Tuesday, June 29, 2021

 Bersentuhan dengan kematian rasanya banyak mengubah hidup saya.


Pengalaman pertama saya melihat jasad yang telah terbujur kaku adalah cukup mengerikan. Waktu itu saya masih kelas 1 atau 2 SD, usia sekitar 7-8 tahun. Saat lari pagi di sekitar rumah bersama ayah, tiba-tiba melihat orang berkerumun di sekitar pematang sawah. Ternyata ada mayat tergeletak di sana, kabarnya korban pembunuhan. Walaupun akhirnya almarhum ayah bergegas membawa saya beranjak dari sana. Tapi untuk beberapa detik saya sempat melihat jasad yang tertelungkup dengan posisi wajah terbenam air di sekitar pematang sawah. Saya bahkan masih ingat detilnya hingga saat ini. 


Setelah itu selang beberapa tahun, saya kembali berhadapan dengan realita kematian melalui kepergian kakek dan nenek saya yang berselang sekian tahun lamanya. Kakek dan nenek yang saya cintai. Melalui kakek saya belajar dasar-dasar mewarna, bagaimana teknik mencampur warna-warna primer. Beliau memang pembuat lukisan poster profesional. Sedangkan almarhumah nenek atau saya panggil Mbah Putri adalah sosok yang periang, wajahnya selalu tersenyum. Sejauh interaksi dengan beliau tak pernah melihat wajahnya muram atau judes. Wajah Mbah selalu menyenangkan untuk dipandang. Maka ketika beliau berdua menjelang ajalnya, saya sempat menghampiri kedua jasad beliau dan duduk di sebelahnya. Senyumnya tak lagi mengembang, mereka seperti sedang tidur, hanya saja warna kulitnya sudah berbeda. Lebih pucat. Dan terasa dingin. Ini pikir yang disebut kematian. Ketika setiap sel dalam tubuh berhenti bekerja. Otot-otot tak dapat lagi digerakkan. Senyum tak lagi mengembang. Suara yang biasa menyapa saya pun tak lagi bisa didengar melalui mulut-mulut mereka yang bagaikan terkunci rapat. Sungguh sebuah fenomena yang membuat saya merenung panjang.


Waktu berlalu, di bangku kuliah saat kedokteran saya mulai menyelami lebih dalam apa yang dinamakan 'kematian', melalui jasad manusia yang terpotong-potong rapi berupa cadaver di ruang praktikum anatomi. Saya masih ingat bau formalin yang menyengat. Kami belajar menelaah dan menghafal setiap inci bagian tubuh, mulai dari kulit hingga tulang. Tapi pengalaman observasi yang lebih nyata adalah saat menempuh koasisten di bagian forensik. Disitu kami diajarkan cara membuat laporan forensik jasad yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas, tenggelam atau korban pembunuhan.


Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti. Karena  tak ada yang menakutkan dari tubuh manusia yang sudah mati. Saya malah lebih takut pada manusia yang masih hidup jika ia jahat. Dari beberapa pengalaman berinteraksi dengan kematian itu saya memiliki kesan lebih tentang kehidupan. Bagaimana banyak orang sangat takut dengan kematian, tapi toh mereka pun tak menjalani kehidupan dalam arti yang sebenarnya. Kematian yang saya lihat berupa kematian jasad adalah hal yang nyata. Bisa diamati dengan jelas. Tapi ada jenis kematian lain yang mulai saya bisa cermati. Yaitu kematian jiwa. Orang yang nampaknya hidup tapi dalamnya mati. Tidak mudah untuk menggambarkannya. Akan tetapi gejala yang ditampakkan mirip. Seperti halnya tubuh yang mati, ia tak memberikan respon. Begitupun jika jiwa seseorang mati, ia tak akan bisa merespon kehidupan sesuai dengan petunjuk-Nya. Respon yang diberikan hanya berupa gerak horizontal, bermain di arena sebab-akibat. Tapi ia tak bisa menjangkau lebih dari itu. Akibatnya gejala yang ditimbulkan mulai nyata, ia mudah diserang khawatir, rentan tersinggung, tak tenang hatinya, penuh bara dendam, belum bisa move on, sulit untuk memaafkan, cemas akan masa depan, mudah patah, tak bersemangat, banyak mengeluh, sangat mudah bosan, tak pernah puas dengan apa yang ada. Intinya hatinya tidak damai karena kerap bergejolak. Ia sedang megap-megap, karena tubuhnya masih hidup tapi si jiwa merana.


Pendidikan saya sebagai seorang dokter selama 6 tahun penuh ditambah hampir 10 tahun praktik di lapangan melatih saya untuk menyelamatkan raga seseorang dari kematian. Tak dinyana, takdir membawa saya untuk praktik memberikan 'pengobatan' kepada mereka yang jiwanya perlu pemulihan. Termasuk diri saya sendiri. Karena cara memancing pertolongan Allah adalah dengan menolong sesama. Akhirnya saya bisa melihat bahwa selama ini saya tidak pernah berhenti praktik menjadi seorang dokter. Saya masih berpraktik, hanya berfokus pada bagian lain dari manusia.


"Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Untuk Indonesia Raya..."

Sunday, June 27, 2021

 

Lisan kita berkata “laa ilaa ha ilallah”

Tapi saat kesulitan hidup datang menerjang yang lebih kita andalkan adalah bantuan orang lain. Lalu jika yang kita andalkan tidak memenuhi harapan kita, amarah kita meluap kepada yang bersangkutan. Maka tenggelamlah kita dalam pusaran arus di samudera kehidupan yang dalam. Menggapai-gapai segenap ciptaan-Nya yang sebenarnya tak berdaya memberikan bantuan apapun tanpa Dia izinkan.

 

Lisan kita berkata “Allahu Akbar!” Lantang sekali.

Tapi saat ego diri terasa disinggung, yang lebih besar adalah amarahnya. Tuhan seakan tenggelam dalam amukan deru ombak keganasan diri sendiri yang seakan ingin melahap dan menerjang apa saja yang ada di hadapannya.

 

Lisan kita berkata “Alhamdulillah”, terutama saat mendapat kesenangan – yang biasanya terkait dengan kesenangan dunia yang mengenyangkan hawa nafsu dan syahwat.

Tapi saat Tuhan yang sama mengirimkan sakit, duka cita, kekurangan, keterlambatan, maka lisan kita kelu untuk mengucapkan kata syukur yang sama. Bukti bahwa kita masih memilah-milah pemberian dari-Nya, alih-alih melihat tangan yang menyampaikan itu semua.

 

Kalau kita boleh jujur dan bercermin ke dalam diri, betapa sering kita berkhianat kepada-Nya. Betapa banyak kita mengucapkan kata-kata sakral yang membawa nama Allah tanpa kita pahami maknanya bahkan seenaknya dilanggar sendiri.

Untung Allah Maha Penyabar. Level kesabarannya jauh tak terhingga dibanding kesabaran kita yang setitik atom dan tak terlampau kuat menahan derita. Sehingga walaupun kita berkali-kali mengucap kata-kata itu dan berkali-kali pula melanggar ucapan kita sendiri. Dia akan senantiasa berkata, “Datanglah…datanglah wahai hamba-Ku…walaupun beribu kali kau melanggar sumpahmu. Tapi datanglah lagi, datanglah…”

 

Friday, June 25, 2021

 Menyikapi Keberlebihan


Saya biasanya tidak menyimpan banyak uang kontan di dompet, karena kebanyakan transaksi   menggunakan kartu. Tapi dua hari ini tiba-tiba ada beberapa keping uang logam, lupa sisa dari mana. Tidak banyak jumlahnya. Hanya saya belajar kalau Allah memberi sesuatu yang lebih (apapun itu, tak hanya yang bersifat materi) pasti Dia sudah desain peruntukannya. Artinya kita harus biasa berpikir bahwa semua kelebihan yang dia titipkan haruslah disalurkan untuk kepentingan orang lain. Agar jangan hanya berpikir bagi kepentingan diri dan keluarga kecil kita saja.


Hari ini saya dapatkan jawabannya secara tak terduga masuklah seorang tua renta dengan mendorong rolator (alat bantu jalan). Pakaiannya nyentrik dengan jaket kulit dan selendang warna merah muda cerah. Khas dandanan hippie. Dia membawa gitar dan mulai bernyanyi lagu-lagu balada dalam Bahasa Inggris, walaupun dia memberi pengantar dalam Bahasa Belanda. Selama saya tinggal 8 tahun di Belanda jarang sekali mendapati pengamen di dalam kereta, bisa dihitung jari. 


