Thursday, February 28, 2019

Kehidupan: Medan Besar Untuk Menumbuhkan Akal Batin


Kerinduan untuk dikenal adalah spirit dasar yang mengawali penciptaan. Penciptaan semesta alam. Penciptaan lika-liku serta sekian ketetapan kehidupan. Semua agar bisa dibaca (iqra) oleh sang insan, ciptaan teragung, yang paling merepresentasikan Al Haqq dan yang paling bisa membaca sapuan tinta dari qalam penciptaan-Nya. Yang ketika hal itu diperagakan oleh Adam as saat menyebut nama-nama bahkan membuat para malaikat muqarrabuun – para malaikat tingkat tertinggi – tersungkur bersujud di hadapannya, sebagai gestur ketakziman kepada sebuah keagungan Allah yang ada di dalam diri seorang Adam.

“Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun mahfiy).

Aku rindu untuk dikenal.

Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.”

Demikian firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsiy.

Bayangkan, Allah Ta’ala yang “laisa kamitslihi syai’un”- “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya”(QS Asy Syuura:11) berkehendak memperkenalkan dirinya kepada segenap ciptaan, kepada kita, makhluk yang di awalnya bahkan tidak memiliki bentuk dan nama, yang kemudian Allah sematkan ruh, jiwa dan raga serta segenap semesta kehidupan yang menyertainya. Semua ditata dengan rapih dalam sebuah balutan skenario kehidupan yang terjalin indah, agar sang hamba mengenal Sang Pencipta.

Maka ayat pertama yang turun adalah seruan untuk membaca, “Iqra!”. Membaca kitab kehidupan, membaca kitab suci, membaca kitab diri. Akan tetapi seseorang tidak bisa membaca jika akalnya belum dilatih. Seperti seorang bayi atau balita yang tidak akan bisa bahkan mengeja namanya sendiri walaupun disajikan huruf besar-besar di hadapannya.

Manusia memiliki potensi akal lahir dan akal batin. Akal lahir ditimbulkan dari sekian banyak proses di dalam mesin berpikir raga yang disebut dengan otak. Sedangkan akal batin letaknya di dalam hati. Ini sasaran utama pendidikan Ilahiyah. Jika manusia mendidik akal lahirnya melalui sekian banyak jenjang pendidikan di dunia, maka selaiknya akal batinnya terdidik melalui sekian banyak takdir kehidupan yang menempa dirinya.

Maka tidak pernahkan mereka berjalan di bumi, sehingga qalb mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada (shudur)”(QS Al Hajj [22]:46)

Seseorang boleh saja mengantungi berbagai gelar doktor dan mencapai sekian banyak pendidikan akademik tingkat tinggi, tapi jika akal hatinya tidak dilatih dalam jalan agama maka dia akan senantiasa diliputi oleh kebingungan ketika harus menghadapi fenomena hidup diri dan dunia. Bagaimana membaca ihwal kematian, tentang perceraian, tentang peperangan, tentang kelaparan, tentang musibah dsb.

Akal hati, sejak jenjang paling rendah bernama fu’ad dan sampai tingkat tertinggi bernama lubb, akan dapat membaca kebijaksanaan Ilahiyah di balik fenomena yang nampak. Adalah mereka yang memiliki lubb (ulil albaab) yang akan paham kebaikan Allah di balik segala sesuatu, bahkan di dalam peristiwa yang paling menyakitkan sekalipun, dia akan bisa berkata, “Rabbana maa khalaqta haadza baathilaa..””Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia…” (QS Ali Imran [3]: 3)

Langkah pertama mendidik akal hati adalah dengan menerima dengan ikhlas, dengan tanpa berat hati semua yang Allah takdirkan. Terima masa lalu kita, terima perlakuan orang yang menzalimi kita, terima sakit yang Dia turunkan, terima pasangan yang Allah pasangkan kepada kita. Penerimaan adalah langkah awal dari pendidikan Ilahiyah yang senantiasa Dia berikan pada setiap saatnya. Selanjutnya, just enjoy the ride! 😉

Wednesday, February 27, 2019

Jangan Tambatkan Kerja Keras Pada Hasil Akhir

Di sebuah negeri pada zaman kerajaan dahulu diadakan sebuah perlombaan memanah. Pemenangnya akan mendapatkan dua kantung emas dan diangkat menjadi panglima kerajaan.

