Tuesday, December 24, 2019

Dulu, ketika Adam as menyadari bahwa dirinya telah berbuat dosa di surga -dengan melanggar perintah Allah agar tidak memakan buah dari pohon terlarang, maka Adam bernazar untuk memotong bagian dari tubuhnya jika Allah menerima taubatnya. Ketika Allah pun menerima taubatnya maka Adam pun bertekad untuk memenuhi nazarnya, akan tetapi ia tidak mengetahui bagian tubuh mana sebaiknya yang dipotong. Maka Allah pun mengutus Malaikat Jibril untuk menunjukkan bagian tubuh mana yang hendaknya dipotong. Kemudian Adam memotong bagian kulit kulup dari kemaluannya. Demikian kisah yang tertuang dalam Injil Barnabas. Tindakan melukai tubuh sebagai hukuman atas dosa yang dilakukan olehnya ditemukan dalam agama-agama samawi. Sekilas bisa jadi orang memandangnya sebagai sebuah hal yang tidak berperikemanusiaan, tetapi jika saja orang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan yakin akan keselamatan yang teraih dan pertolongan yang turun melalui hukum-hukum tersebut maka hal itu akan dipahami sebagai sebuah rahmat dan kasih sayang-Nya semata. Dalam khazanah Perjanjian Lama misalkan hukuman terhadap pezina demikian keras: “Dan laki-laki yang berzina dengan istri orang lain atau melakukan zina dengan istri tetangganya, maka pezina laki-laki dan pezina perempuan tersebut harus dihukum mati” (Leviticus 20:10) Hukum rajam – dilempar oleh batu hingga mati – juga dikenal dalam agama Yahudi. Begitu juga dalam agama Hindu, setiap kejahatan zina dikenakan hukuman dipotong hidung dan bibirnya, seperti yang ditulis oleh Manu dalam Kitab Smiriti. Bahkan di kitab Medahatithi hukuman bagi yang sudah menikah lalu berzina adalah dengan dimakan oleh anjing-anjing hingga mati. Menyeramkan? Iya. Tapi kalau saja paham akan konsekuensi dari sebuah dosa di alam berikutnya, maka semua itu tidak ada apa-apanya dibanding harus menanggung kegelapan beribu-ribu tahun bahkan lebih. Butuh sebuah pemahaman yang utuh untuk melihat permasalahan ini dengan bijak. Agar kita tidak terjatuh pada kesimpulan dini bahwa Tuhan itu kejam. Sama sekali tidak. Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kita lihat bukti yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, seorang hamba yang paling banyak menampakkan sifat-sifat-Nya. Pernah suatu kali ada seorang pemuda yang mengaku telah berzina dan minta untuk dirajam. Rasulullah pun tidak langsung saja menghukumnya, bahkan cenderung enggan memberikan hukuman. Disuruhnya pemuda itu kembali lagi dan berkata barangkali engkau mabuk atau khilaf dsb. Tapi pemuda hebat yang memiliki rasa takut yang sangat kepada Allah itu kembali lagi dan bersikeras meminta agar dirinya dirajam. Padahal Rasulullah sudah sedemikian rupa menghindar – dalam riwayat disebutkan empat kali – Baru ketika pemuda itu datang kelima kalinya Rasulullah pun menerima permintaan beliau untuk dirajam. Ketika hukuman rajam dilaksanakan, Rasulullah sempat mendengar ada dua orang bercakap satu sama lain berkata buruk terhadap sang pemuda yang tengah dirajam itu. Mereka berkata, “Lihatlah …ia dirajam layaknya anjing.” Rasulullah saat itu diam, namun saat mereka bersama melintas sebuah lembah yang disana terdapat bangkai seekor keledai, Rasulullah memanggil mereka berdua agar memakan bangkai keledai itu. Keduanya lalu berkata, “Siapakah yang sanggup memakan bangkai keledai ini wahai Rasulullah?” Rasulullah pun berkata, “Apa yang kalian katakan dengan merusak kehormatan teman kalian itu lebih busuk daripada bangkai keledai ini. Demi Dzat yang nyawaku ada dalam genggaman-Nya, sungguh dia (pemuda itu) sekarang sedang ada di sungai-sungai surga, menyelam di dalamnya.” Demikianlah akhlak dan kesantunan Rasulullah kepada seorang pezina yang bertaubat. Tidak boleh mengungkit-ungkit kesalahan orang di masa lampau, karena sungguh jalan hidup setiap orang demikian kompleks. Kita tidak tahu apa yang dapat mendorong seseorang melakukan sebuah dosa dan khilaf. Rasulullah SAW juga mengajarkan dalam mengerjakan sebuah perintah Allah untuk dikerjakan dengan sebuah ketaqwaan di hati, tidak dengan sumpah serapah dan sebuah kebengisan di hati.[]

Tuesday, December 17, 2019

Enaknya zaman internet seperti sekarang, mau download buku banyak tersedia gratis. Bahkan beberapa perpustakaan serta yayasan berlomba membuat digital library dengan akses bebas bagi semua pengguna internet. Salah satunya buku ajar (text book) fisiologi ini. Membaca buku ini membuat ingatan saya melayang ke tahun 1996-1997, yaitu ketika saya baru mulai kuliah di Fakultas Kedokteran. Buku ajar fisiologi yang lumayan tebal ini adalah salah satu buku dari sekian banyak buku ajar anatomi yang saya tidak mampu membelinya. Tahun itu badai krismon (krisis moneter) menghantam usaha orang tua saya, ditambah dengan dicurangi oleh rekan bisnis, maka satu persatu aset hilang. Gaya hidup kami berubah drastis, dari yang setiap akhir pekan nge-mall dan ringan saja membelanjakan jutaan rupiah menjadi sangat prihatin. Jadi boro-boro beli text-book yang harganya jutaan rupiah, untuk foto kopi buku tersebut pun saya tak mampu. Hebatnya orang tua saya, dalam kondisi kekurangan ditambah kejaran utang sana-sini sisa bisnis yang tertipu itu- mereka tak pernah mengeluh atau pesimis terhadap masa depan kuliah saya di Fakultas Kedokteran. Itu membuat saya semangat dan berbesar hati. Untuk belajar saya luangkan banyak waktu di perpustakaan, mempelajari buku-buku ajar edisi lama. Lumayan daripada tidak sama sekali. Selain itu kalau butuh membaca buku-buku yang mutakhir saya siasati dengan tidur lebih awal dan bangun saat teman kost saya tidur untuk meminjam bukunya. Kalaupun harus memfotokopi materi kuliah saya lakukan penghematan makan hanya dengan menu nasi dan kerupuk pedas seharga seribu rupiah untuk bekal buka puasa. Pokoknya where there’s a will, there’s a way. Maka suka gemes lihat generasi muda yang membuang-buang waktunya dengan keluyuran di sosial media ga jelas atau tidak memanfaatkan waktu, kepandaian serta fasilitas internet untuk belajar dengan baik. If you guys keep doing that, i promise you that you will regret it one day. Menyesal karena menyia-nyiakan semua potensi dan fasilitas yang ada dengan hal remeh temeh. Ke depan adalah era pertarungan di bidang ilmu. Jika kita tak punya kehausan mempelajari ilmu di bidang masing-masing, tidak punya gairah untuk belajar dalam, tidak malu kepada Dia Yang memberikan amanah kehidupan ini. Well, what can i say - i won’t sugarcoat it- Shame on you!

Thursday, December 12, 2019

CUCI PIRING & PRODUKTIVITAS MENULIS Apa hubungannya? Sekilas terlihat dua hal yang tidak berhubungan: cuci piring dan menulis. Well, in my case it has a significant impact. Bukan masalah cuci piringnya saja, namun segala hal yang dihadirkan di semesta kita dan perlu dibenahi per saat itu yang kita harus waspada dan menghadap kepada mereka. Pernah satu hari saya coba tunda semua pekerjaan rumah saya plus sewa baby sitter untuk menjaga anak-anak, maksudnya supaya bisa kejar deadline tulisan dan kerja nyaman di perpustakaan. Tapi apa yang terjadi? Inspirasi malah tersendat. Kata-kata yang saya tuliskan jadi terasa hambar. Masya Allah. Disitu saya sadar bahwa Dia Sang Maha Pemberi inspirasi. Kalau keran inspirasi ditutup ya kelabakan. Kita benar-benar fakir, tergantung pada pertolongan Allah. Sementara kunci terbukanya pertolongan Allah adalah dengan kita menolong orang lain, berkontribusi kepada semesta. Kadang didatangkan orang yang minta curhat, kadang ada keluarga yang butuh pertolongan atau kadang sesederhana kita melihat rak buku atau rak sepatu yang berantakan. It's amazing to see how little acts can change our life significantly. Saya sudah berkali-kali mencoba. Semua perkara yang orang lain anggap sulit buat saya dimudahkan. Bukan karena saya jago atau pintar. Sama sekali tidak. Semua dari Allah. Saya sekadar entitas yang dulu pun bahkan tak bernama. Sekadar mencoba menyikapi dengan baik "hal-hal sepele" yang Dia hadirkan di sekeliling kita. Dan Dia pun menggerakkan semesta dengan ajaib. Jadi, jangan berkecil hati dengan kesulitan kehidupan. Sedalam apapun masalah kita, sesulit apapun tugas di hadapan atau segelap apapun ujian kelihatannya. Katakan pada semua itu bahwa kita punya Tuhan Yang Kuasa mendatangkan perubahan. Tuhan yang sama yang menggerakkan siang dan malam. Adalah mudah bagi Dia mengganti kelamnya kehidupan dengan mendatangkan secercah cahaya ataupun sebaliknya. Karena memang dunia dan kehidupan ini bukan kita yang punya...

