Wednesday, October 30, 2019

Ada salah satu mimpi sewaktu saya masih kecil (sekitar usia 7 atau 8 tahun) yang saya masih ingat hingga saat ini hingga detil. Di dalam mimpi itu saya dan paman bermain ke kebun binatang Bandung. Lalu di sekitar tempat Gajah berada, saya melihat satu keluarga orang luar negeri berambut pirang kemerahan, terdiri dari ayah, ibu dan dua anak kecil. Mereka sedang piknik dan saya menghampiri mereka lalu bicara dalam bahasa was-wes-wos yang saat itu tidak saya mengerti. Fast forward, sekitar 33 tahun kemudian. Saat saya menghadiri Simposium Internasional Ibnu Arabi di Oxford, Inggris. Di sebelah saya tiba-tiba duduk Pablo Beneito, salah satu pembicara dan peneliti senior di Ibnu Arabi Society Spanyol. Kami tengah mengikuti workshop yang diberikan oleh Eric Winkel saat itu. Di sela-sela waktu kami berkenalan dan berdiskusi tentang khazanah Islam yang ditawarkan Ibnu Arabi. Spesialisasinya adalah tentang misteri angka. Salah satunya beliau menggambarkan dengan kagum bagaimana 560 jumlah bab di kitab Futtuhat al-Makkiyah Ibnu Arabi sesuai jumlahnya dengan 560 huruf di surat Al Fatihah. Lalu di tengah-tengah perbincangan beliau bertanya, “I have seen some people from Indonesia, but never met someone who can speak English as good as you. Where did you learn English?” katanya serius. Wah, apa ya? Pendidikan formal Bahasa Inggris saya hanya di SMP, SMA dan dua tahun kursus Bahasa Inggris saat SMP. Saya bilang “I don’t know. It’s a gift from God. And maybe also because I was watching so many Hollywood movies when I was young” Dia pun tertawa renyah. Saat Pablo bertanya itu, yang terbayang oleh saya adalah mimpi saat masa kecil itu. Bagaimana semua sudah didesain oleh-Nya. ***** Mursyid saya bilang bahwa kunci bersyukur itu adalah dengan memanfaatkan sebaik mungkin semua hal yang Allah mudahkan ke tangan kita masing-masing. Setiap orang itu punya keahliannya yang spesifik. Ada yang jago masak, ada yang pintar membuat tulisan, ada yang telaten mengurus anak, ada yang bersih banget membersihkan rumah, ada yang tekun meneliti, apapun itu tidak ada sebenarnya orang nomor dua di muka bumi. Setiap orang akan unggul di bidangnya masing-masing. Bagaimana menemukan bakat yang Allah titipkan ke dalam diri kita itu? Di awal waktu mungkin jalannya “trial and error” alias coba-coba. Tapi apapun itu hal yang kita ujikan tidak akan jauh dari kehidupan kita. Kebetulan pada kasus saya, bahasa adalah satu hal yang Allah mudahkan. Kalau saya travelling ke suatu daerah, lidah saya akan sangat mudah beradaptasi untuk bicara mirip dengan aksen lokal. Dari kemampuan bahasa itu saya coba mensyukuri yang ada, dengan menerjemahkan buku, membuat tulisan, bergaul dengan orang setempat. And then one thing lead to another. Allah akan dengan ajaib membantu mengumpulkan apa yang tadinya berserakan dalam hidup. Satu persatu datang. Seolah dunia diputar untuk itu dan bumi dilipat untuk kita. Mari rasakan itu dan buktikan. Bahwa ketika kita minta “ihdinashiraathal mustaqiim” dalam shalat, sungguh petunjuk yang utama adalah tentang diri kita. Agar kita tidak hidup dalam cangkang kehidupan yang palsu yang berakhir dalam neraka. Agar kita betul-betul bisa merasakan tetesan kehidupan surga mulai saat ini juga. Agar dengannya kehidupan kita abadi di sisinya. Bukankah manusia ingin menjadi abadi? Nah, sekarang apa yang dimudahkan ke tangan sahabat per hari ini?

