Friday, May 24, 2013

Kebanyakan Manusia Gagal Mencari Allah Ta'ala

Terlahir dalam alam yang merupakan ujung terjauh dari 'selendang-Nya', manusia kerap terperangkap dalam bentuk-bentuk dunia ini. Entah dia seorang milyuner atau seorang tukang sampah sekalipun sering ia lupa kepada siapa yang memberikan qadha (ketetapan) itu kepadanya. Bahwa Dia menetapkan ada yang rezekinya banyak, sedang dan sedikit di dunia ini. Allah Ta'ala menetapkan amal-amal manusia sebagai sesuatu yang mengikat dalam kehidupannya dan ia tidak bisa lari dari ketetapannya itu, adapun hati manusia maka Allah Ta'ala bebaskan, ada hati yang bersukur dan hati yang mengingkari-Nya.

Maka nilai seorang manusia terletak pada kebeningan hatinya masing-masing, sejauh mana hatinya mencari Allah Ta'ala. Seorang Sulaiman yang kaya raya menjadi hamba kesayangan-Nya karena hatinya mencari Sang Kekasih, sama derajatnya seperti seorang waliyullah yang berprofesi sebagai tukang tikar biasa. Allah hanya melihat hati manusia, bukan pernak-pernik dunia yang ia miliki yang sebenarnya semua datang dan ditetapkan oleh-Nya.

Sebetulnya pada apapun yang Allah berikan, besar atau kecil di mata manusia, selalu ada kemuliaan di dalamnya. Takdir kehidupan yang mengalirkan kita ke tempat dimana kita sekarang berada adalah bersifat suci dan mensucikan karena semua datang dari tangan-Nya. Sadarilah bahwa hidup kita dinaungi oleh kemuliaan-Nya, jangan terpaku oleh bentul-bentuk lahiriah dan fenomena semata, agar kita menjadi hamba-Nya yang bersyukur atas apapun yang Ia berikan.

Syukur memang kata yang singkat namun tidak mudah dilakukan dalam kehidupan, butuh kesabaran untuk bisa berkompromi dengan ketetapan-Nya sementara dalam benak kita dipenuhi oleh seribu satu keinginan dan harapan. Untuk sekedar menerima dengan baik penggal kehidupan kita yang telah lewat atau yang sedang dilakoni pun butuh rahmat-Nya. Memang kebanyakan manusia tidak mensyukuri dirinya dan gagal mencari Allah Ta'ala.



(Sajian ulang dari Pengajian Hikmah Al Qur'an yang disampaikan Kang Zamzam AJT, 26 November 2005)

Monday, May 13, 2013

Hati-hati Menginginkan Sesuatu

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal." 
(QS Thahaa [20]; 131)

Orang mukmin adalah orang yang sangat menjaga etika terhadap Penciptanya. Tidak hanya perbuatan dijaga betul dari hal-hal yang Dia tidak ridhai akan tetapi juga setiap goresan di hati dan lintasan di pikiran dipantaunya secara hati-hati.

Ayat di atas merupakan larangan dari Allah Ta'ala untuk menghadapkan kedua mata ke sebuah perhiasan dunia yang dianugerahkan kepada sebagian orang. Misalnya melihat mobil mewah dan indah lantas hati kita tertarik, melihat rumah megah beserta kolam renang lantas membuat imajinasi kita melayang membayangkan enaknya jika memiliki segala fasilitas yang diidamkan.

Bukan berarti orang tidak boleh memiliki perhiasan dunia dan menjadi kaya, tapi lebih kepada membangun kesadaran bahwa masing-masing manusia sudah Allah kadarkan rezekinya di dunia ini dan manusia seringkali memicingkan mata terhadap apa yang Allah berikan ke genggaman tangannya per hari ini, kerap kali berangan-angan ini dan itu dengan sikap kurang mensyukuri apa yang ada. Kalau itu yang terjadi, maka kita sudah berlaku tidak sopan terhadap Allah Ta'ala dan menganggap remeh kepada pembagian rezeki yang telah dikadar dalam timbangan keadilan-Nya .

Sesungguhnya pintu kita ada dalam dunia kita masing-masing, pada pekerjaan yang per hari ini Allah berikan, pada pasangan yang saat ini Allah takdirkan dan segala hal yang Allah karuniakan. Cukuplah kiranya kita menghadapkan pandangan  kita kepada apa yang Allah rezekikan kepada diri masing-masing daripada berkubang dalam keinginan ini dan itu hingga membuat kita kufur nikmat. Na'udzubillah...

