Anak lelaki ini biasa-biasa saja prestasinya di sekolah.
Tidak terlalu menonjol. Hanya kebiasaannya yang sangat kental adalah membaca
buku. Ya, ia lebih memilih meluangkan waktu menenggelamkan diri dalam tumpukan
buku dibandingkan bermain dengan remaja seusianya. Keingintahuannya kepada
dunia dan apa yang terjadi di dalamnya begitu tinggi. Ia akan sangat mudah
melahap koran atau berita dalam sekejap dalam balutan suasana Beni Sidel,
sebuah kota di daerah utara Marokko yang indah dan dikelilingi oleh pegunungan.
“Kita akan pindah ke negeri Belanda!”
Keputusan besar itu diambil oleh orang tuanya dengan itikad
mencari penghidupan dan pendidikan yang lebih layak bagi anak-anaknya.
Maka pada usia 15 tahun sang ‘anak gunung’ ini menjejakkan
kakinya di negeri tulip dan mulai menapaki hari-harinya beradaptasi di negeri
dengan bahasa yang sangat berbeda di negeri asalnya.
Seperti sudah diduga, anak pintar ini mudah mempelajari hal
yang baru. Ia lulus dengan gelar Bachelor of Engineering namun mengikuti kata
hatinya bekerja sebagai reporter untuk berbagai radio dan saluran berita di
Belanda yang ternama seperti Veronica, NOS-radio dan RTL Nieuws.
Kepiawaiannya dalam berorganisasi dan bermasyarakat membuat
dia bergabung dengan salah satu partai politik di Belanda dan dalam usianya
yang ke-46 tahun didaulat menjadi walikota Rotterdam.
Ahmed Aboutaleb nama sang pemuda itu.
Saya jadi ingat kata-kata mursyid bahwa kalau anak pintar
tapi tidak diberi lingkungan yang tepat atau guru yang menginspirasi maka bakat
kecerdasan si anak tidak akan bertumbuh. Karenanya pendidikan adalah hak setiap
anak. Tidak seharusnya pendidikan dibuat mahal dan sulit, karena ia adalah sarana
untuk mengembangkan potensi jiwa sang anak mencapai titik optimalnya, sehingga
ia bisa berbuah dan menemukan orbit kebahagiaan dirinya yang sejati.
#free education for all
No comments:
Post a Comment