Thursday, September 23, 2021

 "Sometimes you have to challenge God!" kata ibu yang satu ini dalam pembicaraan hari ini selepas mengantar anak-anak piknik dengan rombongan sekolah ke Dinopark.


"Kamu tahu, dua tahun lalu pas sebelum wabah Corona saya sedang letih-letihnya." Imbuh ibu empat anak yang berasal dari Ghana ini.


"Saat itu saya benar-benar merasa down sekali. Satu-satunya hal yang saya ingin lakukan adalah untuk sejenak pulang ke Afrika dan berkumpul dengan orang tua saya disana. Tapi saya tidak punya uang untuk pergi ke sana. Butuh setidaknya 1000 euro. Uang dari mana? Ah, tapi saya kan punya Tuhan. Saya lalu berdoa sama Tuhan. Begini doa saya,


'Tuhan, kalau kau benar-benar sayang aku, tolong tunjukkan sekarang juga. Sekarang juga'


Perhatikan ya, saya tidak meminta uang kepada Tuhan saat itu. Saya cuma meminta Dia untuk menunjukkan bahwa Dia sayang saya. 


Lalu, kamu tahu apa yang terjadi? Beberapa hari kemudian sepulang saya mengantar anak saya les renang, saya menemukan bungkusan di jalanan berisi uang 1600 euro! Saya merasa itu jawaban dari doa saya. Dengan uang itu saya bisa pergi ke Afrika dan bahkan mengajak anak-anak saya makan di restoran."


Ketika saya tanya kepada ibu itu kenapa tidak melaporkan uang penemuannya itu ke polisi terlebih dahulu, dia jawab dengan enteng "Ngga dong, nanti uangnya malah diambil mereka!"😅


What a story 🥰

Wednesday, September 15, 2021

 Generasi muda perlahan-lahan mulai meninggalkan agama. Setidaknya itu fenomena yang saya amati di Belanda berdasarkan bacaan berbagai berita di surat kabar juga di Amerika berdasarkan paparan Prof. Jeffrey Lang dalam bukunya "Losing My Religion". Empat dari sepuluh generasi milenial sudah menyatakan tidak ada hubungannya dengan agama apapun, demikian hasil survei dari Pew Research Center.


Agama menjadi topik yang tabu dibicarakan. Seiring dengan itu untuk mengucap kata "Tuhan" saja orang akan dibuat mengernyitkan dahi. Itu setidaknya di Eropa, khususnya di negara yang pernah saya amati seperti di Belanda, Belgia dan Perancis.


Mata saya baru terbuka melihat fenomena ini. Karena selama ini saya tumbuh di keluarga yang termasuk religius, begitupun lingkungan sekitar saya. Rasanya untuk hidup menjadi seorang muslim di Indonesia demikian kondusif. It's a comfort zone. Saya sudah demikian lama terbuai dalam keadaan beragama yang sedemikian rupa. Sampai ketika Allah memindahkan saya ke benua Eropa, berinteraksi dengan muslim dari berbagai negara seperti dari Turki, Maroko, Afrika, dll yang masing-masing memiliki karakteristiknya sendiri.


"Losing My Religion" pada awalnya adalah nama folder yang dimiliki Jeffrey. Setelah ia menerbitkan bukunya "Even Angels Ask" ia mulai kebanjiran email dari berbagai penjuru dunia. Banyak dari email itu berasal dari generasi muda yang orang tuanya Muslim tapi mereka pontang-panting mengikuti syariat agama di era modern ini dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat yang ada. Jeffrey sendiri melihat bahwa ini adalah sebuah isu besar yang sayangnya cenderung dihindari, banyak orang tua malu untuk mengakui bahwa anaknya tidak lagi religius. Mereka tutup mata dengan kenyataan seperti itu. Para ulama pun imbuhnya, kebanyakan menyampaikan materi yang tidak "up to date" dengan kenyataan dan permasalahan yang para generasi muda hadapi di saat ini. Banyak fatwa yang keluar hanya bernada hitam putih berdasarkan interpretasi hadits yang sangat sempit. Dan itu membuat generasi muda yang mulai berpikir kritis tentang agama beranjak menjauh. Walaupun pada saat yang sama mereka masih terikat oleh sebuah kedekatan tertentu kepada agama melalui tradisi yang diwariskan oleh orang tuanya masing-masing.


