Wednesday, May 19, 2021

 Gratitude


Gratitude sering diterjemahkan sebagai kebersyukuran. Sebuah kata dasar yang sakral "syukur". Dalam Al Qur'an kata "syukur" ini dikaitkan dengan doa ketika seseorang menginjak usia 40 tahun. Artinya memasuki usia kepala empat, seharusnya seseorang sudah mulai membaca sebuah kesatuan yang utuh dan indah antara takdirnya yang telah ia lalui, bumi dan kehidupan yang ia tengah pijak di saat ini dan rencana di di masa depan.


“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai 40 tahun ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” 

(QS Al-Ahqaf ayat 15)


Bersyukur itu tidak mudah. Sesuai dengan redaksi doa di atas, bahkan untuk bisa mensyukuri nikmat-Nya itu butuh petunjuk-Nya.  Karena manusia kerap tidak paham ihwal sekian banyak puzzle takdir kehidupan yang telah dan sedang apalagi yang akan dijelangnya. Tapi Tuhan Maha Tahu. Dia sudah mempersiapkan semua dengan presisi. Bahkan ketika manusia belum memiliki nama dan entitas sekalipun.


Secara etimologi, "gratitude" berasal dari kata dalam Bahasa Latin "gratus" yang berarti menyenangkan atau berterima kasih. Ada hubungan antara kebersyukuran dengan sesuatu yang diberikan. Jadi ingat ada kata lain untuk menyatakan sesuatu yang diterima secara cuma-cuma, yaitu "gratis". Iya, kita manusia dan semesta mahluk ciptaan ini pada hakikatnya menerima semua hal secara gratisan, karena tidak ada satupun yang berasal selain dari-Nya. Tidak kepandaian kita, tidak harta kita, udara segar yang dihirup,  tidak jiwa dan raga kita, semua Dia yang memberi. Tinggal pilihan kita sendiri, mau jadi orang yang tahu berterima kasih setelah diberi semua serba gratisan atau mau hidup seenak dirinya saja. Menentukan pilihan-pilihan dalam kehidupan tanpa mempertimbangkan Dia atau melibatkan-Nya dalam menentukan berbagai keputusan. Dalam agama diajarkan, kalau memilih pilihan yang pertama hisabnya akan ringan, sedangkan pilihan yang terakhir akan menghadapi hisab berat di hari nanti...

Sunday, May 16, 2021

 Rinduku pada-Mu nampaknya sudah tertambat sejak lama. 

Di awal waktu penciptaan saat kami bersaksi "alastu birabbikum", itulah saat benih cinta disemai.

Tak ada sesuatu pun hal selain Diri-Mu yang bisa memuaskan kerinduan yang ada. Karenanya jejak-Mu di semesta selalu dicari. Di setiap hal dalam kehidupan.

Dari si fakir yang belajar untuk menerima cinta dan mencinta

Amsterdam, 4 Syawwal 1442 H

16 Mei 2021

 Saya perhatikan dari semua orang yang saya wawancarai, keyakinan mereka kepada Tuhan signifikan meningkat ketika pernah dihadapkan pada hal-hal yang tak terduga dalam kehidupan. 


Ada yang sudah putus asa dan bahkan hampir bunuh diri, tapi Tuhan menolong lewat sebuah pertemuan dengan seseorang yang demikian menginspirasinya. 

Ada yang membenamkan dirinya dalam dunia maksiat dan tersadarkan melalui sebuah mimpi yang begitu nyata.

Ada yang sakit parah dan sudah divonis usianya tidak lama, lalu tiba-tiba sembuh dengan ajaib.

Ada yang orang tuanya sakit keras dan ia tidak punya uang untuk menebus pengobatannya, lalu tiba-tiba Allah kirim uang melalui donatur yang bahkan tak ingin diketahui identitasnya.