Sunday, December 8, 2019

Salah satu hal yang paling mencolok kalau sedang mudik ke Indonesia adalah melihat pemandangan tumpukan sampah disana-sini. Saking lamanya hal itu terjadi saya sendiri dulu sudah menganggap itu hal yang biasa. Sampai saya tinggal di Belanda yang terbilang cukup baik manajemen sampahnya. Akhirnya jadi tak biasa lagi melihat pemandangan sampah teronggok di jalan. Tapi untuk menata kota agar bersih butuh biaya untuk membayar personel, truk sampah yang bagus, kontainer underground yang bisa memuat sampah banyak dan tertutup rapih, serta berbagai fasilitas lain. Mau tahu berapa rata-rata warga Amsterdam membayar iuran sampah setiap tahunnya? Sampah dihitung per orang, karena setiap orang yang teregistrasi di alamat tertentu langsung dikenai tagihan tahunan sebesar 276 euro per orang per tahun (sekitar 4juta rupiah). Kalau rumah terdiri dari keluarga dengan anak-anak bayar pertahun sepaket 368 euro (sekitar 5,5 juta). Di Indonesia berapa iuran sampah? Yang saya tahu di kompleks ibu saya tinggal hanya 50 ribu rupiah per bulan. Bayangkan, uang sebesar itu cukup untuk apa? Tak heran sampah tak termanage dengan baik. Ibu saya termasuk orang yang ga tegaan melihat para tukang sampah yang bekerja keras, setiap mereka datang - biasanya 3-4 orang termasuk supir truk- selalu ibu kasih makanan untuk mereka masing-masing dan saya kerap melihat mereka langsung melahap makanan itu di atas tumpukan sampah yang bau dengan tanpa cuci tangan, masya Allah... Jadi, kalau pemerintah mau menaikkan tarif iuran sampah dua kali lipat seperti tempo lalu, saya setuju. Asal penggunaannya jelas. Maklum, korupsi masih menjadi salah satu penyakit kronis di negeri kita. Bicara tentang sampah. Agama jelas menganjurkan “kebersihan sebagian dari iman”. Aneh kiranya kalau kita sibuk beribadah ritual dengan mengabaikan aspek lingkungan hidup. Padahal bukankah tugas kita menjadi khalifah - yang memanage buminya masing-masing? Saya pikir tak ada salahnya para ustadz atau ustadzah selain gencar menyeru membersihkan hati juga membersihkan lingkungan sekitar kita. Untuk Indonesia yang lebih baik❤️
Mengapa sungai berkelok-kelok? Ternyata itu hal yang paling alami, sebuah energi minimal bagi sang sungai untuk membentuk pola seperti itu. Maka ketika ada upaya untuk membuat sodetan agar sungai mengalir lurus yang terjadi malah banjir dan merusak berbagai ekosistem tertentu. Begitulah, manusia kadang membuat "modifikasi" alam dan kehidupan tanpa bekal ilmu dan kebijaksanaan yang mumpuni. Alih-alih membuat perbaikan di bumi malah mendatangkan kerusakan. Memang garis lurus adalah jarak terdekat antara dua titik, tapi dalam kehidupan belok-belok itu hal yang sangat alami. Saya jadi ingat sungai kehidupan saya dibuat "belok" saat tidak lulus ujian ko-asisten dulu di bagian Ilmu Penyakit Dalam. Ndilalah dapat pasien susah diagnosenya dan dosen penguji yang lumayan "killer". Sekian tahun ke depan saya mulai bisa melihat polanya. Jika saja saya dibuat lulus saat itu, tidak akan bertemu si anu, tidak akan mengalami ini, tidak akan pergi ke tempat tertentu yang semua terkait satu sama lain hingga menjadi faktor-faktor yang menentukan dimana saya berada saat ini. Makanya benar kata pepatah, "just work with the flow" God's flow😉

Tuesday, December 3, 2019

Apa yang kita anggap berharga sebenarnya secara tidak sadar itu juga yang kita sembah. Dalam Bahasa Inggris kata "menyembah" berasal dari sebuah kata kuno "weorþscipe" yang kemudian berevolusi menjadi "worth-ship" dan akhirnya menjadi kata yang kita kenal saat ini, yaitu "worship". Yang secara etimologi bermakna menghargai sesuatu. Sesuatu yang kita anggap berharga adalah cenderung kita cintai. Bisa berupa objek yang tampak nyata seperti anak, pasangan, rumah, kendaraan, perhiasan, gadget dll. Atau berupa hal yang bukan fisik seperti penghormatan, pengakuan, status dsb. Di area ini kemudian manusia banyak yang terperangkap dalam sebuah pemujaan terselubung. Di satu sisi mengaku beribadah kepada Tuhan, padahal di hatinya bergeletakan objek-objek lain selain Tuhan yang dia anggap berharga dan ia cintai. Artinya secara hakiki dalam hatinya masih tersimpan berhala-berhala yang dia sembah. Barangkali secara fisik dia tidak musyrik menyembah patung. Tapi ketika ego dan pemikirannya lebih dia anggap penting dibanding perintah Allah maka pada saat itu sebetulnya tengah menyembah tuhan dalam diri berupa ego. Demikianlah licinnya jalan menuju penyembahan yang sebenarnya kepada Allah. Sebuah tauhid yang sejati. Karenanya Allah menurunkan pertolongan kepada umat manusia berupa diturunkannya para juru penerang, petunjuk dalam takdir kehidupan dan kitab-kitab yang memberi arah kepada jalan yang benar. Bukan jalan ilusi yang dianggap dapat menuntunnya ke dalam sebuah kebahagiaan dan keselamatan. Karena selama manusia masih terperangkap menyembah tuhan-tuhan palsu, akhir yang pahit pasti akan dituainya. Naudzubillahimindzalik. Semoga kita dilindungi dari akhir kehidupan yang menyedihkan.

Monday, December 2, 2019

Sejak remaja (sekitar usia 13 tahun) saya diberi rasa gandrung untuk belajar agama. Mencari guru keluar masuk berbagai pesantren. Mengikuti berbagai pengajian dengan berbagai label hingga tidak jarang bergelandang dari masjid ke masjid dan menginap disana. Di kepala saya bergejolak sekian banyak pertanyaan tentang hidup, tentang siapa saya, tentang untuk apa kita hidup, dsb. Saya pun bergumul dengan konsep dosa dan azab kubur dan bagaimana menyandingkannya dengan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Belum lagi masalah takdir, tentang free will dsb. It's a never ending quest. Kadang terasa lelah memikirkan itu semua. Tak jarang merasa lebih mudah jika saya acuhkan saja semua suara yang bertanya-tanya di dalam hati itu. Numb it. Dan menenggelamkan diri dalam keseharian dan "rat race of the world" yang bagai obat bius bagi perasaan jiwa yang galau. Tapi itu hanya berlangsung sementara, karena di malam hari saat semua hiruk pikuk dunia mulai mereda. Suara-suara itu muncul kembali meneriakkan seribu satu pertanyaan yang belum terjawab, tak jarang terbawa dalam mimpi dan kerap mengganggu serta mengusik ketenangan hati. Hingga pada suatu waktu, di sebuah penghujung malam saya mencoba memanggil-Nya sambil melihat ke langit yang cerah dan ditaburi bintang-bintang. Ingin tahu apakah Dia memang ada dan merespon atau tidak , maka saya tantang dengan meminta menggerakkan salah satu bintang untuk saya sebagai bukti - I know it's a bit too much - Saya pun saat itu tidak begitu berharap. Dan memang saya menunggu lima detik, sepuluh detik, ...hampir satu menit, tidak ada pergerakan dari bintang-bintang di langit. Sampai ketika saya hendak beranjak dari jendela untuk menutupnya, saya melihat sebuah bintang bergerak dari kanan ke kiri. Kontan saya menjulurkan separuh badan saya keluar jendela, memastikan itu bukan sekadar lampu dari pesawat terbang yang biasanya berkelap-kelip. Dan benda bercahaya itu tidak berkelap-kelip! Is it really happening!? Saya melonjak gembira sekaligus menangis seperti orang gila awal pagi itu. Untung tak ada yang melihat. Itulah awal keseriusan pencarian saya tentang-Nya. Sebuah gerak hati yang membawa kepada dipertemukan dengan guru-guru agama yang luar biasa yang menjawab sekian banyak pertanyaan yang telah sekian lama bergelantungan di dalam alam pikiran saya. Guru-guru yang bertujuan hanya satu, yaitu membawa murid-muridnya menjadi seorang yang mencintai Allah. Guru yang menjawab sebuah pertanyaan bernuansa syariat dengan jawaban indah seperti “Yang penting jangan lukai perasaan Allah dan Rasul-Nya”. Buat saya pendekatan seperti itu membuat banyak hal menjadi ‘make sense’. Saya bisa mulai bisa berdamai satu persatu dengan takdir yang ada. Dan kalaupun ada kesempatan untuk melihat kembali langit, kali ini saya paham untuk tidak meminta sesuatu yang terlalu demonstratif dan seakan memaksa Dia mengubah alam luar. Karena keajaiban yang sesungguhnya justru terjadi di dalam diri kita sendiri. <3

Sunday, December 1, 2019

Semua anak sudah bergerak memasuki arena sepakbola di dalam ruangan. Suhu yang semakin dingin - lebih dingin dibanding suhu di dalam kulkas- memaksa latihan dipindah dari lapangan olahraga luar ke dalam. Konsekuensinya anak-anak harus bertukar sepatu, tidak lagi memakai sepati bola yang didesain khusus untuk lapangan rumput, tapi memakai sepatu olahraga biasa. Ketika semua anak sudah asyik bermain bola, tampak seorang anak - usia sekitar 5 tahun- dengan wajah merah penuh emosi kesedihan memeluk tubuh ibunya erat-erat. Sayup-sayup saya mendengar suara lembut sang ibu menenangkan anaknya sambil menjelaskan bahwa hari itu dia harus berganti sepatu Rupanya si anak bersikeras ingin memakai sepatu bola yang biasa ia pakai di atas lapangan rumput. Diam-diam saya kagum dengan ketenangan dan kelembutan ibu itu. Dia tidak menunjukkan emosi. Sangat tenang, mencoba menjelaskan mengapa dia harus mengganti sepatunya. Tanpa mengintimidasi, tanpa mengancam "kalau kamu ngga mau nanti begini...". Tanpa memaksa si anak yang belum siap melepas keinginan untuk memakai sepatu lamanya. Lima belas menit berlalu, latihan bola sudah dimulai. Si anak masih meringkuk di pangkuan ibunya. Hingga akhirnya sang pelatih turun tangan ikut membujuknya. Setelah hampir setengah jam akhirnya anak itu mulai mau memakai sepatu lain dan ikut bermain bola bersama anak lain dengan ceria. What a wonderful display of love and affection❤

Friday, November 29, 2019

CHASING SHADOWS Kita paham sebuah metafora yang disebut "mengejar bayang-bayang". Yaitu sebuah pekerjaan yang sia-sia, karena bayang-bayang akan selalu terbentuk menjauhi obyek aslinya dan ia bukan material yang sesungguhnya, melainkan sebuah gambaran yang nampak ketika sumber cahaya menerpa obyek yang tak tembus cahaya. Tapi tidak sedikit orang yang terperangkap oleh bayang-bayang yang berasal dari waham pikirannya sendiri. Bayang-bayang kebahagiaan versi pikiran yang berkata, "Kalau kau menikah dengan dia pasti hidupmu bahagia" Lalu setelah menikah, setelah masa bulan madu usia dan masing-masing dipaparkan dengan realitas yang ada. Kebahagiaan yang dia bayangkan ternyata mulai terasa asam buat seleranya. Lalu si waham berkata lagi, "Barangkali kalau punya anak akan semakin mempererat ikatan rumah tangga dan menambah ceria suasana" Tapi kemudian setelah hadir momongan, hidup makin repot dan masing-masing terkapar lelah alih-alih membawa kebahagiaan yang dia bayangkan. Tak berhenti disitu, si waham akan terus menghembuskan ide baru. "Barangkali kalau punya gaji sekian kamu akan lebih tenang hidup. Atau, batang kali kalau pindah rumah di kompleks elit itu akan lebih aman. Oh, tunggu barangkali kalau menyekolahkan anak di sekolah mahal itu pendidikannya akan lebih terjamin. Atau...bagaimana kalau..." si waham tak akan pernah berhenti memberi masukan sepanjang kita hidup. Perhatikan karakteristik waham, dia akan selalu memberi arahan untuk mengejar sesuatu yang belum ada saat ini. Di satu sisi itu adalah sebuah daya dorong yang bagus agar ada "drive" untuk melakukan sesuatu. Tapi jika semua perkataannya kita ikuti, sungguh kita telah terjebak pada sebuah permainan mengejar bayangan. Sebuah ilusi yang mengatakan bahwa objek-objek kebahagiaan terletak di luar dunia hari ini kita. Sedemikian rupa hingga itu harus dikejar seumur hidup. Maklum, waham dilahirkan di dunia ilusi. Sejak kecil ia hanya tahu bayang-bayang sebagai obyek yang nyata. Seperti kisah yang dipaparkan oleh Platon dalam buku Politeia, yang ringkasannya sebagai berikut: "Ada sebuah gua, di mana ada beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja. Akan tetapi mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding belakang gua. Bayang-bayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang berkobar di depan, di lubang masuk ke gua ini dan orang-orang di luar gua yang berjalan berlalu lalang. Para tawanan bisa melihat bayang-bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam gua. Maka pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dipaksa keluar. Ia disuruh melihat sumber dari bayangan ini semua. Akan tetapi api membuat matanya silau, ia lebih suka melihat bayangannya. Lama kelamaan ia bisa melihat api dan lalu ia mulai terbiasa dan melihat orang-orang yang lalu lalang. Kemudian ia keluar dari gua dan melihat matahari dan banyak objek lain yang sebelumnya hanya sedikit bayangannya yang terlihat seperti sungai, padang dan sebagainya. Lalu ia kembali ke gua lagi dan hal pertama yang dilakukannya adalah membebaskan kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya akan marah karena hal ini akan mengganggu mereka. Akhirnya mereka bukannya terima kasih tetapi akan sangat marah dan membunuhnya." Dalam diri kita ada suara yang meneriakkan kebenaran yang kerap terkalahkan nyaringnya oleh suara waham. Suara kebenaran itu adalah dari-Nya yang menunjukkan jalan kebahagiaan yang hakiki. Sebuah kebahagiaan yang tak terikat oleh sebuah sebab, tak perlu dicapai oleh sebuah pengorbanan yang tak masuk akal, dan tak perlu dengan cara seperti mengejar bayangan. Kebahagiaan yang kita cari bukan terletak pada bonus atau uang proyek yang belum turun. Bukan pada momongan yang belum didapat. Bukan pada gelar yang belum diraih. Bukan pada hal ini dan itu yang masih belum mewujud. Kebahagiaan ada di setiap nafas kita. Sesuatu yang Dia turunkan dengan kadar-kadar yang tepat. Hanya jika sumber cahaya yang sesungguhnya belum kita kenali, maka akal kita hanya mengenal natur kebahagiaan itu berupa bayangan saja yang hitam dan kadang menakutkan. Karena ia bisa hadir menjadi sebuah kesakitan tertentu, penantian tertentu atau fenomena lain yang tentu tak diinginkan oleh hawa nafsu kita yang inginnya hidup nyaman saja. Maka Allah Ta'ala berfirman, “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

