the thing is, the damage is already done. Jika kita menzalimi orang lain, bahkan walaupun tidak sengaja, harus bersifat ksatria meminta maaf. Akhirnya kami sepakat, kalau teman ini yang biasanya datang setiap hari - kemudian tidak datang lagi keesokan harinya gara-gara kejadian ini, maka kita sekeluarga akan berkunjung ke rumahnya, just to ask "how are you" di teras rumahnya (karena masa lockdown dan pandemi, jumlah tamu dibatasi satu orang saja). Tidak hanya itu, malam itu juga saya kirim pesan chat ke ibunya si anak itu, menanyakan kabarnya. Ibunya mengatakan bahwa anaknya bisa sangat sensitif kadang-kadang dan meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.
Ok, but we have to wait...
Keesokan harinya. Kami menunggu, jika sampai jam 2 siang anak ini tidak datang ke rumah, kami siap akan mengunjungi rumahnya. Tapi tiba-tiba bel berbunyi tepat pukul 1 siang. Anak itu datang kembali! Dengan wajah riang seperti biasa, seperti tak pernah ada masalah sebelumnya. Saya tanya tentang kejadian kemarin, dia malah yang minta maaf sambil berkata "I cannot control my emotion." Dalam hati saya kagum, dia yang disakiti tapi dia yang minta maaf. Dan Rumi pun kembali minta maaf.
Sekarang keduanya sudah main kembali seperti biasa. Hanya dibutuhkan waktu kurang dari 24 jam untuk berbaikan dan tidak marahan lagi. Kadang anak-anak bisa jadi lebih dewasa dibanding orang dewasa sekalipun terutama dalam menghadapi kasus marahan ...
*lesson learned

Saturday, January 23, 2021

 BELUM KENAL


Kalau kita kagum dengan seorang figur, biasanya segala berita tentang yang bersangkutan selalu tertarik untuk diikuti. Tidak hanya itu sebagian yang menyatakan dirinya sebagai fans tidak tanggung-tanggung membaca semua versi biografinya, menonton dokumenternya, tahu banyak detail hidupnya, bahkan sampai diikuti tinggalnya dimana, apa makanan favoritnya, apa kendaraannya, siapa pasangannya, siapa nama anak-anaknya dsb. 


Saking banyaknya informasi yang diserap, maka si fans seolah-olah sudah mengenal figur favorit tersebut. Padahal ketemu saja belum pernah. Tapi kala ditanya "Kamu kenal si A?" Secara emosional dia akan lugas menjawab, "Iya dong!" Padahal ada perbedaan cukup signifikan antara mengetahui dan mengenal.


Untuk benar-benar mengenal seseorang, khalifah Umar bin Khaththab memberikan tiga parameter yang patut diamati. 

1. "Apakah dia tetanggamu, yang mengetahui perilakumu siang dan malam?" 


Artinya yang benar mengenal kita adalah yang sehari-hari berinteraksi erat, bisa jadi orang itu adalah pasangan, orang tua, adik, kakak, dan orang yang hidup di satu atap.


2. "Apakah kau pernah berbisnis dengannya?"


Masalah uang itu hal yang bisa memicu konflik.  Kita bisa kenal kualitas seseorang dari tanggung jawabnya memegang amanah, kesadarannya untuk membayar utang dan memenuhi janji dan bisa terlihat apakah seseorang itung-itungan dan cenderung pelit atau tidak jika kita pernah punya pengalaman bermuamalah dengannya.


3. "Apakah kau pernah bersama dalam sebuah perjalanan (safar) dengannya?"


Sebuah perjalanan baik itu secara fisik atau menempuh sekian lama pasang surut kehidupan akan mengungkap kualitas seseorang seperti apa. Seseorang bisa saja tampak sabar dan baik jika di atas mimbar, sedang di depan kamera, atau sedang di lingkungan tertentu. Tapi coba lihat perilakunya saat menjalani keseharian. Ada orang bijak yang mengatakan bahwa jika ingin mengetahui karakter seseorang, tanya kepada orang-orang yang tampak lemah yang ada di sekitarnya. Tanya kepada pembantunya tentang perilaku si majikan. Tanya kepada seorang cleaning service atau supirnya jika ingin tahu perilaku si boss. Tanya kepada pramusaji di restauran yang dia biasa makan di sana. Tanyakan tentang bagaimana ia memerlakukan mereka semua. Apakah dengan santun atau sombong. Karena orang akan cenderung mengeluarkan sisi lain manakala berhadapan dengan orang yang dia pikir "lebih rendah" darinya.