Dan banyak hal lagi hal yang serupa dalam kehidupan. Ketika jejak-jejak kehadiran-Nya demikian membekas dalam sanubari seseorang. Sebuah pengalaman yang tak tergantikan oleh apapun di dunia ini. Oleh karenanya, bagi orang yang beriman menghadapi kegaiban, ketidaktahuan, dan ketidakpastian adalah bagian dari perjalanan. Justru di situlah ruang dimana Tuhan hadir dengan jelas. Dibanding bila semua persoalan selalu terbayangkan solusinya, memiliki semua dan merasa tercukupi selamanya, yang akibatnya Tuhan jadi sebuah entitas kosong yang kita panggil dalam ritual yang hambar. 


Jika seseorang tidak pernah merasakan sebuah ruang fakir dimana kita hanya benar-benar hanya bisa mengandalkan Dia maka Sang Rabb tak akan pernah dikenal secara praktis. Hingga akhirnya waktu habis, kita menuju alam barzakh dan kelabakan menghadapi pertanyaan pertama malaikat Munkar dan Nakir, "Man Rabbuka?"

Saturday, May 15, 2021

 Post Lebaran Syndrome


Biasanya setelah lebaran usai. Ketika ketupat-ketupat dan hidangan opor habis. Semua parcel dan kue kering sudah dibagi-bagikan dan dulu ketika tidak dalam masa pandemi, maka dalam hitungan hari semua kembali ke kediaman masing-masing, menerjang arus balik. Ada rasa sepi yang tiba-tiba mencekam. Ada rasa kehilangan yang dalam tapi tak bisa tergambarkan. But life goes on...


Itu mengapa momen kebersamaan di hari raya khususnya Idul Fitri selalu dinantikan. Karena itulah satu-satunya saat kita berkumpul dengan keluarga besar dengan sangat masif dan meriah. Pokoknya all-out. Walaupun ada larangan mudik di saat pandemi yang masih meradang saat ini, untunglah teknologi internet membantu kita menjembatani jarak dan keadaan yang ada. 


Ada gejala lain yang biasanya timbul setelah lebaran. Ada yang kembali memuaskan syahwatnya dengan makan sekenyang-kenyangnya. Seolah-olah 'membalas dendam' karena sebulan penuh si syahwat dikekang. Jika ini yang terjadi maka untuk 11 bulan ke depan si syahwat akan mengambil alih kekang kehidupan kita lagi dan tujuan hakiki dari shaum tidak tercapai kecuali menahan lapar dan dahaga. Oleh karenanya Rasulullah menyarankan agar pasca Ramadhan diikuti dengan shaum sunnah enam hari di bulan Syawal. Agar proses pendidikan jiwa terus berjalan dan tidak berubah secara tiba-tiba. Dan setelah itu dilanjutkan dengan shaum senin-kamis. Jika mampu.


Hal lain yang patut kita renungkan adalah, untuk melihat kesinambungan diantara dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha. Hari seseorang kembali menuju fitrah dan hari raya lebaran haji karena pada saat yang bersama kaum muslim yang sedang melakukan haji sedang melakukan wukuf di Arafah. Sebuah puncak dari ibadah haji, berupa berdiam di lembah 'arafah yang memiliki kata dasar yang sama dengan ma'rifat. Sebuah padang pengenalan. Jadi dua hari raya itu sungguh berkaitan. Yang satu merayakan tercapainya pengenalan diri, itu adalah sebuah batu loncat untuk menuju lebaran yang kedua, yaitu mengenal Dia. Karena demikianlah asal muasal alam raya dan semua makhluk dicipta,  karena Dia - Sang Khanzun Mahfiy - yang rindu untuk dikenal.


So, keep it up. Jangan turun stamina mencari Dia pasca Idul Fitri dengan tenggelam dalam Post Lebaran Syndrome, tertundukkan oleh hawa nafsu dan syahwat jasadiyah. We have to rise above it. Karena perjalanan masih panjang dan bulir-bulir pasir waktu jam pasir kita semakin menyusut...


Amsterdam, 3 Syawwal 1442 H

Friday, May 14, 2021

Being a Step Mother

 Saya jadi lebih mengerti apa yang dimaksud dengan "Step Mother" atau "Ibu Tiri" dalam Bahasa Indonesia. Saya lebih suka menyebut saya seorang "step mother" karena saat menikah dengan suami beliau sudah memiliki satu anak dari pernikahan sebelumnya. Kenapa tidak "ibu tiri"? Karena imej tentang ibu tiri - setidaknya bagi saya - adalah figur yang jahat, culas dan tidak baik. Maklum, saya termakan oleh kisah-kisah Bawang Putih dan Bawang Merah atau Hansel and Gretel dimana dikisahkan bahwa seorang ibu tiri itu pasti jahat. We need to change our narrative to our children about that, seriously.


Jadi kenapa digunakan istilah "step"? Karena memang kita memilih untuk "step into it". Saat saya menerima pinangan suami saya dulu, saya sudah memikirkan peran tambahan saya dalam "extended-family". Suatu hal yang diwanti-wanti keras oleh ibu saya. Beliau agak mengkhawatirkannya karena terbayang oleh beliau betapa repotnya keadaan rumah tangga yang akan saya arungi, and i totally understand that. Tapi toh, kehidupan mengalirkan saya ke jalan ini. 


Ada hal-hal dasar yang saya pelajari dari episode menjadi seorang "step mother". Pertama, bahwa keputusan kita untuk menikah dengan seseorang yang sudah memiliki anak dari pernikahan sebelumnya, bukan berarti semua anak harus menerima kita langsung keberadaan kita. Karena di awal waktu hubungan yang terjalin adalah dengan sang calon pasangan, dan butuh waktu untuk anak-anak menerima keberadaan kita. So, take your time. Jangan berharap terlalu banyak, nanti kecewa. Keep positive and be kind.


Kedua, menjadi "step mother" bukan berarti kita menjadi ibu atau ayah pengganti. Karena ibu atau ayah biologis mereka tak akan tergantikan. And we shouldn't. Garis nasab itu penting dan harus direkam kuat karena itu bagian dari diri sang anak. Itu dalam Al Qur'an, surat Al Ahzab ayat 5 dikatakan, "Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah..."


Ketiga, hanya karena status kita sudah resmi menjadi istri (atau suami dari seseorang), bukan pula berarti anak-anak otomatis menerima kita menjadi figur ayah atau ibu. Karena dibutuhkan waktu untuk membangun hubungan dengan mereka. Hingga akhirnya mereka nyaman dengan keberadaan kita di tengah keluarga. Hal itu membutuhkan kesabaran, hati yang lapang dan lakukan semua dengan ikhlas, tanpa mengharap timbal balik apapun. Itu lebih aman. Dengannya kita tidak lebih ringan dalam menjalani hubungan keseharian. Jika kita rileks, anak-anak pun akan merasa tidak terancam dan rikuh dengan keberadaan kita.


Buat saya pribadi, waktu yang dibutuhkan adalah sekitar 3 tahun. Itu pun dalam keadaan anak tiri saya tidak tinggal serumah, karena ia tinggal dengan ibunya. Saya mencoba menjadi teman baiknya di awal waktu dan tidak memaksakan diri sebagai figur ibu. Semakin lama kita berinteraksi kita menjadi makin mengenal satu sama lain dan menjadi nyaman. Hingga suatu hari saya tersentuh ketika anak tiri perempuan saya menjelang usia memasuki masa puber berkata, "I think you are a cool mother!" Dan dia mulai berbagai kisah dan bahkan rahasia yang kerap tidak diketahui oleh orang tua kandungnya sendiri. Alhamdulillah. Semua karena pembelajaran dari Allah semata. Adalah Dia yang mengajarkan melalui hati bagaimana harus bersikap dan merespon kehidupan hingga kita tidak salah langkah when we are step-ping into something, a certain role like a "step mother".

 Sudut Pandang Lain


Kerap kali, penyebab utama penderitaan kita adalah karena kita yang salah dalam memandang dan membaca kehidupan. Maka melalui Al Qur'an dan sunnah Rasulullah kita diajarkan untuk melihat kehidupan sebuah sudut pandang lain. Sebuah cara pandang yang lebih menentramkan hati dan membuat kita menjadi nyaman menjalani takdir dan ketetapan yang Allah turunkan untuk masing-masing.


Berikut salah satu contoh memandang dengan sudut pandang lain. Ketika seorang sahabat di zaman Rasulullah berencana untuk pindah rumah agar lebih dekat ke mesjid Nabi rencana tersebut dilarang oleh Rasulullah. Aneh bukan? Bukankah dengan jarak yang semakin dekat dengan mesjid dimana Rasulullah saw sering berkumpul dan beribadah disana dengan para sahabat maka akan lebih memudahkan sang sahabat itu? Tapi begini alasan yang Rasulullah saw sampaikan,


"Langkah awalmu menuju mesjid adalah menghapus dosamu dan langkah berikutnya adalah mengangkat derajatmu."


Artinya semakin jauh jarak seseorang ke mesjid malah akan semakin banyak dosa yang dibuang dan semakin tinggi derajat seseorang itu. Jika sang sahabat itu pindah rumah maka ia akan kehilangan sebuah sarana dimana ia akan menebus dosa-dosa dan membersihkan jiwanya. Itu yang Rasulullah - sang insan mulia yang berpengetahuan tinggi - itu lihat. Menyadari hal itu, sang sahabat pun mengurungkan niatnya untuk pindah rumah.


Dalam hidup pun biasanya ada hal-hal yang serupa. Sebuah saat dimana pikiran kita berkata :

"Coba kalau pasangan saya seperti ini-itu, saya akan lebih mudah beribadah" 

"Andaikan saya punya ini dan itu, maka saya akan lebih banyak amal."

"Jika saja kondisi saya begini dan begitu, saya akan lebih banyak waktu untuk Tuhan."


I have learned the hard way. Bahwa memiliki pemikiran-pemikiran yang cenderung mengawang-awang dan tidak menjejak ke keadaan bumi kita hari ini malah akan melemahkan jiwa kita dan membuat kita sulit bersyukur. Karenanya kita tidak akan bahagia. Sebuah kondisi kesengsaraan yang kita buat sendiri, sebenarnya.


Ada sudut pandang lain dalam melihat keadaan yang kita rasa menyulitkan di hari ini. Belajar dari cerita sahabat Rasulullah di atas yang harus jalan jauh menempuh mesjid namun keadaan itu justru Allah desain untuk kebaikannya sendiri. Maka kesulitan dan keterbatasan dalam hidup ada di sekeliling kita sungguh bukan sebuah kebetulan. Kadang kita harus mendera kepayahan mencari nafkah dan pontang-panting berdagang, kadang kita diberi episode sakit, kadang dibuat keadaan sekitar kita seolah tidak optimal untuk beribadah. Kita harus bisa keluar dari semua keterbatasan yang ada dengan cara melihatnya dari sudut pandang lain. Dengannya pikiran dan jiwa kita menjadi bebas dari semua keterbatasan dan menjalani kehidupan apa adanya dengan suka cita. Ikhlas dengan apa yang Dia turunkan. Demikian dahsyat efek mengubah sudut pandang beberapa derajat saja dengan panduan Al Qur'an dan As Sunnah.[]

Wednesday, May 12, 2021

 43 Tahun dalam 1,5 Jam


Hari Senin malam lalu saya mencoba mempresentasikan perjalanan hidup saya di depan sahabat-sahabat dalam acara ikhtiar membaca kitab diri. Ketika melihat lagi ke belakang berbagai episode kehidupan yang telah saya lalui, saya menjadi semakin kagum dengan Sang Pencipta. Bagaimana Dia menjalin takdir demikian sempurna. How one thing leads to another. Bahwa jika saya tidak melalui sebuah episode kelam sekalipun ternyata saya tidak akan berada di titik sekarang ini. Dan semua hal -ya saya bersaksi - SEMUA hal itu memperkaya diri saya. Masya Allah.

Saya sudah mempersiapkan draft presentasi sebagai panduan sebelumnya. Tapi toh pada pelaksanaannya waktu berlalu begitu cepat. Tidak mungkin saya menyampaikan setiap aspek yang bersifat monumental yang disebar dalam perjalanan 43 tahun kehidupan dalam waktu 1,5 jam. Artinya apa yang saya sampaikan baru satu lapis bagian dari puncak gunung es yang begitu dalam.

Dengannya saya jadi lebih paham kenapa mengenal Tuhan itu prosesnya lama dan panjang sekali, mulai dari alam persaksian (ala alastu), alam rahim, alam dunia ini, alam barzakh, padang mahsyar, bahkan setelah surga dan neraka pun akan ada alam lain yang masih terbentang. Karena Dia ingin memperkenalkan aspek luar dan batinnya. Its' amazing...

Lalu, dalam waktu 43 tahun itu, setidaknya selama 15.695 hari saya menapaki hamparan takdir yang telah Dia tuliskan. Itu setara kira-kira dengan 376.680 jam dalam treatment Ilahiyah. Dan itu dalam hitungan satu hari sama dengan 24 jam di bumi. Bandingkan dengan di Venus dimana satu hari setara dengan 5.832 jam atau di Jupiter yang satu kali rotasinya hanya memerlukan waktu 10 jam. Kadar 24 jam itu yang paling optimal bagi pertumbuhan makhluk hidup. Planet bumi jadi tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin. It's livable. Seperti takdir kehidupan kita yang very much livable, walaupun kerap manusia keluhkan dan bahkan ditolak mentah-mentah. Na'udzubillahimindzallik.

Demikianlah perputaran roda kehidupan sudah didesain dalam setelan yang paling sempurna. Agar tidak terlalu cepat hingga kita missed all the details in life ataupun terlalu lama hingga kita tidak punya stamina untuk menjalaninya. Benarlah kiranya apa kata Einstein kenapa waktu dibentangkan sedemikian rupa, bukankah Dia yang bisa membuat sesuatu dalam sekejap kuasa melakukannya? Jawabnya:
“The only reason for time is so that everything doesn't happen at once.”

Tuesday, May 11, 2021

 KEY PERFORMANCE INDICATORS (KPI)


Waktu saya bekerja di perusahaan KPI ini jadi alat untuk mengukur baik atau tidaknya kita bekerja. Nilai KPI yang baik tidak jarang bisa melapangkan kita untuk mendapatkan promosi di tempat kerja atau kenaikan gaji. Karena saya pada dasarnya tipe orang yang kompetitif, begitu diberi KPI biasanya saya akan melaju kencang seperti kuda balap  Saya senang tantangan. Maka kalau diberi target pasti semangat melonjak dan akan dikejar terus.

Begitu saya menjadi ibu rumah tangga, dunia saya berubah. Key Performance Indicators saya berubah dari KPI di dunia marketing seperti sales growth, lifetime value of customer, cost of customer acquisition, delivery response time dll menjadi berat badan anak dalam zona hijau, gigi anak tidak ada yang bolong, gizi keluarga terpenuhi, rumah bersih, dll. Kerjanya sama-sama melelahkan, bahkan kerja mengurus rumah tangga nyaris tidak ada liburnya. Bedanya bekerja di perusahaan langsung dapat rewards instan berupa gaji atau kenaikan karir yang bersifat kuantitatif. Adapun jadi ibu rumah tangga itu “sepi ing pamrih rame ing gawe”.

Pekerjaan paling sepi sedunia, tidak banyak yang mengapresiasi fungsi vital peran perempuan dalam rumah tangga. Tapi jangan salah, Gusti Allah ora sare. Orang-orang bijak akan paham betapa pentingnya posisi ini. Bahkan Rasulullah saw mengatakan dengan lugas bahwa “Perempuan adalah tiang negara”. Artinya tegak atau tidaknya sebuah negara justru ditentukan dengan para perempuannya yang mengerjakan fungsinya dengan presisi dan ikhlas. Maka saya belajar, justru di pekerjaan yang sepi itulah gaungnya bisa menembus tujuh lapis langit.