Tuesday, November 26, 2019

"Tidak ada manusia yang sempurna". Kita sering dengar itu. Tentu saja tidak ada manusia yang sempurna tanpa "kesempurnaan" yang Dia Sang Pencipta sematkan kepada seorang insan. Karena bagaimana mungkin manusia, makhluk yang dulunya bahkan tak punya ruh, tak punya jiwa dan tak punya raga bisa mewujud menjadi sempurna tanpa hadirnya Kuasa Sang Maha Pencipta? But the good news is, Allah berkehendak menjadikan setiap kita sempurna. Hanya saja kita sering salah memahami makna sebuah kesempurnaan. Karenanya banyak yang terjebak oleh fatamorgana yang mereka pikir sebagai sebuah oase kesempurnaan padahal bukan, karenanya mereka tidak bahagia. Orang yang mencapai kesempurnaan penciptaan, menjadi untuk apa dia dicipta pasti ia meraih kebahagiaan sejati, sebaliknya orang yang bahagia belum tentu telah menjadi orang yang sempurna di mata Allah. Tapi sekali lagi, sepertinya kita harus meredefinisi ulang makna kesempurnaan, dengannya kita secara otomatis memaknai kembali apa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Karena kesempurnaan hidup sama sekali bukan terletak pada pencapaian-pencapaian material, status dan kejayaan semata ataupun terpenuhinya beragam keinginan yang kebanyakan bersumber dari nafsu dan syahwat itu. Kesempurnaan kita sebagai manusia tercapai ketika kita hidup dalam garis kehidupan yang Dia inginkan. Dalam kenyataannya, menjadi hamba yang sempurna di mata Allah bisa jadi menyakitkan mata kebanyakan manusia. Kita ambil contoh manusia-manusia mulia yang hidupnya dibentuk sedemikian rupa oleh Allah Ta'ala. Mereka yang harum namanya di langit hingga diabadikan kisahnya dalam Kitab Suci. Satu benang merah yang nampak nyata, semua menjalani hidup yang tidak mudah. Seorang Nabi Ayyub as harus memerankan seorang yang nampak seperti 'dikutuk' dengan berbagai ujian kehilangan harta, keluarga hingga berpenyakit menjijikkan di sekujur tubuhnya yang bahkan membuat para muridnya berceletuk, "Barangkali engkau harus bertaubat wahai nabi..." Demikian fitnah kala itu. Seorang Nabi Ismail as harus menjalankan kehidupan yang tumbuh tanpa ayah dan ditempatkan di gurun pasir sejak bayi bersama ibunda. Sekian tahun tak bertemu sang ayah, tahu-tahu ayahnya datang berkunjung untuk menyampaikan ihwal perintah penyembelihan dirinya yang kemudian menjadi tonggak ritual kurban. Tidak selesai sampai disitu beberapa tahun kemudian ketika Ismail telah dewasa dan mempunyai istri, sang ayah - Ibrahim as - kembali datanh mengunjunginya, namun mereka tak sempat bertemu. Lalu sang ayah menitipkan sebuah pesan kepadanya lewat istrinya bahwa ia harus mengganti "daun pintu"nya. Sebuah isyarat bahwa ia harus menceraikan istrinya. Begitulah tantangan kehidupan yang harus seorang Ismail alami. Juga lihat bagaimana pengorbanan seorang Asiyah yang ditakdirkan menikah dengan orang lalim seperti Firaun. Tapi melaluinya bayi Musa menjadi selamat dan diterima menjadi bagian kerajaan Mesir dan kelak membebaskan Bani Israil dari perbudakan. Walaupun Asiyah yang mulia harus membayar dengan menjelang hukuman mati yang mengenaskan. Mereka adalah orang-orang yang sempurna hidupnya, sedemikian rupa hingga namanya tertoreh dengan tinta emas dalam Kitab Suci. Tapi lihatlah warna kehidupannya jauh dari definisi kesempurnaan secara hawa nafsu dan syahwat yang inginnya hanya berenang dalam kesenangan dan kemudahan hidup. Pretty much a definition of happiness for a small children. Mereka yang akalnya bekum tumbuh dewasa. Maka untuk bisa membaca kebahagiaan perlu akal dalam. Tidak cukup dengan akal pikiran yang diasah walaupun dengan sepuluh gelar Doktor. Tidak akan terjangkau dengan itu. Kode-kode Ilahiyah terlalu halus dan kompleks untuk dibaca dengan hukum sebab akibat yang sangat terbatas. Panduan-Nya sangat gamblang, "...Allah akan menimpakan rijsa (kemalangan) kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya." QS Yunus:100 Dia bukan Dzat yang menebar murka kepada ciptaan-Nya. Semua yang Allah berikan adalah yang terbaik dan sempurna. Hanya itu tadi, jika kesempurnaan takdir-Nya dibaca dengan logika jiwa yang seperti anak kecil, maka apa daya yang terbaca hanyalah sebuah penderitaan dan ketidaksempurnaan semata. Wallahu'alam

Saturday, November 23, 2019

PELAJARAN DARI GIGI SUSU YANG TANGGAL Pagi ini anakku menunjukkan gigi susu keduanya yang tanggal dengan bahagia. Sudah berminggu-minggu dia goyang-goyangkan dalam ritual paginya. Aku ingat dua gigi susu yang lebih dulu tumbuh di awal waktu, saat dia mendekati usia 6 bulan – usia saat pencernaannya siap menerima makanan lunak. Sekarang, setelah bertugas sekitar 7 tahun lamanya, sang gigi susu “mengundurkan diri”. Ia melepaskan dirinya untuk memberi tempat bagi gigi tetap yang akan mengemuka. Demikian tubuh kita bekerja dalam harmoni mengikuti sunatullah, dengannya kita bisa nyaman berkarya dalam kendaraan raga ini. Gigi susu tahu kapan harus tanggal dan tidak ngoyo mempertahankan posisinya. Kulit ari tahu kapan harus mengelupas dan tidak “susah move on” lengket terus di permukaan kulit. Semua sel dalam tubuh kita pun rata-rata berusia 40 hari mati agar diganti dengan sel-sel baru yang lebih segar. Maka sejak zaman nabi-nabi dulu ada ritual puasa 40 hari dengan harapan setelah itu jiwa dan raganya tertransformasi menjadi baru dan lebih suci. Kembali ke gigi susu tadi, secara struktur dia punya bentuk yang berbeda dengan gigi permanen. Lapisan enamel gigi susu lebih tipis karena fungsi mengunyahnya tidak seberat fungsi gigi permanen. Juga bentuk akar gigi susu lebih pendek dengan desain sedemikian rupa agar ia mudah dicabut jika saatnya tiba untuk lepas. Dengan membaca aspek fisik yang Allah hadirkan dalam hidup kita pun mestinya bisa membaca takdir yang tengah kita hadapi jalannya kemana, termasuk perkara penting untuk menelaah dan mengenal siapa diri kita yang sebenarnya dan apa misi hidup kita yang sejati. Wallahua’lam.

Friday, November 22, 2019

Beberapa waktu lalu diskusi online dengan salah satu teman yang terbilang sukses secara material, dia punya semuanya kecuali satu hal: kedamaian hati. Dibalik ketegaran dia di mata orang, tersimpan kerapuhan jiwa. Dibalik ketegasan pembawaan dia di masyarakat, terselip keragu-raguan yang dalam. Dibalik kelimpahan secara material, tersemat kemiskinan secara spiritual. Sebagian orang mencoba mengobati kehampaan hati dengan menenggelamkan diri lebih jauh kepada kesibukan dunianya. Ada yang mencoba menambal dengan melakukan sekian banyak kegiatan sosial. Tidak sedikit yang terjerumus dalam jerat permainan seks, minuman keras dan narkoba. Semua pada dasarnya ingin menghilangkan rasa sakit itu yang kerap menyelinap saat semua hingar-bingar penggal kehidupan itu usai. Ketika ia sendiri, dicekam sepi di ruangnya di malam hari. Karenanya bagi sebagian orang hadirnya malam bagaikan hantu yang mengerikan yang mengingatkan akan kehampaan hidupnya. Maka tidak sedikit yang memilih meramaikan malamnya dengan menghadirkan kembali hiruk-pikuk dunia dalam ruang hidupnya. Berpesta, bekerja, having fun till you drop! Sedemikian rupa agar si raga bisa segera tertidur lelap dan lupa tentang rasa hampa itu. Dan keesokan harinya ia bangun disapa matahari dengan pikiran yang sudah penuh dijejali oleh daftar kegiatan – things to do for today, meeting ini-itu, kegiatan ini-itu. Demikian terus, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun. Hingga hanya kematian dan sesuatu yang bernuansa kematian -- seperti sakit, kehilangan sesuatu yang berharga dll - yang bisa mencabutnya dari “rat race of life” yang demikian menenggelamkan banyak manusia. Seperti teman saya yang akhirnya mulai menemukan kedamaian setelah “diberhentikan sejenak” oleh Tuhan melalui sebuah peristiwa yang menghentakkan dirinya. Di titik itu dia mulai berpikir tentang hidup dan kehidupan. Kedamaian yang ia cari memang sebuah proses panjang, tapi setidaknya udara segar mulai dirasakan oleh jiwanya yang mulai bangun dari tidur panjangnya. A journey of a thousand miles begins with a single step. - Lao Tze

