Friday, September 27, 2019


Setiap manusia Allah genggam kehidupannya lahir dan batin. Setiap takdir yang telah terjadi terwujud dalam perhitungan Ilmu-Nya, artinya Dia mustahil menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Oleh karenanya sangat tidak bisa manusia menilai keadaan orang lain berdasarkan masa lalu kelamnya saja. Karena bisa jadi orang yang ditakdirkan terpeleset hidupnya justru memiliki akhir yang baik dengan hati yang bertaubat. Sementara orang yang tampak baik dan shalih kehidupannya bisa jadi berakhir celaka karena di dalam hatinya menyimpan sekian banyak kemusyrikan dan bangga diri, sebuah dosa yang bisa menjatuhkan Iblis dari makhluk yang dekat dengan-Nya menjadi terpental ke jurang kenistaan.

Takdir orang biarlah menjadi rahasia antara dirinya dengan Tuhannya. Tak perlu sibuk menilai orang lain, menganalisa rumah tangga orang lain, atau turut campur dalam permasalahan yang bukan urusan kita. Bukankah kita sendiri pun masih kelabakan melihat ke dalam diri, bagaimana belepotannya hati kita oleh lumpur-lumpur kelalaian dan ketidakikhlasan.

Semua orang memiliki jalan dan temponya masing-masing untuk kembali kepada Allah.

Be kind, for everyone you meet is fighting a hard battle. - Platon

Saturday, September 21, 2019

Orang itu butuh memaknai kegiatan dan pekerjaannya. Bahwa aktivitasnya seremeh apapun kelihatannya adalah bagian dari konstelasi agung semesta alam.

Jika Dia tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia, maka sadarilah bahwa tidak ada satupun angin takdir yang tak bermakna. Semua diizinkan hadir dengan sebuah tujuan agung.

Apapun yang dihadirkan ke tangan kita saat ini, entah itu pekerjaan, usaha, anak, keluarga, semuanya adalah anak-anak tangga yang harus kita daki agar si jiwa naik ke langit melalui semua itu.

Setiap kita harus menjadi pohon yang akarnya menghunjam kuat ke tanah dan cabang-cabangnya merentang ke langit. Tanah bumi dan kehidupan kita harus dipegang kuat-kuat dan disikapi sebaik-baiknya, itu syarat agar jiwa kita bisa makin merentang ke langit dan merengguk pengetahuan-Nya yang suci.

Itulah mengapa sifat mengeluhkan keadaan dengan didasari kelemahan jiwa merupakan salah satu dosa yang fatal. Karena saat seseorang mengeluhkan keadaannya, tidak menerima ketetapan-Nya dan berkecil hati dengan kehidupan sambil mengerjakan semua aktivitas seadanya tanpa sungguh-sungguh. Ia seperti mencerabut akar pohon diri dari tanah kehidupan yang justru akan melontarkannya ke langit.

Sekarang, mari kita berkaca ke dalam diri. Sekuat apa akar-akar kita menghunjam ke bumi diri dan memegang semua amanah yang Dia berikan?

Thursday, September 19, 2019


Ikhlas itu perkara yang tidak mudah, karena terkait  dengan tauhid. Maka seorang yang ikhlas adalah orang yang bergantung kepada Allah sepenuhnya baik itu dalam persoalan diantara manusia maupun dalam persoalan mencari rezeki.

Kebergantungan kita kepada sesuatu selain Allah itulah yang kemudian melahirkan penderitaan bagi dirinya sendiri.

Seorang yang terlampau bergantung kepada pasangan akan kecewa berat manakala orang yang dia cintai justru menyakitinya.

Seorang yang demikian tergantung kepada pekerjaan atau usahanya demi mencukup kehidupannya akan terseret dalam pusaran kesibukan yang tak kenal henti dan membuat penat serta lemah jiwanya.

Seorang yang terjerat dalam mencari status dan kedudukan di hadapan manusia akan terjerembab dalam kehidupan yang bukan miliknya yang sejati dan tidak membawa kebahagiaan yang hakiki.

Pontang-pantingnya kita dalam kehidupan. Lelah hatinya kita menghadapi tantangan hidup. Dan murung raut muka kita menyongsong takdir suci-Nya adalah semata-mata karena hati masih tertawan pada obyek-obyek yang fana, sesuatu selain Allah Ta’ala Sang Keabadian.