Seorang pemuda berlatih siang malam untuk memenangkan perlombaan bergengsi itu. Suatu hari ketika sedang berlatih di pinggir danau, datanglah seorang guru bijak menghampirinya.

“Aku perhatikan sebulan ini kau sangat tekun berlatih memanah. Tentunya engkau sangat ingin memenangkan perlombaan kerajaan itu. Maukah aku baca masa depanmu untuk melihat apakah engkau memenangkan perlombaan itu atau tidak?” kata sang guru.

“Oh, mau sekali guru! Bisakah?”jawab sang pemuda dengan antusias dan penuh harap ia diberi kabar yang ia ingin dengar.

“Tentu saja bisa, akan tetapi jika aku beri tahu engkau bahwa dirimu tidak akan memenangkan perlombaan itu apakah engkau akan berhenti berlatih?”

Sang pemuda terdiam sesaat. Kemudian berkata, “Yah, untuk apa semua kerja kerasku ini jika aku tahu tidak akan memenangkan perlombaan itu?”

Sang guru tersenyum dan berkata, “Oleh karena itulah masa depan tetap dibuat gaib. Karena kebanyakan orang pendek akalnya untuk menyelami gelaran hikmah yang ada. Sadarilah bahwa hasil akhir sama sekali bukan dari tujuan dari sesuatu. Menang atau kalau itu hanya masalah pengkadaran Sang Gusti. Akan tetapi jika engkau menempa diri siang malam melalui latihan ini, maka banyak kualitas dari dirimu yang bertumbuh. Engkau menjadi disiplin, sabar, tekun, kerja keras, badanmu bugar, semangat, yang semuanya itu merupakan sifat-sifat Gusti Yang Maha Agung yang ditumbuhkan dalam hatimu. Nak, camkan kata-kataku, sungguh semua itu jauh lebih baik dibanding dua kantung emas dan jabatan panglima yang kau dambakan itu. Nah, teruslah berlatih dan jangan tambatkan kerja kerasmu pada hasil akhir!”
=====
“…mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib…” (QS Al Baqarah [2]:1-2)

Engkau berhak melakukan tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, tetapi engkau tidak berhak atas hasil perbuatan. Jangan menganggap dirimu penyebab hasil kegiatanmu, dan jangan terikat  pada kebiasaan tidak  melakukan kewajibanmu.
- Bhagavad Gita 2.47

Ketika Benih Ditempatkan Di Tanah Yang Tepat


Anak lelaki ini biasa-biasa saja prestasinya di sekolah. Tidak terlalu menonjol. Hanya kebiasaannya yang sangat kental adalah membaca buku. Ya, ia lebih memilih meluangkan waktu menenggelamkan diri dalam tumpukan buku dibandingkan bermain dengan remaja seusianya. Keingintahuannya kepada dunia dan apa yang terjadi di dalamnya begitu tinggi. Ia akan sangat mudah melahap koran atau berita dalam sekejap dalam balutan suasana Beni Sidel, sebuah kota di daerah utara Marokko yang indah dan dikelilingi oleh pegunungan.

“Kita akan pindah ke negeri Belanda!”

Keputusan besar itu diambil oleh orang tuanya dengan itikad mencari penghidupan dan pendidikan yang lebih layak bagi anak-anaknya.

Maka pada usia 15 tahun sang ‘anak gunung’ ini menjejakkan kakinya di negeri tulip dan mulai menapaki hari-harinya beradaptasi di negeri dengan bahasa yang sangat berbeda di negeri asalnya.

Seperti sudah diduga, anak pintar ini mudah mempelajari hal yang baru. Ia lulus dengan gelar Bachelor of Engineering namun mengikuti kata hatinya bekerja sebagai reporter untuk berbagai radio dan saluran berita di Belanda yang ternama seperti Veronica, NOS-radio dan RTL Nieuws.

