Thursday, October 3, 2019

Almarhum ayah saya adalah seorang wartawan. Saat kecil saya kerap diajak ke kantornya dan bisa anteng seharian diberi “mainan” mesin tik merk Brother yang besar dan beberapa lembar kertas. I grew up with typewriter, hingga setiap bunyi mesin tik bagai sebuah simfoni yang indah di telinga saya. Dari sana kiranya benih kecintaan saya untuk menulis mulai tumbuh.

Ayah juga kerap mengajak saya berkeliling untuk mewawancara sekian banyak orang. Spesialisasi  ayah adalah mewawancara kisah-kisah unik manusia. Tentang lelaki yang menjadi seorang transgender, tentang bapak tua yang blusukan dengan sepeda desain unik ke pelosok kota Bandung hanya untuk membersihkan jalanan dari sampah, tentang artis yang sudah lama meninggalkan dunia gemerlap dunia entertainment.
Basically, mereka yang luput dari perhatian kebanyakan manusia atau mereka yang dipandang aneh oleh masyarakat. Somehow, my father could get into them. Dia bisa membuat pendekatan yang berbeda kepada setiap orang sehingga mereka mau membuka dirinya dan bersedia membagi ceritanya dengan orang banyak. I know later that it’s not easy to share something private. It’s like you open up your  vulnerable spot.

Secara tidak sadar saya menyerap teknik-teknik ayah saya dalam berinteraksi dengan orang. Hal itu baru saja diingatkan oleh sepupu saya yang beberapa minggu lalu sempat singgah di Belanda. Saat kami ngobrol santai berbagi kisah di bandara, sepupu saya nyeletuk, “ Kamu gaya bicaranya seperti bapak kamu banget!”

Ayah memang orangnya supel. Beliau bisa bicara dalam berbagai level. Semua orang bahkan yang baru kenal beliau bisa tiba-tiba ngobrol berjam-jam dengannya seperti laiknya sahabat lama saja. Sebuah kualitas banyak saya pelajari darinya. Saat saya berprofesi sebagai seorang dokter, saya lebih tertarik untuk mengenal mengapa seseorang bisa sakit seperti itu dibanding sekadar menegakkan diagnosis dan menuliskan resep di atas secarik kertas. Karenanya saya sempat pindah dari sebuah klinik ramai dengan dua ratusan pasien sehari ke klinik yang lebih sepi dengan pasien maksimal 20 orang per hari. Alasannya simpel, supaya saya punya lebih banyak waktu ngobrol dengan setiap pasien.

Banyak hal yang terungkap dari sesi bicara dari hati ke hati itu. Pernah saya punya seorang pasien, seorang ibu paruh usia yang setiap bulan pasti datang untuk minta resep lagi untuk penyakit maag kronisnya. Hingga suatu waktu ia membuka diri bercerita bahwa suaminya punya wanita idaman lain. Rasa marah, kecewa, terluka dan banyak emosi itu kiranya yang membuat racun bagi lambungnya hingga ia berkali-kali meradang. Singkat cerita kisah ini berakhir damai. Sang suami yang ternyata punya anak dari perselingkuhannya ditawarkan opsi poligami oleh ibu ini. Sebuah kebesaran hati yang luar biasa yang didemonstrasikan oleh beliau. Setelah badai pernikahan itu, setahun kemudian mereka memiliki anak lagi. Penyakit lambung sang ibu berangsur hilang. And life goes on.

Menulis dan berkomunikasi dalam dengan orang lain adalah salah satu warisan yang diajarkan oleh ayah dengan tanpa disengaja. Saya yakin Allah sudah membekali setiap orang sejak kecil dengan potensi uniknya dan alam yang menunjang dirinya masing-masing. I have to admit, both quality helped me a lot in pursuing my career, and more over having significant role in the pursuit of my happiness, that is when I finally found my niche, a work that makes you feel like a river moving in you, a joy!

No comments:

Post a Comment