Seorang pendeta di Amsterdam dalam sebuah wawancara di surat kabar ternama juga mengakui bahwa gereja harus mengubah narasi dalam menyampaikan ajaran kitab suci kepada generasi muda. Metode zaman dulu seperti menakuti-nakuti seseorang jika tidak melakukan syariat dengan neraka sudah tidak mempan lagi. Itu hanya akan membuat anak muda berlari menjauh dari khazanah agama yang sebenarnya sangat luas dan indah. 


Para ulama Islam pun harus melakukan hal yang sama. Agar memperkenalkan agama dengan lebih elegan dan mengayomi. Jangan sampai kejadian seperti ketika seorang muda yang demikian bersemangat belajar Islam dan datang ke sebuah masjid kemudian berubah menjadi alergi terhadap agama dan ulama karena dalam sesi perkenalan si ulama bertanya "Kerjanya apa?" si pemuda menjawab, "Saya kerja di asuransi" Dan si ulama langsung tampak tak berkenan dan berkata "Itu haram!" Dan itulah kali terakhir si pemuda terlihat ada di dalam masjid.


Memang sudah saatnya jelang era kebangkitan agama. Dimana agama dikenal secara menyeluruh, aspek lahir dan batinnya. Tapi memang action speaks louder than words. Seseorang bisa berbusa-busa menjelaskan keagungan dan keindahan sebuah agama, namun pada akhirnya yang orang lihat adalah bagaimana sikap orang itu dalam keseharian. []


15 September 2021 / 8 Safar 1443 H

Wednesday, September 8, 2021

 Takdir dan Simpul Gordian


Sekitar abad ke-4 SM Aleksander Agung (Iskandar Dzulqarnain) memasuki provinsi Phyrgia. Di daerah itu terletak sebuah kereta sapi yang melegenda. Kereta itu diikat ke sebuah tempat dengan sebuah simpul mati yang sulit dibuka oleh siapapun. Peramal setempat menyebutkan bahwa siapapun yang dapat mengurai simpul itu akan dapat menguasai seluruh wilayah Asia. Akhirnya adalah seorang Aleksander yang dapat mengurai simpul itu dan memenuhi ramalan menjadi penguasa seluruh Asia hingga daerah Indus dan Oksus.


Apa hubungannya mengurai simpul dan menjadi penguasa?


Konon takdir kehidupan itu seperti benang kusut. Ia sangat kompleks maka harus diurai perlahan-lahan. Oleh karenanya istilah "Simpul Gordian" pun sebuah istilah untuk menyatakan sebuah permasalahan yang rasanya tak mungkin dipecahkan. 


Bukankah begitu juga dengan kehidupan? Betapa sering kita dihadapkan oleh sebuah permasalahan atau situasi yang tak terbayangkan jalan keluarnya. Sesuatu yang seringkali hanya waktu yang bisa mengurai kekusutan yang ada. Menghadapi hidup pun begitu, harus sabar dan butuh waktu untuk melihat sebuah hasil yang baik. Seringkali orang tidak sabar menghadapi kekusutan masalah yang ada lalu memotong kompas dengan cara mengguntingnya atau menarik-narik secara sporadis benang yang ada tapi malah makin merusak hal yang ada dan simpul itu menjadi semakin mengikat lebih kuat. 


Ihwal mengurai simpul dan kekuasaan ini sebuah pelajaran penting dalam kehidupan. Bahwa jika kita ingin menjadi penguasa kehidupan kita sendiri, agar tidak didominasi oleh hawa nafsu, syahwat, waham diri sendiri, maka harus bersabar mengurai satu persatu helai-helai benang kehidupan yang ada dan tidak membuang satu pun darinya karena itu sama dengan membuang bagian dari kita sendiri. 