Maka pada prinsipnya setiap manusia tengah tersentuh oleh syaithan selama ia tidak betul-betul mencari Allah.

Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis (ikhlas) di antara mereka.” (QS Al Hijr [15]:39-40)
Siang malam manusia mencari kebahagiaan yang dikiranya berada di luar takdir hidupnya.
Padahal istana kebahagiaan itu terletak di setiap detak jantungnya sendiri.

Tuesday, September 17, 2019


Kisah Yaqub as menitipkan Yusuf, anak kesayangannya agar dilindungi oleh kakak-kakaknya adalah sebuah pelajaran tentang sebuah adab. Bagi seorang Nabi, yang derajat kedekatan dengan Allah lebih tinggi dibanding kebanyakan manusia, adalah berat sebuah konsekuensi yang harus ditanggung ketika beliau menitipkan Yusuf dalam perlindungan kakak-kakaknya tanpa terlebih dahulu memohon perlindungan Allah. Yang terjadi kemudian justru melalui kakak-kakaknya itulah Yusuf dicelakakan dengan dimasukkan ke dalam sebuah sumur. Yaqub as, sebagai ayah ditimpa oleh kesedihan yang dalam hingga membutakan matanya selama berpuluh tahun lamanya. Namun beliau tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. Hingga akhirnya ia dipertemukan lagi dengan Yusuf yang sudah menjadi pejabat di kerajaan Mesir, dan penglihatannya pun pulih kembali.

Apa pelajaran kisah ini untuk kita? Dalam keseharian kita pun tak jarang terpeleset mengandalkan hal-hal lain selain Allah yang kita anggap menjamin masa depan anak-anak kita. Kita mengandalkan sekolah yang reputasinya dikenal baik itu, kita mengandalkan guru-guru yang lulusan luar negeri itu, kita mengandalkan sekolah di luar negeri, kita mengandalkan asuransi dan lain-lain seolah-olah semua itu lebih menjamin masa depan dan kebahagiaan anak dibanding Allah Ta’ ala.

Kemudian seperti Yusuf yang terpuruk di dasar sumur, anak-anak kita pun terpuruk dalam depresi, kecanduan, kesedihan yang tak berujung yang kita dibuat susah karenanya. Pun ketika semua itu terjadi, jurus andalan kita masih mencari-cari terapi horizontal untuk menyembuhkan anak-anak kita. Barangkali berobat ke psikiater top itu, barangkali dikirim ke pesantren itu, barangkali dimasukkan program tertentu. Akan tetapi Allah yang demikian dekat, yang memanggilnya bisa kapanpun juga, jarang kita mintai terlebih dahulu pertolongan. Padahal semesta digerakkan oleh-Nya.

Adalah mudah bagi Allah membuat hati yang duka menjadi gembira, adalah seperti membalikkan telapak tangan bagi Dzat Yang Maha Kuasa untuk membuat penyakit seseorang hilang begitu saja.Lantas kenapa kita begitu dibuat susah karenanya? Bukankah Allah Maha Dekat dan Maha Mengetahui isi hati kita? 

Kalau Dia sudah demikian sangat siap untuk membantu. Jangan-jangan kita yang masih belum siap menerima pertolongan dari-Nya karena demikian tersibukkan mencari-cari sendiri jalan keluar yang belum tentu itu.

Belajar dari kisah Yaqub, bahkan dari sebuah musibah besar dalam kehidupan selalu tersimpan harapan akan rahmat-Nya. Sebuah akhir yang baik. A happy ending. 



Monday, September 16, 2019

Syukuri apa yang Allah hadirkan per saat ini ke kehidupan kita masing-masing.
Sungguh itu kunci bahagia.

Nikmati yang masih harus mengurus anak kecil yang gelayutan di punggung saat shalat. Doakan mereka.

Nikmati pekerjaan yang ada walau hati mengharap bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Berkaryalah dengan baik, jangan kerja asal-asalan. Karena kunci mendapat rezeki berkah di depan justru dengan mengerjakan apa yang ada dengan sebaik-baiknya. Bukankah pekerjaan itu pun hadir dengan izinNya?