(Disajikan ulang dari rekaman pengajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 19 November 2005)

Amsterdam, 13 Mei 2013
3.10 pm

Membawa Benda Dunia Ke Akhirat

Perhatikan semua benda yang Allah berikan kepada kita, mulai dari pakaian yang menempel, pernak-pernik rumah tangga, kendaraan, gadget dan apapun yang ada dalam genggaman kita per hari ini.
Sesungguhnya di antara benda-benda itu ada yang benda yang membawa kebaikan bagi pemiliknya, ada yang membawa kemalangan di dunia atau ketika dihisab di akhirat kelak.

Seorang  yang cerdas akan senantiasa menggunakan apapun yang Allah berikan dalam genggamannya sebesar-besarnya untuk beramal saleh, sehingga tidak ada satu benda pun yang mubazir, bahkan diri dan waktunya dia hitung betul agar mendatangkan manfaat dan kebaikan.

Maka mulailah menghisab diri sendiri sebelum dihisab di hari akhir yang sangat teliti perhitungannya, sadarilah bahwa apapun yang kita miliki walau itu sekedar vas bunga yang tergeletak di sudut rumah atau barang yang bahkan kita lupa memilikinya dan tertimbun di gudang, semuanya akan diminta pertanggungjawabanny, dari mana kita dapatkan, untuk apa kita gunakan.

Setiap barang yang kita gunakan dalam kebaikan akan bersaksi kelak di suatu hari dimana semua benda termasuk tubuh kita akan diberi kekuatan untuk berkata-kata. Jikalau itu terjadi, semoga mereka semua memberikan kesaksian yang baik kepada kita. Aamiin ya Rabb...

(Disajikan ulang dari pengajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 19 November 2005)

Amsterdam, 13 Mei 2013
1.58 pm

Thursday, May 9, 2013

Shalat Membuat Tidak Produktif ?

Shalat adalah bentuk dzikir yang khusus yang tata caranya dicontohkan oleh Rasulullah saw berdasarkan tuntunan Allah Ta'ala. Betul bahwa esensi shalat adalah dzikir, akan tetapi meninggalkan tata cara shalat dengan alasan hanya ingin mengambil esensinya dan tidak melaksanakan seperti yang Rasulullah contohkan juga sama dengan memasuki rumah tidak dari pintunya, bukan suatu etika yang baik kepada Yang Maha Kuasa, karena Rasulullah saw berkata 'jika engkau ingin dicintai Allah, maka ikutilah aku'.

Semestinya saat shalat adalah momen dimana kita tunaikan sebaik-baiknya hak Allah menyadari betapa seringnya kita lalai mengingatnya di luar waktu shalat, akan tetapi yang terjadi saat shalat pun kerap kali pikiran kita masih didominasi dengan urusan pekerjaan, rumah tangga, mencari rezeki dan beragam pernak-pernik urusan hidup kita lainnya, maka yang terjadi adalah shalat malah menambah jauh jarak kita dengan Allah. Ketika shalat tidak dimaknai dengan benar, maka wajar bila sebagian orang menganggap saat yang diluangkan untuk shalat adalah sahalat yang 'mengganggu' produktifitas kerjanya. Gaung suara adzan yang memanggil hamba-Nya yang beriman untuk menghadapkan hati dan segenap raga bisa terdengar sumbang dan mengganggu. Yang penting kerja! Begitu kata pikiran yang sibuk dengan dunia.

Padahal Allah menjamin semua urusan kita, dan apabila kita memenuhi hak Nya pada saat shalat maka percayalah bahwa Allah akan membereskan semua urusan kita bahkan yang tidak kita pikirkan sekalipun. Tentang hal ini Rasulullah saw pun bersabda "Kalau kita ingin diperbaiki hubungan dengan manusia, maka perbaiki dulu hubungan dengan Allah". Saat shalat itulah kita menyerahkan segenap urusan yang banyak itu di tangan-Nya Yang Maha Kuasa dengan hati yang penuh pengharapan agar kiranya Dia yang menguruskan bagi kita, dan Dia akan menguruskan dengan suatu kemudahan yang tidak pernah kita duga.

