Thursday, February 7, 2019

Jam 10 malam Elia kejang demam.
Jam 12 malam kejang berikutnya.
Jam 1.30 menemani dia diperiksa di UGD
Alhamdulillah dokter bilang aman. Pulang saja.
Jam 2.30 Elia muntah
Jam 3.30 muntah kedua
Jam 4.00 dia mulai tertidur, alhamdulillah
Si emak tetap terjaga
Karena jam ngantuk sudah lewat.
Begitulah hidup, sangat rentan dan penuh dengan kejutan.
Jadi teringat sebuah kisah...
Ada sebuah adegan di pertunjukan drama yang ditulis oleh Arthur Miller berjudul “Incident at Vichy” dimana seorang pria Yahudi kalangan menengah keatas dan berpendidikan tinggi tengah diperiksa oleh perwira Nazi yang saat itu tengah memasuki negara Perancis.
Dalam upayanya untuk selamat sang pria itu mengeluarkan semua dokumen yang menunjukkan bahwa ia “orang penting”. Maka ditunjukkannya semua ijazah dari perguruan tinggi dan berbagai dokumen yang menunjukkan bahwa dirinya adalah warga yang terpandang.
Sang perwira Nazi dengan wajah tak peduli lalu bertanya, “Hanya ini yang kamu punya?” Pria itu mengangguk sambil wajahnya digelayuti oleh ekspresi kebingungan bercampur takut.
“Bagus, sekarang kamu tidak punya apa-apa” tukas si perwira sambil membuang semua dokumen itu ke tempat sampah.
Insiden “pembuangan semua kepemilikan” ini mirip seperti yang dialami oleh seorang Imam Al Ghazali, ketika suatu saat beliau pulang dari menuntut ilmu dengan membawa banyak kitab di atas tunggangannya. Di tengah jalan ia dihadang oleh kawanan perampok yang mengira ia membawa banyak harta benda.
Ketika para perampok itu hendak membawa semua perbekalannya, Imam Al Ghazali menyeru kepada pimpinan perampok agar menyerahkan kepadanya beberapa kitab yang berisi catatan ilmu yang telah ia tuliskan dari gurunya. Mendengar hal itu pimpinan perampok itu malah tertawa dan berkata, “Bagaimana bisa engkau mengaku berilmu, sedangkan kami telah merampas ilmumu itu sehingga engkau tidak lagi memiliki ilmu?”
Lalu untuk kita?
Apa “tumpukan dokumen, ijazah atau kumpulan kitab” yang kita andalkan itu?
Apakah berwujud karir yang dikejar siang malam?
Apakah bisnis yang ditekuni berpuluh tahun?
Apakah jenjang studi yang tinggi benar itu?
Apapun hal yang kita pikir mengidentifikasi diri ini dalam masyarakat. Baik sebagai presiden, gubernur, anggota DPR, CEO, direktur, manager, pengusaha sukses, penulis best seller, penyanyi kawakan, seniman ternama dll.
Atau mengidentifikasi dalam peran keluarga. Baik sebagai anak, orang tua, istri, suami, adik, kakak dll.
Sekarang bayangkan.
Ada suatu saat dimana semua atribut itu akan dilepas. Baik segera di dunia ini melalui musibah, perang, bencana alam dan hal-hal lain yang tak terduga.
Atau saat kiamat datang dan semua hancur tak bersisa.
Lantas siapa kita tanpa semua atribut itu?
Adakah kita?
Adakah?
Ada?
?
Sang pria Yahudi itu bisa terus menjalani kehidupan tanpa embel-embel gelar akademiknya.
Sang Imam Al Ghazali akhirnya menyadari bahwa ilmu yang benar-benar dimiliki adalah yang sudah menjadi bagian dari dirinya.
Kadang diperlukan sentuhan tragedi dalam kehidupan untuk menyadari apa yang paling penting bagi diri sendiri.
Pekerjaan yang hilang bisa didapat kembali.
Harta yang hilang bisa diusahakan kembali.
Kesempatan yang hilang bisa diupayakan lagi.
Cinta yang hilang pun bisa dicari lagi.
Sesuatu yang kita pandang sebagai sebuah bisnis yang gagal, pernikahan yang kandas, salah melangkah dalam kehidupan dan sekian banyak “pilihan yang salah” itu bagaimanapun mewujud menjadi takdir dengan kehendak-Nya. Dan Dia hanya memberi yang terbaik. Itu mutlak sifat Sang Maha Baik.
Maka saat gelombang kehidupan datang menghempas dan meluluhlantakkan semua atribut yang kita cintai itu, tenanglah. Itu semua hanya atribut. Yang namanya atribut itu memang rentan hanyut oleh air pasang. Seperti membangun istana pasir tepi pantai.
Jika kita paham hukum kehidupan, mengerti apa yang hakiki dan menyadari apa hal yang mendasar yang harus kita cari, maka kita akan mulai paham satu persatu semua pertanyaan yang dimulai dengan kata tanya “kenapa?”.
“Kenapa saya lahir sebagai seorang perempuan/laki-laki?”
“Kenapa saya dilahirkan di keluarga ini?”
“Kenapa hidup saya begini?”
“Kenapa dia berbuat demikian?”
Dst.
Pahami kehidupan. Baca kode-kode njelimet dan halusnya melalui bantuan Al Quran dan kitab-kitab suci yang Allah turunkan.
Jika kita paham kenapa semua ini dicipta, kita menjadi lebih bisa berdamai dengan takdir apapun yang menimpa.
Nietzsche, seorang filsuf kebangsaan Jerman pernah berkata,”He who has a ‘Why’ to live for can bear almost any ‘How’”.

No comments:

Post a Comment