Friday, November 15, 2019

Ada suara nan halus di dalam diri setiap manusia yang masih hidup hatinya. Suara itu berasal dari suara Ilahiyah, sesuatu yang menyerukan kepada kebenaran dan keselamatan. Dia dinamakan “nurani”, dari kata Arab “nuur” yang berarti cahaya. Sesuai dengan julukannya, nurani ini berfungsi membimbing manusia kepada jalan-jalan setapak yang bercahaya. Dalam kegelapan hutan rimba kehidupan, Allah membantu membimbing semua manusia dengan cara menghembuskan petunjuk-Nya melalui nurani ini. Adalah nurani yang berkata, “engkau curang!” Saat melebihkan pengeluaran biaya dinas agar bisa mendapat reimburse yang lebih besar. Adalah nurani yang berbisik, “engkau sombong!” Saat merasa gaya melengos mengendarai mobil mewah dan mengenakan pakaian yang mahal. Adalah nurani yang menasihati, “engkau mengalahlah!” Saat ego menyeruak ingin menang. Dalam tataran interaksi dengan sesama, nurani pun membimbing dengan sangat teknis. Adalah nurani yang menyeru, “sudah, istirahat dulu, beri waktu untuk keluargamu!” Saat kita sedang tenggelam dalam suatu pekerjaan. Adalah nurani yang membimbing, “minta maaflah!”Saat kita sudah terlanjur marah besar terhadap pasangan atau anak yang jelas di mata kita melakukan kesalahan. Adalah nurani yang menegur, “jangan pelit!” Saat logika kita menolak memberi seorang peminta di jalanan dengan seribu satu alasan. Nurani adalah saluran halus tempat Tuhan berkomunikasi dengan mereka yang betul-betul membutuhkan panduan-Nya. Karena jika nurani sering diabaikan bahkan dibungkam, maka lama kelamaan dia akan mati. Dan manusia menjadi hanya dikendalikan oleh nafsunya semata. Sesuatu yang Allah firmankan dalam Al Quran sebagai “kal an’aam…” (QS Al A'raaf:179) menjadi seperti binatang. Na’udzubillahimindzaliik…
"Membenahi hidup kita itu dimulai dari hal kecil seperti masalah membuang sampah yang baik" petuah seorang guru kepada muridnya. Apa hubungannya membuang sampah dengan baik dengan urusan hidup kita? Keduanya sama-sama pemberian Allah. Kalau kita tidak terbiasa tertib, rapih dan amanah dalam menata segenap kehidupan kita dari semua benda fisik yang kecil yang Allah sampaikan ke tangan kita hingga segenap potensi batin yang Allah amanahkan. Maka selamanya hidup kita akan "acak-acakan", seolah melaju kencang ke satu tujuan tapi sebenarnya tak tentu arahnya. Hanya bergegas dari memenuhi impuls hawa nafsu yang satu ke yang lainnya. Bagaimana seseorang tahu pada akhirnya yang ia kejar adalah sebuah fatamorgana? Sayangnya kebanyakan baru sadar setelah selubung alam mulkiyah atau dunianya dihancurkan, umumnya dalam sebuah momen yang bernama kematian. Disitulah pentingnya mulai menata diri agar tertib dalam hidup. Agar kita mengalir dalam koridor yang Dia kehendaki dan tertuntun menjalani hidup dalam tujuannya masing-masing, yang sesuai dengan maksud mengapa kita dicipta.

Tuesday, November 12, 2019

Lagu "Panjang Umurnya" yang biasanya dinyanyikan saat seseorang ulang tahun sepertinya salah satu yang diserap dari budaya Belanda. Karena lagu dengan arti dan irama yang sama pun sampai saat ini kerap dinyanyikan di negeri kincir angin. Lang zal hij leven Lang zal hij leven Lang zal hij leven in de gloria In de gloria In de gloria Panjang umurnya Panjang umurnya Panjang umurnya serta mulia Serta mulia Serta mulia Lagu yang mirip pun dikenal di daerah Swedia. Iramanya konon sudah dikenal sejak abad ke-18. Sebiah syair yang indah karena berupa doa yang dalam agar seseorang berumur panjang. Tentu bukan umur dunia yang sudah ditakdirkan tak bisa maju atau mundur sedetik pun. Tapi usia di langit, karena seorang melakukan perbuatan yang namanya kekal di langit. Walaupun di bumi sama sekali tak dikenal orang. Itulah keutamaan ikhlas. "Sepi ing pamrih rame ing gawe" kalau kata orang Jawa. Tidak mengharapkan pujian manusia, perhatian media, penghargaan sana-sini, kalaupun kebetulan dapat itu tak sampai membuatnya besar kepala. Ada atau tidak perhatian manusia, ia akan terus berkarya memperbaiki dan memakmurkan bumi. Itulah manusia-manusia yang akan berumur panjang. Insya Allah

Friday, November 8, 2019

Kalau kita diberi kabar akan diamanahi seorang anak tapi diberi tahu bahwa anak itu suatu saat nanti akan membangkang dan tidak akan selamat. Masih maukah menerima amanah itu? Kalau kita diberi kabar bahwa pasangan yang akan kita nikahi suatu saat nanti akan tidak patuh kepada Allah dan mendapatkan hukuman. Masih maukah kita menikahinya? Kalau kita diberi suatu proyek atau pekerjaan, tapi dikabari bahwa proyek itu berjalan lama dan hasilnya akan dipandang gagal oleh kebanyakan manusia. Masih maukah kita mengerjakannya? Itu kenapa banyak hal dalam kehidupan Allah hijab dan dibuat gaib. Masa depan adalah gaib, orang bisa meramal, mengira-ngira atau membuat perhitungan. Tapi kenyataannya satu menit ke depan pun toh masih misteri buat kita. Para nabi dan orang-orang yang berserah diri kepada-Nya sedemikian mentawakalkan segenap diri dan kehidupan dalam pengaturan Ilahiyah. Karena mereka sadar kehidupan adalah sebuah jalinan benang-benang takdir yang disulam untuk menggambarkan sesuatu tentang-Nya. Karenanya mereka menerima takdir hidup pemberian-Nya dengan suka cita. Nabi Adam yang harus menelan kepedihan melihat anaknya dibunuh oleh kakaknya sendiri. Nabi Luth yang menikahi seorang istri yang tidak menuruti apa perintah Allah hingga terkena azab di akhir hayatnya. Nabi Nuh yang berdakwah 950 tahun lamanya dengan hasil hanya segelintir orang yang menyambut seruannya. Sesuatu yang dalam dunia management barangkali tidak memenuhi Key Performance Indicator. Ada maksud di balik kegagalan, keterlambatan, kejatuhan, sakit, perceraian dan musibah lain yang seseorang harus hadapi. Jika kita terpaku pada hasil akhir dalam kacamata kebanyakan orang, maka akan mudah jatuh pada pengkotak-kotakan "berhasil" atau "gagal". Padahal sesuatu yang terlihat berhasil di hadapan manusia banyak, bisa jadi beraroma busuk di langit, sebaliknya hal yang terlihat "gagal" oleh kebanyakan orang malah menjadi sebuah amal yang selamat naik dan diterima oleh Allah Ta'ala melewati 7 lapisan malaikat penjaga langit. Sekali lagi, hidup adalah misteri yang mencengangkan. Jangan terlampau tertambat pada penampakan lahiriyah dan melalaikan yang batin. Be okay dengan hal yang tak kita ketahui, sesuatu yang gaib dalam pandangan kita, sungguh itu sebetulnya sebuah pertolongan dari Allah, khususnya bagi kita-kita yang akal batinnya masih harus diupgrade ini... - renungan pasca tidak lulus ujian SIM di Belanda untuk kedua kalinya. Takdirku...

Wednesday, November 6, 2019

Anak-anak dapat tugas dari gurunya untuk mengumpulkan hal-gal yang berkaitan dengan musim gugur dari alam. Ini tugas yang bagus, dengannya anak diajarkan untuk menghargai dan mengobservasi alam. Daun-daun yang berguguran, biji-bijian yang berserakan di tanah dan ranting-ranting yang mulai menggundul tiba-tiba menjadi obyek-obyek yang menarik untuk mereka kumpulkan. Sementara untuk sebagian besar orang dewasa, tanda-tanda perubahan alam sering dianggap angin lalu saja, karena terlalu terserap perhatiannya dengan pekerjaan atau berbagai aktivitas keseharian. Demikianlah, kita harus menjadi putera Sang Waktu. Artinya betul-betul menjunjung langit dimana bumi kita dipijak. Sedang ditempatkan di daerah tertentu, sedang berada dalam kesempitan, sedang ada di pekerjaan yang kurang disukai, dsb. Semua harus diterima dulu dengan baik, disyukuri sebagai pengajaran dari-Nya. Seorang bijak berkata, "Kalau sedang berada di malam hari jangan meminta buru-buru terbitnya matahari." Kita semua punya "waktu malamnya" masing-masing. Simbol kegelapan. Dibuat bingung, tidak jelas masa depan, kadang khawatir. Tapi toh bahkan dalam kegelapan malam Allah senantiasa memberi petunjuk berupa bintang-bintang. Kalau saja langit tidak ditutupi oleh awan-awan mendung waham di dalam pikiran kita sendiri. Dan keindahan konstelasi bintang-bintang hanya dapat disaksikan oleh mata telanjang kita di malam hari. Jadi, apapun situasi kita per saat ini syukuri, alhamdulillah. Musim dingin pun akan berlalu, sebagaimana malam akan berganti siang. Terima kasih nak, untuk pengingatnya hari ini❤