Monday, October 28, 2019

Suka dapat curhatan dari beberapa orang yang melaporkan keadaan pasangannya yang belum taat beragama. Saya paham kebingungan yang dialami. Keheranan yang sama pun pernah Rasulullah lontarkan, misalnya saat seorang muslimah menikah dengan orang yang zalim (alias belum bertaubat). Karena dalam Al Quran jelas ayatnya: "Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji...perempuan-perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik." (QS An Nuur:26). Ada prinsip kesetarafan dalam pernikahan. Jadi bagaimana membacanya? Yakini dulu, Allah pasti punya urusan. Bukankah semua yang terjadi dalam rancangan dan kehendak-Nya? Artinya kalau Dia mengizinkan sesuatu terjadi pasti banyak hikmah dan kebaikan di dalamnya yang harus digali. Karena Dia tidak mungkin main-main mencipta sesuatu dan tauhid kita mengatakan bahwa Dia tidak pernah gagal dalam mencipta. Itu jaih dari sifat-Nya. Mursyid saya pernah memberi batasan dalam perkara ini, yaitu selama pasangan tidak melarang kita untuk sujud kepada Allah, ya jalan terus. Bismillah. Syukuri semua yang ada dan sikapi dengan sebaik-baiknya. Pede saja, jangan terhanyutkan oleh bisikan ini-itu. Situasi ini sebenarnya urusan antara kita dengan Dia. Kita harus berjalan mengimani yang gaib, ketidakpahaman, dan ketidakmengertian. Tidak apa-apa, be okay with it, serahkan semua itu kepada-Nya. Dengannya kita menjadi belajar menggenggam tangan-Nya dan tawakal penuh hanya kepada Allah. Sungguh ini sebuah rahasia Allah yang cepat atau lambat akan disingkapkan hikmahnya. Just be patient and make the best out of itπŸ‘

Tuesday, October 22, 2019

Pernah saya marah luar biasa sama ibu yang tidak mengizinkan saya nginep di rumah teman untuk nonton bareng dengan geng bermain saya bersama lima orang anak laki-laki. Waktu itu usia saya 10 tahun. Masih belum paham kenapa seorang ibu tidak mengizinkan anak perempuannya nginap bareng seru dengan teman bermainnya yang lain. Sekarang saya sudah menjadi seorang ibu. Sudah paham kenapa ibu saya mencegah saya pergi ke "pyjama party" itu dulu. And i thanks her for that. She's merely doing her job to protect me. Begitu ya, betapa akal dan pemahaman bisa melipat dunia dan membacanya dalam sebuah bingkai berbeda. Saat akal dan pemahaman saya masih kecil, saya cenderung marah dengan kebijakan orang tua karena tidak paham akan potensi bahaya yang bisa menimpa saya. Ketika akal sudah berkembang dan pemahaman makin luas, kita menjadi lebih melihat kehidupan tidak linier, beepikir sepuluh langkah kedepan, begitu kompleks dan serba penuh pertimbangan serta berhati-hati. Demikian juga kiranya sikap kita terhadap sebuah pengabulan doa dari-Nya. Saat jiwa masih kerdil dan belum tumbuh akalnya, maka ia akan cenderung marah, kecewa dan putus asa oleh sebuah penundaan doa. Kemudian menuduh Tuhan menolak doanya. Padahal Tuhan berjanji tidak akan menolak doa seseorang. Karena bukankah ide serta inspirasi untuk berdoa pun datang dari-Nya? Yang Tuhan lakukan persis seperti yang ibu saya lakukan. Mencegahnya dari potensi keburukan yang bisa menimpa. Jadi ditundanyalah proses pengabulan itu, hingga kita siap. Hinggs semesta kita siap. Karena Dia demikian sayang kepada ciptaanNya. Tapi kita yang sering tak mengerti, menuduh-Nya macam-macam bahkan marah-marah kepadaNya. Seperti saya marah kepada ibu saya dulu. Astaghfirullah. Mohon maaf ya Allah...