Nikmati yang harus berjibaku mengurus dan menanggung orang tua atau keluarga yang sakit dan membutuhkan. Sebuah kehormatan Allah berkenan mengeluarkan rezekiNya dari tangan kita. Karena toh sebetulnya Dia mampu mengubah keadaan keluarga kita itu sekejap hingga membalikkan keadaannya menjadi tidak membutuhkan kita?

Nikmati berinteraksi dengan pasangan yang sering menyebalkan. Walau terlintas sekian kali untuk berpisah. Tapi jika Allah masih bukakan jalan kebersamaan walau hanya bertahan pada sehelai benang, maka lakukanlah. Itu adab yang baik dalam mensikapi kehidupan.

Semua hal jadi indah dan dimaknai ketika kita menyertakan Allah dalam cara pandang kehidupan. Agar kita tidak terjebak pada hitam-putih kehidupan. Tidak lupa diri saat hidup mudah. Pun tak putus semangat saat kesulitan mendera. Insya Allah.

Ruginya kalau kita bekerja hanya demi uang. Karena kalau itu motivasinya, maka kita akan cenderung mudah diiming-iming sebuah jalan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan upaya seminim mungkin. Bahkan harus mengorbankan prinsip kejujuran.

Yang dicari dalam bekerja itu keridhoan Allah. Kalau Allah sudah tersenyum dan ridho maka semua akan beres, bahkan pada hal-hal yang kita tidak tahu akan berpotensi timbul menjadi masalah. Penjagaan Allah jauh lebih baik dibanding sekian skema mengamankan kehidupan yang kita rancang.

Agar Allah ridho, sertakan Dia dalam setiap apapun yang kita lakukan. Minimal mulai dengan menyebut nama-Nya, “Bismillahirrahmaanirrahiim”. Lalu berangkatlah ke kantor, berniaga, ke kampus, mengurus anak, dan sekian banyak aktivitas lain.

Jika seseorang bekerja dengan prinsip ini, pasti ia akan berjuang untuk produktif. Walaupun belum ditempatkan dalam pekerjaan yang tidak pas betul dengan panggilan jiwanya. Tapi dia akan menghargai apa yang Allah hadirkan dengan mempersembahkan etos kerja yang tinggi sebagai tanda syukur kepada-Nya.

Inilah pekerjaan yang membuahkan keberkahan. Jadi tidak asal menghabiskan waktu seharian dengan tak henti menghitung kapan saatnya gajian. Rugi. Kita akan kehilangan sekian banyak rezeki lahir-batin yang Allah tebar kalau kita menghayati setiap langkah kaki kita dalam kerja dan aktivitas apapun.

Ciri keberkahan mengalir melalui pekerjaan atau bisnis kita adalah semakin menambah kualitas ibadah. Shalat tidak keteteran, malah bisa semakin tepat waktu dan kualitas khusyu meningkat. Hati menjadi lebih legowo, tidak gampang emosi dan akhlak menjadi semakin baik dengan sekitarnya. Itu hal yang niscaya ketika dalam shalat hati kita berusaha ihsan, menghadirkan-Nya. Maka Allah pun hadir. Dan kehadiran-Nya akan mencahayai jiwa. Ini rezeki yang tak ada duanya. Tidak ada yang jual di bumi ini. Tapi betul-betul kita bisa raih dengan apapun amanah yang Dia sampaikan ke tangan kita saat ini. Kalau kita bisa menghayati pekerjaan demikian rupa. Hal seperti gaji, imbalan dan lain-lain jadi biasa saja disikapi. Anggap saja bonus.

Sunday, September 15, 2019

“I’m living my dream!” Kataku dalam hati.
Aku memang pernah menikmati saat-saat itu. Travelling dari kota ke kota di Indonesia hingga keluar negeri dengan fasilitas menginap di hotel berbintang, antar jemput ke bandara, jamuan makan malam mewah, semua fasilitas dari kantor tentunya.

Ratusan presentasi kulakukan, things that i love the most - up until now-,l. Mulai dari presentasi di skala lokal dengan audiens puluhan orang hingga skala internasional dengan audiens ratusan orang. “God i really nailed it” My ego keeps encouraging me.

Sampai satu saat...
Rasa lelah itu tiba.
Bosan.
Semua fasilitas mewah yang biasa dinikmati jadi terasa hambar.

What am i doing here?
Do i really want to do it for the rest of my life?