Tuesday, November 5, 2019

Pagi ini membacakan buku kepada Rumi tentang seorang anak yang baru mendapat hadiah bola sepak dari ayahnya. Diceritakan ia mencari lapangan dengan gawang bola agar ia bisa bermain dengan temannya. Dalam Bahasa Belanda gawang bola disebut dengan "doel" (baca dül) entah apa hubungannya dengan Si Doel Anak Betawi. Tapi kata yang sama diterjemahkan juga sebagai "tujuan". Kurang afdhol bermain bola tanpa tujuan menggolkan bola ke gawang lawang. Di setiap pertandingan juga ada tujuannya. Itu yang membuat permainan menjadi menarik, manakala setiap orang berjuang mencapai tujuan. Hidup kita pun ada tujuannya. Semua takdir yang terjadi ada tujuannya, bahkan di hal yang kita atau orang luar menganggapnya sebagai sebuah "kegagalan". Apakah mungkin Tuhan Yang Maha Teliti merancang kehidupan mengizinkan sesuatu terjadi sia-sia dan tanpa tujuan? Tentu tidak mungkin. Karenanya semua hal berharga. Sayangnya kebanyakan orang mencampakkan pemberian Tuhan yang berharga itu. Untung Dia Maha Pengasih dan Penyayang. Bahkan ciptaan-Nya yang mencela dan menyakiti perasaan-Nya pun masih dengan telaten Dia pelihara dan diberi kehidupan. Kembali ke "doel" tadi. Ada alasannya kenapa si jodoh yang kita minta belum datang, momongan yang kita harapkan belum didapat, usaha yang dibangun dibuat hancur, rumah tangga yang dibina menjadi runtuh. Everything happens for a reason. Kalaupun kita belum paham apa alasan atau bahkan hikmahnya, setidaknya milikilah baik sangka kepada Dia Yang mengirimkan semua itu kepada kita.
"Sungguh aku bermaksiat kepada Allah hingga aku mengetahui hal itu berakibat pada berubahnya perilaku keledai tungganganku, pembantuku, istriku dan munculnya tikus di rumahku." - Fudhail bin Iyadh Respon seorang salik dalam menghadapi hal yang dia tidak sukai atau tidak mengenakkan hatinya adalah tidak melempar kesalahan kepada agen-agen yang Allah Ta'ala kirim untuk memerankan itu semua. Tapi m istighfar, lalu melihat ke dalam diri sendiri karena bisa jadi sesuatu yang kita anggap buruk itu adalah pantulan dari titik kebusukan di dalam hati kita sendiri. Astaghfirullah...
Di Belanda kalau anak diundang merayakan ulang tahun temannya sudah jadi kebiasaan kalau kita bertanya kepada orang tua anak itu tentang apa hadiah yang sang anak sukai. Bahkan pernah ada orang tua yang memberikan daftar wish list anak itu dan kita bebas memilih apa yang kita mau berikan. Memberi hadiah itu harus presisi, agar membuat senang sang penerima hadiah. Agar presisi harus mencari informasi seakurat mungkin. ***** Ibadah kepada Allah juga harus presisi. Setiap saat ada tugas spesifik yang harus setiap orang kerjakan sebetulnya. Mana diantara pilihan kegiatan, membeli barang, membelanjakan uang, membaca buku, memilih rute perjalanan, menentukan tujuan liburan dan lain-lain yang mewarnai kehidupan kita, sesungguhnya Dia, Allah Ta'ala mengharapkan sesuatu yang presisi yang sebagian besar manusia lalai untuk menjalankannya karena dimabukkan oleh keinginan diri sendiri dan terseret oleh arus kehidupan. Oleh karenanya setiap manusia wajib punya ruang kontemplatif. Sebuah ruang hening. Melepaskan sejenak semua daftar "things to do" dan berbagai keinginan yang tak ada habisnya. Berbisik dalam dzikir dari hati kepada Allah Yang Maha Mencipta dan mengamanahkan semua hal kepada diri ini dengan sebuah tujuan, sambil bertanya "Apa yang Engkau ingin aku lakukan ya Allah?" Dengan kesadaran seperti ini doa kita setiap shalat saat meminta "ihdinashiraathal mustaqiim" akan semakin dimaknai. Akhirnya petunjuk-petunjuk-Nya yang tersebar halus itu akan terbaca. Dan setiap manusia akan bertransformasi untuk hidup berdasarkan tujuan awalnya untuk apa dia dicipta. Insya Allah.

Monday, November 4, 2019

Temannya Elia main ke rumah. Dia keturunan Belanda asli, rambutnya coklat-pirang dan seperti kebanyakan keluarga Belanda disini sudah tidak menjalani lagi ritual agama. Siang itu si anak kebetulan melihat saya sedang shalat dhuhur. Dia bertanya sama Elia, “What is your mother doing?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Elia jawab dengan ringan, “She is doing shalat.” “What is shalat?” kejarnya masih penasaran. “It’s a way to say thank you to God” jawab Elia lugas. Jeda hening sejenak. Lalu anak itu bilang, “I would also like to do shalat” ❤️
Segenap takdir yang Allah hadirkan dalam hidup jika dipahami adalah obat mujarab untuk segenap penyakit hati kita. Maka jika kita berberat hati menjalani takdir bahkan menolaknya itu sama dengan menzalimi diri sendiri pada hakikatnya. Sabar, tenang, ikhlaskan semua. Buang semua beban di hati yang tak perlu. Dengannya kita lebih ringan mengalir dalam sungai kehidupan-Nya. Insya Allah🥰

Friday, November 1, 2019

Ingin hidup kita indah dan abadi? Kuncinya hanya tawakal. Menyerahkan diri dan segenap kehidupan, keinginan dan cita-cita dalam pengaturan-Nya. Mereka yang telah berhasil melakukannya dengan menaklukkan hawa nafsu dan syahwat dirinya terukir abadi dengan tinta emas dalam sejarah. Tapi jangan salah, kehidupan mereka tidak selalu nyaman. Nabi Adam harus memerankan seorang yang terusir dari surga dan terpisah ribuan tahun lamanya dengan Siti Hawa. Kemudian hatus diuji dengan kelakuan anaknya, Qabil yang membunuh Habil, saudara kandungnya sendiri. Nabi Nuh harus memerankan orang yang seolah 'gagal' menyeru kaumnya dan harus menyaksikan buah hatinya ditenggelamkan dalam azab. Nabi Ayyub harus memerankan seorang yang kehilangan semuanya; keluarga, harta bahkan dirinya dihinggapi penyakit yang bahkan para muridnya mengira itu sebuah kutukan. Satu-satunya yang bertahan adalah hatinya yang senantiasa bertawakal kepada Allah. Hal itu yang membuat kehidupannya dikembalikan, bahkan dalam bentuk yang lebih baik. Kehidupan kita bukan milik kita. Ada desain Yang Maha Kuasa. Artinya kita mesti pandai-pandai menyesuaikan kehendak diri, keinginan memenuhi harapan diri, orang tua, dan banyak orang, semua itu ditundukkan kepada Karsa Agung Yang Maha Kuasa. Ada peran unik yang Dia ingin kita lakukan. Sebuah peran yang bisa jadi jauh dari harapan kebanyakan orang. Sesuatu yang bahkan kita tidak inginkan. Tapi jika hati mulai disinari iman dari-Nya, ia akan paham betapa semua skenario kehidupan yang Dia berikan kepada diri kita masing-masing adalah yang terbaik dan terindah. Hanya saja kebanyakan manusia luput dari melihat keindahan dan kebaikannya. Bisa jadi karena itu suatu saat nanti semua rekam jejak kehidupan setiap manusia akan ditayangkan ulang dan disaksikan semua manusia. Agar akhirnya semua paham, betapa indah rancangan-Nya dan betapa Maha Penyayangnya Allah Ta'ala.
Malam beranjak makin larut. Pasangan suami istri tua itu menggelar “tempat tidurnya” yang berupa helai-helai kardus bekas di depan sebuah toko yang baru tutup. Sudah tiga dekade mereka menjalani kehidupan demikian. Bagi mereka, pekerjaan sehari-hari mengumpulkan karton dan gelas plastik bekas di ibu kota lebih bisa mencukup kebutuhan diri dan anak-anaknya dibanding hidup di desa tanpa penghasilan sementara jengkal demi jengkal tanah mereka habis dibabat tuan tanah. Mereka orang-orang hebat, para pejuang kehidupan yang menyerah ditundukkan oleh sebuah fenomena kesulitan hidup. Katanya, kesulitan itu untuk dihadapi bukan untuk diratapi apalagi melarikan diri darinya. Saat saya bertanya dimana harus mandi, buang air dan lain-lain. Sang ibu dengan tersenyum berkata bahwa pengurus masjid setempat berbaik hati mempersilakan mereka untuk mandi dll disana. Ia bertutur tanpa nada mengeluh atau minta dikasihani. It is what it is. Menjalani kehidupan apa adanya. And you know what? They can sleep very well at night. Di tengah serangan nyamuk jalanan dan angin malam yang kadang menusuk dingin. Sementara di tempat lain, saya tahu seorang kaya dan melimpah hidupnya, gelisah hampir setiap malam. Entah apa yang dipikirkannya, tapi tidurnya tidak nyenyak bahkan beberapa hari dia harus tidur dengan bantuan pil tidur dari dokter. Ternyata ketentraman hati itu benar tidak seiring dengan banyak atau sedikitnya harta. Seperti kata Ronggowarsito, seorang penasihat Kasunanan Surakarta yang hidup sekitar tahun 1802-1873: “Yèn umpåmå ayem iku mung biså dituku karo akèhé båndhå dahnå rekasané dadi wong sing ora duwé.” Kalau saja ketentraman itu bisa dibeli dengan harta, alangkah sengsaranya orang yang tidak punya. “Untungnya ketenteraman bisa dimiliki oleh siapa saja yang tidak mengagungkan keduniawian, suka menolong orang lain dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan Sang Pencipta.” (Foto diambil sekitar tahun 2009 di daerah Cikini, Jakarta)

Wednesday, October 30, 2019

Ada salah satu mimpi sewaktu saya masih kecil (sekitar usia 7 atau 8 tahun) yang saya masih ingat hingga saat ini hingga detil. Di dalam mimpi itu saya dan paman bermain ke kebun binatang Bandung. Lalu di sekitar tempat Gajah berada, saya melihat satu keluarga orang luar negeri berambut pirang kemerahan, terdiri dari ayah, ibu dan dua anak kecil. Mereka sedang piknik dan saya menghampiri mereka lalu bicara dalam bahasa was-wes-wos yang saat itu tidak saya mengerti. Fast forward, sekitar 33 tahun kemudian. Saat saya menghadiri Simposium Internasional Ibnu Arabi di Oxford, Inggris. Di sebelah saya tiba-tiba duduk Pablo Beneito, salah satu pembicara dan peneliti senior di Ibnu Arabi Society Spanyol. Kami tengah mengikuti workshop yang diberikan oleh Eric Winkel saat itu. Di sela-sela waktu kami berkenalan dan berdiskusi tentang khazanah Islam yang ditawarkan Ibnu Arabi. Spesialisasinya adalah tentang misteri angka. Salah satunya beliau menggambarkan dengan kagum bagaimana 560 jumlah bab di kitab Futtuhat al-Makkiyah Ibnu Arabi sesuai jumlahnya dengan 560 huruf di surat Al Fatihah. Lalu di tengah-tengah perbincangan beliau bertanya, “I have seen some people from Indonesia, but never met someone who can speak English as good as you. Where did you learn English?” katanya serius. Wah, apa ya? Pendidikan formal Bahasa Inggris saya hanya di SMP, SMA dan dua tahun kursus Bahasa Inggris saat SMP. Saya bilang “I don’t know. It’s a gift from God. And maybe also because I was watching so many Hollywood movies when I was young” Dia pun tertawa renyah. Saat Pablo bertanya itu, yang terbayang oleh saya adalah mimpi saat masa kecil itu. Bagaimana semua sudah didesain oleh-Nya. ***** Mursyid saya bilang bahwa kunci bersyukur itu adalah dengan memanfaatkan sebaik mungkin semua hal yang Allah mudahkan ke tangan kita masing-masing. Setiap orang itu punya keahliannya yang spesifik. Ada yang jago masak, ada yang pintar membuat tulisan, ada yang telaten mengurus anak, ada yang bersih banget membersihkan rumah, ada yang tekun meneliti, apapun itu tidak ada sebenarnya orang nomor dua di muka bumi. Setiap orang akan unggul di bidangnya masing-masing. Bagaimana menemukan bakat yang Allah titipkan ke dalam diri kita itu? Di awal waktu mungkin jalannya “trial and error” alias coba-coba. Tapi apapun itu hal yang kita ujikan tidak akan jauh dari kehidupan kita. Kebetulan pada kasus saya, bahasa adalah satu hal yang Allah mudahkan. Kalau saya travelling ke suatu daerah, lidah saya akan sangat mudah beradaptasi untuk bicara mirip dengan aksen lokal. Dari kemampuan bahasa itu saya coba mensyukuri yang ada, dengan menerjemahkan buku, membuat tulisan, bergaul dengan orang setempat. And then one thing lead to another. Allah akan dengan ajaib membantu mengumpulkan apa yang tadinya berserakan dalam hidup. Satu persatu datang. Seolah dunia diputar untuk itu dan bumi dilipat untuk kita. Mari rasakan itu dan buktikan. Bahwa ketika kita minta “ihdinashiraathal mustaqiim” dalam shalat, sungguh petunjuk yang utama adalah tentang diri kita. Agar kita tidak hidup dalam cangkang kehidupan yang palsu yang berakhir dalam neraka. Agar kita betul-betul bisa merasakan tetesan kehidupan surga mulai saat ini juga. Agar dengannya kehidupan kita abadi di sisinya. Bukankah manusia ingin menjadi abadi? Nah, sekarang apa yang dimudahkan ke tangan sahabat per hari ini?