Friday, October 18, 2019

Musim gugur pun tiba. Angin dingin dan kencang mulai bertiup dengan gagah, mengeringkan dan menggugurkan daun-daun yang mulai tampak menguning. Demikianlah alam beradaptasi pada perubahan musim. Ada pohon-pohon yang harus kehilangan daun-daunnya untuk bertahan di musim dingin. Kecuali pohon-pohon tertentu (evergreen trees) yang daunnya dilapisi lilin untuk bertahan di musim dingin yang membeku. Hilangnya daun adalah kebaikan untuk pohon tersebut. Agar ia tidak merana di musim dingin yang menjelang. Agar ia bisa terus hidup dan pada saatnya daun-daun yang segar akan bertumbuhan di musim semi. *** Hidup kadang memasuki musim gugurnya. Ketika hal-hal yang tidak baik dari diri dan kehidupan kita Dia lepaskan dengan seribu satu mekanisme. Ada yang dengannya bercerai, tidak jadi menikah, kehilangan atau berganti pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan zona nyaman, kehilangan kesehatan, dan kehilangan hal lain yang pada awalnya terasa menyakitkan. Tapi jika mau bersabar dan memahami gerak takdir-Nya, semua yang terjadi adalah untuk yang terbaik untuk menghadapi kehidupan di "musim" berikutnya. Agar kita tidak sengsara di alam berikutnya. Kemudian kita akan menyakdikan hal-hal baru didatangkan dengan indah, bagai bunga yang muncul di musim semi. Jalaluddin Rumi berkata, "Jangan berduka, apapun yang hilang darimu akan datang dalam bentuk lain."

Wednesday, October 16, 2019

Hari ini puncak dari semua kekesalanku pada suami. Amarahku demikian membara. Kebencianku demikian menggunung. Ingin aku menumpahkan semuanya kepadanya. Tapi aku tak sanggup. Aku ternyata masih begitu mencintainya. Dalam kalut pikiranku. Tiba-tiba aku rasakan sesuatu mengalir dari hidungku. Darah segar! Seumur hidup aku tak pernah mimisan sebanyak ini. Aku coba berisitirahat. Namun keesokan harinya tubuhku bertambah tidak enak dan leherku terasa membengkak. Sahabat dekatku yang kebetulan seorang dokter memaksaku memeriksakan keadaan yang aku kira sebuah gejala stress atau kecapean. "Kanker Nasofaring stadium 3B" demikian hasil pemeriksaan dokter beberapa hari kemudian. Rasanya tak percaya. Is it really happening to me? Rasanya selama ini badanku baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba...? Kenapa aku? Dan ribuan kata mengapa menyerbu alam pikiranku. Aku marah sekaligus merasa tak berdaya. Duniaku terasa berguncang. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. ... Walaupun awalnya enggan, akhirnya dengan niat ikhtiar yang optimal aku menjalani kemoterapi-radiasi. Setelah itu aku didera rasa mual yang luar biasa selama 24 jam. Sekujur badanku terasa tak karuan. Saat itu untuk bisa tidur satu jam saja sudah merupakan suatu hal yang mewah untukku. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tamu di dalam diriku bernama sel-sel kanker itu masih menggerogoti tubuhku yang melemah, kali ini menyebar ke tempurung kepala yang menimbulkan sensasi sakit yang luar biasa. Selain itu pertumbuhan sel di daerah kerongkongan membuatku susah sekali menelan. Setiap kali melihat air yang harus kuminum tak terasa air mata menetes karena sudah terbayangkan rasa sakit yang harus kuterjang di setiap tegukan. Ada titik balik yang sangat penting saat berjuang menghadapi takdir sakit ini. Yaitu ketika mursyidku berkata bahwa kalau penyebab sakit ini sudah dipahami, maka mudah bagi Allah untuk mencabut semua ini. Aku cerna lambat-lambat setiap kata beliau itu. Kemudian mencoba merenung dalam hari-hariku yang kini banyak bergantung orang lain untuk merawat tubuhku, termasuk suamiku yang aku dulu sering kesal kepadanya. Suamiku... Ya, itulah pelajaran untukku! Adab menghadapi suami yang tengah digugah oleh Allah melalui sakitku ini. Aku minta maaf dalam-dalam kepada beliau atau kata-kata , perilaku atau bahkan kekesalan di hati yang tak nampak. Semua bagaikan kanker yang menggerogoti hatiku dan Allah manifestasikan menjadi sel kanker betulan yang memporak-porandakan tubuhku. Alhamdulillah. Seiring dengan taubat dan penerimaan dari suami, keadaanku berangsur-angsur membaik. Empat tahun kemudian, setelah melalui 18 kemoterapi dan 30 kali radiasi. Dengan izin Allah sakitku itu sembuh. Dokter menyatakan tubuhku bersih dari sel kanker. Masya Allah. Puji syukur yang tak terkira! Demikianlah episode pembelajaran sang jiwa melalui proses pembumihangusan raga diri. Ada nuansa kematian di dalamnya. Namun setelah itu ada sesuatu yang baru terlahir darinya. Puisi Jalaluddin Rumi berikut menyemangatiku saat aku merasa tak sanggup lagi menerima pembersihan diri. "Wahai pencari, wahai ksatria berhati singa, Yang Maha Tinggi menggilirkan untukmu: panas dan dingin, sedih dan perih, takut dan lapar, sakit dan fakir, semuanya bagi sang jiwa;   agar nilai sejati jiwamu terungkap, dan dapat digunakan."

Sunday, October 13, 2019

Kebanyakan orang tidak menerima keadaannya hari ini. Baik itu disadari atau tidak. Barangkali tidak pernah ia secara lisan menolak jelas-jelas kehidupannya, tapi pikirannya kerap melayang di suatu keadaan lain yang ia anggap lebih baik dari apa yang ada. Bisa bayangan tentang sifat pasangan yang tertentu, tentang rumah tinggal idaman, tentang pekerjaan yang dianggap lebih baik dsb. Apapun itu keinginan dan pikiran yang mencerabut kita dari apa yang ada di saat ini pada dasarnya adalah sebuah tindakan ketidaksyukuran. Karena untuk beberapa detik, menit, jam atau hari lamanya saat pikiran atau keinginan itu mengemuka, pada saat yang sama kita pasti tidak sedang menikmati apa yang ada. Seperti orang yang sedang dihidangkan sebuah makanan di hadapannya lalu membayangkan tentang makanan lain yang tidak ada di meja hidangnya, pasti ia kehilangan sensasi kelezatan apapun yang tengah dihidangkan. Demi memuaskan keinginannya tak jarang manusia mencoba mencuri-curi start, tak sabar ingin mengetahui masa depannya. Ia baca ramalan bintang, ia bertanya kepada paranormal, ' ajengan' atau cenayang dengan harapan mereka mengatakan hal yang ingin dia dengar. Sebuah perbuatan musyrik. Menyekutukan Allah. Karena merasa kata-kata para “orang pintar” itu lebih menenangkan dia dibandingkan janji Allah yang tertera dalam Al Quran bahwa jika seseorang bertaqwa maka akan dijamin rezekinya, akan diberi penghidupan yang baik (hayatan thayyiba) dan sekian janji lain dari Allah, Yang Maha Memenuhi janji. Padahal jelas dalam Al Quran bahwa salah satu ciri orang bertaqwa adalah mereka yang beriman kepada yang gaib (QS Al Baqarah). Masa depan adalah gaib, hanya Allah yang tahu pasti apa yang terjadi besok. Tapi iman harusnya membawa seseorang tenang mengetahui bahwa hidup kita ada dalam genggaman-Nya. Dzat yang Maha Memelihara segenap alam ciptaan. Iman yang sama yang melatihnya untuk menerima apapun yang ada dengan syukur. Namun, jarang yang demikian. Kebanyakan manusia termakan oleh ilusi pikirannya sendiri yang mengatakan : “Kalau kamu punya ini kamu akan lebih bahagia.” “Kalau kamu menikah dengan dia hidupmu akan lebih berbunga” “Kalau kamu punya pekerjaan ini, anak-anak lebih terjamin” Dan sekian banyak asumsi berjurus “andaikan” yang bertujuan satu. Menarik manusia agar tidak berselera lagi dengan hidangan kehidupan yang ada di hadapannya. Karenanya orang cenderung menghibur dirinya dengan mencoba membaca nasib di depan, siapa tahu pas dengan apa yang hawa nafsu dan syahwatnya inginkan. Itu seperti orang yang tengah mengunyah sarapan pagi lalu mencari-cari tahu apa yang akan ia dapatkan untuk makan siang. Padahal makanan yang ada pun belum habis ia santap. Kunci Shiraathal Mustaqiim yang kita mintakan setiap shalat itu ada pada menerima keadaan hari ini. Tubuh yang ini. Pasangan yang ini. Keluarga yang ini. Pekerjaan yang ini. Sakit yang ini. Kelebihan dan kekurangan yang ini. Semua yang ada mintakan kepada Allah bagaimana cara menggunakan semua itu dengan tepat, agar membuat senang Dia yang mengirim itu semua kepada kita. Sudah saja sibuk dengan apa yang sudah ada di tangan. Kita pun akan terlupakan oleh ajakan syetan yang meniupkan ilusi bermantera “andaikata…seandainya…”