Kuncinya sabar dan mencoba melihat kehidupan sebagai sebuah gambaran besar (big picture) agar kita tak selalu terjebak dalam satu titik persoalan lokal ke persoalan lokal yang lain. Belajarlah beranjak dari melihat sesuatu sebagai sebuah titik, kemudian hubungkan semua titik yang ada menjadi garis, dan terus demikian hingga melihat semua titik yang ada membentuk sebuah gambaran tertentu yang menceritakan tentang kita dan tentang Dia, yang mendesain itu semua.


Referensi:

Andrews, E. "What was the gordian knot?" https://www.history.com/news/what-was-the-gordian-knot

Tuesday, September 7, 2021

 Jebakan Betmen


Salah satu ilusi yang sering berhasil menjebak banyak manusia adalah angan-angan akan masa depan. Sesuatu seperti,


"Kalau saya sudah menikah, pasti lebih afdhol ibadahnya"

"Kalau saya punya gaji sekian pasti akan lebih nyaman ibadahnya"

"Kalau sudah pensiun, akan lebih tenang beribadah"


Lucunya, sambil berangan-angan bisa beribadah lebih baik di masa yang belum tentu akan terjangkau oleh usia itu, pada saat yang bersamaan kita tengah mencampakkan kesempatan untuk beribadah sebaik-baiknya tepat di momen itu. Karena saat pikiran kita liar berangan-angan kita luput untuk mensyukuri nikmat yang ada di depan mata.


Ibadah bukan sekadar ritual yang kita lakukan di sepetak sajadah atau saat di dalam masjid. Ibadah bukan hanya kebaikan yang kita lakukan di tengah orang banyak. Pun Ibadah bukan hanya saat kita bisa memberi berbagi harta karena dalam keadaan keluangan.


Ibadah adalah seluruh nafas dan detak jantung kita, karenanya kita disebut sebagai abdi (orang yang beribadah). Bukankah itu ikrar yang kita sebutkan dalam doa iftitah di awal shalat? 


Kita katakan, "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam, yang tidak ada sekutu bagi-Nya."


Coba renungkan, seluruh hidup dan mati kita hanya untuk Tuhan semesta alam. Mempersembahkan kehidupan mungkin agak lebih terbayang. Tapi mempersembahkan kematian bagaimana caranya? Salah satunya dengan mematikan potensi ilusi-ilusi kita tadi. 


Buang jauh-jauh pemikiran bahwa kalau belum ketemu jodohnya kita jadi kurang bahagia. That's nonsense. Kalau seseorang tidak bisa berbahagia dan merasa cukup dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa mengandalkan orang lain dan bahkan menjadikan orang itu sebagai sumber kebahagiaan? Betapa banyak contoh setelah menikah malah orang menjadi tambah ruwet hidupnya. Karena seharusnya niat menikah itu untuk ibadah, dan yang namanya ibadah itu jalan yang penuh pengorbanan. Bukan juga berarti yang menikah tidak bahagia, itu tergantung penyikapan hati setiap orang terhadap apapun yang Allah hadirkan dalam ruang hidupnya masing-masing.


Matikan juga pikiran bahwa agar dapat ibadah dengan optimal itu membutuh uang yang banyak. Tidak pernah ada sejarahnya begitu. Karena menahan diri dan bersabar dalam kesempitan itu juga ibadah. Bahkan dikisahkan dalam riwayat bahwa orang yang paling banyak hartanya yaitu Abdurrahman Auf masuk surga lebih lama dibandingkan sahabat Rasulullah lainnya, hingga Rasulullah saw berkata memberikan jalan keselamatan dengan berinfaq banyak-banyak, 


"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya engkau adalah kelompok orang-orang kaya dan engkau akan masuk surga dengan merangkak. Karena itu berilah pinjaman kepada Allah niscaya dia lepaskan kedua kakimu,"


Jadi, pikiran bahwa dengan punya uang lebih dan penghasilan lebih hidup makin bahagia, ibadah makin mudah itu jebakan betmen lain. Sebuah ilusi yang menyebabkan banyak orang terjebak disana. TIdak sedikit yang tergoda mengikuti pemikirannya kemudian memang berhasil dan mendapat uang banyak, tapi kemudian menjadi lupa diri, keluarga berantakan dan ibadah yang dia angankan hanya sebatas bayang-bayang.