Tiba-tiba aku mempertanyakan semuanya.
I feel misplaced.
I don’t belong here anymore.

Dalam kebingungan untung punya Tuhan.
Dia Baik Sekali.
Sungguh Maha Merespon.

Saya tidak dibiarkan-Nya sendiri.
Tidak dilepas-Nya dalam kebingungan.

Ajaib bagaimana semesta kita berubah.
Hanya dengan sebaris kata yang diucapkan dari lubuk hati dengan bibir yang gemetar dilanda kerinduan.
“To be with You, whatever it takes i’ll do...”

Perlahan-laham dunia kita berubah.
Slowly but sure.
Cara pandang terhadap hidup pun berubah, demikian juga bagaimana memperlakukan sesama manusia dan lingkungan.

Dan diluar dugaan, takdir-Nya membawaku ke sebuah kehidupan yang tak terbayangkan sebelumnya. Akalku dibuat lumpuh sementara waktu untuk mengambil sebuah keputusan gila. Melepas karir cerah dan semua zona nyaman. Ke sebuah negeri antah berantah dengan penuh ketidaktahuan akan apa yang akan dijelang.

But exactly at that moment, we are dare to take the leap of faith. Berpegangan hanya pada-Nya.
Dan seperti biasa, Dia selalu hadir menemani.
Tak pernah berkedip sekejap matapun.

Duniaku telah berubah.
Kesenanganku berganti wajah.
I’m settling down now.
Diberi kehidupan yang menghidupkan jiwa. Alhamdulillah.

Kita semua bisa, asal berani melepas kehidupan lama.
Surrender to God’s will...
Dan saksikan bagaimana Dia dengan ajaib memutar semesta.

The moment you experience this.
I bet, you wouldn’t trade it for the world.

Saturday, September 14, 2019

Jujur ya.
Kalau kita merasa bangga dengan pujian. Senang kalau dipuji dan marah kalau dikritik. Itu tanda masih ada kesombongan dalam hati.

Senang dipuji karena merasa dirinya yang berhak mendapat pujian. Padahal tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

Marah kalau dikritik tanda kalau diri merasa baik, tidak terima saat ditunjukkan kekurangan diri. Masih dekat dengan sifat sombong.

Kalau orang yang bersih hatinya, dipuji akan dikembalikan pujian itu kepada Allah, sadar bahwa dirinya tidak berhak menerima pujian itu.

Kalau bening hatinya, dikritik atau dimarahi akan menerima jika memang ada hal yang dapat diperbaiki. Atau kalau memang kritikan itu tidak akurat, ia pun tak akan marah kepada yang melontarkan kritik karena memang tidak benar adanya.

Demikianlah, dinamika dunia dan pergaulan sungguh sebuah pertolongan dari Allah agar kita bisa bercermin dengannya tentang keadaan hati yang dalam yang sulit diteropong itu.

Apakah kita masih pemarah? Ngambekan? Gampang tersinggung? Egonya tinggi? Gila pujian?

Berkacalah dengan baik. Sungguh tak akan seseorang Allah izinkan berkata sesuatu atau berbuat sesuatu kepada kita kecuali untuk mengajari kita sesuatu. Dan ilmu yang paling utama sebelum mengenal Allah adalah mengenal diri. Keburukan dan kejahatan yang menyelinap dalam hati. Ya, kita yang merasa sudah baik ini padahal hatinya masih berbau busuk. Naudzubillah...

Thursday, September 12, 2019

Saat shalat adalah saat ketika seseorang berada di atas shiraathal mustaqiimnya. Makanya perjuangkan akan shalat di awal waktu agar meraih cahaya keberkahan yang optimal. Cahaya itu yang akan memandu kita di penggal-penggal waktu antara shalat. Cahaya itu yang akan membuka keberkahan lahir dan batin. Cahaya itu yang membawa kesegaran bagi jiwa kita.

Bagi kaum perempuan yang sedang berhalangan, tetaplah hadirkan hati di saat adzan memanggil. Berhenti sejenak dari segenap kesibukan. Duduk bersimpuh di hadapan-Nya. Kalibrasi lagi hati yang sempat beriak karena emosi. Tenangkan hati yang melulu ingin terburu-buru. Larutkan dalam harmoni ritme semesta yang tenang, damai dan berserah diri.