Jadi, untuk semua perempuan yang menjalankan fungsi di rumah tangga. Jangan berkecil hati. Sungguh Allah memerhatikan setiap tindak tanduk kita bahkan gerakan hati kita. Belajarlah dari ibunda Maryam yang memerankan satu fungsi vital dalam hidup, dengan kata lain KPI-nya hanya satu yaitu menjadi ibu bagi seorang Isa Almasih a.s. dan lihatlah bagaimana Allah menghargai dedikasi beliau dengan mengabadikan namanya menjadi satu-satunya nama perempuan yang menjadi salah satu nama surat dalam Al Qur’an.

Monday, May 10, 2021

 

Ada orang-orang di muka bumi ini yang setiap kali kita berinteraksi dengan mereka, bahkan hanya melihatnya akan membuat kita mengingat Allah. Rasulullah saw pun ketika ditanya,“Siapa wali-wali Allah?” Maka beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.”

Mereka seperti kaca bening yang tembus pandang. Melalui mereka kita dapat melihat citra-citra Ilahiyah yang terpancar dari dalamnya. Secara ilmu fisika, suatu materi yang solid akan tampak transparan jika tidak ada proses yang menyaingi proses transmisi cahaya apakah dengan menyerapnya atau menyebarkannya ke berbagai arah. Ambil contoh materi silikon, sebuah silikon murni akan menyerap cahaya karena ia memiliki struktur yang terikat. Adapun silikon yang sama jika berubah menjadi silikon dioksida dan diolah sedemikian rupa maka tampilannya akan berubah menjadi kaca, ia tidak bersifat menyerap cahaya.

Bicara tentang kaca, zaman dulu orang menggunakan metal yang digosok sedemikian rupa hingga ia mengkilap dan orang bisa berkaca disana. Mengapa orang bisa bercermin melalui media metal seperti perak? Karena materi metal bersifat memantulkan cahaya, tidak menyerapnya. Kenapa itu bisa terjadi? Karena di dalam metal terdapat elektron-elektron bebas yang memantulkan cahaya ke arah yang berlawanan, oleh karenanya bayangan akan nampak dengan jelas.

Demikianlah, seorang yang sudah menjalin hubungan yang sedemikian rupa sehingga Allah menurunkan perlindungan khusus baginya – yang kita kemudian sebut sebagai seorang wali adalah orang yang akan meneruskan sifat-sifat Ilahiyah. Akhlak-akhlak Tuhan yang baik akan terpancar sempurna. Ia akan cenderung merahmati sekitarnya karena sifatnya yang senantiasa menyebarkan cahaya tanpa sedikitpun diserap untuk dirinya sendiri. Orang seperti ini hatinya bebas dari selain Allah, tauhidnya tinggi. Karenanya seperti silikon yang tak berikatan ataupun elektron di dalam metal, ia bisa langsung memantulkan cahaya.

Jika berhadapan dengan manusia mulia seperti ini, kita akan merasa aman. Kenapa? Karena ia transparan, apa adanya. Tanpa rekayasa, tanpa tipu muslihat. Dia akan mencerminkan diri kita apa adanya tanpa membubuhi ini-itu dan ia akan meneruskan apa-apa yang ia terima 100% murni tanpa distorsi.

Orang yang ‘transparan’ seperti ini sangatlah jarang. Hanya berkat rahmat dan karunia-Nya saja kita bisa dipertemukan dengannya.

Senin, 28 Ramadhan 1442 H
Jelang bercermin melalui ikhtiar pembacaan kitab diri

Tuesday, May 4, 2021

 2007


Siang itu cerah sekali, langit demikian biru tanpa ada awan satupun menggantung. I thought it was going to be another one fine day. Tapi hidup memang selalu punya cara untuk memutar balikkan keadaan. Saya yang sedang duduk santai di teras saat itu tiba-tiba dikejutkan dengan suara teriakan "Tes, kesini cepat! Papamu kejang!" 