Ini kiranya salah satu  kunci ibadah, untuk berdamai dengan apa yang ada. Terima apa adanya, tanpa dibumbui oleh prasangka pikiran dan emosi kita. Baik dan buruk itu perkara persepsi atas apa yang ada. Berjuanglah untuk memaafkan. Let it go. Dan pahami bahwa semua yang Allah izinkan terjadi dan sampai ke hari kita per hari ini adalah yang terbaik untuk kita semua. Iya, kita semua, artinya juga terbaik untuk anak-anak, orang tua, bumi, dan semesta alam. Walaupun kadang butuh waktu dan  kesabaran untuk memahami dimana letak kebaikan di balik sebuah fenomena. Tapi setidaknya pelihara terus keimanan kepada-Nya. Apalagi di saat ketika kita rasanya kurang sepakat dengan pengaturan-Nya dalam hidup. Disitu justru kekuatan iman kita tengah diuji.

Monday, September 6, 2021

 Apa hubungannya permasalahan di tempat kerja, dengan bisnis yang mandeg, anak-anak yang berulah,  orang tua yang ngambek,  mertua yang cerewet, tetangga sebelah yang berisik dan menyebalkan dengan perilaku pasangan kita yang membuat kesal?


Apa benang merah yang menghubungkan itu semua?


Jawabnya jelas. Yang menyambungkan semua itu adalah kita sendiri. Karena semua itu adalah sesuatu yang Allah izinkan hadir di dalam semesta kehidupan kita. 


Agar tidak dipusingkan oleh semua itu, mulailah melihat semua sebagai satu kesatuan. Melihat semua sebagai sesuatu yang Dia hadirkan, alih-alih sebagai sebuah persoalan yang berdiri sendiri. Sebaiknya jangan menyelesaikan persoalan secara sporadis, karena jika itu caranya maka kita akan menghabiskan seluruh hidup kita hanya terlunta-lunta dari satu permasalahan ke permasalahan yang lain tanpa ada habisnya. 


Always look beyond what you can see. Disitulah peran kekuatan tafakur. Agar kita tidak tenggelam di dalam fenomena yang ada. Agar tidak habis tenaga dan usia hanya berkutat di upaya penyembuhan secara superfisial. Hanya berputar di puncak gunung es tanpa melihat inti persoalannya apa.


Puncak gunung es bisa berupa apapun, mulai dari perilaku pasangan yang dianggap tidak pas, tingkah anak-anak yang membuat kita mengurut dada, respon orang tua yang tidak pada tempatnya. Tapi itu semua hanya sebuah umpan. Di ujung kail ada Sang Pemancing yang berkehendak agar kita mendekat kepada-Nya. Artinya masalah yang ada bagaikan sebuah jembatan yang dibentangkan agar kita berjalan melintasinya, tidak bersibuk diri di atas jembatan tapi terus bergerak mendekati Sang Kuasa. 


Para ahli fiqh saling berpesan di antara mereka :

“Barang siapa yang beramal untuk akhiratnya, Allah akan memberi kecukupan bagi kehidupan dunianya.

Barang siapa yang memperbaiki urusan pribadinya dengan Allah, Allah akan memperbaiki apa yang tampak darinya.

Barang siapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia.”

Thursday, September 2, 2021

 Perjalanan Dinas


Jadi ingat dulu waktu kerja di sebuah perusahaan multinasional, kalau mau melakukan perjalanan dinas harus membuat rancangan anggaran dulu, jenis hotel dan budget lainnya harus di-acc bagian keuangan. Karena kita menggunakan uang perusahaan. Tidak bisa seenaknya. Setelah itu harus buat laporan dengan melampirkan semua bon dan  bukti pembayaran. 


