Sunday, July 28, 2013

Membaca Kadar Diri

Hamba yang Allah rahmati itu akan Allah pancarkan ke dalam qalbnya cahaya kuasa-Nya sehingga menampilkan apa-apa yang ada di dalam, maka sesungguhnya dunia yang dihadapi orang tersebut tiada lain merupakan gambaran kondisi hatinya sendiri.

Dalam tingkat fenomena proyeksi dari hati itu bisa berupa kesialan, musibah, atau kemudahan dan kebahagiaan.Biasanya manusia cenderung menunjuk orang atau melempar kesalahan kepada sesuatu di luar dirinya alih-alih berintrospeksi ke dalam diri. Fenomena yang tampak di sekitar kita bagaikan layar tiga dimensi dari hati masing-masing, menjadi warna kehidupan yang menimpa setiap orang, jadi kalau kita murung jangan salahkan Tuhan, akan tetapi harus paham hidup ini apa, bukan masalah benar atau salahnya, tapi hendaklah belajar memahami mekanismenya. Setiap warna kehidupan yang terpancar tentu dibaca subyektif oleh setiap individu, adapun Allah dari awal sampai akhir hanya memancarkan cahaya kaish-Nya yang sama. Jadi, daripada menunjuk-nunjuk hidung orang, mencari kambing hitam dan menyimpan amarah atau benci kepada seseorang, lebih baik energi yang ada dipakai untuk membaca kondiri hati per saat ini. Tampaknya itu lebih meringankan hati.

(Disajikan ulang dari pengajian Hikmah Al QUran yang disampaikan Zamzam AJT, 7 Januari 2006)

Kapan Datangnya Pertolongan Allah?

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata 'Kapankah datang pertolongan Allah?'Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.
(QS Al Baqarah [2]: 214)

Ayat ini memang berkaitan dengan peperangan di zaman Rasulullah, terutama dengan perang Badar, tapi  ayat ini juga berlaku untuk kita semua di setiap keadaan, jadi bukan hanya pada zaman Rasulullah saw atau pada sebuah zaman dimana peperangan terjadi secara fisik. 

Dalam di ayat ini disebutkan yang bertempur adalah kaum mukminin dan kaum kafirin, istilah 'ummat' bisa  juga melekat dalam masyarakat, bisa juga dalam sebuah insan, bisa juga dalam sebuah keluarga. 

Adapun tafsir Ibnu Arabi tentang ayat ini adalah : 
Apakah kalian mengira akan memasuki surga tajali al jamal padahal belum datang kepada kalian keadaan orang yang telah terdahulu sebelum kalian, yakni mereka yang disentuh oleh malapetaka ketertinggalan dan tajrid atau penanggalan, dan al faqr - dan al istiqar
Yaitu suatu kesulitan atau kesengsaraan dalam mujahadah dan riyadhoh, dan pecahnya an nafs atau jiwa dengan ibadah, keterguncangan karena kerinduan, dan mahabbah dari tempat berdiamnya nafs-nafs mereka, agar Dia menzahirkan apa-apa yang ada di dalam istidaad mereka dengan suatu kekuatan (al quwwah) hingga berkata ar rasul dan orang-orang yang beriman besertanya ‘kapan datangnya pertolongan Allah’, artinya hingga mereka merasakan suatu kejenuhan/kelelahan yang disebabkan oleh panjangnya keterhijaban dan banyaknya jihad yang dilakukan karena keterpisahan (al hiraq), dan hilangnya kesabaran mereka untuk musyahadah al jamal dan dzauq al wishal . Dan mereka meminta pertolongan Allah dengan tajali atas kedalaman sifat-sifat nafs mereka. 
Dan mereka menghendaki dengan bala/musibah tersebut sebuah hijron (penghijrahan) dan menjadikan mereka merasakan sebuah keterpisahan karena kuatnya mahabbah.  

Ibnu Arabi berkata, bagaimana dengan jalan selain mereka? 
Artinya yang menuju Allah itu akan ditempa dengan bala bencana, nah bagaimana dengan orang2-orangyang tidak mencari Allah?  Maka Allah akan mengabulkan apa yang mereka cari ketika telah habis kekuatan mereka. Kemudian makna bahwa pertolongan Allah itu dekat artinya pengangkatan hijab-hijab dan tampilnya atau mendhahirnya jejak-jejak al jamal.

(Dari catatan pengajian Hikmah Al Quran. Disampaikan oleh Zamzam AJT, 7 Januari 2006)

Tuesday, July 23, 2013

Nafs Wahidah

Insan manusia itu bukan sekedar jiwa atau sekedar raga penyatuan antara aspek malakutiyah dan aspek jasadiyah. Adapun seseorang yang sudah integral aspek jasadnya yang terdiri dari banyak elemen panca indera ke dalam jiwa itu dinamakan sebagai ummatan wahidah.