My point is this. Kita cenderung cepat menyimpulkan sudah mengenal seseorang hanya karena kita banyak tahu tentang orang tersebut. Tapi selama kita belum pernah berinteraksi dekat dengan yang bersangkutan. Semuanya hanya dugaan semata yang belum tentu menggambarkan dengan akurat tentang jati diri orang tersebut. Alias kita sebenarnya belum kenal.


Nah, sekarang kalau ditanya. Apakah kita kenal Allah Sang Rabbul 'Alamiin? Pasti jawabannya cenderung ya. Karena sudah merasa shalat berpuluh tahun, tambah shaum tiap bulan Ramadhan plus shaum sunnah, dan umrah pun sudah berkali-kali. Al Quran pun ada beberapa versi di rumah. Belum lagu buku-buku agama yang memenuhi rak-rak buku. Kita mengaku ngefans banget sama Dia, sampai suka meneteskan air mata kalau sedang berdoa berjamaah dengan haru biru. 


Tapi dengan logika yang sama dengan si fans yang mengklaim mengenal idolanya. Jujur saja,  apakah kita benar-benar mengenal-Nya? Atau Dia sebenarnya masih hanya sekadar rangkaian imaji yang kita reka di benak kita tersusun dari sekian banyak informasi yang kita dapatkan sejak kecil. Meminjam pertanyaan-pertanyaan dari Umar bin Khaththab di atas. Apakah kita benar-benar banyak memiliki pengalaman keseharian dengan-Nya, atau Dia hanya sekadar sebuah obyek yang kita hadapkan selama beberapa menit dalam petak sajadah atau sesekali tempat kita meratap saat sedang membutuhkan sesuatu. Dan ya sambil meneteskan air mata. Namun kalau boleh jujur sebenarnya bukan air mata yang ditujukan untuk-Nya, tapi lebih karena kita sedih kehilangan sesuatu, sedih ingat orang yang dikasihi, sedih mengenang sebuah nostalgia lama, sedih khawatir masa depan, dan sekian banyak kesedihan yang sebenarnya tidak bekaitan dengan Dia secara langsung.

Tapi toh Dia dengan sabar mendengarkan. Dengan telaten merawat kita. Dan dengan murah hati menjawab dan mengabulkan sekian keinginan kita. Walaupun sekali lagi kalau boleh blak-blakan, Dia bukan obyek yang kita tuju. It's basically based on the love of ourself. A selfish love.


Untunglah Allah menurunkan figur-figur para nabi sebagai contoh orang-orang yang tidak hanya mengetahui Allah tapi juga mengenal-Nya agar bisa kita tiru. Mereka adalah orang yang bertetangga dekat dengan Allah. Setiap saat selalu dalam dzikir, bagi mereka istilah "Allah lebih dekat dari urat nadi" bukan sekadar jargon, tapi mereka hidup dengan itu. Karenanya seorang Zakariya as yang berdoa puluhan tahun memohon dikaruniai keturunan bisa melontarkan sebuah ungkapan yang diabadikan dalam Al Quran, "Aku tidakbpernah kecewa berdoa kepada-Mu" Bagi orang yang "bertetangga dekat" dengan Allah tujuan dari berdoa adalah agar semakin dekat kepada-Nya, terlepas doa itu dikabulkan atau tidak. Karena mmia menjadikan sebuah kebutuhan atau permintaan sebagai sarana saja untuk bisa bermunajat kepada-Nya.


Para Nabi juga adalah orang yang sering berniaga dengan Allah. Dan Dia Maha memegang janji, karenanya keteguhan imannya demikian kuat. Seperti nabi Ibrahim yang walaupun sudah dikepung oleh bara api yang akan melumat habis tubuhnya tetap tenang dan menolak bantuan malaikat Jibril as - karena yakin Tuhannya akan menolong. Dan benar, Allah kemudian membuat jilatan api tidak terasa panas untuk Ibrahim as.