Jika kita memerlakukan saat-saat shalat dengan adab yang tinggi, barulah shalat itu berfungsi jadi tiang agama. Tiang kehidupan. Tiang kebahagiaan. Agar hidup kita tidak runtuh di dalam. Agar kita tidak mudah rapuh. Agar kita bisa tegak berjalan apapun yang terjadi. Itulah kekuatan dari shalat. Sebuah pertemuan rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya.
Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Tuesday, September 10, 2019

Besi yang keras bisa lunak dengan izin Allah di tangan Daud as.
Api yang membara bisa terasa dingin dengan izin Allah di hadapan Ibrahim as.
Burung gagak ditundukkan untuk memberi makan Ilyas as dengan izin Allah.

Mereka, para nabi adalah manusia juga seperti kita. Bedanya cara mereka menyikapi kehidupan demikian bergantung penuh kepada Allah Sang Penguasa seluruh alam. Jadinya efektif, indah dan menakjubkan.

Adapun kita sering terlalu percaya dengan kemampuan diri, terlalu bergantung kepada simpanan dan aset yang ada, terlalu mengandalkan pasangan, terlalu takut kehilangan dunia tapi tak begitu takut kehilangan senyum Allah. Buat kita barangkali Allah hanya penghias bibir di sekian menit shalat yang kering maknanya di hati. Sekadar melakukan agar terbebas dari kewajiban. Free from guilty feeling.

Kita lupa bahwa medan kehidupan ini adalah papan catur-Nya dan kita adalah bidak-bidak yang sedang berkesempatan nangkring di atas papan, menjalani satu set permainan dan akhirnya mati. Keluar dari papan dunia. Di atas papan ini ada hukum yang berlaku. Hukum-Nya. Jadi mengada-adakan hukum dan berjalan-jalan sendiri hanya berdampak membuat runyam permainan.

Siang malam kita didera oleh urusan yang tak ada habis-habisnya. Masalah yang tak kunjung usai, utang yang tak juga lunas, penyakit yang tak  sembuh-sembuh, konflik yang tak pernah reda, kesepian yang selalu mencekik dan sekian rasa tak nyaman yang membuat kita bagai ada dalam neraka dunia. Kita kepayahan, terseok-seok menjalaninya. Minggu demi minggu terasa bagai pecutan cambuk di punggung seorang budak, disaat kita harus menghadapi pekerjaan atau kehidupan yang kita anggap sebagai beban.

What's wrong with us?

Kenapa seorang Ilyas as walaupun tubuhnya kurus kering dan hanya memakan biji-bijian tapi mulutnya bisa terus bersyukur.

Kenapa seorang Ayyub as yang kehilangan seluruh anggota keluarganya habis, harta bendanya hilang dan bahkan tubuhnya berpenyakit yang membuat semua orang menjauh darinya. Tapi hatinya masih memuja Allah?

Kenapa seorang Yesaya as yang tahu akhir hidupnya akan digergaji menjadi dua terus tegap berjalan menyongsong takdirnya dengan pengharapan yang tak pernah pudar pada-Nya?

Kenapa seorang Zakariya as yang berdoa enam puluh tahun memohon keturunan, dalam penantiannya berkata bahwa ia tak pernah kecewa kepada Allah?

Tapi kita, baru diberi kekurangan sedikit sudah kalang kabut. Badan diberi sakit sedikit sudah marah kepada Allah. Difitnah sedikit sudah naik pitam. Padahal kebanyakan kita saya yakin ujian kehidupannya bahkan tak seberapa dibanding yang telah dialami oleh orang-orang terdahulu.

Jangan-jangan kita kurang tepat menyikapi kehidupan. Karena hati terlalu condong kepada selain Allah. Akibatnya Allah menyerahkan nasib kita kepada dunia dan kita menjadi menderita karenanya. Lantas apa gunanya kita bersujud, apa fungsi kita punya Tuhan Yang Maha Kuasa kalau kita sendiri berlagak seperti tuhan yang mencoba mengatur-atur kehidupan sambil tak punya kapasitas itu. Buktinya kita terkapar berkali-kali, dibuat kecewa oleh fatamorgana pilihan yang kita anggap baik. Kenyataannya kita kepayahan menghadapi sekian banyak problematika di hadapan kita.