Monday, October 28, 2019

Suka dapat curhatan dari beberapa orang yang melaporkan keadaan pasangannya yang belum taat beragama. Saya paham kebingungan yang dialami. Keheranan yang sama pun pernah Rasulullah lontarkan, misalnya saat seorang muslimah menikah dengan orang yang zalim (alias belum bertaubat). Karena dalam Al Quran jelas ayatnya: "Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji...perempuan-perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik." (QS An Nuur:26). Ada prinsip kesetarafan dalam pernikahan. Jadi bagaimana membacanya? Yakini dulu, Allah pasti punya urusan. Bukankah semua yang terjadi dalam rancangan dan kehendak-Nya? Artinya kalau Dia mengizinkan sesuatu terjadi pasti banyak hikmah dan kebaikan di dalamnya yang harus digali. Karena Dia tidak mungkin main-main mencipta sesuatu dan tauhid kita mengatakan bahwa Dia tidak pernah gagal dalam mencipta. Itu jaih dari sifat-Nya. Mursyid saya pernah memberi batasan dalam perkara ini, yaitu selama pasangan tidak melarang kita untuk sujud kepada Allah, ya jalan terus. Bismillah. Syukuri semua yang ada dan sikapi dengan sebaik-baiknya. Pede saja, jangan terhanyutkan oleh bisikan ini-itu. Situasi ini sebenarnya urusan antara kita dengan Dia. Kita harus berjalan mengimani yang gaib, ketidakpahaman, dan ketidakmengertian. Tidak apa-apa, be okay with it, serahkan semua itu kepada-Nya. Dengannya kita menjadi belajar menggenggam tangan-Nya dan tawakal penuh hanya kepada Allah. Sungguh ini sebuah rahasia Allah yang cepat atau lambat akan disingkapkan hikmahnya. Just be patient and make the best out of it👍

Tuesday, October 22, 2019

Pernah saya marah luar biasa sama ibu yang tidak mengizinkan saya nginep di rumah teman untuk nonton bareng dengan geng bermain saya bersama lima orang anak laki-laki. Waktu itu usia saya 10 tahun. Masih belum paham kenapa seorang ibu tidak mengizinkan anak perempuannya nginap bareng seru dengan teman bermainnya yang lain. Sekarang saya sudah menjadi seorang ibu. Sudah paham kenapa ibu saya mencegah saya pergi ke "pyjama party" itu dulu. And i thanks her for that. She's merely doing her job to protect me. Begitu ya, betapa akal dan pemahaman bisa melipat dunia dan membacanya dalam sebuah bingkai berbeda. Saat akal dan pemahaman saya masih kecil, saya cenderung marah dengan kebijakan orang tua karena tidak paham akan potensi bahaya yang bisa menimpa saya. Ketika akal sudah berkembang dan pemahaman makin luas, kita menjadi lebih melihat kehidupan tidak linier, beepikir sepuluh langkah kedepan, begitu kompleks dan serba penuh pertimbangan serta berhati-hati. Demikian juga kiranya sikap kita terhadap sebuah pengabulan doa dari-Nya. Saat jiwa masih kerdil dan belum tumbuh akalnya, maka ia akan cenderung marah, kecewa dan putus asa oleh sebuah penundaan doa. Kemudian menuduh Tuhan menolak doanya. Padahal Tuhan berjanji tidak akan menolak doa seseorang. Karena bukankah ide serta inspirasi untuk berdoa pun datang dari-Nya? Yang Tuhan lakukan persis seperti yang ibu saya lakukan. Mencegahnya dari potensi keburukan yang bisa menimpa. Jadi ditundanyalah proses pengabulan itu, hingga kita siap. Hinggs semesta kita siap. Karena Dia demikian sayang kepada ciptaanNya. Tapi kita yang sering tak mengerti, menuduh-Nya macam-macam bahkan marah-marah kepadaNya. Seperti saya marah kepada ibu saya dulu. Astaghfirullah. Mohon maaf ya Allah...

Friday, October 18, 2019

Musim gugur pun tiba. Angin dingin dan kencang mulai bertiup dengan gagah, mengeringkan dan menggugurkan daun-daun yang mulai tampak menguning. Demikianlah alam beradaptasi pada perubahan musim. Ada pohon-pohon yang harus kehilangan daun-daunnya untuk bertahan di musim dingin. Kecuali pohon-pohon tertentu (evergreen trees) yang daunnya dilapisi lilin untuk bertahan di musim dingin yang membeku. Hilangnya daun adalah kebaikan untuk pohon tersebut. Agar ia tidak merana di musim dingin yang menjelang. Agar ia bisa terus hidup dan pada saatnya daun-daun yang segar akan bertumbuhan di musim semi. *** Hidup kadang memasuki musim gugurnya. Ketika hal-hal yang tidak baik dari diri dan kehidupan kita Dia lepaskan dengan seribu satu mekanisme. Ada yang dengannya bercerai, tidak jadi menikah, kehilangan atau berganti pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan zona nyaman, kehilangan kesehatan, dan kehilangan hal lain yang pada awalnya terasa menyakitkan. Tapi jika mau bersabar dan memahami gerak takdir-Nya, semua yang terjadi adalah untuk yang terbaik untuk menghadapi kehidupan di "musim" berikutnya. Agar kita tidak sengsara di alam berikutnya. Kemudian kita akan menyakdikan hal-hal baru didatangkan dengan indah, bagai bunga yang muncul di musim semi. Jalaluddin Rumi berkata, "Jangan berduka, apapun yang hilang darimu akan datang dalam bentuk lain."

Wednesday, October 16, 2019

Hari ini puncak dari semua kekesalanku pada suami. Amarahku demikian membara. Kebencianku demikian menggunung. Ingin aku menumpahkan semuanya kepadanya. Tapi aku tak sanggup. Aku ternyata masih begitu mencintainya. Dalam kalut pikiranku. Tiba-tiba aku rasakan sesuatu mengalir dari hidungku. Darah segar! Seumur hidup aku tak pernah mimisan sebanyak ini. Aku coba berisitirahat. Namun keesokan harinya tubuhku bertambah tidak enak dan leherku terasa membengkak. Sahabat dekatku yang kebetulan seorang dokter memaksaku memeriksakan keadaan yang aku kira sebuah gejala stress atau kecapean. "Kanker Nasofaring stadium 3B" demikian hasil pemeriksaan dokter beberapa hari kemudian. Rasanya tak percaya. Is it really happening to me? Rasanya selama ini badanku baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba...? Kenapa aku? Dan ribuan kata mengapa menyerbu alam pikiranku. Aku marah sekaligus merasa tak berdaya. Duniaku terasa berguncang. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. ... Walaupun awalnya enggan, akhirnya dengan niat ikhtiar yang optimal aku menjalani kemoterapi-radiasi. Setelah itu aku didera rasa mual yang luar biasa selama 24 jam. Sekujur badanku terasa tak karuan. Saat itu untuk bisa tidur satu jam saja sudah merupakan suatu hal yang mewah untukku. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tamu di dalam diriku bernama sel-sel kanker itu masih menggerogoti tubuhku yang melemah, kali ini menyebar ke tempurung kepala yang menimbulkan sensasi sakit yang luar biasa. Selain itu pertumbuhan sel di daerah kerongkongan membuatku susah sekali menelan. Setiap kali melihat air yang harus kuminum tak terasa air mata menetes karena sudah terbayangkan rasa sakit yang harus kuterjang di setiap tegukan. Ada titik balik yang sangat penting saat berjuang menghadapi takdir sakit ini. Yaitu ketika mursyidku berkata bahwa kalau penyebab sakit ini sudah dipahami, maka mudah bagi Allah untuk mencabut semua ini. Aku cerna lambat-lambat setiap kata beliau itu. Kemudian mencoba merenung dalam hari-hariku yang kini banyak bergantung orang lain untuk merawat tubuhku, termasuk suamiku yang aku dulu sering kesal kepadanya. Suamiku... Ya, itulah pelajaran untukku! Adab menghadapi suami yang tengah digugah oleh Allah melalui sakitku ini. Aku minta maaf dalam-dalam kepada beliau atau kata-kata , perilaku atau bahkan kekesalan di hati yang tak nampak. Semua bagaikan kanker yang menggerogoti hatiku dan Allah manifestasikan menjadi sel kanker betulan yang memporak-porandakan tubuhku. Alhamdulillah. Seiring dengan taubat dan penerimaan dari suami, keadaanku berangsur-angsur membaik. Empat tahun kemudian, setelah melalui 18 kemoterapi dan 30 kali radiasi. Dengan izin Allah sakitku itu sembuh. Dokter menyatakan tubuhku bersih dari sel kanker. Masya Allah. Puji syukur yang tak terkira! Demikianlah episode pembelajaran sang jiwa melalui proses pembumihangusan raga diri. Ada nuansa kematian di dalamnya. Namun setelah itu ada sesuatu yang baru terlahir darinya. Puisi Jalaluddin Rumi berikut menyemangatiku saat aku merasa tak sanggup lagi menerima pembersihan diri. "Wahai pencari, wahai ksatria berhati singa, Yang Maha Tinggi menggilirkan untukmu: panas dan dingin, sedih dan perih, takut dan lapar, sakit dan fakir, semuanya bagi sang jiwa;   agar nilai sejati jiwamu terungkap, dan dapat digunakan."