Kemudian betapa kita selalu terkesan atas kesabaran seorang Ayyub as yang menanggung sebuah perjalanan diruntuhkan hidupnya bersama Allah, akan tetapi sesuatu yang baru dibangun di atas reruntuhan itu. Bahwa apa-apa yang hilang akan selalu diganti dengan yang lebih baik.


Sekarang, bagaimana dengan kita?

Apakah pernah bertetangga dekat dengan-Nya? Bermuamalah langsung dengan-Nya? Menempuh sebuah takdir-Nya bersama? Dimana posisi Dia di hati selama ini? 


Akhirnya kita akan melihat bahwa semua ujian yang pernah menyakiti, sebuah episode kegagalan, sebuah keterpurukan, sebuah kerugian, bahkan sebuah tragedi sekalipun bukan sekadar "kesialan" dalam hidup, tapi itu sebuah sapaan dari-Nya yang ingin memperkenalkan Diri kepada kita. Karena tanpa pelucutan obyek-obyek tempat kita bersandar dan bertumpu itu, Dia tidak pernah dikenali.


Artinya kefakiran, kesempitan, ketidakpastian adalah hidup itu sebuah keniscayaan sebagai jembatan untuk mengenal-Nya. Yang dengan itu kita jadi punya pengalaman tidak meminta kepada siapapun tapi kok ada yang mendengarkan jeritan hati kita, merasakan pernah disembuhkan oleh-Nya ketika semua dokter sudah angkat tangan, pernah tiba-tiba diselamatkan saat secara logika itu tidak mungkin. Di saat-saat itulah kita menjadi lebih mengenal-Nya Sang Rabbul 'alamiin. Yang selama ini memelihara kita. Dan itu dijalin di setiap waktu, hingga datang saatnya kita beralih ke alam barzakh kita baru bisa menjawab pertanyaan pertama yang pasti akan kita hadapi nanti, "Man Rabbuka?" (Siapakah Tuhanmu)? Dan hanya mereka yang sudah mengenal-Nyalah yang bisa menjawab pertanyaan itu...





Tuesday, January 19, 2021

 

DUA PENJUAL BUAH

Ada dua orang penjual buah yang menjual variasi dagangan yang persis sama. Lapak mereka pun terletak tidak jauh satu sama lain. Walaupun sekilas satu sama lain seperti kompetitor, pada praktiknya mereka justru saling membantu. Mereka paham betul rezeki tidak akan  kemana, masing-masing sudah ada pelanggannya sendiri-sendiri hingga tak perlu berebutan atau saling mendengki.

Puluhan tahun sudah berlalu, kedua penjual buah ini masih mencari nafkah berdampingan. Tak banyak yang berubah dari jualan mereka yang itu-itu saja. Satu-satunya mungkin yang nampak berbeda adalah bertambahnya keriput di kulit mereka dan rambut mereka yang makin memutih.

Ini adalah realita kehidupan yang ditampakkan oleh dua penjual buah. Bahwa rezeki itu ada yang mengatur. Walaupun berdampingan, tak perlu merasa tersaingi atau terancam berkurang rezekinya. Berpuluh tahun sudah mereka membuktikannya. Rezeki di tangan Tuhan itu sudah bukan jargon semata baginya, mereka sudah mengalaminya sehari-hari.

Sedangkan kita?

Mana yang kita lebih yakini, rezeki yang ada di tangan Allah, atau yang ada di tangan para pemilik perusahaan tempat kita bekerja?

Mana yang lebih kita harapkan, rezeki yang dipersiapkan oleh Allah atau bisnis kita yang kita harap-harapkan labanya?

Mana yang lebih menjadi sandaran kita, jumlah saldo yang ada di rekening kita atau jaminan hayathan thayyiba yang Allah janjikan kepada mereka yang bertaqwa?

Di titik ini kita mesti betul-betul meneropong hati masing-masing. Jangan-jangan kita kalah tawakal dibanding kedua penjual buah itu.[]

Sunday, January 17, 2021

 MENTOK


Biasanya hantu dalam berkomunikasi adalah kalau terjadi deadlock alias mentok. Dimana kedua belah pihak bersikeras pada posisinya masing-masing dan menyisakan lembah yang menganga diantara mereka.