Padahal Allah, Tuhan yang sama melunakkan besi untuk Daud as, sangat bisa melunakkan hati pasangan, orang tua atau atasan yang keras.

Allah, Tuhan yang sama yang membuat api menjadi terasa dingin untuk Ibrahim as, sangat kuasa mendinginkan hati kita menjadi tenang walau ujian kehidupan orang lain lihat begitu bertubi-tubi menghantam.

Allah, Tuhan yang sama menundukkan seekor gagak untuk menghidupi Ilyas as, sangat kuasa menundukkan alam untuk mencukupi sekadar kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan sekolah anak kita.

Sungguh kita harusnya tenang menghadapi hidup jika berjalan bersama-Nya. All we have to do is ask. Humbly ask...
Biasanya kalau hujan turun enggan keluar rumah untuk bersepeda. Tapi hari ini berhubung sudah janjian, walaupun hujan deras ditempuh juga. Jaraknya cukup lumayan 18km pp. Dan anehnya saya bisa sangat menikmati perjalanan walaupun wajah basah oleh limpahan air hujan. Padahal biasanya kalau hujan turun sedikit saja sudah buru-buru berteduh atau langsung ngebut pulang. Kenapa bisa berbeda kali ini?

Saya lalu melihat diri sendiri. Kali ini pakaian, jas, topi dan sepatu sudah pakai khusus cuaca hujan. Tahan air.
Barangkali ini kiranya saya jadi lebih bisa bersahabat dengan hujan. Karena saya sudah dibekali dengan pakaian yang memadai. Jadi ingat pepatah orang-orang Skandinavia yang cuacanya banyak hujan dan dingin, mereka bilang "There is no such thing as bad weather, only unsuitable clothing."

Menempuh kehidupan juga begitu. Kala tidak siap dengan perubahan hidup, maka siap-siap pontang-panting dibuatnya. Karena kehidupan tidak akan pernah statis, dinamika kehidupan adalah hukum alam. Seperti bumi yang berputar agar setiap bagiannya terkena sinar matahari dengan baik. Ada siang dan ada malam. Jika bumi berhenti berputar maka akan punahlah umat manusia. Di satu bagian bumi akan sangat panas hingga tak bisa ditinggali, sementara wajah lain yang tak kena matahari akan dingin seperti zaman es, bahkan lebih parah.

Kalau tahu natur kehidupan akan terus berubah, maka bersiaplah akan datangnya perubahan. Tidak selamanya roda di kehidupan di bawah. Juga tak selamanya di atas. Kadang kita senang, kadang sedih. Kadang rumah tangga rukun, kadang ribut ga karuan. Kadang anak lucu dan nurut, kadang jadi nyebelin dan membangkang.

Di semua perubahan itu sebenarnya ada pengaturan Gusti Allah yang menyehatkan jiwa. Karena manusia itu kalau dilepas, selalu diberi senang dan mudah terus akan lupa dan cenderumg sombong seperti Iblis. Di sisi lain kalau ditarik, selalu susah hidupnya akan patah. Maka Allah akan pergilirkan semua dalam kadar yang presisi.

Kalau saat hujan ya pakai pakaian hujan and life goes on.
Kalau sedang panas ya pakai pelindung dari matahari and life goes on.

Berjalan menuju Allah itu memerlukan keteguhan hati yang kuat. Jangan seperti orang yang disindir di Al Quran, kalau ada kilat sesekali baru berjalan. Kalau lagi senang doanya dikabul semangat ngaji. Tapi begitu merasa terpuruk lantas mutung dan menjauh dari jalanNya. Itu tanda jiwa yang masih kekanak-kanakan.

Kalau benar-benar serius ingin dekat dengan Allah maka hujan , panas, angin, bahkan badai sekalipun akan  ditembus. Walau harus merangkak.
Makanya, berbekallah dengan baik, agar kita bisa menikmati perjalanan. "Dan sebaik-baik bekal adalah Taqwa" QS Al Baqarah:197

Friday, September 6, 2019

I want to make a confession.
Dulu waktu SMA pernah beberapa kali tidak mengerjakan pekerjaan rumah mata pelajaran Kimia, karena tidak mengerti. Walhasil saya berpagi-pagi datang dan nyontek kawan saya yang lebih jago kimianya.

