Jebakan Betmen
Salah satu ilusi yang sering berhasil menjebak banyak manusia adalah angan-angan akan masa depan. Sesuatu seperti,
"Kalau saya sudah menikah, pasti lebih afdhol ibadahnya"
"Kalau saya punya gaji sekian pasti akan lebih nyaman ibadahnya"
"Kalau sudah pensiun, akan lebih tenang beribadah"
Lucunya, sambil berangan-angan bisa beribadah lebih baik di masa yang belum tentu akan terjangkau oleh usia itu, pada saat yang bersamaan kita tengah mencampakkan kesempatan untuk beribadah sebaik-baiknya tepat di momen itu. Karena saat pikiran kita liar berangan-angan kita luput untuk mensyukuri nikmat yang ada di depan mata.
Ibadah bukan sekadar ritual yang kita lakukan di sepetak sajadah atau saat di dalam masjid. Ibadah bukan hanya kebaikan yang kita lakukan di tengah orang banyak. Pun Ibadah bukan hanya saat kita bisa memberi berbagi harta karena dalam keadaan keluangan.
Ibadah adalah seluruh nafas dan detak jantung kita, karenanya kita disebut sebagai abdi (orang yang beribadah). Bukankah itu ikrar yang kita sebutkan dalam doa iftitah di awal shalat?
Kita katakan, "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam, yang tidak ada sekutu bagi-Nya."
Coba renungkan, seluruh hidup dan mati kita hanya untuk Tuhan semesta alam. Mempersembahkan kehidupan mungkin agak lebih terbayang. Tapi mempersembahkan kematian bagaimana caranya? Salah satunya dengan mematikan potensi ilusi-ilusi kita tadi.
Buang jauh-jauh pemikiran bahwa kalau belum ketemu jodohnya kita jadi kurang bahagia. That's nonsense. Kalau seseorang tidak bisa berbahagia dan merasa cukup dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa mengandalkan orang lain dan bahkan menjadikan orang itu sebagai sumber kebahagiaan? Betapa banyak contoh setelah menikah malah orang menjadi tambah ruwet hidupnya. Karena seharusnya niat menikah itu untuk ibadah, dan yang namanya ibadah itu jalan yang penuh pengorbanan. Bukan juga berarti yang menikah tidak bahagia, itu tergantung penyikapan hati setiap orang terhadap apapun yang Allah hadirkan dalam ruang hidupnya masing-masing.
Matikan juga pikiran bahwa agar dapat ibadah dengan optimal itu membutuh uang yang banyak. Tidak pernah ada sejarahnya begitu. Karena menahan diri dan bersabar dalam kesempitan itu juga ibadah. Bahkan dikisahkan dalam riwayat bahwa orang yang paling banyak hartanya yaitu Abdurrahman Auf masuk surga lebih lama dibandingkan sahabat Rasulullah lainnya, hingga Rasulullah saw berkata memberikan jalan keselamatan dengan berinfaq banyak-banyak,
"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya engkau adalah kelompok orang-orang kaya dan engkau akan masuk surga dengan merangkak. Karena itu berilah pinjaman kepada Allah niscaya dia lepaskan kedua kakimu,"
Jadi, pikiran bahwa dengan punya uang lebih dan penghasilan lebih hidup makin bahagia, ibadah makin mudah itu jebakan betmen lain. Sebuah ilusi yang menyebabkan banyak orang terjebak disana. TIdak sedikit yang tergoda mengikuti pemikirannya kemudian memang berhasil dan mendapat uang banyak, tapi kemudian menjadi lupa diri, keluarga berantakan dan ibadah yang dia angankan hanya sebatas bayang-bayang.
Ini kiranya salah satu kunci ibadah, untuk berdamai dengan apa yang ada. Terima apa adanya, tanpa dibumbui oleh prasangka pikiran dan emosi kita. Baik dan buruk itu perkara persepsi atas apa yang ada. Berjuanglah untuk memaafkan. Let it go. Dan pahami bahwa semua yang Allah izinkan terjadi dan sampai ke hari kita per hari ini adalah yang terbaik untuk kita semua. Iya, kita semua, artinya juga terbaik untuk anak-anak, orang tua, bumi, dan semesta alam. Walaupun kadang butuh waktu dan kesabaran untuk memahami dimana letak kebaikan di balik sebuah fenomena. Tapi setidaknya pelihara terus keimanan kepada-Nya. Apalagi di saat ketika kita rasanya kurang sepakat dengan pengaturan-Nya dalam hidup. Disitu justru kekuatan iman kita tengah diuji.
No comments:
Post a Comment