Sunday, October 13, 2019

Kebanyakan orang tidak menerima keadaannya hari ini. Baik itu disadari atau tidak. Barangkali tidak pernah ia secara lisan menolak jelas-jelas kehidupannya, tapi pikirannya kerap melayang di suatu keadaan lain yang ia anggap lebih baik dari apa yang ada. Bisa bayangan tentang sifat pasangan yang tertentu, tentang rumah tinggal idaman, tentang pekerjaan yang dianggap lebih baik dsb. Apapun itu keinginan dan pikiran yang mencerabut kita dari apa yang ada di saat ini pada dasarnya adalah sebuah tindakan ketidaksyukuran. Karena untuk beberapa detik, menit, jam atau hari lamanya saat pikiran atau keinginan itu mengemuka, pada saat yang sama kita pasti tidak sedang menikmati apa yang ada. Seperti orang yang sedang dihidangkan sebuah makanan di hadapannya lalu membayangkan tentang makanan lain yang tidak ada di meja hidangnya, pasti ia kehilangan sensasi kelezatan apapun yang tengah dihidangkan. Demi memuaskan keinginannya tak jarang manusia mencoba mencuri-curi start, tak sabar ingin mengetahui masa depannya. Ia baca ramalan bintang, ia bertanya kepada paranormal, ' ajengan' atau cenayang dengan harapan mereka mengatakan hal yang ingin dia dengar. Sebuah perbuatan musyrik. Menyekutukan Allah. Karena merasa kata-kata para “orang pintar” itu lebih menenangkan dia dibandingkan janji Allah yang tertera dalam Al Quran bahwa jika seseorang bertaqwa maka akan dijamin rezekinya, akan diberi penghidupan yang baik (hayatan thayyiba) dan sekian janji lain dari Allah, Yang Maha Memenuhi janji. Padahal jelas dalam Al Quran bahwa salah satu ciri orang bertaqwa adalah mereka yang beriman kepada yang gaib (QS Al Baqarah). Masa depan adalah gaib, hanya Allah yang tahu pasti apa yang terjadi besok. Tapi iman harusnya membawa seseorang tenang mengetahui bahwa hidup kita ada dalam genggaman-Nya. Dzat yang Maha Memelihara segenap alam ciptaan. Iman yang sama yang melatihnya untuk menerima apapun yang ada dengan syukur. Namun, jarang yang demikian. Kebanyakan manusia termakan oleh ilusi pikirannya sendiri yang mengatakan : “Kalau kamu punya ini kamu akan lebih bahagia.” “Kalau kamu menikah dengan dia hidupmu akan lebih berbunga” “Kalau kamu punya pekerjaan ini, anak-anak lebih terjamin” Dan sekian banyak asumsi berjurus “andaikan” yang bertujuan satu. Menarik manusia agar tidak berselera lagi dengan hidangan kehidupan yang ada di hadapannya. Karenanya orang cenderung menghibur dirinya dengan mencoba membaca nasib di depan, siapa tahu pas dengan apa yang hawa nafsu dan syahwatnya inginkan. Itu seperti orang yang tengah mengunyah sarapan pagi lalu mencari-cari tahu apa yang akan ia dapatkan untuk makan siang. Padahal makanan yang ada pun belum habis ia santap. Kunci Shiraathal Mustaqiim yang kita mintakan setiap shalat itu ada pada menerima keadaan hari ini. Tubuh yang ini. Pasangan yang ini. Keluarga yang ini. Pekerjaan yang ini. Sakit yang ini. Kelebihan dan kekurangan yang ini. Semua yang ada mintakan kepada Allah bagaimana cara menggunakan semua itu dengan tepat, agar membuat senang Dia yang mengirim itu semua kepada kita. Sudah saja sibuk dengan apa yang sudah ada di tangan. Kita pun akan terlupakan oleh ajakan syetan yang meniupkan ilusi bermantera “andaikata…seandainya…”

Saturday, October 12, 2019

“Mama, i want to tell you something” kata Si Kecil Rumi yang berjalan tergopoh-gopoh mendekati ibunya dengan wajah yang tegang. “I broke something, it was an accident. But i am telling the truth” Sambil merentangkan kedua tangannya dan memasang wajah penuh harap 🤗 Dia tak sengaja menendang suatu barang hingga ia rusak. Di waktu lain dia menumpahkan sesuatu hingga lantai kotor. Kali lain ia menghilangkan sesuatu. Accident happens. Kataku selalu sama anak-anak. Barang yang rusak bisa diperbaiki. Lantai yang kotor bisa dibersihkan. Sesuatu yang hilang bisa dicari gantinya. Tapi Kalau akhlakmu rusak. Hatimu kotor oleh dusta. Atau kejujuranmu hilang. Itu yang susah diperbaiki, sulit untuk dibersihkan dan payah mengembalikannya tanpa sebuah pertolongan dari Allah Ta’ala.

PELAJARAN TAWAKAL DARI SEEKOR BURUNG



Pagi itu terdengar suara berisik di luar jendela rumah, sebuah mesin traktor kecil menyapu pinggiran jalan yang berbatasan dengan rumput untuk merapikan rerumputan yang banyak menjulur ke jalanan. Hasilnya, sekitar 50 cm rumput yang berada di dekat aspal jalanan terangkat keluar dari tanah. Sore hari jelang menjemput anak-anak sekolah saya melihat puluhan burung berkumpul di sekitar rumput yang tercerabut itu. Nampaknya ada cacing tanah yang ikut terangat keluar, juga beberapa benih yang tak sengaja terbongkar dari kedalaman tanah.

Menakjubkan! Pikirku. Pak pengemudi traktor di pagi hari bisa jadi tak bermaksud memberi makan burung-burung itu. Ia sekadar melakukan pekerjaannya, merapikan jalanan. Demikianlah Allah mengatur dinamika alam dengan sangat cermat dan penuh perhitungan hingga jauh dari sebuah kesia-siaan.

Memasuki musim dingin biasanya tidak banyak serangga berkeliaran di permukaan tanah. Tapi toh Allah punya seribu satu cara untuk menafkahi segenap ciptaannya. Kita sepertinya harus belajar tawakal kepada kaum binatang yang tak pernah memusingkan apa yang akan dimakan esok hari. Sedangkan manusia yang seharusnya memiliki kapasitas akal yang lebih luhur malah lebih sering terantuk oleh pikiran dangkalnya sendiri akan kehidupan. Takut kurang, takut tidak bisa menyekolahkan anak, takut tidak bisa membahagiakan orang tua dan sekian banyak jerat ketakutan yang ia lilitkan sendiri di segenap jiwanya hingga sang akal sang jiwa tak bisa berfungsi dengan baik. Akal yang bisa melihat bahwa Allah Yang Maha Kuasa, sebuah kesadaran yang membuat hatinya selalu tenang, karena ia sungguh menyandarkan diri kepada Dzat Yang Maha Memelihara.

Tentang burung itu, tak heran Rasulullah saw pun hingga bersabda,
“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Tirmidzi)

Wednesday, October 9, 2019

Instead of asking "Why is this happening to me?"
It will feel better if we start to ask, "What is this teaching me?"
And then slowly but sure the answer to "why" will reveal by itself.
Sejumlah duapuluhan anak usia empat hingga lima tahun diberi tugas oleh guru merangkai gambar pesawat, pilihannya pesawat itu tinggal landas atau mendarat. Hasilnya, seratus persen anak-anak merangkai pola pesawat yang tengah mendarat, tiba di tempatnya.

Everybody wants to be at home.
Hal-hal yang berbau "kepergian" dan keluar dari zona nyaman biasanya dihindari. Tapi, dimana "rumah" dan "zona nyaman" kita yang sebenarnya? Itu yang menjadi masalah. Karenanya orang siang malam tersibukkan dalam sebuah perlombaan, a pursuit of happiness. Sebuah perjalanan yang absurd yang jika kita di titik awal salah mendefinisikan kebahagiaan, salah menempatkan konsep sebuah tempat kembali dan keliru mengartikan apa itu zona nyaman yang kita meraih sakinah di dalamnya.

Ini sungguh sebuah pertanyaan yang patut direnungkan oleh kita semua. Tentang apa yang kita cari. Sebuah perenungan yang akan membentuk paradigma kehidupan dan dengannya kita melandaskan semua keputusan kehidupan.

Pada akhirnya kita semua akan pulang ke "rumah keabadian". Hanya ada yang pulang dengan selamat dan ada yang harus singgah dulu di tempat-tempat pemurnian karena lalai saat dalam kurun kehidupan dunia.

Semoga kita tergolong orang yang Dia selamatkan...Aamiin

#

Another airplane
Another sunny place
I'm lucky I know
But I wanna go home
Mmm, I got to go home

And I feel just like
I'm living someone else's life
It's like I just stepped outside
When everything was going right

Let me go home
I'm just too far
From where You are
I wanna come home...

- Michael Buble

Tuesday, October 8, 2019

Bisa jadi tertundanya pengabulan doa kita, sulitnya rezeki, dan sempitnya penghidupan yang tengah kita alami sekarang ini adalah sebuah proses pembersihan dari kesalahan-kesalahan “kecil” kita yang terakumulasi sejak muda. Ketika kita curang mencontek saat ujian, ketika kita ngeloyor pergi tanpa membayar di kantin, ketika kita diam-diam saja melihat ada barang yang belum terbayar di supermarket, ketika kita melakukan “mark-up” atas biaya dinas dan pembelanjaan kantor, ketika kita mencuri waktu kerja dengan melakukan hal yang pribadi atau menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi dan lain sebagainya.
Seorang muslim itu orang yang jujur, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Hal itu ditampakkan oleh sikap Rasulullah kepada seorang yang ingin masuk Islam, lalu diterima syahadatnya oleh sang baginda Rasul, akan tetapi Rasulullah justru tidak menerima kecurangan yang ia lakukan walaupun kepada orang kafir.
Hidup harus jujur, itu yang berkah dan menenangkan. Kecurangan sedikit pun akan mendapatkan balasannya. Syukur-syukur dibersihkan di dunia ini dibandingkan jika dibersihkan di alam nanti dengan derajat sakit yang lebih tinggi.
Jadi, waspadalah jika ada permohonan kita yang terhambat. Barangkali perkara jodoh, ingin keturunan, ingin anak sehat dan baik, ingin rumah tangga harmonis, dll yang belum dibukakan urusannya. Bisa jadi rezeki-rezeki itu terhalang oleh tumpukan dosa kecil berupa kecurangan yang kita remehkan bertahun-tahun. Astaghfirullah…

"Ah saya kan cuma ibu rumah tangga biasa" kata seorang ibu.

Bu, tidak ada seorang ibu rumah tangga yang biasa. Kita menjadi ibu dengan menempuh banyak pengorbanan. Derajat kasih sayang yang Sang Pencipta berikan demikian berlimpah demi merawat seorang anak manusia. Sesuatu yang para kaum Adam tidak punyai, karena memang perannya berbeda.

Bu, jangan merasa minder kalau ada orang yang sembarangan berkata, "Sayang dong kuliah tinggi-tinggi kalau hanya jadi ibu rumah tangga." Sungguh itu perkataan orang yang tak paham betapa mulianya mengurus anak-anak dan rumah tangga. Biarkan saja, hadapi ketidakpahaman dengan senyuman dan perkataan yang baik.

Syukur-syukur bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa mengakomodasi peran kita sebagai ibu atau punya keluarga yang bisa membantu mengurus anak saat kita bekerja. Tapi, apapun posisi atau titel kita di pekerjaan. Prioritas pertama buat ibu adalah tetap anak-anaknya.

Bu, anda dan kita yang terlahir sebagai perempuan memiliki amanah besar. Rasulullah mengatakan perempuan adalah tiang negara. Jika kita lemah dan rapuh maka negara pun hancur. Perempuan pun jadi pilar di level keluarganya. Jika kita mengeluh keadaan yang ada maka kita tengah merontokkan sendi-sendi pilar kehidupan sendiri.

Belajarlah dari seorang Siti Maryam, ibu rumah tangga yang perannya mengurus seorang anak yang lahir menjadi salah satu nabi besar. Setiap kita pun diamanahi seorang manusia yang memegang amanah besar dari Rabbnya. Peran ibu selain melahirkan mereka secara raga adalah juga membimbing mereka agar pada saatnya terlahir kembali untuk kedua kalinya. Kelahiran jiwa mereka yang akan membuat senang Allah Ta'ala. Sungguh tak ada pekerjaan yang lebih mulia selain membina dan membimbing seorang manusia untuk kembali kepada Tuhannya.