Saat beliau mulai berkeliling menyodorkan tangannya yang terbuka, pahamlah saya untuk siapa Allah datangkan keping-keping uang logam itu...masya Allah. Indahnya Dia mengorkestrasi alam semesta kehidupan😍

 Papan pengumuman menunjukkan bahwa kereta akan berangkat 7 menit lagi. Saya perhatikan masinis sudah siap di ruang kendali 5 menit sebelumnya. Dia akan menanti agar kereta berangkat di waktu yang dijadwalkan. Tidak kurang dan tidak lebih. Karena jika terlalu cepat atau terlalu lambat akan merusak jadwal-jadwal kereta berikutnya. Akibatnya kacaulah jadwal transportasi karenanya.


Hidup juga begitu. Semua didatangkan pada saatnya. Tak ada istilah terlalu cepat atau terlambat. Itu ilusi waktu.


Memang dalam bahasa dunia ada istilah awal atau lambat jika dalam konteks dimensi waktu yang ada. But what if time doesn't even exist? Apa kemudian makna terlalu cepat, terlalu lama pun arti usia kita dan semesta?


Kompleksitas kehidupan terlalu dalam jika kita hanya menyelaminya dengan logika semata. Butuh elemen lain untuk mencerap makna di balik dinamika takdir kehidupan yang ada.


Agar kita tak tenggelam dalam kesukacitaan dan terpuruk dalam kesedihan.


Amsterdam, on my way to Central Station

25 Juni 2021 /15 Dzulqa'dah 1442 H

Sunday, June 20, 2021

 Di jalan ini, engkau harus terlebih dahulu kehilangan dirimu sendiri untuk kemudian bertemu dirimu yang sesungguhnya...


Amsterdam, Ahad 20 Juni 2021/10 Dzulqa'dah 1442 H

Thursday, June 17, 2021

 Pada prinsipnya tak ada doa yang tak Dia respon. Hanya kadang kita suka mendikte Tuhan dengan menginginkan sesuatu sesuai dengan keinginan kita yang jangkauan akalnya sangat kerdil ini. 


Kerap kali kita tidak tahu bahwa di balik sebuah permohonan yang jika itu dikabulkan malah menyimpan malapetaka yang jauh lebih besar. Kita tidak sanggup menjangkaunya, tapi Allah Ta'ala Maha Tahu. Maka Dia tahan permohonan si hamba, Maha Sabar diprasangkai buruk bahkan dicaci oleh yang berdoa, menuduh Dia tak menjawab doanya. Padahal bukan sama sekali tidak dijawab. Sebuah penahanan pemberian justru adalah suatu ekspresi kasih sayang-Nya, karena si peminta tak paham hakikat dari sesuatu yang dia minta. Seperti anak balita minta bermain-main dengan api atau benda tajam yang dalam benaknya menarik sekali. Apakah rasa sayang orang tua diwujudkan dengan memberi apapun yang dia minta, atau memilah-milah mana yang baik untuknya? Apalagi Tuhan. Rasa kasih sayang Dia melebihi kasih sayang dan keinginan untuk melindungi orang tua kepada anaknya. 


Saya pun jadi belajar lebih tentang hakikat sebuah permohonan dari seuntai kalimat Ibnu Arabi, beliau mengungkapkan sebuah adab yang luar biasa, katanya "Utamakan tidak memperoleh daripada memperoleh". Menyadari bahwa apapun pilihan Gusti Allah pasti jauh lebih baik...


Wednesday, June 16, 2021

 Pluk de dag


Itu istilah orang Belanda untuk "seize the day" atau "carpe diem". Ekspresinya menarik, karena 'pluk' itu artinya memetik. Jadi ada buah-buahan segar yang Dia sediakan untuk setiap kita setiap hari bahkan setiap saat. Terserah kita mau mengambil dan menikmatinya atau tidak. Karena kalau waktunya lewat maka hilanglah sudah kesempatan kita meraih buah-buahan jiwa itu. Demikian juga kalau kita merespon kehidupan dengan berkeluh kesah dan murang-maring ga karuan malah buahnya tidak akan jelas dimana adanya.


Hidup akan selalu punya cara untuk menguji kita. Semakin kita sabar dan syukur dengan apa-apa yang Dia hadirkan, akan semakin bahagia hidup. Dengan kebahagiaan yang hakiki, yang tak tergoyahkan oleh apapun.