Saturday, October 12, 2019

“Mama, i want to tell you something” kata Si Kecil Rumi yang berjalan tergopoh-gopoh mendekati ibunya dengan wajah yang tegang. “I broke something, it was an accident. But i am telling the truth” Sambil merentangkan kedua tangannya dan memasang wajah penuh harap πŸ€— Dia tak sengaja menendang suatu barang hingga ia rusak. Di waktu lain dia menumpahkan sesuatu hingga lantai kotor. Kali lain ia menghilangkan sesuatu. Accident happens. Kataku selalu sama anak-anak. Barang yang rusak bisa diperbaiki. Lantai yang kotor bisa dibersihkan. Sesuatu yang hilang bisa dicari gantinya. Tapi Kalau akhlakmu rusak. Hatimu kotor oleh dusta. Atau kejujuranmu hilang. Itu yang susah diperbaiki, sulit untuk dibersihkan dan payah mengembalikannya tanpa sebuah pertolongan dari Allah Ta’ala.

PELAJARAN TAWAKAL DARI SEEKOR BURUNG



Pagi itu terdengar suara berisik di luar jendela rumah, sebuah mesin traktor kecil menyapu pinggiran jalan yang berbatasan dengan rumput untuk merapikan rerumputan yang banyak menjulur ke jalanan. Hasilnya, sekitar 50 cm rumput yang berada di dekat aspal jalanan terangkat keluar dari tanah. Sore hari jelang menjemput anak-anak sekolah saya melihat puluhan burung berkumpul di sekitar rumput yang tercerabut itu. Nampaknya ada cacing tanah yang ikut terangat keluar, juga beberapa benih yang tak sengaja terbongkar dari kedalaman tanah.

Menakjubkan! Pikirku. Pak pengemudi traktor di pagi hari bisa jadi tak bermaksud memberi makan burung-burung itu. Ia sekadar melakukan pekerjaannya, merapikan jalanan. Demikianlah Allah mengatur dinamika alam dengan sangat cermat dan penuh perhitungan hingga jauh dari sebuah kesia-siaan.

Memasuki musim dingin biasanya tidak banyak serangga berkeliaran di permukaan tanah. Tapi toh Allah punya seribu satu cara untuk menafkahi segenap ciptaannya. Kita sepertinya harus belajar tawakal kepada kaum binatang yang tak pernah memusingkan apa yang akan dimakan esok hari. Sedangkan manusia yang seharusnya memiliki kapasitas akal yang lebih luhur malah lebih sering terantuk oleh pikiran dangkalnya sendiri akan kehidupan. Takut kurang, takut tidak bisa menyekolahkan anak, takut tidak bisa membahagiakan orang tua dan sekian banyak jerat ketakutan yang ia lilitkan sendiri di segenap jiwanya hingga sang akal sang jiwa tak bisa berfungsi dengan baik. Akal yang bisa melihat bahwa Allah Yang Maha Kuasa, sebuah kesadaran yang membuat hatinya selalu tenang, karena ia sungguh menyandarkan diri kepada Dzat Yang Maha Memelihara.

Tentang burung itu, tak heran Rasulullah saw pun hingga bersabda,
“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Tirmidzi)

Wednesday, October 9, 2019

Instead of asking "Why is this happening to me?"
It will feel better if we start to ask, "What is this teaching me?"
And then slowly but sure the answer to "why" will reveal by itself.
Sejumlah duapuluhan anak usia empat hingga lima tahun diberi tugas oleh guru merangkai gambar pesawat, pilihannya pesawat itu tinggal landas atau mendarat. Hasilnya, seratus persen anak-anak merangkai pola pesawat yang tengah mendarat, tiba di tempatnya.

