Wednesday, October 16, 2019
Hari ini puncak dari semua kekesalanku pada suami. Amarahku demikian membara. Kebencianku demikian menggunung. Ingin aku menumpahkan semuanya kepadanya. Tapi aku tak sanggup. Aku ternyata masih begitu mencintainya.
Dalam kalut pikiranku. Tiba-tiba aku rasakan sesuatu mengalir dari hidungku. Darah segar! Seumur hidup aku tak pernah mimisan sebanyak ini. Aku coba berisitirahat. Namun keesokan harinya tubuhku bertambah tidak enak dan leherku terasa membengkak. Sahabat dekatku yang kebetulan seorang dokter memaksaku memeriksakan keadaan yang aku kira sebuah gejala stress atau kecapean.
"Kanker Nasofaring stadium 3B" demikian hasil pemeriksaan dokter beberapa hari kemudian. Rasanya tak percaya. Is it really happening to me?
Rasanya selama ini badanku baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba...?
Kenapa aku?
Dan ribuan kata mengapa menyerbu alam pikiranku.
Aku marah sekaligus merasa tak berdaya. Duniaku terasa berguncang. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
...
Walaupun awalnya enggan, akhirnya dengan niat ikhtiar yang optimal aku menjalani kemoterapi-radiasi. Setelah itu aku didera rasa mual yang luar biasa selama 24 jam. Sekujur badanku terasa tak karuan. Saat itu untuk bisa tidur satu jam saja sudah merupakan suatu hal yang mewah untukku.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tamu di dalam diriku bernama sel-sel kanker itu masih menggerogoti tubuhku yang melemah, kali ini menyebar ke tempurung kepala yang menimbulkan sensasi sakit yang luar biasa. Selain itu pertumbuhan sel di daerah kerongkongan membuatku susah sekali menelan. Setiap kali melihat air yang harus kuminum tak terasa air mata menetes karena sudah terbayangkan rasa sakit yang harus kuterjang di setiap tegukan.
Ada titik balik yang sangat penting saat berjuang menghadapi takdir sakit ini. Yaitu ketika mursyidku berkata bahwa kalau penyebab sakit ini sudah dipahami, maka mudah bagi Allah untuk mencabut semua ini. Aku cerna lambat-lambat setiap kata beliau itu. Kemudian mencoba merenung dalam hari-hariku yang kini banyak bergantung orang lain untuk merawat tubuhku, termasuk suamiku yang aku dulu sering kesal kepadanya.
Suamiku...
Ya, itulah pelajaran untukku!
Adab menghadapi suami yang tengah digugah oleh Allah melalui sakitku ini.
Aku minta maaf dalam-dalam kepada beliau atau kata-kata , perilaku atau bahkan kekesalan di hati yang tak nampak. Semua bagaikan kanker yang menggerogoti hatiku dan Allah manifestasikan menjadi sel kanker betulan yang memporak-porandakan tubuhku.
Alhamdulillah. Seiring dengan taubat dan penerimaan dari suami, keadaanku berangsur-angsur membaik. Empat tahun kemudian, setelah melalui 18 kemoterapi dan 30 kali radiasi. Dengan izin Allah sakitku itu sembuh. Dokter menyatakan tubuhku bersih dari sel kanker. Masya Allah. Puji syukur yang tak terkira!
Demikianlah episode pembelajaran sang jiwa melalui proses pembumihangusan raga diri. Ada nuansa kematian di dalamnya. Namun setelah itu ada sesuatu yang baru terlahir darinya.
Puisi Jalaluddin Rumi berikut menyemangatiku saat aku merasa tak sanggup lagi menerima pembersihan diri.
"Wahai pencari,
wahai ksatria berhati singa,
Yang Maha Tinggi menggilirkan untukmu:
panas dan dingin,
sedih dan perih,
takut dan lapar,
sakit dan fakir,
semuanya bagi sang jiwa;
agar nilai sejati jiwamu terungkap,
dan dapat digunakan."
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment