Tuesday, June 29, 2021

 Bersentuhan dengan kematian rasanya banyak mengubah hidup saya.


Pengalaman pertama saya melihat jasad yang telah terbujur kaku adalah cukup mengerikan. Waktu itu saya masih kelas 1 atau 2 SD, usia sekitar 7-8 tahun. Saat lari pagi di sekitar rumah bersama ayah, tiba-tiba melihat orang berkerumun di sekitar pematang sawah. Ternyata ada mayat tergeletak di sana, kabarnya korban pembunuhan. Walaupun akhirnya almarhum ayah bergegas membawa saya beranjak dari sana. Tapi untuk beberapa detik saya sempat melihat jasad yang tertelungkup dengan posisi wajah terbenam air di sekitar pematang sawah. Saya bahkan masih ingat detilnya hingga saat ini. 


Setelah itu selang beberapa tahun, saya kembali berhadapan dengan realita kematian melalui kepergian kakek dan nenek saya yang berselang sekian tahun lamanya. Kakek dan nenek yang saya cintai. Melalui kakek saya belajar dasar-dasar mewarna, bagaimana teknik mencampur warna-warna primer. Beliau memang pembuat lukisan poster profesional. Sedangkan almarhumah nenek atau saya panggil Mbah Putri adalah sosok yang periang, wajahnya selalu tersenyum. Sejauh interaksi dengan beliau tak pernah melihat wajahnya muram atau judes. Wajah Mbah selalu menyenangkan untuk dipandang. Maka ketika beliau berdua menjelang ajalnya, saya sempat menghampiri kedua jasad beliau dan duduk di sebelahnya. Senyumnya tak lagi mengembang, mereka seperti sedang tidur, hanya saja warna kulitnya sudah berbeda. Lebih pucat. Dan terasa dingin. Ini pikir yang disebut kematian. Ketika setiap sel dalam tubuh berhenti bekerja. Otot-otot tak dapat lagi digerakkan. Senyum tak lagi mengembang. Suara yang biasa menyapa saya pun tak lagi bisa didengar melalui mulut-mulut mereka yang bagaikan terkunci rapat. Sungguh sebuah fenomena yang membuat saya merenung panjang.


Waktu berlalu, di bangku kuliah saat kedokteran saya mulai menyelami lebih dalam apa yang dinamakan 'kematian', melalui jasad manusia yang terpotong-potong rapi berupa cadaver di ruang praktikum anatomi. Saya masih ingat bau formalin yang menyengat. Kami belajar menelaah dan menghafal setiap inci bagian tubuh, mulai dari kulit hingga tulang. Tapi pengalaman observasi yang lebih nyata adalah saat menempuh koasisten di bagian forensik. Disitu kami diajarkan cara membuat laporan forensik jasad yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas, tenggelam atau korban pembunuhan.


Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti. Karena  tak ada yang menakutkan dari tubuh manusia yang sudah mati. Saya malah lebih takut pada manusia yang masih hidup jika ia jahat. Dari beberapa pengalaman berinteraksi dengan kematian itu saya memiliki kesan lebih tentang kehidupan. Bagaimana banyak orang sangat takut dengan kematian, tapi toh mereka pun tak menjalani kehidupan dalam arti yang sebenarnya. Kematian yang saya lihat berupa kematian jasad adalah hal yang nyata. Bisa diamati dengan jelas. Tapi ada jenis kematian lain yang mulai saya bisa cermati. Yaitu kematian jiwa. Orang yang nampaknya hidup tapi dalamnya mati. Tidak mudah untuk menggambarkannya. Akan tetapi gejala yang ditampakkan mirip. Seperti halnya tubuh yang mati, ia tak memberikan respon. Begitupun jika jiwa seseorang mati, ia tak akan bisa merespon kehidupan sesuai dengan petunjuk-Nya. Respon yang diberikan hanya berupa gerak horizontal, bermain di arena sebab-akibat. Tapi ia tak bisa menjangkau lebih dari itu. Akibatnya gejala yang ditimbulkan mulai nyata, ia mudah diserang khawatir, rentan tersinggung, tak tenang hatinya, penuh bara dendam, belum bisa move on, sulit untuk memaafkan, cemas akan masa depan, mudah patah, tak bersemangat, banyak mengeluh, sangat mudah bosan, tak pernah puas dengan apa yang ada. Intinya hatinya tidak damai karena kerap bergejolak. Ia sedang megap-megap, karena tubuhnya masih hidup tapi si jiwa merana.


Pendidikan saya sebagai seorang dokter selama 6 tahun penuh ditambah hampir 10 tahun praktik di lapangan melatih saya untuk menyelamatkan raga seseorang dari kematian. Tak dinyana, takdir membawa saya untuk praktik memberikan 'pengobatan' kepada mereka yang jiwanya perlu pemulihan. Termasuk diri saya sendiri. Karena cara memancing pertolongan Allah adalah dengan menolong sesama. Akhirnya saya bisa melihat bahwa selama ini saya tidak pernah berhenti praktik menjadi seorang dokter. Saya masih berpraktik, hanya berfokus pada bagian lain dari manusia.


"Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Untuk Indonesia Raya..."

No comments:

Post a Comment