Kepiawaiannya dalam berorganisasi dan bermasyarakat membuat dia bergabung dengan salah satu partai politik di Belanda dan dalam usianya yang ke-46 tahun didaulat menjadi walikota Rotterdam.

Ahmed Aboutaleb nama sang pemuda itu.

Saya jadi ingat kata-kata mursyid bahwa kalau anak pintar tapi tidak diberi lingkungan yang tepat atau guru yang menginspirasi maka bakat kecerdasan si anak tidak akan bertumbuh. Karenanya pendidikan adalah hak setiap anak. Tidak seharusnya pendidikan dibuat mahal dan sulit, karena ia adalah sarana untuk mengembangkan potensi jiwa sang anak mencapai titik optimalnya, sehingga ia bisa berbuah dan menemukan orbit kebahagiaan dirinya yang sejati.

#free education for all

Tentang 'Islam Liberal'

Bagaimana pendapat teteh tentang Islam Liberal?

Saya kurang banyak membaca literatur tentang sejarah pertumbuhan Islam Liberal. Bukan spesialisasi saya 😊 Akan tetapi dalam pandangan saya istilah “Islam Liberal”tersebut adalah sesuatu yang rancu. Ia menyiratkan seolah “Islam” demikian mengekang sampai harus diberi embel-embel “Islam Liberal”.

Akan tetapi melihat dalam kerangka zaman kita per hari ini dimana realisasi ajaran Islam yang sebenarnya sedang dalam titik nadir sehingga orang kesulitan memahami contoh ajaran Islam seperti yang Rasulullah saw dan para sahabat jalani dalam keseharian. Inti ajaran Islam semakin tidak tersentuh ketika banyak pengikutnya hanya fokus kepada penampilan luar dan syariat lahiriyah dengan melalaikan aspek syariat batiniyah. Sehingga penampilan syariat ini dipandang keras, hitam-putih, tidak ada kompromi, asal main berangus kalau berbeda, sangat mudah melayangkan fatwa haram atau bid’ah dsb yang membuat orang takut dan memandang Islam tidak lagi ajaran yang bersifat “rahmatan lil ‘alamiin” seperti yang ditunjukkan oleh akhlak mulia baginda Rasulullah saw. Sehingga bisa dipahami jika ada upaya sebagian kelompok masyarakat yang ingin melepaskan diri dari stigma Islam yang keras seperti itu dengan melabel “Islam Liberal, Islam Progresif”dst.
Mari kita kembali menengok aspek agama (ad diin) yang diajarkan Rasulullah saw dalam hadits sbb:

Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :
Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”

Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama (ad diin) kalian.” [HR Muslim, no. 8] [1]

Dalam hadits tersebut Allah mengajarkan dengan mengutus Jibril as mengenai tiga pilar ad diin (agama) yaitu islam, iman dan ihsan. Pilar islam tercakup dalam aspek ilmu syariat. Pilar iman tercakup dalam aspek ilmu tauhid. Sedangkan pilar ihsan tercakup dalam ilmu tasawuf, dalam ilmu tentang olah rasa.

Ketika pilar agama Islam tidak semuanya ditegakkan, Islam yang kehilangan aspek ‘rasa’ dan estetikanya, maka ‘delivery’nya menjadi kaku dan terasa dipaksakan, ini salah satu yang menjadi sebab persepsi orang tentang agama Islam dianggap sebagai agama yang seolah tidak toleran, tidak menghargai perbedaan, mengekang dan bersifat eksklusif. Padahal contoh yang diperagakan oleh Rasulullah saw sungguh jauh dari semua yang orang banyak persangkakan. Allahumma shalli ‘alaa sayyidina Muhammad…

Bagaimana membedakan hawa nafsu dan syahwat?

Ini sungguh sebuah perkara yang sangat halus, akan tetapi manusia justru diberi kemampuan akal yang tinggi – tidak hanya akal lahir tapi juga akal batin, untuk dapat membedakan hal yang seperti ini.

Untuk bisa membedakan hawa nafsu dan syahwat kita harus mengasah ‘rasa jiwa’. Bagaimana caranya? Dengan bertaqwa.

“Bertaqwalah kamu kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu.”(QS Al Baqarah [2]: 282)

 Landasan taqwa adalah iman.