Saya keok kalau disuruh mengerjakan  soal kimia. Tapi kalau disuruh mengerjakan matematika atau fisika, senang sekali. Maka setiap diberi pe-er kimoa itu horror. Sebagai upaya memahami ilmunya saya ambil les privat ke guru senior kimia, almarhum Pak Tochidi. Lewat beliau saya jadi jauh lebih paham ilmu kimia.

Rasa horror belum mengerjakan pe-er itu saya ingat masih terbawa minpi bahkan belasan tahun kemudian. Beberapa kali saya terbangun tidur lamgsung bertanya, "eh belum ngerjain pe-er!😱" Haduh, horror banget rasanya.

Takut. Itulah rasa yang mencengkram.
Itu baru persoalan pe-er yang bisa disiasati dengan bantuan teman atau guru.
Nah nanti kalau kita keburu berpindah ke alam lain sementara amanah misi hidup belum dikerjakan. Masya Allah. Saya tak bisa membayangkan kengerian yang ada. Lebih baik saya jadi debu saja...

Setiap manusia itu tutur Jalaluddin Rumi punya peran spesifik dalam hidup. Beliau menggambarkan seperti seorang menteri diutus oleh Raja ke sebuah tempat untuk membangun sebuah jembatan. Menteri itu dikirim kesana dengan dilengkapi sekian banyak tenaga manusia, perkakas dan material untuk membangun jembatan. Sang menteri punya tenggat waktu tertentu untuk menyelesaikan misi pentingnya.

Akan tetapi setibanya di tempat tujuan. Menteri itu malah terpukau dengan keindahan alam dan penduduknya. Alih-alih membuat jembatan, ia tersibukkan oleh membuat sekolah, bangunan ibadah, teater dll. Hingga waktu yang ditentukan tiba dan ia pun dipanggil kembali menghadap sang Raja.

Kira-kira, kalau kita jadi Raja. Apakah akan senang jika misi tersebut tidak dipenuhi? Walaupun barangkali sang menteri berdalih dengan telah membuat ini-itu. Tentu tidak bukan?

Demikianlah. Siapa kita. Apa bekal yang Allah berikan  kepada kita. Apa yang harus dikerjakan dalam penggal sisa waktu yang singkat ini semuanya harus dapat terbaca. Agar kita tidak terlalaikan seperti menteri itu. Mengerjakan banyak hal tapi melalaikan satu tugas utama. Hidup menjadi orang lain demi memuaskan dan gengsi terhadap orang tua, tetangga, masyarakat tetapu tidak menjadi diri sendiri, sesuatu yang kita dicipta untuknya.

Jika itu yang terjadi maka kira-kira saat berpindah alam dan terbangun di sana rasa horrornya akan jutaan kali lebih dahsyat dibanding pengalaman saya dulu yang terbangun di pagi hari dengan keadaan belum membuat pe-er.😭Naudzubillahimindzaalik...

Wednesday, September 4, 2019

Bener ya, harus hati-hati betul mencermati lintasan pikiran kita. Sesuatu yang orang lain, bahkan malaikat pencatat amal pun luput dari membacanya. Tapi Allah Maha Tahu.

Ini pengalaman saya kena jewer Gusti Allah karena berpikir yang tidak benar.

Hari itu jadwal saya les nyetir. Walaupun pengalaman 20 tahun nyetir di Indonesia bahkan sampai bulak-balik ke luar kota. Tetap saja harus les lagi untuk menyesuaikan lagi dengan peraturan lalu lintas di Eropa.

Di akhir sesi, saya dan instruktur mengemudi menjemput seorang gadis belia yang kebagian nyetir jadwal berikutnya. Saya pun pindah posisi dari belakang setir untuk kemudian duduk di belakang.
Begitu kendaraan melaju. Kelihatan si gadis ini baru bisa nyetir, soalnya laju mobil "ajlug-ajlugan" kalau kata orang Sunda. Terpatah-patah gitu. Sekalinya ngegas WUUUUS! Tancap bleh😱 Sampai instrukturnya sempat teriak kecil.

Dalam pikiran saya terlintas sebuah kesombongan. "Hmmm...baru belajar sih dia" Sambil memandang diri lebih jago dan agak meremehkan dia. Tapi alhamdulillah pikiran tak benar itu bisa langsung diidentifikasi dan saya pun istighfar dalam hati sepanjang perjalanan. But it was too late, karena tak berapa lama aku melihat seorang gadis muda usia 20 tahunan mengendarai bus, melintas di hadapanku. Iya saudara-saudara bus yang besar dan panjang itu!