Bahkan di balik kesulitan dan ujian kehidupan seberat apapun kelihatannya akan selalu ada buah-buahan yang menyehatkan diri kita. Dan hebatnya setiap saat selalu tersedia buah-buahan yang baru. Karena Sang Maha Pencipta tak pernah mencipta sesuatu yang sama. Jadi, mari kita petik hal-hal yang berharga di hari ini!😊


Tuesday, June 15, 2021

Rasanya inspirasi itu masuk seperti angin dari luar yang berhembus ke dalam diri. Ia membawa kesejukan tersendiri. Hadirnya sebuah ide, gagasan, pemikiran yang benar yang kita sadari bukan berasal dari dalam diri sendiri. 

Dengan demikian sadarilah bahwa kita sepatutnya menjadi 'ruang kosong' tempat Sang Pencipta semua itu menghembuskan kebaikan-kebaikan yang membuat dunia semarak dan dengan berbagai inspirasi yang menghangatkan. Sesuatu yang menggerakkan seorang ilmuwan, musisi, penulis, pelukis, pebisnis, pendidik, penyuluh, penyembuh dll menyuarakan ode yang sama tentang sebuah kebaikan dari Sang Maha Pencipta.

Dan semakin seseorang 'kosong' dari ego diri. Semakin ia merasa takjub dengan semua yang Dia hadirkan. Walaupun kadang berwujud sesuatu yang menyakitkan hati dan memusingkan kepala.  Tapi begitulah cara kita belajar di alam yang merupakan ujung dari selendang penciptaan. Kita tengah diajari kehadiran hijab-hijab cahaya, justru agar kita bisa melihat cahaya itu sendiri.  Dan agar kita mengetahui batas-batas diri, betapa diri tak berdaya jika suatu saat Sang Pencipta menghentikan segenap aliran inspirasi itu. Seperti fenomena "dead calm" - dimana angin sama sekali tidak berhembus berhari-hari tatkala kapal layar ada di tengah samudera - yang berpotensi membinasakan seluruh awak kapal karena kehabisan cadangan air dan makanan. 

Sering kita tidak sadar bahwa sekadar sebuah percik semangat untuk bangun di pagi hari, berolahraga, beraktivitas, bekerja, mengasuh anak dan mengerjakan segenap kegiatan yang ada hanya bisa berjalan ketika Dia meniupkan semua keinginan dan semangat itu dalam diri kita, yang tanpa itu kita akan bagaikan seonggok batu yang tak ingin bergerak. Orang mengatakan keadaan depresi, ada yang menyebutnya "burn-out", dalam level fisik fenomena yang serupa disebut sebagai paralisis. Kemudian banyak ilmuwan mencoba mendefiniskan hal itu dan mencoba memahami mekanisme bagaimana itu terjadi. Itu adalah hal yang sangat manusiawi, kebutuhan untuk memahami apa yang tengah terjadi. Tapi, kalau kita melihat ke cause prima dari semua ini. Tampaknya kita sangat tidak boleh menyepelekan keberadaan sebuah hembusan Ilahiyah. Hembusan yang sama yang bisa mengeluarkan kata "kun"!
Wallahu'alam

Saturday, June 12, 2021


"Rumi, you are in heaven!"

Kata kakaknya, sambil memperlihatkan kepada sang adik foto yang sudah dia edit sendiri.


Alhamdulillah, celetukan-celetukan anak tentang surga, akhirat, jiwa, Tuhan ini yang saya sangat syukuri. Menyadari bahwa mereka ada di lingkungan dimana mayoritas orang sudah bersifat skeptis kepada Agama, bahkan tak sedikit yang menjadi atheis. Buat kebanyakan orang Belanda yang relatif hidup dalam kenyamanan dunia - yang padahal sebuah kenyamanan semu dan sesaat- mengucapkan kata "Tuhan" itu aneh. It's not their favourite subject on a dining table and you don't even talk about this 'mumbo jumbo' alias nonsense dalam pandangan mereka, kecuali sesama penganut agama lainnya yang masih taat. Itu kenapa saya senang berteman dengan mereka, setidaknya kami tak canggung mengucap kata "Tuhan" atau "God bless" dalam hal apapun. Berdasarkan sebuah kesadaran bahwa hidup ini bukan kita yang punya dan bahwa ada Kekuatan lain di alam ini yang mengatur semesta. Sebuah Kekuatan Yang Agung yang memelihara kehidupan kita, dan sangat dapat kita andalkan.