Jalan menuju peng-ummatan wahidah melalui jihadun nafs, suatu perjuangan seumur hidup yang Rasullah saw katakan sebagai jihadul akbar. Manakala kita nanti semua berhasil menyatukan komponen dalam raga kita, artinya dengan menggunakan perangkat apapun dalam indera kita, telinga, mata hidung kita selalu dzikrullah, selalu mengantarkan kepada ahadiyahnya Allah, itu baru disebut nafs wahidah. 

Kita seringkali berteriak dengan lantang bahwa semua masalah yang kita terima adalah dari Allah bukan dari yang lain, karena tidak ada hal yang tercipta selain dari Allah Ta'ala, tetapi ketika masalah mendera kita terjebak dalam kebingungan dan kekhawatiran, itu belum dikatakan nafs wahidah. Karena orang yang sudah menyatu semua komponen dirinya (Divine oneness ) akan melihat semua fenomena, mencium dan mendengar semua hal sebagai representasi Dia, bukan sesuat yang terpisah dari Allah Taála. Hal itu dikarenakan akal nafsul wahidah sudah menyinari dalam dirinya.

Maka kalau kita masih berkeluh kesah dalam kehidupan, itu praktis sudah menunjukkan belum adanya akal wahidah dalam diri. Atau kita masih menyombongkan diri, menganggap remeh yang lain, saling dengki, itu semua otomatis merupakan sebuah dalil yang haq akan tiadanya aql wahidah dalam dirinya, dan dia pada prinsipnya belum menegakkan diinnya.

(Dari catatan pengajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 31 Desember 2005)

Hasil Dari Shaum

Allah swt berfirman,…
“Wahai Ahmad!... 
Mengertikah engkau hasil dari shaum?..” 

“Tidak..” jawab Nabi Saw.

Allah Ta’ala menjawab,.. 
“Hasil dari shaum adalah sedikit berbicara dan sedikit makan,…
Hasil dari diam adalah kebijaksanaan; 
Hasil dari kebijaksanaan adalah pencerahan;
Hasil dari pencerahan adalah keyakinan; 
Dan ketika seseorang mencapai kedudukan keyakinan yang mulia, ia senantiasa tidak menjadi cemas, bagaimana ia akan memulai hari-harinya, Apakah dengan kemudahan, atau dengan kesulitan,… tragedi ataukah kesenangan.

Yang demikian itu adalah keadaan orang-orang yang telah mencapai maqam ridla.
Barangsiapa mencapai kedudukan ini, maka ia akan mendapatkan tiga ciri-ciri yang tak terpisahkan,… 
- Bersyukur yang tidak dikotori dengan kebodohan (jahil), 
- Zikir yang tidak bercampur dengan kelalaian, 
- Dan cinta yang tidak bercampur dengan cinta yang lain. 

Barangsiapa yang mencintai-Ku dengan cara yang demikian, tanpa mencampurkan cinta yang lain dengan persahabatan-Ku, maka Aku pun mencintainya dan menjadikan yang lain mencintainya; menjadikan mata hatinya terbuka, sehingga ia dapat menyaksikan keindahan dan keagunganKu; Aku akan memberinya pengetahuan dan pencerahan, yang tidak Kuberikan kepada selainnya;… Baik ditengah-tengah kegelapan malam maupun cerahnya siang, akan senantiasa berbisik dan berbincang-bincang dengannya, sehingga ia menjadi tidak nyaman bersama orang lain;.. 
Namun akan membuatnya mendengarkan pembicaraanKu,… dan pembicaraan para malaikatKu;… rahasia-rahasia-Ku yang Aku terus sembunyikan dari orang lain akan dibukakan untuknya. Aku akan memenuhi kebijaksanaanya dengan pencerahan ma’rifat-Ku,… 

Dan akan mendudukan Diri-Ku di tempat kebijaksanaannya;… 
Akan menjadikan sakitnya sakaratul maut dan kesulitannya menjadi mudah baginya agar ia dapat masuk ke dalam surga dengan keadaan yang mudah dan senang."

Ketika malaikat maut turun kepadanya,… 
Ia akan berkata kepadanya,.. 
‘Selamat datang!... Selamat datang!... Allah tengah menantimu!...’

Pada saat itulah Allah akan berbicara kepadanya, 
‘Inilah surga-Ku…. anggaplah ini rumah sendiri, 
Dan ini adalah lingkungan-Ku dimana engkau akan bertempat selamanya.’ 