Iman dibangun di atas pondasi tauhid, “laa ilaa ha ilallah”, singkirkan semua ilah, semua tuhan palsu, semua yang mendominasi hati dan kehidupan kita, dan persembahkan ruang hati hanya untuk Allah semata.

Jalan suluk adalah upaya untuk membangunkan dan mengasah rasa hati. Yang dengannya manusia menjadi lebih peka dengan taburan petunjuk yang Allah Ta’ala tebarkan setiap saatnya.

Lantas, mulai dari mana?

Mulai dari membenahi hubungan dengan Allah Ta’ala. Mulai dengan shalat di awal waktu. Mulai dengan memperbaiki kualitas kekhusyukan dalam shalat. Mulai dengan dzikir dengan takzim saat usai shalat dengan tanpa terburu-buru. Mulai dengan mengurangi ghibah. Mulai dengan mengurangi marah. Dst. Mulai dengan apa yang kita bisa, pada saat ini juga, di tempat kita berpijak. Dengan memohon pertolongan-Nya. Bismillah…
“Kamu menikah 11 kali pun akan menghadapi hal yang sama!” demikian keras teguran sang guru kepada saya yang kadang masih mengeluh dan ‘merengek’ seperti anak kecil dalam menghadapi ketidakcocokan dan ketidaksukaan dalam rumah tangga.

Pantaslah penyatuan dalam pernikahan diganjar dengan separuh ad diin (agama) karena melalui pernikahan ini kita mencoba menegakkan kebaktian kepada-Nya dengan haq melalui jatuh-bangun, pasang-surut dan bahagia-sedih dalam dinamika rumah tangga.

Perlahan tapi pasti Allah mengajarkan bahwa hal-hal yang tidak kita saya sukai ada dalam pasangan ternyata merupakan pantulan dari kualitas tertentu yang ada di dalam hati. Awalnya saya kerap dalam fase  ‘denial’, menyangkal, “ah saya kan ngga kaya gitu”. Tapi kalau ditilik secara seksama dan jujur melihat, kualitas yang sama ada di dalam hati saya hanya wujudnya saja yang berbeda.

Akhirnya saya bisa lebih berdamai dan menunduk dengan semua keadaan ini, karena semakin menyadari bahwa Allah Yang Maha Baik sedang membantu untuk membersihkan jiwa dengan menaruh cermin hidup yang sangat canggih dalam hidup, sebuah cermin yang bisa menampakkan apa isi hati.

Dalam hukum pemantulan cahaya (law of reflection) disebutkan salah satunya bahwa, “sudut datang sama dengan sudut pantul”, artinya koordinat yang tertampakkan dalam cermin kehidupan di hadapan hanya bayangan dari sebuah wujud lain di koordinat dalam cakupan sudut yang sama.

I rest my case.

Saya terima semua proses pemurnian ini ya Rabb. Insya Allah.

Jalaluddin Rumi berkata: “Siang dan malam engkau senantiasa berperang berupaya mengubah akhlak lawan jenismu, untuk membersihkan ketidaksucian mereka dan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka.
Sungguh! Lebih baik mensucikan dirimu sendiri melalui mereka daripada mensucikan mereka melalui dirimu sendiri. Ubahlah dirimu sendiri melalui mereka. Hadapilah mereka dan terimalah apa saja yang mereka katakan, walaupun dari sudut pandangmu ucapan mereka itu terdengar aneh dan tidak adil…”

Tuesday, February 26, 2019

Setiap manusia dicipta khusus dengan ketetapan (qadha) dan sekian qadar kehidupannya masing-masing.

Ada yang pintar bersosialisasi, ada yang pemalu namun jago dalam menganalisa. Ada yang pintar bisnis, ada yang biasa-biasa saja tapi mahir dalam menempatkan orang di tempat yang tepat. Ada yang menikah di usia muda, ada yang menikah di lanjut usia bahkan ada juga yang jodohnya dipertemukan di alam berikutnya. Allah mengatur sedemikian rupa ketetapan setiap makhluk-Nya dalam timbangan kebenaran dan keadilan-Nya.