Uang kita juga bukan uang kita. Itu milik Allah. Kita semua disini sedang melakukan 'perjalanan dinas'. Jadi sebelum seenaknya belanja ini-itu, tanya dan minta izin dulu kepada Sang Pemilik Rezeki. Boleh atau tidak? Dia ridho atau tidak? Karena kalau kita belanjakan tanpa aturan repot nanti laporan pertanggungjawabannya. Na'udzubillahimindzaalik.

Wednesday, September 1, 2021

 Anak-anak itu a constant reminder buat saya agar menjalani hidup dengan bersuka cita. Karena natur anak-anak itu penuh keceriaan. Mau itu menempuh perjalanan jauh, kepanasan, kehujanan semua dibawa asyik saja. Sangat menyenangkan.


Nanti jelang masuk usia puber sudah agak berbeda biasanya. Anak-anak yang tadinya ceria jadi agak berulah. Lebih sering ngambek, emosional dan bawa perasaan. Memang demikian Al Quran juga memberi arahan, ihwal kisah Bani Israil yang diperintahkan menyembelih sapi yang tidak tua dan tidak muda. Itulah usia puber dan pertengahan, dimana gejolak hormon pun mulai  menggelora. Harus 'dipotong' kekuatan hawa nafsu dan syahwatnya dengan mengikuti syariat agama. Otherwise, here is the period where lot's of young people took a wrong decision and do stupid things. Something that they will regret later. I know cause i've been there. I wish i could turn back the time and fix it. But it's done. Tinggal bisa istighfar banyak-banyak dan mengambil hikmah dari episode itu.


Menjalani hidup dengan ceria dan bersuka cita itu ternyata fitrah manusia. Itu terpancar dalam perilaku anak-anak, karena jiwa mereka masih demikian dekat dengan fitrahnya. Pantas saja Nabi Isa a.s. mengatakan bahwa tidak bisa seseorang memasuki kerajaan langit hingga ia menjadi seperti anak kecil. Tentu bukan untuk menjustifikasi perilaku yang kekanak-kanakan. Tapi lebih kepada sebuah mentalitas menatap dan menjalani dunia dengan segenap takdir yang melingkupi dengan sebuah keceriaan dan suka cita. Wallahu'alam

 Doubt


Menarik menelisik asal kata "doubt" atau ragu-ragu berasal dari kata dalam Bahasa Perancis kuno "redoubtable" yang artinya menjadi takut. Jadi ada kaitan antara ragu dan takut.


That make sense. Kalau orang ragu tentang kelangsungan masa depannya karena bersumber dari ketakutan apakah dia bisa survive atau tidak. Kalau seseorang kemudian ragu apakah bisa menikah tahun ini atau tidak karena sudah takut sebelumnya bagaimana kalau tidak ketemu jodohnya.


Juga kita secara tak sadar jadi meragukan kekuasaan Tuhan ketika lebih takut kepada boss dan majikan kita. Takut dipecat. Takut kehilangan pekerjaan. Kenapa? Karena itu dilandasi rasa takut lain yaitu jika tak punya pekerjaan seolah makan dan rezeki anak istri jadi tak terjamin. Ada sedikit menyelinap keraguan bahwa Allah menjamin itu semua. Tapi bagaimana caranya tanya pikiran kita? Itu memang merupakan misteri kehidupan yang dengannya tak jarang kita dihadapkan oleh situasi yang serba sempit seolah tak ada jalan leluar lagi, tapi toh entah bagaimana semuanya berakhir baik-baik saja.


Artinya, meragukan Tuhan itu sebuah keniscayaan bagi kita manusia yang fakir ini. Itu adalah sebuah tahapan perjalanan di awal waktu. Tapi kita harus terus melangkah sampai meraih al-yaqin. Hingga tiada lagi sebiji atom pun keraguan dalam hati kita kepada-Nya. Pada kepemurahan-Nya, pada kasih sayang-Nya dan segenap rahmat-Nya. Sampai tak ada lagi yang kita takutkan selain Dia.


Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (QS. Al-Maidah: 44)

 Logical Error


Dalam dunia computer programming, logical error adalah sebuah keadaan dimana ada sebuah 'bug' - sebuah kesalahan atau kelemahan yang mengakibatkan program tidak berjalan dengan baik. Si program jadi mengeluarkan output atau behaviour yang tidak tepat bahkan bisa membuat komputer mengalami crash.


Manusia juga bisa mengalami "logical error" gara-gara 'bug' berupa rasa dengki, amarah dan penyakit-penyakit hati yang masih bercokol di dalam hatinya. 


Contohnya, orang yang dalam hatinya ada rasa dengki, lihat kebaikan atau prestasi orang lain sebagus apapun akan dia pandang sebagai sebuah keburukan, itu adalah "error output" atau dia akan malah menyindir dan merendahkan hal itu sambil selalu mencari kesalahan dari yang bersangkutan, itu adalah "behavioural error". 


Makanya jangan heran, kalau orang hatinya masih dihinggapi penyakit pasti pikirannya error. Itu otomatis.

 Akhir-akhir ini saya dibuat merenungi kata "Allahu Akbar" yang setidaknya lima kali dalam setiap rakaat saya ikrarkan. Allah Maha Besar. Betulkah saya meyakini bahwa Allah Maha Besar? Do i really mean what i've said?


Jangan-jangan ucapan itu hanya lip service semata ketika kenyataannya dalam kehidupan saya lebih cenderung takut kepada masa depan, kehilangan orang yang saya kasihi, takut akan masa depan anak dsb. Seakan itu ketakutan itu semua lebih besar kuasanya daripada Allah. 


Tapi katanya Allah Maha Besar. Lantas dimana kebesarannya ketika secara realitas kita masih terombang-ambing oleh isu dan dinamika dunia yang selalu berubah dan senantiasa pasang surut. 


Satu hal saya sadari bahwa mengakui dan menyadari kebesaran-Nya tidak akan pernah terjadi selama kita belum menyadari kelemahan dan keterbatasan diri sendiri. Jika masih merasa serba bisa, masih merasa paling pintar, masih memandang "i am in control of my life", masih punya waham "wow i'm really good". Maka rasanya shalat dan takbir saya hambar rasanya.


Ikrar "Allahu Akbar" juga mempersyaratkan bahwa kita memandang hal-hal selain-Nya sebenarnya sama sekali tidak bisa diandalkan. Bahwa itu semua hanya merupakan sarana pembantu, bukan hal yang utama. Serta tak akan bisa mendatangkan manfaat jika Allah tidak mengizinkan. Maka mulai belajar melepaskan kebergantungan kepada skema gaji atau pendapatan tetap, kebiasaan dibantu oleh ini dan itu, belajar tak mengandalkan kemampuan dan kepintara diri sendiri,  bahkan kebergantungan secara spiritual terhadap figur-figur tertentu mulai disapih agar mutlak bergantung dan mengandalkan Allah Ta'ala semata. Karena Dia Maha Bisa.


Jika dalam shalat kalimat takbir "Allahu Akbar"menjadi gerbang yang membuka sebuah momen pertemuan. Dimana dalam setiap bacaan yang diucapkan di dalam shalat Dia pun kontan menjawabnya dan kita merasakan kehadiran-Nya. Maka jangan-jangan yang menghalangi kita dari merasakan kuasa-Nya selama ini adalah masih bercokolnya entitas-entitas lain yang kita anggap lebih besar di hati kita. Yang kita anggap lebih berkuasa, lebih memelihara, lebih menjamin hari ini dan masa depan kita dibanding Allah Ta'ala. 


Saatnya mengevaluasi ulang pemaknaan akan kalimat takbir "Allahu Akbar"