(Sajian ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 12 November 2005)

Amsterdam, 9 Mei 2013
9.35 am

Tuesday, May 7, 2013

Kekafiran Dalam Diri

"Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran..." (Al Qur'an [49]: 7)


Pertama kali perhatikan apakah ada benih-benih kekafiran dalam diri kita sebelum menunjuk orang lain. Karena setiap orang akan bertanggung jawab masing-masing di hadapan Sang Pemilik Semesta.

Hati yang masih mengeluh, kurang bersyukur, prasangka buruk kepada Allah dan tidak menerima dengan baik ketetapan yang Dia berikan sesungguhnya merupakan benih-benih kekafiran dalam diri. Kekafiran dalam arti ketertutupan dari cahaya kasih-Nya sehingga ia kesulitan memandang kebaikan dalam fase-fase kehidupan adalah tirai besar yang menghalangi seorang hamba untuk bisa bersyukur kepada-Nya.

Orang beriman akan sangat benci untuk mengutuk kehidupan, mengeluh pada keadaan, dan menyimpan prasangka buruk dalam hati. Semua itu adalah bentuk-bentuk kekafiran dalam diri. Astaghfirullah...

(Disajikan ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 12 November 2005)

Mensyukuri Takdir Baik Maupun Buruk

Orang yang dikategorikan hamba-Nya yang berdzikir adalah mereka yang dzikirnya sudah menyatu dalam diri sehingga menjadi kepribadiannya. Dengan demikian hamba yang berdzikir 'alhamdulillah' dengan sebenar-benarnya adalah dia yang sudah menyatu kebersyukuran dalam dirinya sehingga membentuk karakter kebersyukuran. Dzikir di lisan adalah baik sebagai latihan awal dan juga doa agar Allah senantiasa melimpahkan hati yang bersyukur.

Apabila sang hamba sudah diberi hati yang bersyukur, maka segala kejadian yang terjadi, hitam-putih, baik-buruk, untung-rugi, sedih-gembira diresponnya senantiasa dengan 'alhamdulillah'.
Dalam kenyataannya kita memang lebih mudah berucap 'alhamdulillah' saat mendapat keberuntungan misalnya dibandingkan saat kehilangan sesuatu. Bayangkan ada orang yang sadar mobilnya hilang dan kemudian respon pertamanya 'alhamdulillah!' dengan kesadaran semua kejadian tidak lepas dari kehendak-Nya, tidak mudah bukan?

Membiasakan diri meringankan hati mengikuti setiap gerakan kehidupan yang digerakkan dengan karsa-Nya akan lebih membawa kebahagiaan dalam hidup. Alhamdulillah...

(Disajikan ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 12 November 2005)

Tukang Bubur dan Pak Ustadz

Syahdan di bumi hiduplah berdampingan tukang bubur yang sederhana dan tetangganya pak ustadz yang dikenal kesholehannya sekampung. Suatu ketika tibalah kematian menjemput mereka dan masing-masing berdiri di pengadilan yaumil akhir. Saat dinampakkan amal-amal dalam timbangan amal terpanalah keduanya karena cahaya yang keluar dari amalan saat dunia tukang bubur yang nampak biasa saja itu sangat cemerlang melebihi amalan sang ustadz yang ibadahnya nampak lebih tekun dan banyak melakukan kebaikan terhadap sesama.

Bertanyalah sang ustadz, "Wahai Allah, hamba telah beribadah kepada-Mu siang dan malam, kulewatkan malam-malam dalam berjaga di hadiratmu dan hamba telah berkorban banyak untuk mengajari hamba-hambaMu dan mengajak mereka dalam kebenaran. Maka mengapakah amalan hamba nampak kecil dibanding tetangga hamba yang ibadahnya tampak biasa saja?"

Allah Ta'ala kemudian menjawab, "Wahai hamba-Ku, ketahuilah bahwa Aku menghargai semua jerih payah yang kau lakukan, adapun amalan tetanggamu sang tukang bubur yang nampak berkilau adalah karena hatinya yang bersyukur dan menerima dengan lapang apapun yang Aku berikan kepadanya. Dijalani kehidupan apa adanya dengan hati yang ikhlas dan tidak pernah mengeluh atau berandai-andai ingin ini dan itu. Sedangkan engkau kerap menginginkan ini dan itu, memang tidak berwujud kekayaan dunia yang engkau sangat menjauhinya, tapi pangkat kesholehan yang engkau kejar dan kenikmatan mendapatkan penghormatan dari manusia adalah penghalang besar di hatimu dari mendapat nikmat cahaya-Ku, maka inilah keadaan hatimu apa adanya."

(Disajikan ulang dari Pengajian Hikmah Al Qur'an, Zamzam AJT, 5 November 2005)

Peran Yang Harus Kita Mainkan

Setiap manusia yang dilahirkan ke muka bumi terikat dengan peran yang harus dimainkan dengan baik oleh masing-masing. Ada yang dibungkus dalam pakaian laki-laki, ada yang berfungsi sebagai perempuan, ibu rumah tangga; ada yang misinya sebagai seorang guru spiritual, ada yang kebagian menjadi tukang bubur sebagai profesinya seumur hidup. Semua peran itu di mata Allah adalah sama, sungguh tidak ada yang satu lebih tinggi dari yang lain, karena semua ciptaan-Nya.

Masing-masing orang akan diuji dengan perannya itu, apakah seorang kaya bertingkah angkuh terhadap si miskin? Apakah yang kurang pandai merasa minder terhadap yang dianggap intelek? Apakah yang merasa dirinya kyai dan guru besar menganggap dirinya lebih benar?
Allah berfirman dalam Al Quran '...agar Kami melihat siapa yang paling baik amalnya'
Amal juga tercermin dalam sikap seseorang, dalam tingkah laku dan perangainya.

Sayangnya sebagian besar orang menolak memainkan peran yang telah Allah gariskan di dunia ini, dipikirnya peran ini dan itu lebih baik, lebih keren atau bahkan dibumbui embel-embel 'lebih spiritual'. Ketidakmampuan seseorang membaca diri dari takdir kehidupan yang telah membentuknya dari kecil hingga saat ini - yang sebenarnya di situ letak keping-keping puzzle siapa peran diri kita ditebarkan - membuat dia selalu mencari peran yang bukan dirinya. Ibaratnya seekor keledai yang terobsesi menjadi kuda pacuan, maka yang dia lakukan setiap hari memompa ototnya dan seluruh badannya untuk bisa lari sekencang kuda pacuan, tanpa mau berkaca dengan benar. Tentu saja sekencang-kencangnya keledai berlari tidak akan secepat seekor kuda pacuan yang terlahir dengan bakat dan modal yang sudah ada dalam dirinya.

Lantas, apa peran saya?
Mari kita mulai hening sesaat, berkontemplasi, bercermin dalam cermin kehidupan yang telah Allah rancang sampai saat ini, kita mulai identifikasi hal-hal apa saja yang Allah mudahkan sejauh ini, apa saja yang kita anggap sulit untuk dilakukan, apa saja kegagalan dan keberhasilan kita dll.
Kita mulai berjalan dari apa yang ada di genggaman tangan kehidupan per hari ini, dengan apa yang dimiliki, saat ini, di sini. Bismillah...

(Disajikan ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT, 5 November 2005)

Amsterdam, 7 Mei 2013
3.49 pm

Syukur Adalah Selalu Melihat Kebaikan

Hamba Allah yang bersyukur adalah dia yang senantiasa berusaha untuk melihat kebaikan pada segala sesuatu yang Allah berikan atau tampilkan di sekelilingnya. Hatinya bersih dari kutukan dan cercaan kepada semua ciptaan-Nya. Kesadaran bahwa semua yang datang adalah dari 'tangan'-Nya yang Maha Suci betul-betul dia genggam erat dalam kehidupan.

Hamba Allah yang seperti ini akan senantiasa menapaki hari-harinya dalam kesadaran penuh, menjadi pengamat yang baik dalam pagelaran qadha dan qadar Allah di muka bumi. Banyak mengeluh hanya akan membuat seseorang tercerabut dari kehariiniannya, hatinya akan tersiksa, jiwanya akan makin rapuh, dia akan tercerabut dari akarnya, dari pohon kehidupan yang sudah didesain dengan teliti jauh-jauh hari sebelum ia dilahirkan di muka bumi.

Bersikap positif seperti ini bukan berarti kita diam dan kemudian membenarkan apa yang salah. Tapi ketika kita berespon dalam koridor syukur, maka tindakan yang kita lakukan akan dalam niatan agar menghasilkan kebaikan untuk semuanya.

(Disajikan ulang dari Kajian HAQ, Kang Zam 5 November 2005)