Kemudian orang itu akan mengatakan, 
‘Yaa Rabbku!... 
Engkau telah memperkenalkan diri-Mu kepadaku,… 
dan setelah mengenal-Mu, aku pun terpisah dari semua makhluk-Mu. 
Demi keindahan dan keagungan-Mu,.. 
Aku bersumpah bahwa bila untuk mencapai ridla-Mu aku mesti terpenggal tujuh puluh kali dengan penderitaan dan siksaan yang paling menyakitkan, maka ridlaMu pun tetap merupakan hal yang paling berharga dan yang paling kuidamkan.’ 

Sampai di sini, Allah Ta'ala akan berkata kepadanya,…
‘Aku bersumpah dengan keindahan dan keagungan-Ku bahwa mulai sekarang, tidak akan pernah ada lagi hijab di antara Aku dan engkau, sehingga engkau dapat melihat-Ku kapan saja engkau mau; demikianlah cara Aku memperlakukan para sahabat."

*diambil dari buku "Puasa Ramadhan.", Mirza Javad Agha Maliki Tabriz, hal-29

Ketika Alam Semesta Menolak Amanah

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada lelangit dan bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya..."
(QS Al Ahzab [33]: 72)

Satu ketika Allah Taála menawarkan amanah kepada lelangit, gunung-gunung, lebah-lebah, sungai-sungai, batu-batu, planet-planet, matahari-matahari dan semua makhluk yang ada di alam semesta, jauh sebelum alam semesta diciptakan dan bentuk-bentuk setiap jiwa dari makhluk-mahluk itu terbentuk. Kemudian mereka menolak karena takut mengkhianati amanah, kecuali manusia yang kemudian menerima amanah itu.

Karena alam semesta dan isinya menolak amanah tersebut, maka Allah Taála memberi mereka masing-masing perwujudan yang paling pas dengan jati dirinya, maka terbentanglah langit dengan ketinggiannya, matahari dengan ukuran dan panasnya yang telah ditentukan, lebah dengan desainnya yang seperti itu, semua adalah makhluk yang berserah diri pada ketentuan Allah. Maka kita lihat alam semesta ini adalah wajah dari Ahadiyah Allah Taála, semua hidup dalam gerak yang harmonis, tidak bertabrakan satu sama lain. Kalau kita punya dzauq (rasa dalam diri) kita juga bisa menyaksikan betapa bintang yang ada nun jauh di sana ada hubungannya dengan elektron yang dekat di sini, dengan semut yang sedang bergerak di dinding ini. Tegaknya alam ini dengan indah adalah bukti representasi dari satu Allah, karena jika ada lebih dari satu pengatur dalam alam semesta niscaya akan terjadi tabrakan dan ketidakteraturan.

Alam semesta adalah makhluk Tuhan yang ridha dengan ketetapannya, mereka adalah makhluk yang berserah diri kepada takdir-Nya, maka kita bisa merasakan kedamaian hati dan kelapangan jiwa saat berinteraksi dengan alam. Dari alam kita belajar, apabila diri mau berserah diri diatur dengan kuasa-Nya, niscaya kita tidak akan mengalami 'tabrakan'dalam kehidupan.

(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Quran, Zamzam AJT. 24 Desember 2005) 

Thursday, July 18, 2013

Orang Yang Dihidupkan Indera Batinnya

Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu kecuali datangnya Allah 
bersama malaikat dalam naungan awan...
(QS Al Baqarah 210)

Hamba Allah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah mereka yang mengharapkan dirinya untuk diubah oleh Sang Maha Ilmu, setelah menyadari banyak kekufuran, banyak hijab, banyak kebodohan dan kegelapan dalam dirinya, bahwa dirinya tak lain hanya hamba yang lemah dan tidak tahu apa-apa, oleh karenanya ia menantikan datangnya kuasa Allah dalam dirinya.

Maka nuansa ayat ini adalah nuansa kehancuran, karena cahaya Allah apabila ia datang dalam hati seseorang, ia akan menghancurkan kebatilan, meruntuhkan hijab-hijab hati, kehancuran itu bisa jadi dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan, tapi sebetulnya bukan diri kita yang sejati yang hancur akan tetapi ego kita, hawa nafsu kita, obsesi kita dan sekian banyak bentuk-bentuk kekufuran dan sisi gelap dalam diri. Perlahan-lahan sang hamba mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya, yang sebelumnya gampang tersinggung menjadi lebih legowo hatinya, yang tadinya mudah marah menjadi sabar, yang tadinya pelit tak ketulungan menjadi lebih pemurah, cahaya Allah berwujud menjadi sifat-sifat baik yang merahmati alam sekitarnya.

Adapun pengertian turunnya malaikat, ia adalah simbol dari kekuatan samawiyah, terbukanya indera-indera batin berupa mata hati, telinga hati, sirr, ruh, lub dll yang merupakan perangkat batin yang Allah berikan untuk membantu sang hamba mengenal kebenaran di balik fenomena kehidupan. Dalam skala besar peristiwa yang juga pernah didemonstrasikan pada zaman Musa as saat menerima 10 perintah Allah ini niscaya akan kita alami juga di alam mahsyar. Dalam konteks saat ini di dunia, ada orang-orang yang Allah hidupkan indera-indera batinnya untuk mengenal kebenaran.