Hal ini bisa terjadi dalam semua relationship, dalam pernikahan, hubungan antara anak dan orang tua, hubungan antara sesama rekan kerja, hubungan antara anggota keluarga dll. Di setiap interaksi dengan sesama manusia selalu akan ada risiko terjadinya hal ini. 


Dulu, kalau saya menghadapi deadlock atau gridlock seperti ini responnya adalah menghindarinya. Put it under the rug, and pretend it didn't happend. Tapi ternyata itu bukan strategi yang baik terutama jika kita berhadapan dengan mereka yang berinteraksi erat dan tak terpisahkan dalam kehidupan seperti anak, pasangan atau anggota keluarga.


Ternyata ada teknik untuk mengatasi hal ini. Sesuatu yang dibangun dalam komunikasi. Pertama, kita mesti paham bahwa setiap manusia punya kebutuhan yang dalam yang kerap kali terpendam dan yang bersangkutan tidak menyadarinya. There is a big difference between NEED and REAL NEED. 


Contoh, ada seorang suami yang sukanya makan di restoran setiap akhir pekan sedangkan istrinya malah suka memasak untuk keluarga dan berkeberatan kalau sekeluarga harus mengeluarkan sejumlah waktu dan uang tertentu untuk makan di restoran. Untuk sekian lama, hal tentang isu ini menjadi bara yang meletupkan percekcokan dalam pernikahan mereka karena sering mentok saat membincangkannya. Sampai akhirnya mereka bicara dari hati ke hati dan akhirnya terungkaplah bahwa asal muasal kesukaan suami makan di restoran adalah karena dulu itu adalah tradisi keluarganya. Ia merasa ingin mendapat akses ke momen-momen bahagia bersama keluarga. Jadi disitu nampak REAL NEED sang suami bukan makan di restoran sebenarnya tapi lebih kepada kebutuhan untuk berkumpul bersama keluarga dalam suasanya yang menyenangkan. Begitu istri dan suami berhasip mengidentifikasi hal ini maka keduanya bisa memformulasikan kegiatan akhir pekan yang bisa membuat keduanya senang. Deadlock pun teratasi.


Kemampuan untuk jujur dan mengidentifikasi kebutuhan kita yang sebenarnya (REAL NEED) lalu kemudian mengkomunikasikannya dengan baik akan menjadi jembatan ketika komunikasi terasa mentok. Khusus dalam hubungan suami istri, komunikasi ini adalah inti dari terciptanya rumah tangga yang damai. Seorang ulama menafsirkan hadits Rasulullah Saw tentang anjuran menikahi perempuan yang subur adalah tentang mencari pasangan yang komunikasinya mengalir antara keduanya. Jadi bukan hanya diartikan tidak bisa melahirkan anak dalam bentuk fisik, karena itu sudah ada takdirnya.


Jadi, jika berhadapan dengan situasi yang dirasa mentok jangan dulu menyerah dan mengambil kesimpulan gegabah bahwa ini sudah akhir dari segalanya. Cobalah untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda dan selami hati diri sendiri maupun orang lain dan lihatlah betapa besar konstruksi dasar dari sekadar gunung es yang timbul di permukaan itu.

Saturday, January 16, 2021

 Ada tiga macam gerak kebebasan.


Rata-rata orang ingin BEBAS DARI apapun yang menjeratnya saat ini yang membuatnya tidak nyaman. Misal, bebas dari utang, bebas dari pernikahan yang tidak bahagia, bebas dari tugas, bebas dari kesempitan dll.


Kutub lainnya adala orang yang berpikir BEBAS UNTUK melakukan atau mendapatkan apapun yang diinginkannya. Biasanya berkaitan dengan kebebasan jenis pertama. Karena adalah natur pikiran untuk berpikir hitam-putih atau problem-solution. Walaupun belum tentu apa yang dipikirkannya itu benar, karena kesalahan logika atau cara berpikir misalnya. Maka seiring dengan munculnya keinginan untuk BEBAS DARI biasanya pikiran akan otomatis bekerja untuk menyediakan alternatif pilihan. Misalnya, bebas untuk membeli apapun yang dimau dalam arti kebebasan finansial, bebas untuk menikah dengan seseorang yang menurut syahwat kita lebih cocok, bebas untuk tidak melulu mengerjakan tugas, bebas untuk melangkah kemanapun yang dia inginkan dst.