Maka hargai goresan tinta penciptaan di dalam diri masing-masing. Karena kalau diri sendiri saja sudah menolak bahkan mencampakkan takdir dan ketetapan-Nya maka siapa lagi yang bisa melakukannya?
Syukuri bentuk tubuh kita, jenis kelamin kita, warna kehidupan kita, orang tua dan saudara kita, kadar rezeki kita, dan semua yang Allah sampaikan ke tangan kita per hari ini.

Syukuri masa lalu kita dengan segala lika-likunya, syukuri kesalahan yang telah kita buat di masa lampau dan ambil pelajaran darinya.

Syukuri keadaan kita, juga segala doa dan permohonan yang belum Allah kabulkan. Karena semua akan indah pada saatnya, pada waktu yang paling tepat yang telah Dia hitung.

Semakin ikhlas seseorang akan semakin tidak bergeming oleh komentar orang lain mengenai keadaan serta kekaryaannya. Jika ia dipuji maka tidak akan membuatnya lupa siapa sebenarnya yang patut untuk dipuji. Jika ia mendapatkan komentar yang menyakitkan ia tidak akan marah, karena ia betul-betul hanya mengerjakan hal itu untuk mencari wajah-Nya semata. Artinya komentar Sang Penciptalah satu-satunya yang menjadi patokan bagi dirinya []



Sunday, February 24, 2019

Tentang Cek HP Pasangan Diam-diam

“Bagaimana menurut teteh kalau kita suka melihat-lihat handphone pasangan secara sembunyi-sembunyi?”

“Kenyataan bahwa pertanyaan ini timbul karena muncul keragu-raguan dalam hatimu. 

Saya pribadi tidak suka melihat-lihat dan membaca pesan-pesan pribadi di handphone atau komputer suami. Pertama, itu bukan hak saya untuk melihatnya. Kalaupun dipaksakan melihat dan membacanya akan menghabiskan jatah usia saya yang tak lama ini dalam sesuatu yang bukan kepentingannya. Every second counts!
Dan yang paling berbahaya adalah bahwa perilaku ini sekadar mencerminkan rasa tidak percaya dan prasangka buruk yang sangat bersifat racun baik dalam sebuah hubungan atau bagi diri sendiri.

Kecuali kalau suami mengizinkan dan membuka sama-sama, di dekatnya atau dengan sepengetahuannya silakan saja, menurut hemat saya.

Tentang keragu-raguan tadi, ada hadits Rasulullah saw yang berkata begini:

“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i)

Dalam riwayat Ibnu Hibban ada tambahan demikian:

“...Karena sesungguhnya kebaikan adalah ketentraman dan keburukan adalah keraguan.”


Jadi kalau hati kecil ragu atas sebuah tindakan yang telah atau akan diambil, sebaiknya jangan lakukan. Wallahu’alam”

Wednesday, February 20, 2019

Korbanot



Korbanot adalah bentuk jamak dari “Kurban” dalam bahasa Ibrani. Disebut juga “qurban” dalam bahasa Arab yang memiliki akar kata “QRB” menjadi lebih dekat dengan sesuatu atau seseorang.Kita pun mengenal istilah sahabat “karib”, menunjuk kepada orang yang paling dekat diantara sekian banyak teman yang dimiliki.

Apa-apa yang kita kurbankan pada hakikatnya adalah sebuah gerak untuk mendekati sesuatu. Sesuatu itu terkait dengan apa yang dicari di dalam hati setiap orang. Ada yang mengurbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk mendekati jenjang karir yang dia dambakan. Ada yang mengurbankan apapun untuk orang yang dia cintai. Adapun bagi orang yang merindukan Allah, maka ia sampai pada tahap mengurbankan dirinya untuk bisa meraih derajat liqa’, sebuah pertemuan dengan Allah yang sangat khusus.

Syaikh Bawa Muhaiyyadden berkata tentang kurban, “Kurban bukan semata-mata menyembelih ayam, kambing atau sapi, adapun (sifat-sifat) hewaniyah di dalam diri manusia (marah, cemas, cemburu, kikir, dendam, sombong, merasa diri hebat, ingin terkenal, ingin dianggap beda, putus asa, malas dll) yang jumlahnya empat ratus trilyun sepuluh ribu harus disembelih.”