Oh my God. I swear it was as if i am in those episode of Ally McBeal. Dengan gambaran begini. Semua terjadi slow motion. Si gadis itu memalingkan wajahnya kepadaku sambil mengangkat alis dan berkata "Beat this!"💪and my jaw dropped sambil menyaksikan dia mengendarai bus beranjak menjauh dariku.

Ouch. My ego is bleeding.
Astaghfirullah...
WIND OF CHANGE

Angin mulai terasa dingin. Persediaan baju hangat mulai dikeluarkan kembali. Tiupan angin kencang mulai merontokkan satu persatu daun di atas pohon yang telah mengering.
Autumn is coming.

Secara perhitungan kalender resminya musim semi jatuh pada tanggal 23 September di Eropa. Namun kedatangan sang musim semi ini sudah mulai terasa saat ini.

Alam menunjukkan sebuah perubahan yang natural. Indah. Menapaki waktu.
Sebagaimana kedatangan musim berikutnya yang menjelang sudah dirasakan beberapa minggu sebelumnya. Maka perubahan dalam hidup kita pun akan sudah akan dirasakan jauh-jauh hari kalau kita jeli. Tanda bahwa Allah tidak menzalimi hambaNya.

Ketika pekerjaan yang ada sudah merasa tidak menginspirasi dan tidak membangkitkan semangat. Bisa jadi itu tanda untuk berpindah tempat.

Jika anak-anak mulai bertingkah. Mungkin itu tanda kita harus melakukan perubahan pada aktivitas atau rutinitas keseharian.

Jika pernikahan terasa hambar. Barangkali itu tanda ada komunikasi yang terhambat dan harus dicarikan waktu, upaya dan pola yang tepat untuk mengatasinya.

Apapun itu, Allah mengajarkan melalui alam bahwa semua hadir dengan membawa tanda kedatangannya masing-masing. Jadi sebenarnya bagi yang peka rasa hatinya dia tidak akan dibuat pontang-panting atau kagetan dengan segenap dinamika kehidupan. We can feel it coming.

Coba rasakan. Angin perubahan apa yang sekarang sedang menerpa sahabat?

Tuesday, September 3, 2019

Aku kena sentil lagi sama Gusti Allah.
Alhamdulillah.

Ceritanya beberapa bulan lalu kenalan sama tetangga baru. Perempuan muda Asia yang tak lama menikah dengan orang Belanda.
Sebagai orang yang baru tinggal disini tentu dia mengajukan banyak pertanyaan. Saya ladeni sebisanya.
Sampai ketika beliau beberapa kali  kirim whatsapp minta ngopi bareng atau izin mampir ke rumah. Tapi sekian kali juga saya menolak dengan seribu satu alasan, karena dari awal merasa ngga ada chemistry.

Pernah suatu kali saat membalas pesannya saya terlihat kesal dan suami bertanya, "Kenapa?"
Saya bilang beliau ini persisten banget ngajak aku jalan bareng atau ngopi atau pengen ke rumah. Wah kewalahan nolaknya. Sementara waktu saya terbatas, harus selektif meluangkan waktu. Nah, pas bilang begitu ke suami, langsung terasa hati nurani menegur. "Hei, kamu kok sombong sekali sih!"

Bener aja, dua minggu kemudian saya butuh suatu bantuan. Sudah minta tolong kenalan sana-sini dan tetangga kiri-kanan pada ngga bisa. Guess what? Si mbak itu yang ringan tangan membantu. Juga pada beberapa kali keadaan dimana saya dalam posisi membutuhkan bantuan.

Kami memang ngga begitu nyambung kalau ngobrol. Tidak begitu punya chemistry untuk bisa ngobrll berdua sambil ngopi. Tapi ternyata dibalik Allah mengirim tamu-tamu baru itu ada faedah yang besar. Itu yang saya luput membaca di awal waktu.

Masya Allah. Maafkan akan kebodohan hati hamba ya Allah.
Terima kasih untuk pembelajaran yang luar biasa ini.
Tapi tidak apa-apa, mendingan disentil sekarang di dunia dibanding di alam nanti🙏