Saya berlari secepat mungkin ke dalam rumah dan menemukan Papa badannya kejang-kejang tak berdaya. Semua pengalaman saya saat bekerja sebagai dokter di bagian Gawat Darurat Rumah Sakit bagaikan lumpuh tak berdaya dihadapkan dengan situasi seperti itu. Saya terkejut, tak percaya ini terjadi pada Papa. Tak ada tanda-tanda sakit sebelumnya, hanya tekanan darah tinggi yang dalam pengobatan beberapa tahun terakhir disertai keluhan rematik dan lambung.


Ternyata ada pembuluh darah otak yang pecah, dan gumpalannya sekitar 50ml menggenang di bagian otak yang merupakan pusat bicara. Sejak terkena stroke tersebut Papa praktis tak bisa berkata-kata. Padahal beliau suka sekali ngobrol. Itu salah satu daya tariknya yang luat biasa, memiliki kemampuan bicara ngalor-ngidul bahkan dengan orang yang baru ditemuinya. Dia bisa membuat orang yang baru ditemuinya langsung merasa akrab dengannya. Setelah sakit itu keadaan Papa kian merosot, psikisnya tampak terpukul dengan keterbatasan yang ada. Harus terbaring di tempat tidur sepanjang waktu, buang air kecil dan buang air besar di sana. Saya bisa membayangkan betapa tidak nyamannya beliau. Tapi itu proses pembersihan yang Allah berikan kepada Papa.


Tepat satu bulan kemudian Papa berpulang ke Rahmatullah. Saya sedang dinas di Purwakarta saat itu. Menurut adik saya di saat terakhirnya Papa tiba-tiba bisa mengucap satu kata yang jelas, dan kata itu adalah "Tessa..." Tampaknya beliau mencari saya. Dan saya menyesal tidak bisa berada di sampingnya pada saat itu.


Saya tahu bahwa kematian adalah sebuah hal yang niscaya kita jelang. Bahkan khususnya tanda-tanda bahwa Papa akan meninggal juga sudah saya terima sekitar satu minggu sebelumnya. Tapi tampaknya tak ada yang benar-benar siap ketika orang yang kita kasihi pergi untuk selamanya. Saya masih merindukannya setiap saat bahkan air mata kerap menggenang mengenang saat-saat indah bersamanya. Bagi saya Papa adalah seorang ayah sekaligus teman yang baik dan sangat bisa diandalkan. I feel safe with him. 


Demikianlah tahun 2007 menjadi tahun duka cita bagi saya. Setelah Papa pergi, rasanya beliau masih selalu ada. Sampai-sampai sekitar sebulan setelah beliau dikuburkan, saya masih membawa kerupuk simping khas Purwakarta kesukaan beliau saat pulang di akhir pekan ke Bandung. Dan saya baru tersadarkan ketika tiba di rumah dan melihat kursi tempat ayah yang biasa didudukinya kosong melompong. He's really gone...


Tapi Tuhan tak berlama-lama membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan. Sebuah hukum alam bahwa apapun yang diambil akan kita dapatkan sesuatu gantinya. Seperti kekekalan energi, tak ada yang benar-benar hilang pada hakikatnya. Setelah kepergian Papa, tak lama kemudian saya mendapat sebuah visi (penglihatan) tentang kehadiran seorang anak bernama Elia. Maka saya namai anak pertama saya yang lahir di tahun 2012 dengan nama itu.


Patah tumbuh hilang berganti. Seperti halnya pergantian siang dan malam yang membuat kehidupan di bumi indah lestari. Juga jantung yang berdenyut dalam harmoni kontraksi dan relaksasi, memberikan kehidupan bagi bumi diri. Saya belajar bahwa ada masa-masa "kontraksi" dalam hidup dimana kita merasakan sakit. Seperti halnya rasa sakit yang harus ditanggung oleh seorang ibu saat rahimnya berkontraksi demi lahirnya si buah hati. Tapi yakinlah bahwa di setiap akhir dari kontraksi kehidupan selalu ada kelahiran karunia-karunia-Nya yang baru. 


Oignies, Belgia

Malam ke-23 Ramadhan 1442 H