Dua jenis kebebasan di atas berhubungan satu sama lain dan punya satu warna khas yang sama. Yaitu apapun bentuk kebebasan yang keduanya tuju, pasti tidak berkaitan dengan apapun yang tengah Allah takdirkan atau bentangkan dalam ruang kehidupan kita per saat ini. So, it’s a mind game. Sebuah kebebasan angan-angan yang tak menjejak.


Ada jenis kebebasan ketiga yang tak memerlukan syarat keluar dari situasi atau keadaan tertentu ataupun tidak memerlukan pencapaian ini-itu. Itu adalah jenis BEBAS SEKARANG JUGA, apa adanya dinikmati. Inilah yang dimaksud dengan bersyukur. Sebuah kata yang sering kita ucapkan tapi bahkan untuk mulai memahami bahwa tidak ada satu penggal pun dalam kehidupan kita yang sia-sia, ihwal kebersyukuran ini dipasangkan dalam doa ketika seseorang memasuki usia 40 tahun:


“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15)


Sekarang, terserah kita. Mau mengantungkan kemerdekaan pada faktor-faktor di luar diri yang jauh dari jangkauan. Atau memerdekakan hati dengan ikhlas menjalani kehidupan ini apa adanya dan selalu melihat hal positif bahkan dalam nestapa sekelam apapun, kehidupan sesempit apapun atau takdir sepanas apapun yang tengah kita pijak. Dengan sebuah kesadaran yang dalam bahwa semua yang Allah berikan pasti mengandung kebaikan di dalamnya. Tinggal sabar menunggu saat kita memahaminya. Insya Allah🙏

Friday, January 15, 2021

 SALFOK (Salah Fokus)


Selama ini mungkin kita menganggap pernikahan kita adalah semata-mata tentang meraih kebahagiaan dan keharmonisan sebagai suami istri.

Selama ini mungkin kita menganggap bahwa kesuksesan karir kita diukur dari jenjang promosi yang kita capai atau besaran gaji yang kita terima.

Selama ini kita membayangkan keberhasilan kita mendidik anak adalah ketika mereka shalih, pinter, dan berprestasi.

Tapi ternyata kehidupan selalu punya cara agar kita berpikir ulang tentang nilai hakiki dari semua fenomena. Karena jika hanya diukur dari sebuah kebersamaan dan romantisme semata, tentu pernikahan seorang yang mulia seperti Ibrahim as dan Siti Hajar akan dipandang sebagai sebuah tragedi. Bagaimana seorang suami meninggalkan istri dan anaknya yang baru lahir di tengah lembah yang kering. Sejarah yang kemudian membuktikan bahwa tanpa itu seorang Ismail tidak akan tumbuh menjadi seorang nabi dan seorang Siti Hajar tidak melejit kemuliaan akhlaknya. Dan barangkali tanpa peristiwa itu Ka'bah pun tak ada ceritanya.

Kalau kita memandang kesuksesan hanya dari pencapaian nominal maka seorang mulia seperti Nuh as bisa dipandang gagal total karena beliau berdakwah 950 tahun lamanya dan 'hanya' bisa meraih 80-an orang. Adalah Sang Waktu yang kemudian menunjukkan bahwa rentang sekian tahun itu adalah lamanya tumbuh benih pohon yang sangat kuat yang menjadi bahan baku untuk sebuah bahtera yang bisa menyelamatkan manusia-manusia pilihan dan beberapa hewan yang Allah tunjuki untuk me-reset ulang kehidupan di bumi setelah terjadi kerusakan yang luar biasa.

Lalu jika kita memandang kesuksesan dalam merawat dan mendidik anak hanya dilihat secara superfisial maka sekali lagi Nuh as yang mulia itu bisa-bisa dianggap 'gagal' mendidik anak karena salah satu anaknya Allah larang untuk diselamatkan dari bencana banjir besar.