Sebuah pengalaman hidup yang luar biasa. Saya jadi belajar bahwa sekadar mengucap "Tuhan", "God", "Blessing", "Alhamdulillah", "heaven" dan atribut-atribut agama serta ketuhanan lainnya adalah sesuatu yang benar-benar merupakan karunia yang datang dari-Nya.



 "Dengan apa kita mendengarkan?"

"Dengan telingaaa!"


Itu jawaban khas anak TK atau SD.

Tapi seiring dengan kita belajar lebih dalam kehidupan kita akan lebih paham bahwa kita sebenarnya mendengarkan dengan seluruh tubuh kita. Lho kok? Kan fungsi pendengaran itu ada di telinga. Iya  memang benar, tapi dalam proses mendengar cara kita memasang gestur tubuh akan sangat berpengaruh baik kepada yang mendengarkan maupun yang tengah berbicara.


Mari kita lihat beberapa contoh. Bayangkan Anda adalah seorang guru, tengah menjelaskan sebuah mata pelajaran di depan kelas. Lalu ada satu anak yang tampaknya tidak antusias, duduknya tidak tegak dan agak selonjoran sambil tangannya memain-mainkan pensil yang sedang dipegangnya dan matanya melihat ke jendela kelas. Bagaimana perasaan Anda sebagai pengajar? Pasti agak terganggu bukan? 


Contoh klasik lain adalah kalau kita tengah berbicara lalu lawan bicara kita sesekali mengecek teleponnya, sambil scroll down the screen. Apa yang dirasakan? Pasti merasa tak didengar atau bahkan disepelekan bukan?


Demikianlah, memang mendengarkan itu tidak hanya dengan telinga. Gestur tubuh kita saat mendengarkan akan menampakkan sejauh mana kita tengah "engaged" atau terlibat dalam pembicaraan tersebut. Oleh karena itu Rasulullah saw pun mencontohkan ketika diajak bicara dengan seseorang, beliau tidak hanya memalingkan wajahnya, tapi seluruh tubuhnya dihadapkan kepada lawan bicara. Sebuah adab yang juga ditampilkan dalam shalat, ketika berbicara dan berupaya mendengar sang Rabb. Maka dikatakan bahwa khusyunya hati seseorang saat shalat akan diikuti oleh kekhusyuan seluruh anggota tubuhnya. Makin khusyu seseorang akan semakin diam anggota tubuhnya. Ini sesuatu yang wajar sekali, bayangkan jika kita tengah bicara dengan seseorang yang tak henti menggaruk wajahnya atau berupaya menangkap nyamuk yang hinggap di kulitnya. Sungguh mengganggu sekali bukan?


Nah, kalau begitu jangan-jangan kita belum merasa mendapat jawaban dari sekian permohonan  dan doa kita bukan karena Dia yang belum merespon, tapi barangkali kita yang belum khusyu untuk mendengarkan. Wallahu'alam.

 Deep Listening


Kadang, sebagai orang tua kita diuji staminanya untuk mendengarkan sekian banyak pertanyaan atau cerita si anak yang tak jarang kita anggap "gitu-gitu aja". Apalagi misalnya kalau si anak hendak bercerita saat saya tengah mengikuti meeting online atau sedang mendengarkan pengajian. Rasanya upaya mereka untuk kontak dengan kita dengan sekadar ingin memperlihatkan satu cuplikan video lucu atau mengajukan pertanyaan dianggap sebagai sebuah gangguan semata. Dan itu tidak benar. Hati nurani saya mengatakan bahwa seharusnya saya bisa merespon dengan lebih baik terhadap apa-apa yang mereka ingin sampaikan.


Biasanya saya hanya mendengarkan ala kadarnya, jika sedang sibuk mengikuti sesuatu. Dalam ilmu komunikasi itu dinamakan "cosmetic listening", yaitu kelihatannya saja kita ngangguk-ngangguk atau bilang "iya...iya..." tapi pikiran apalagi hati kita sedang jauh dimana. Anak akan merasa kalau kita setengah hati mendengarnya. Dan tanpa kita sadari respon abal-abal yang kita berikan itu akan membuat dirinya merasa tidak begitu dihargai dan akan berpengaruh kepada percaya dirinya.


Tingkat kedua dari mendengarkan adalah "conversational listening", dimana kita mulai menjejak di percakapan itu dan bisa memberikan respon yang lebih baik, tidak sekadarnya.


Ada tingkat yang lebih lagi dari sekadar "conversational listening", skill yang biasa kita keluarkan dalam percakapan pasar, saat bertemu orang tua lain saat menjemput anak dsb. Yaitu "active listening", dimana kita tidak sekadar mendengar untuk bisa meresponnya, tapi lebih fokus dengan apa yang lawan bicara kita katakan, bahkan merekam fakta-fakta penting di dalamnya."


Tapi, seorang pendengar yang ulung akan terus bergerak jauh. Ia akan melakukan "deep listening" dengan mengkondisikan dirinya, jiwa-raga sedemikian rupa untuk terpusat pada sang pembicara.  Dengan cara mendengarkan tingkat terdalam seperti ini, maka kita tengah membuka jalur hati dengan sang pembicara. Tidak hanya merespon dengan pikiran tapi membawanya ke tataran yang lebih dalam, yaitu mempersepsi dengan hati. Tentu hal yang tidak mudah, dibutuhkan situasi yang kondusif untuk melakukannya. Tapi setidaknya kita tahu bahwa mendengar itu bukan sekadar mempersepsi dan merespon kata-kata.

Friday, June 11, 2021

 Bohong 'Kecil'


"Sori, aku telat datang soalnya macet di jalan." (Alasan klise)

Padahal seandainya dia tidak terlambat pergi tentu dia masih bisa menepati janjinya.


"Maaf Boss, bulan ini sepi order karena masih lockdown." (Mungkin alasan klise lain dengan menyalahkan situasi)

Padahal dia kurang bekerja keras mengejar target yang ada.


"Ayo cepat pergi! Mumpung yang jual lupa menghitung."

Ketika melihat kesempatan bisa nyolong secara halus.


Atau kebohongan klise lain dari orang tua yang mengajarkan tidak baik kepada anaknya. "Bilang Papa/Mama sedang tidak di rumah ya nak!"


Dalam keseharian tidak jarang seseorang tergelincir melakukan  kebohongan-kebohongan kecil yang kalau ditelusuri jauh salah sumbernya adalah karena kekurangmampuan untuk mengambil tanggung jawab. Contoh melempar kesalahan kepada situasi macet atau lockdown di masa pandemi, alih-alih mengakui kekurangan diri. Atau didasarkan karena adanya potensi sifat tamak dalam diri, yang hal itu akan tertampakkan begitu ada peluang di depan mata. Bisa berupa peluang kecil-kecilan seperti si Abang Bakso lupa menghitung minuman lalu si pembeli ngeloyor pergi pura-pura tak tahu. Atau kasir di supermarket lupa scan satu barang dan yang beli tahu itu belum dibayar tapi toh dimasukkan juga ke dalam kantung sambil bilang "lumayan gratis!" - na'udzubillah padahal barang itu jadi bersifat barang curian dan akan membawa celaka.


Atau orang tua yang mencontohkan berbohong kepada anak ketika ada tamu yang tak diharapkan barangkali, alih-alih bersikap ksatria mengambil tanggung jawab menghadapinya ia malah bersembunyi laiknya seorang pengecut di balik ketiak anaknya sendiri.


Bohong-bohong kecil yang terlontar itu sebenarnya tanda bahwa di titik itu sedang tidak ada cahaya iman dalam hati seseorang.


Pernah ditanyakan kepada Rasulullah S.A.W, “Mungkinkah seorang Mukmin itu pengecut?”. ”Mungkin,” jawab Rasulullah. 


“Mungkinkah seorang Mukmin itu bakhil?”. ”Ya, mungkin,” lanjut Rasulullah. 


"Mungkinkah seorang Mukmin itu pembohong?”. Rasulullah S.A.W menjawab, “Tidak!”.”


(Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatta’ & Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)


Berbohong pada hakikatnya adalah sebuah kekufuran. Ia menjadi hijab yang menghalangi cahaya Allah agar dapat menerangi hati. Mungkin ia merasa itu hanya bohong kecil, tapi adab seorang hamba adalah tidak membeda-bedakan bobot sebuah dosa, karena yang Maha Mengetahui apakah sebuah dosa itu besar atau kecil adalah Allah Ta'ala.


