Sunday, October 13, 2019

Kebanyakan orang tidak menerima keadaannya hari ini. Baik itu disadari atau tidak. Barangkali tidak pernah ia secara lisan menolak jelas-jelas kehidupannya, tapi pikirannya kerap melayang di suatu keadaan lain yang ia anggap lebih baik dari apa yang ada. Bisa bayangan tentang sifat pasangan yang tertentu, tentang rumah tinggal idaman, tentang pekerjaan yang dianggap lebih baik dsb. Apapun itu keinginan dan pikiran yang mencerabut kita dari apa yang ada di saat ini pada dasarnya adalah sebuah tindakan ketidaksyukuran. Karena untuk beberapa detik, menit, jam atau hari lamanya saat pikiran atau keinginan itu mengemuka, pada saat yang sama kita pasti tidak sedang menikmati apa yang ada. Seperti orang yang sedang dihidangkan sebuah makanan di hadapannya lalu membayangkan tentang makanan lain yang tidak ada di meja hidangnya, pasti ia kehilangan sensasi kelezatan apapun yang tengah dihidangkan. Demi memuaskan keinginannya tak jarang manusia mencoba mencuri-curi start, tak sabar ingin mengetahui masa depannya. Ia baca ramalan bintang, ia bertanya kepada paranormal, ' ajengan' atau cenayang dengan harapan mereka mengatakan hal yang ingin dia dengar. Sebuah perbuatan musyrik. Menyekutukan Allah. Karena merasa kata-kata para “orang pintar” itu lebih menenangkan dia dibandingkan janji Allah yang tertera dalam Al Quran bahwa jika seseorang bertaqwa maka akan dijamin rezekinya, akan diberi penghidupan yang baik (hayatan thayyiba) dan sekian janji lain dari Allah, Yang Maha Memenuhi janji. Padahal jelas dalam Al Quran bahwa salah satu ciri orang bertaqwa adalah mereka yang beriman kepada yang gaib (QS Al Baqarah). Masa depan adalah gaib, hanya Allah yang tahu pasti apa yang terjadi besok. Tapi iman harusnya membawa seseorang tenang mengetahui bahwa hidup kita ada dalam genggaman-Nya. Dzat yang Maha Memelihara segenap alam ciptaan. Iman yang sama yang melatihnya untuk menerima apapun yang ada dengan syukur. Namun, jarang yang demikian. Kebanyakan manusia termakan oleh ilusi pikirannya sendiri yang mengatakan : “Kalau kamu punya ini kamu akan lebih bahagia.” “Kalau kamu menikah dengan dia hidupmu akan lebih berbunga” “Kalau kamu punya pekerjaan ini, anak-anak lebih terjamin” Dan sekian banyak asumsi berjurus “andaikan” yang bertujuan satu. Menarik manusia agar tidak berselera lagi dengan hidangan kehidupan yang ada di hadapannya. Karenanya orang cenderung menghibur dirinya dengan mencoba membaca nasib di depan, siapa tahu pas dengan apa yang hawa nafsu dan syahwatnya inginkan. Itu seperti orang yang tengah mengunyah sarapan pagi lalu mencari-cari tahu apa yang akan ia dapatkan untuk makan siang. Padahal makanan yang ada pun belum habis ia santap. Kunci Shiraathal Mustaqiim yang kita mintakan setiap shalat itu ada pada menerima keadaan hari ini. Tubuh yang ini. Pasangan yang ini. Keluarga yang ini. Pekerjaan yang ini. Sakit yang ini. Kelebihan dan kekurangan yang ini. Semua yang ada mintakan kepada Allah bagaimana cara menggunakan semua itu dengan tepat, agar membuat senang Dia yang mengirim itu semua kepada kita. Sudah saja sibuk dengan apa yang sudah ada di tangan. Kita pun akan terlupakan oleh ajakan syetan yang meniupkan ilusi bermantera “andaikata…seandainya…”

No comments:

Post a Comment