So what is the real game here?
Sepertinya kita harus sadar bahwa fokusnya kehidupan itu bukan semata tentang kita, bukan semata tentang mencari kebahagiaan pribadi atau bahkan berpusat pada keinginan mendapatkan kenyamanan di dunia. All that is a recipe for disaster. Mungkin itu juga penyebab kita kurang bahagia selama ini, penyebab kita bermuram durja menjalani takdir-Nya, penyebab hati berkeluh kesah menjalani keseharian. Karena fokus kita bukan kepada Dia, alias kurang ikhlas.

Thursday, January 14, 2021

 UNLOCKING THE TREASURE IN YOU


Kalau dalam film-film petualangan mencari harta karun, biasanya tempat penyimpanan harta karun itu disembunyikan bahkan dihalangi oleh berbagai rintangan yang tidak mudah melaluinya. Tidak jarang para pencari harta karun harus kehilangan nyawa dalam perjalanan untuk meraihnya. Kalaupun seseorang berhasil sampai di gerbang gua penyimpanan harta karun, biasanya ia masih harus memecahkan sebuah teka-teki, mirip dengan breaking a password di zaman komputer sekarang.

Kita semua punya khazanah harta karunnya masing-masing yang menanti untuk dibuka. Itulah sumber kebahagiaan yang tak habis-habisnya lahir dan batin. Hanya memang mendapatkannya tidak mudah, perlu melalui berbagai cobaan dan rintangan. Itu adalah sebuah proses purifikasi agar hati tersucikan dari motif-motif rendah kepada selain-Nya. Karenanya tidak sedikit yang mengurungkan niat untuk terus mengejarnya dan settle for less. Untuk sementara waktu strategi ini bisa saja dijalankan, tapi tidak akan lama. Karena panggilan jiwa akan terus menarik kita untuk mendapatkan harta karun di dalam diri yang Allah siapkan. Maklum, jiwa sudah kadung mengenal siapa Rabb di alam Alastu dulu (lihat surat Al A'raaf [7]: 172) dan akan selalu mencari Dia Yang Maha Tinggi dibanding apa-apa yang segenap alam tawarkan.

Seperti halnya proses membuka pintu gua yang berisi harta karun. Seseorang mesti memiliki pengetahuan kode yang pas untuk itu. Hanya dengan kode spesifik itulah pintu gua sebesar itu akan terbuka dengan sendirinya. Dalam kehidupan, Allah juga mudah saja menggerakkan semesta di sekeliling kita dengan ajaib. Semua dinamika yang melingkupi kita seperti pekerjaan, nafkah, sekolah, anak-anak, rumah tangga, orang tua, mertua dan apapun yang biasanya menjadi sumber persoalan dan biang keruwetan hidup tak lain hanya makhluk-makhluk yang sepenuhnya dalam kendali-Nya.

Maka benarlah sudah kunci dari Rasulullah Saw tentang cara cerdas menyikapi kehidupan dan keluar dari kemelut dan kesulitan yang rasanya tak berhenti mendera. Yaitu dengan memperbaiki hubungan kita dengan Allah maka Allah akan memperbaiki dunia kita lewat jalan yang tak terduga dan sangat indah. Namun adalah keraguan kita dengan janji-Nya yang justru sering menghalangi keajaiban itu terjadi dalam hidup kita. Padahal cara menerobos seluruh rintangan dan membuka harta karun dalam diri kita bagi Dia hanya sekadar "Kun! Fayakun". If only we really have faith.

Tuesday, January 12, 2021

 "...Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya..." QS Al Hajj: 40


Kok Allah ditolong? Bukankah Dia Maha Kuasa?


Ini lagi-lagi gaya bahasa yang Dia merendahkan diri-Nya. Tentu Allah tidak perlu ditolong. Justru disini poinnya adalah Allah sangat ingin menolong hamba-hamba-Nya. Kita yang dalam kemelut rumah tangga, kita yang pusing dengan urusan keuangan, kita yang tegang terus di pekerjaan, kita yang masih kebingungan mencari jalan keluar, kita yang direpotkan dengan kelakuan anak-anak, kita yang dizalimi, dsb. Allah  ingin menolong, tapi caranya keluarkan segenap potensi yang Dia berikan dengan cara menolong-Nya.


Lantas bagaimana caranya?

Semua dimulai dari niat. Niatkan dalam hati sejak saat ini juga dawamkan, "Ya Allah aku ingin menolong agamamu." Lalu mulai lihat ke sekitar, lihat ke diri sendiri. Semua hal yang dimudahkan bagi kita, hal-hal yang ada dalam jangkauan kita maka kerjakanlah dengan niat menolong agama Allah.


Menolong agama Allah itu sahabat tak melulu berwujud hal yang bombastis dan bersifat utopia dan jauh. Apapun yang ada di tempat kita berpijak bisa dijadikan sarana menolong agama Allah. Seorang ibu yang ikhlas merawat anaknya, seorang istri yang ikhlas merawat rumah tangga, seorang suami yang ikhlas berpeluh mencari nafkah, seorang anak yang ikhlas mengurus orang tuanya, seorang tetangga yang ikhlas membantu tetangga lain, seorang pekerja yang ikhlas mengerjakan tugasnya tanpa perlu mendapat pujian dari atasan. Semua hal jika dikerjakan dengan baik dan ikhlas akan berdampak kepada sebuah perahmatan di alamnya masing-masing.


Bukankah kita diutus untuk menjadi rahmatan lil 'alamiin? Dimulai dari merahmati radius yang terdekat di alam mulkiyah ini. Dan itu hanya bisa jika hati kita sudah terahmati dengan mengawali dari niat yang baik.


Coba terapkan ayat ini dalam keseharian dan jadilah saksi bahwa Dia sungguh cepat dalam memberi ganjaran.😍


(Kajian Suluk Online)

Monday, January 11, 2021

 JUMP INTO CONCLUSIONS


Salah satu kesalahan fatal dalam kita merespon kehidupan adalah ketika kita terlalu cepat mengambil kesimpulan. Udah gitu salah lagi kesimpulannya🤦‍♀️


Contoh. Seseorang tidak dimasukkan dalam keanggotaan tim untuk membuat proyek tertentu. Egonya tersentil, dia merasa kompeten untuk berkontribusi di proyek tersebut tapi bahkan tidak diajak masuk ke tim itu. 


Ada dua macam respon yang mungkin diberikan. Respon pertama adalah mutung, karena merasa tidak dilibatkan maka dia membuat jarak jauh-jauh dari grup itu. Padahal dia tahu dirinya punya hal-hal yang bisa disumbangkan.

Respon kedua adalah be a team player. Tetap berkontribusi walaupun namanya tidak dicantumkan resmi dalam jajaran tim. Ini justru media yang kondusif untuk melatih menumbuhkan keikhlasan dalam hati. Karena kalau ikhlas, tak peduli namanya dicantumkan atau tidak, dia diakui atau tidak, ya jalan terus saja. Karena dia hanya bertransaksi dengan Allah Ta'ala. Dia berkontribusi karena ingin mendapat rahmat Allah, hal-hal lain hanya sampingan yang ga penting.


Kalau kita lihat in slow motion. Ada tahapan sebelum orang merespon sebuah fenomena yaitu karena ia sudah lebih dulu menarik sebuah kesimpulan tertentu dalam benaknya.


 Dalam kasus di atas misalkan kesimpulan yang muncul bisa beberapa alternatif, mulai dari kesimpulan yang negatif seperti suara-suara dalam diri yang berkata: "aku ngga dianggap, aku tidak kompeten, aku disepelekan, dll" atau kesimpulan positif seperti, "salut untuk kawan-kawan, apa yang bisa saya kontribusikan ya? What can i do? Dsb" Mau ambil kesimpulan yang mana itu terserah kita sebenarnya. Tapi di titik itu, kita menjadi belajar dan meneropong ke dalam diri ihwal suara-suara hawa nafsu dalam diri. Sekuat apa dia. Karena hawa nafsu ini yang biasanya tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Dan dalam Al Quran dikatakan hawa nafsu itu cenderung menyesatkan, artinya kesimpulan yang dipimpin oleh hawa nafsu kemungkinan besar salah.


Ini memang hal yang halus. Tapi medan latihannya terpapar dalam keseharian kita. Coba saja amati bagaimana respon dalam diri kita saat membaca kabar tertentu, pesan online tertentu, bertemu dengan orang tertentu, menghadapi tingkah polah anak, orang tua, pasangan dll. Satu poin yang saya pelajari adalah kita hidup dalam aliran waktu. Jadi untuk mengambil sebuah kesimpulan besar seperti "dia tidak peduli sama aku, dia tidak sayang sama aku, dia menelantarkanku, pernikahan ini tak bisa dipertahankan lagi, pekerjaan ini menyebalkan, anak ini kurang ajar sekali..." itu biasanya tipikal kesimpulan-kesimpulan yang digerakkan oleh hawa nafsu. Jadi, berhati-hatilah. 


"Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat."  (QS Al Baqarag:45)

Saturday, January 9, 2021

 KUDA YANG BELUM PAHAM


Semalam nonton film dokumenter yang menggambarkan kehidupan seseorang di daerah Mongolia yang berprofesi sebagai "dokter hewan". Bapak ini tentu tak punya ijazah dari kedokteran hewan, tapi pengetahuan dan keahliannya dia dapatkan turun temurun dan dari pengalaman. Kuda adalah salah satu hewan yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Mongolia, terutama yang masih tinggal di padang-padang rumput yang luas.


Suatu hari ada orang yang membawa kudanya yang terluka cukup parah. Ada sobekan besar di kaki kiri belakangnya akibat si kuda terjerat kawat berduri. "Sang dokter" memutuskan bahwa luka sebesar itu harus dijahit. Tapi bagaimana menjahit kaki kuda agar dia bisa tenang? Nah itu tantangan besar, karena kuda tidak paham kalau hanya dikatakan "tenang ya, tahan sedikit sakitnya" lalu hanya diberi anestesi lokal. 


Lalu apa yang dilakukan? Sang dokter dibantu tiga orang lainnya membaringkan si kuda dengan teknik tertentu, mirip-mirip dengan mengeluarkan jurus shaolin dengan menggunakan tali temali. Karena sekali lagi, si kuda tidak bisa hanya sekadar dibilang "silakan berbaring ya..." it doesn't work that way.


Si kuda meronta-ronta di awal. Maka dibutuhkan empat orang untuk memegangnya. Satu orang naik ke atas tubuhnya, dua orang memegang tali dan sang dokter mengambil posisi bagian dekat leher untuk membuat saluran infus yang dicampur dengan obat bius sehingga si kuda tertidur.


Setelah tak berapa lama luka yang menganga yang berada di kaki si kuda sudah ditutup dan rapi dilapis dengan balutan kain perban. Kuda pun dibangunkan dengan cara kepala dan lehernya disiram air. Awalnya si kuda sempoyongan, tapi lama kelamaan dia bisa berjalan dengan lebih baik dengan keadaan luka yang telah ditutup dan dicegah agar tidak terjadi infeksi yang bisa mengakibatkan kematian.


Entahlah menonton tayangan itu saya jadi melihat diri sendiri. "Si kuda" diri yang berupa jasad ini, sang kendaraan bagi si jiwa yang kerap kali berontak saat Sang Dokter hendak menyembuhkan. Melihat ketidakpahaman diri saat meronta-ronta menjalani tahap demi tahap takdir kehidupan yang sebetulnya menyehatkan. Karena tak paham akan segenap khasiat yang terkandung di dalamnya.


Saya membayangkan ketika ditarik secara paksa untuk dibaringkan tentu si kuda merasa terancam dan sangat tidak nyaman. Dia tidak paham bahwa itu adalah bagian dari proses yang perlu agar dia pulih.


Dalam hidup, Allah suka menghadirkan hal-hal atau fenomena yang membuat kita jatuh, terkapar dan tak berdaya. Sesuatu yang tidak nyaman buat diri. Tapi itu adalah sesuatu yang diperlukan agar diri kita sembuh dari sekian banyak penyakit-penyakit dalam diri yang menorehkan luka menganga di hati. Agar jalan kita ajeg dan laju kembali dalam mendekat kepada-Nya. Wallahu'alam