Jika kita menyadari masih memiliki kecenderungan untuk melakukan bohong-bohong kecil seperti itu, mulailah beristighfar. Karena Rasulullah saw melarang bahkan berbohong dalam candaan. Demikian ketatnya beliau menuntun umatnya agar senantiasa lurus lisannya. Karena lisan itu merupakan cerminan hati. Lisan yang bengkok cermin hati yang belum ikhlas mencari Allah Ta'ala, dia masih tengok kanan-kiri dan tertawan oleh sesuatu selain-Nya.


Dengan istighfar yang disertai shalawat dan taubat semoga Allah Ta'ala berkenan mencabut sayyi'ah (sifat-sifat buruk dalam diri) dan menggantinya dengan sifat-sifat yang baik (hasanah). Aamiin...

Monday, June 7, 2021

 Jika kau gagal menghayati pekerjaan yang kau anggap kecil, maka jangan bermimpi Tuhan akan memandang kepada pekerjaanmu yang kau anggap besar itu.


6 Juni 2021/25 Syawwal 1442 H

Thursday, June 3, 2021

 "Cool Muslim"


Saya perhatikan selama tinggal di Belanda, salah satu penyebab resistensi masyarakat terhadap Islam adalah kegagapannya dalam membedakan antara budaya yang ditampilkan oleh representasi umat Muslim dengan latar belakang tertentu dengan agama yang dianutnya.

Di Belanda misalnya, umat Muslim direpresentasikan mayoritas oleh kaum imigran keturunan Turki atau Maroko yang sudah berkembang menginjak generasi ketiga. Patut dicermati secara histori, kebanyakan orang tua mereka adalah kaum buruh yang awalnya diundang untuk melakukan berbagai pekerjaan kasar di ladang-ladang, pertanian atau perkebunan dan umumnya berpendidikan rendah. Konsekuensi dari pendidikan yang rendah itu, tidak sedikit dari mereka yang tidak bisa membaca - ini salah satu penyebab mereka tidak berbaur dengan orang di luar komunitasnya, selain itu budaya komunikasi dan berargumentasi it's simply not in their system. Yang terjadi kemudian adalah anak-anak dan cucu mereka yang harus menghadapi kenyataan budaya yang berbeda dengan apa yang orang tuanya ajarkan mengalami 'gegar budaya'.

Pengajaran aspek syariat agama yang terlalu keras tanpa dijelaskan apa landasan yang membangun sebuah syariat atau inner dimension of Islam - ternyata berdampak menimbulkan perilaku yang keras pada generasi berikutnya. Tidak sedikit yang kemudian berkonfrontasi dengan kenyataan budaya masyarakat yang berbeda dan dianggap 'menyalahi aturan agama'. Berbagai insiden seperti sekumpulan pemuda Maroko yang mencela perempuan yang mengenakan pakaian serba minim di musim panas atau bahkan oknum gerombolan pemuda yang membunuh seseorang homoseksual dengan cara didorong dari gedung tinggi membuat gempar negeri ini. Dan masyarakat luas pun dengan terburu-buru menyimpulkan, "Inikah kelakukan umat Islam?" Padahal itu dilakukan oleh oknum tertentu, yang kebetulan Muslim.

Di sisi lain, warna Islam yang ditampilkan oleh orang Indonesia itu secara umum berbeda. Lagi-lagi bisa jadi berkaitan dengan latar belakang generasi awal yang bermigrasi ke negeri ini yang kebanyakan kaum pelajar atau pebisnis. Juga budaya tepo seliro atau toleransi serta keramahan orang Indonesia dikenal demikian menonjol dan memberikan warna lain dari tampilan umat Islam yang ada.

Sepertinya, ketakutan kebanyakan orang Barat terhadap Islam semata-mata karena mereka belum mengetahui banyak tentang keseluruhan aspek agama yang mulia ini, terlebih karena belum ada contoh teladan yang dapat mereka jadikan rujukan di lingkungan sekitar mereka sendiri.

Ketika saya menjelaskan berbagai salah paham dari salah seorang teman saya, perempuan Perancis yang lama tinggal di Belanda dan memiliki sentimen tersendiri tentang Islam. Dia terperangah dan banyak menganggukkan kepalanya saat mendengarkan penuturan saya dengan seksama. Di akhir pembicaraan, dia akhirnya membuat kesimpulan seperti ini, " I think you are a cool Muslim" :) Semoga jadi bagian menolong agama Allah...aamiin.