(Disajikan ulang dari catatan pengajian hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 17 Desember 2005)

Wednesday, July 17, 2013

Bertaubatlah dan Berserahdirilah

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). 
(QS Az Zumar: 54)

Pada ayat yang terlihat sederhana ini tersimpan rahasia yang besar. Perhatikan bahwa kata bertaubat disandingkan dengan Rabb sedangkan kata berserah diri ditujukan untuk-Nya (Huwa).
Rabb adalah pangkat yang Dia (Huwa) miliki.

Kenapa kita bertaubat kepada Rabb?
Karena mengenal Rabb adalah gerbang untuk mengenal-Nya. KIta berinteraksi dengan Allah melalui Rubbubiyah-Nya. Allah sebagai Rabb yang memberi kita kehidupan, menggoreskan takdir, dilimpahkan ketetapan dan amr yang berbeda-beda. Setiap orang diciptakan berbeda-beda potensinya, kecerdasannya, raut wajahnya, kadar rezeki dan usianya. Dia sebagai Rabb yang menata, mengurus, mengqadha dan mengkadar seluruh kejadian dalam alam semesta ini. Maka apabila seorang manusia berbuat melampaui batas yang Dia tetapkan, dia patut bertaubat kepada-Nya sebagai Rabbul Áalamiin.

Dalam lingkup pertaubatan selalu ada komponen berserah diri. Jalan tarekat adalah jalan pertaubatan dan mekanismenya adalah dengan berserah diri. Berserah diri inilah yang ditata dengan teknik riyadhoh, fana itu berserah diri. Riyadhoh yang dikerjakan sebetulnya hanya metoda agar diri kita sampai ke maqam Al Islam, sebuah penyerahan diri yang haq. Tapi seringkali orang berserah diri dengan tanpa pengetahuan, pasrah begitu saja tanpa belajar apa-apa. Tanpa mempelajari Kitabullah, tanpa berkaca ke proses penyerahan diri yang dicontohkan para nabi dan orang-orang terang kita hanya akan menduga-duga bahwa kita telah berserah diri dengan benar. Sebagai pejalan pemula kita seringkali jatuh bangun dalam memaknai penyerahan diri kepada Allah, bagaimana itu ketaatan kepada Allah, kepada rasul, kepada mursyid dst, memang tidak mudah, kita belajar terus.

Pada intinya tiada pertaubatan kecuali diikuti dengan penyerahan diri, maka jalan manapun yang mengatakan sebagai jalan pertaubatan pasti ada mekanisme berserah diri kepada Allah taála, Adapun berserah diri yang sesungguhnya bukan semata-mata terletak pada pemotongan pikiran, syahwat, hawa nafsu, tapi sebuah mentalitas, sebuah jiwa, sebuah kesadaran. Berserah kepada Allah taála adalah sesuatu abstrak, ukurannya apa? Kita hanya membentuk pengalaman pribadi masing-masing dan kita berinteraksi antara takdir yang ditetapkan kepada kita. Melalui takdir harian kehidupan itulah  kita belajar menemukan cara berserah diri yang Dia ridhai untuk diri masing-masing.

(Sajian ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Kang Zam, 17 Desember 2005)


Wednesday, July 10, 2013

Kita Sedang Disaksikan

"Bekerjalah, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat apa yang kamu kerjakan..."(QS At Taubah [9]: 105)

Bekerjalah di sini adalah bekerja untuk memperbaiki agama, tentu tahapannya dengan terlebih dahulu memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Apapun yang kita kerjakan, profesi apapun, posisi apa saja diniatkan dalam rangka bersyukur kepada-Nya. Dimulai dengan mengerjakan apapun yang Allah Taála berikan dalam kehidupan kita, pekerjaan yang ada di tangan kita, suami, istri, anak atau keluarga yang diamanahkan kepada kita, semuanya patut diberi perhatian dengan adil, karena di balik masing-masing itu semua ada kehendak-Nya Yang Maha Ilmu. Niatkan untuk semata-mata menolong agama Allah, yang dengan itulah Allah akan menolong kita.

Yakinlah bahwa pada saat yang sama semua tingkah laku kita disaksikan oleh Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Perbuatan baik yang kita lakukan akan membuat mereka senang adapun apabila kita tergelincir melakukan keburukan di muka bumi maka akan membuat mereka sedih. Maka bekerjalah dengan baik, sungguh kita sedang disaksikan...

(Sajian ulang dari pengajian Hikmah Al Quran, disampaikan oleh Zamzam AJT, 3 Desember 2005)