Masalahnya sama sekali tidak mudah untuk mengurangi satu persen saja kadar marah, kadar dengki dan sifat-sifat lain yang mengotori hati itu kalau Allah tidak menolong seseorang melalui segenap dinamika kehidupan. Maka dipaparkanlah kita pada sekian takdir berupa diberi sakit, dipertemukan dengan orang yang menyakiti hati, dibuat satu tempat kerja dengan orang yang suka memfitnah, digelincirkan dalam sebuah situasi yang memalukan dsb. Semua itu pada awalnya akan terasa menyakitkan dan pahit, seperti obat yang harus diminum. Tapi sungguh semua itu dihadirkan untuk menyehatkan jiwa, jika saja kita mensyukurinya dan senantiasa berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.

Maka Rumi berpesan,
Jangan melarikan diri dari dukamu
Wahai jiwa
Melainkan temukanlah obat (bagi jiwamu) yang tersimpan di dalam setiap rasa sakit


Tuesday, February 19, 2019

Tentang Menentukan Pilihan

Kalau hanya mengandalkan logika. Saya sudah menikah dengan pria lain, dulu sekali.
Kalau hanya mengandalkan hitung-hitungan yang nampak, pasti saya sudah hengkang dari negeri Belanda, kembali ke tanah air yang lebih mendatangkan banyak keuntungan dan fasilitas yang terhitung.
Kalau hanya mengandalkan 'akal sehat' mana mau seorang dokter kerja di restoran cepat saji dengan upah standar UMR dan bekerja di area yang 'bukan bidangnya'.
Tapi saya belajar bahwa menjalani pilihan dalam hidup itu tidak bisa - dan tidak boleh- hanya mengandalkan logika, hitung-hitungan dunia dan akal sehat semata.
Karena kita manusia punya hati yang itu adalah sarana untuk memohon petunjuk Sang Pencipta.
Karena dibalik setiap pilihan yang kita ambil haruslah mempertimbangkan perasaan Allah, Tuhan semesta alam.
Karena dibalik apa yang nampak dan terhitung tersimpan lebih banyak hal yang tak nampak dan tak terhitung.
Ada karsa Dia di balik segala sajian pilihan. Memilih yang Dia ridhoi itu selalu jadi tantangan besar dalam menapaki kehidupan. Terlepas dari masalah menang atau kalah, sukses atau gagal dalam penggal waktu yang sangat pendek berorde 'abad' (seratus tahun) saja. Tapi konsekuensi dari pilihan kita akan terbaca dalam peta kehidupan besar yang rentang waktu dari generasi kita ke Adam as, bapak kita semua barulah 40 ribu tahun lamanya.
Bagi yang mau menentukan pilihan dalam pilpres (pemilihan presiden), pilkada (pemilihan kepala daerah), pilrah (pemilihan lurah), pilketosis (pemilihan ketua osis) sampai piljod (pemilihan jodoh), tidak perlu bingung dengan semua data yang ada. Ambil wudhu, gelar sajadah lalu shalat istikharah, berbisiklah kepada-Nya dengan hati yang berserah. Allah Maha Mendengar dan Merespon setiap doa, tinggal pasang mata, telinga dan hati untuk merasakan panduan-Nya dalam semesta diri dan lingkungan. Insya Allah.

Wednesday, February 13, 2019

"Eh, tiba-tiba..."

Hidup itu banyak kejutan.
Bukti ada Dzat Yang Maha Kuasa yang mengendalikan semesta.

Dulu saat hamil besar anak kedua, tak terbayang bagaimana saat hari persalinan nanti yang dijadwalkan di rumah sakit. Bagaimana dengan Elia? Saat itu dia belum genap berusia dua tahun.

Eh tiba-tiba...
Ada sepasang suami istri asal Indonesia yang ngekost di rumah. Mereka sangat baik dan membantu keseharian kami mengurus para balita.
Alhamdulillah pertolongan dari Allah.