Jadi bu, banggalah sebagai ibu rumah tangga - hilangkan kata-kata "cuma ibu rumah tangga". Lain kali ada orang bertanya, bilang dengan bangga, sebuah kebanggaan yang berasal dari sebuah kebersyukuran bahwa apa yang Allah tetapkan adalah yang terbaik, katakan "aku seorang IBU RUMAH TANGGA"

Thursday, October 3, 2019

Almarhum ayah saya adalah seorang wartawan. Saat kecil saya kerap diajak ke kantornya dan bisa anteng seharian diberi “mainan” mesin tik merk Brother yang besar dan beberapa lembar kertas. I grew up with typewriter, hingga setiap bunyi mesin tik bagai sebuah simfoni yang indah di telinga saya. Dari sana kiranya benih kecintaan saya untuk menulis mulai tumbuh.

Ayah juga kerap mengajak saya berkeliling untuk mewawancara sekian banyak orang. Spesialisasi  ayah adalah mewawancara kisah-kisah unik manusia. Tentang lelaki yang menjadi seorang transgender, tentang bapak tua yang blusukan dengan sepeda desain unik ke pelosok kota Bandung hanya untuk membersihkan jalanan dari sampah, tentang artis yang sudah lama meninggalkan dunia gemerlap dunia entertainment.
Basically, mereka yang luput dari perhatian kebanyakan manusia atau mereka yang dipandang aneh oleh masyarakat. Somehow, my father could get into them. Dia bisa membuat pendekatan yang berbeda kepada setiap orang sehingga mereka mau membuka dirinya dan bersedia membagi ceritanya dengan orang banyak. I know later that it’s not easy to share something private. It’s like you open up your  vulnerable spot.

Secara tidak sadar saya menyerap teknik-teknik ayah saya dalam berinteraksi dengan orang. Hal itu baru saja diingatkan oleh sepupu saya yang beberapa minggu lalu sempat singgah di Belanda. Saat kami ngobrol santai berbagi kisah di bandara, sepupu saya nyeletuk, “ Kamu gaya bicaranya seperti bapak kamu banget!”

Ayah memang orangnya supel. Beliau bisa bicara dalam berbagai level. Semua orang bahkan yang baru kenal beliau bisa tiba-tiba ngobrol berjam-jam dengannya seperti laiknya sahabat lama saja. Sebuah kualitas banyak saya pelajari darinya. Saat saya berprofesi sebagai seorang dokter, saya lebih tertarik untuk mengenal mengapa seseorang bisa sakit seperti itu dibanding sekadar menegakkan diagnosis dan menuliskan resep di atas secarik kertas. Karenanya saya sempat pindah dari sebuah klinik ramai dengan dua ratusan pasien sehari ke klinik yang lebih sepi dengan pasien maksimal 20 orang per hari. Alasannya simpel, supaya saya punya lebih banyak waktu ngobrol dengan setiap pasien.

Banyak hal yang terungkap dari sesi bicara dari hati ke hati itu. Pernah saya punya seorang pasien, seorang ibu paruh usia yang setiap bulan pasti datang untuk minta resep lagi untuk penyakit maag kronisnya. Hingga suatu waktu ia membuka diri bercerita bahwa suaminya punya wanita idaman lain. Rasa marah, kecewa, terluka dan banyak emosi itu kiranya yang membuat racun bagi lambungnya hingga ia berkali-kali meradang. Singkat cerita kisah ini berakhir damai. Sang suami yang ternyata punya anak dari perselingkuhannya ditawarkan opsi poligami oleh ibu ini. Sebuah kebesaran hati yang luar biasa yang didemonstrasikan oleh beliau. Setelah badai pernikahan itu, setahun kemudian mereka memiliki anak lagi. Penyakit lambung sang ibu berangsur hilang. And life goes on.

Menulis dan berkomunikasi dalam dengan orang lain adalah salah satu warisan yang diajarkan oleh ayah dengan tanpa disengaja. Saya yakin Allah sudah membekali setiap orang sejak kecil dengan potensi uniknya dan alam yang menunjang dirinya masing-masing. I have to admit, both quality helped me a lot in pursuing my career, and more over having significant role in the pursuit of my happiness, that is when I finally found my niche, a work that makes you feel like a river moving in you, a joy!

Friday, September 27, 2019


Setiap manusia Allah genggam kehidupannya lahir dan batin. Setiap takdir yang telah terjadi terwujud dalam perhitungan Ilmu-Nya, artinya Dia mustahil menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Oleh karenanya sangat tidak bisa manusia menilai keadaan orang lain berdasarkan masa lalu kelamnya saja. Karena bisa jadi orang yang ditakdirkan terpeleset hidupnya justru memiliki akhir yang baik dengan hati yang bertaubat. Sementara orang yang tampak baik dan shalih kehidupannya bisa jadi berakhir celaka karena di dalam hatinya menyimpan sekian banyak kemusyrikan dan bangga diri, sebuah dosa yang bisa menjatuhkan Iblis dari makhluk yang dekat dengan-Nya menjadi terpental ke jurang kenistaan.

Takdir orang biarlah menjadi rahasia antara dirinya dengan Tuhannya. Tak perlu sibuk menilai orang lain, menganalisa rumah tangga orang lain, atau turut campur dalam permasalahan yang bukan urusan kita. Bukankah kita sendiri pun masih kelabakan melihat ke dalam diri, bagaimana belepotannya hati kita oleh lumpur-lumpur kelalaian dan ketidakikhlasan.

Semua orang memiliki jalan dan temponya masing-masing untuk kembali kepada Allah.

Be kind, for everyone you meet is fighting a hard battle. - Platon

Saturday, September 21, 2019

Orang itu butuh memaknai kegiatan dan pekerjaannya. Bahwa aktivitasnya seremeh apapun kelihatannya adalah bagian dari konstelasi agung semesta alam.

Jika Dia tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia, maka sadarilah bahwa tidak ada satupun angin takdir yang tak bermakna. Semua diizinkan hadir dengan sebuah tujuan agung.

Apapun yang dihadirkan ke tangan kita saat ini, entah itu pekerjaan, usaha, anak, keluarga, semuanya adalah anak-anak tangga yang harus kita daki agar si jiwa naik ke langit melalui semua itu.

Setiap kita harus menjadi pohon yang akarnya menghunjam kuat ke tanah dan cabang-cabangnya merentang ke langit. Tanah bumi dan kehidupan kita harus dipegang kuat-kuat dan disikapi sebaik-baiknya, itu syarat agar jiwa kita bisa makin merentang ke langit dan merengguk pengetahuan-Nya yang suci.

Itulah mengapa sifat mengeluhkan keadaan dengan didasari kelemahan jiwa merupakan salah satu dosa yang fatal. Karena saat seseorang mengeluhkan keadaannya, tidak menerima ketetapan-Nya dan berkecil hati dengan kehidupan sambil mengerjakan semua aktivitas seadanya tanpa sungguh-sungguh. Ia seperti mencerabut akar pohon diri dari tanah kehidupan yang justru akan melontarkannya ke langit.

Sekarang, mari kita berkaca ke dalam diri. Sekuat apa akar-akar kita menghunjam ke bumi diri dan memegang semua amanah yang Dia berikan?

Thursday, September 19, 2019


Ikhlas itu perkara yang tidak mudah, karena terkait  dengan tauhid. Maka seorang yang ikhlas adalah orang yang bergantung kepada Allah sepenuhnya baik itu dalam persoalan diantara manusia maupun dalam persoalan mencari rezeki.

Kebergantungan kita kepada sesuatu selain Allah itulah yang kemudian melahirkan penderitaan bagi dirinya sendiri.

Seorang yang terlampau bergantung kepada pasangan akan kecewa berat manakala orang yang dia cintai justru menyakitinya.

Seorang yang demikian tergantung kepada pekerjaan atau usahanya demi mencukup kehidupannya akan terseret dalam pusaran kesibukan yang tak kenal henti dan membuat penat serta lemah jiwanya.

Seorang yang terjerat dalam mencari status dan kedudukan di hadapan manusia akan terjerembab dalam kehidupan yang bukan miliknya yang sejati dan tidak membawa kebahagiaan yang hakiki.

Pontang-pantingnya kita dalam kehidupan. Lelah hatinya kita menghadapi tantangan hidup. Dan murung raut muka kita menyongsong takdir suci-Nya adalah semata-mata karena hati masih tertawan pada obyek-obyek yang fana, sesuatu selain Allah Ta’ala Sang Keabadian.

Maka pada prinsipnya setiap manusia tengah tersentuh oleh syaithan selama ia tidak betul-betul mencari Allah.

Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis (ikhlas) di antara mereka.” (QS Al Hijr [15]:39-40)
Siang malam manusia mencari kebahagiaan yang dikiranya berada di luar takdir hidupnya.
Padahal istana kebahagiaan itu terletak di setiap detak jantungnya sendiri.

Tuesday, September 17, 2019


Kisah Yaqub as menitipkan Yusuf, anak kesayangannya agar dilindungi oleh kakak-kakaknya adalah sebuah pelajaran tentang sebuah adab. Bagi seorang Nabi, yang derajat kedekatan dengan Allah lebih tinggi dibanding kebanyakan manusia, adalah berat sebuah konsekuensi yang harus ditanggung ketika beliau menitipkan Yusuf dalam perlindungan kakak-kakaknya tanpa terlebih dahulu memohon perlindungan Allah. Yang terjadi kemudian justru melalui kakak-kakaknya itulah Yusuf dicelakakan dengan dimasukkan ke dalam sebuah sumur. Yaqub as, sebagai ayah ditimpa oleh kesedihan yang dalam hingga membutakan matanya selama berpuluh tahun lamanya. Namun beliau tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. Hingga akhirnya ia dipertemukan lagi dengan Yusuf yang sudah menjadi pejabat di kerajaan Mesir, dan penglihatannya pun pulih kembali.

Apa pelajaran kisah ini untuk kita? Dalam keseharian kita pun tak jarang terpeleset mengandalkan hal-hal lain selain Allah yang kita anggap menjamin masa depan anak-anak kita. Kita mengandalkan sekolah yang reputasinya dikenal baik itu, kita mengandalkan guru-guru yang lulusan luar negeri itu, kita mengandalkan sekolah di luar negeri, kita mengandalkan asuransi dan lain-lain seolah-olah semua itu lebih menjamin masa depan dan kebahagiaan anak dibanding Allah Ta’ ala.

Kemudian seperti Yusuf yang terpuruk di dasar sumur, anak-anak kita pun terpuruk dalam depresi, kecanduan, kesedihan yang tak berujung yang kita dibuat susah karenanya. Pun ketika semua itu terjadi, jurus andalan kita masih mencari-cari terapi horizontal untuk menyembuhkan anak-anak kita. Barangkali berobat ke psikiater top itu, barangkali dikirim ke pesantren itu, barangkali dimasukkan program tertentu. Akan tetapi Allah yang demikian dekat, yang memanggilnya bisa kapanpun juga, jarang kita mintai terlebih dahulu pertolongan. Padahal semesta digerakkan oleh-Nya.

Adalah mudah bagi Allah membuat hati yang duka menjadi gembira, adalah seperti membalikkan telapak tangan bagi Dzat Yang Maha Kuasa untuk membuat penyakit seseorang hilang begitu saja.Lantas kenapa kita begitu dibuat susah karenanya? Bukankah Allah Maha Dekat dan Maha Mengetahui isi hati kita? 

Kalau Dia sudah demikian sangat siap untuk membantu. Jangan-jangan kita yang masih belum siap menerima pertolongan dari-Nya karena demikian tersibukkan mencari-cari sendiri jalan keluar yang belum tentu itu.

Belajar dari kisah Yaqub, bahkan dari sebuah musibah besar dalam kehidupan selalu tersimpan harapan akan rahmat-Nya. Sebuah akhir yang baik. A happy ending.