Ketika pasangan suami istri itu pindah. Sempat kelimpungan mencari orang yang sesekali bisa diminta bantuan menjaga anak-anak. Pernah coba opsi daycare, tapi Elia tidak cocok. Setiap kali dititipkan kesana nangisnya kaya sakit hati banget. Sudah, distop saja.

Eh, tiba-tiba...
Sepulang dari membawa Rumi untuk diimunisasi. Di pintu keluar dihampiri oleh seorang perempuan paruh baya yang menyapa ramah sambil menyerahkan kartu nama.
"Kalau kamu butuh "oppas" (semacam baby sitter). Saya siap."
Anak-anak ajaibnya cocok sama beliau dan tidak nangis malah dadah-dadah kalau ditinggal.
Alhamdulillah pertolongan dari Allah.

Fast forward.
Anak-anak sudah mulai memasuki masa sekolah.
Elia, alhamdulillah lancar. Anak itu independen, mudah bersosialisasi dan ekstrovert.
Adiknya, nah...ini sempat bikin perasaan bagai naik roller coaster.

Rumi sangat berbeda perilakunya di sekolah, tempat umum dimana banyak orang yang asing buat dia. Saat di pre-school diamnya dia ini sampai dijadikan topik meeting khusus. Mereka ingin mencari cara bagaimana menstimulasi anak ini dan memberinya lingkungan yang membuat dia berkembang optimal. Lalu tahun kedua dibuat rotasi guru. Rumi dapat seorang guru senior, keturunan Belanda dan Indonesia yang sangat pintar berkomunikasi dengan anak yang sangat pendiam sekalipun. Untuk pertama kalinya Rumi jadi semangat kalau sekolah.
Alhamdulillah, pertolongan Allah.

Dan itu terjadi lagi saat Rumi beranjak masuk SD. Awalnya dia dapat guru yang cuek. Hati mamanya pun sedih karena kurang sreg dengan beliau.
Dalam kesedihan itu, saya coba mengamalkan saran mursyid untuk sengaja bersedekah atas nama anak itu dan kita berdoa bersama.

Eh, tiba-tiba...
Tak lama kemudian ada pengumuman guru itu dirotasi ke tempat lain. Dan Rumi mendapatkan guru senior yang sangat bisa memahami keadaannya.
Alhamdulillah pertolongan Allah.

Bercermin dari beberapa pengalaman hidup yang telah terjadi. Semakin yakin saya bahwa Dia Maha Dekat dan demikian merespon hamba-hambaNya dengan cara yang tak terduga.
Tinggal kita yang sabar dan optimis dalam menjalani takdirNya.
Insya Allah jalan keluar selalu ada😊

Tuesday, February 12, 2019

“Boleh saya tanya? Kenapa kalian menyembah bangunan kotak hitam itu?” sambil menunjuk tayangan di tv yang memperlihatkan jamaah haji sedang berthawaf dan sebagian shalat menghadap ka’bah.

“Oh, bangunan kotak berwarna hitam itu  bernama ka’bah. Kami sama sekali bukan menyembah benda itu, akan tetapi menyembah Tuhan yang memiliki ka’bah.

Sujud adalah ekspresi dari ketundukan dan penyerahan diri yang mutlak. Tapi bukan ditujukan untuk obyek yang ada di depannya, melainkan kepada Allah, Dzat Yang Maha Ghaib.
Karena itu ketika para malaikat diperintahkan sujud kepada Adam, bukanlah untuk menyembahnya. Akan tetapi sebagai ekspresi kebertundukan akan sebuah hakikat yang ada di dalam diri seorang Adam.

Begitu pun ketika Rasulullah saw bersabda, “Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang perempuan sujud kepada suaminya.” Bukanlah artinya perempuan menyembah laki-laki. Tetapi simbol  kepatuhan perempuan kepada Al Haqq yang memimpin seorang laki-laki yang shalih.

Jadi semua bermuara kepada ekspresi pengagungan Dia Yang Maha Kuasa dengan membenamkan dalam-dalam ke level tanah identitas diri kita berupa akal yang sering dipertuhankan dalam gestur bersujud.”

Dia mengangguk-angguk. Semoga tidak puas…