Everybody wants to be at home.
Hal-hal yang berbau "kepergian" dan keluar dari zona nyaman biasanya dihindari. Tapi, dimana "rumah" dan "zona nyaman" kita yang sebenarnya? Itu yang menjadi masalah. Karenanya orang siang malam tersibukkan dalam sebuah perlombaan, a pursuit of happiness. Sebuah perjalanan yang absurd yang jika kita di titik awal salah mendefinisikan kebahagiaan, salah menempatkan konsep sebuah tempat kembali dan keliru mengartikan apa itu zona nyaman yang kita meraih sakinah di dalamnya.

Ini sungguh sebuah pertanyaan yang patut direnungkan oleh kita semua. Tentang apa yang kita cari. Sebuah perenungan yang akan membentuk paradigma kehidupan dan dengannya kita melandaskan semua keputusan kehidupan.

Pada akhirnya kita semua akan pulang ke "rumah keabadian". Hanya ada yang pulang dengan selamat dan ada yang harus singgah dulu di tempat-tempat pemurnian karena lalai saat dalam kurun kehidupan dunia.

Semoga kita tergolong orang yang Dia selamatkan...Aamiin

#

Another airplane
Another sunny place
I'm lucky I know
But I wanna go home
Mmm, I got to go home

And I feel just like
I'm living someone else's life
It's like I just stepped outside
When everything was going right

Let me go home
I'm just too far
From where You are
I wanna come home...

- Michael Buble

Tuesday, October 8, 2019

Bisa jadi tertundanya pengabulan doa kita, sulitnya rezeki, dan sempitnya penghidupan yang tengah kita alami sekarang ini adalah sebuah proses pembersihan dari kesalahan-kesalahan “kecil” kita yang terakumulasi sejak muda. Ketika kita curang mencontek saat ujian, ketika kita ngeloyor pergi tanpa membayar di kantin, ketika kita diam-diam saja melihat ada barang yang belum terbayar di supermarket, ketika kita melakukan “mark-up” atas biaya dinas dan pembelanjaan kantor, ketika kita mencuri waktu kerja dengan melakukan hal yang pribadi atau menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi dan lain sebagainya.
Seorang muslim itu orang yang jujur, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Hal itu ditampakkan oleh sikap Rasulullah kepada seorang yang ingin masuk Islam, lalu diterima syahadatnya oleh sang baginda Rasul, akan tetapi Rasulullah justru tidak menerima kecurangan yang ia lakukan walaupun kepada orang kafir.
Hidup harus jujur, itu yang berkah dan menenangkan. Kecurangan sedikit pun akan mendapatkan balasannya. Syukur-syukur dibersihkan di dunia ini dibandingkan jika dibersihkan di alam nanti dengan derajat sakit yang lebih tinggi.
Jadi, waspadalah jika ada permohonan kita yang terhambat. Barangkali perkara jodoh, ingin keturunan, ingin anak sehat dan baik, ingin rumah tangga harmonis, dll yang belum dibukakan urusannya. Bisa jadi rezeki-rezeki itu terhalang oleh tumpukan dosa kecil berupa kecurangan yang kita remehkan bertahun-tahun. Astaghfirullah…

"Ah saya kan cuma ibu rumah tangga biasa" kata seorang ibu.

Bu, tidak ada seorang ibu rumah tangga yang biasa. Kita menjadi ibu dengan menempuh banyak pengorbanan. Derajat kasih sayang yang Sang Pencipta berikan demikian berlimpah demi merawat seorang anak manusia. Sesuatu yang para kaum Adam tidak punyai, karena memang perannya berbeda.

Bu, jangan merasa minder kalau ada orang yang sembarangan berkata, "Sayang dong kuliah tinggi-tinggi kalau hanya jadi ibu rumah tangga." Sungguh itu perkataan orang yang tak paham betapa mulianya mengurus anak-anak dan rumah tangga. Biarkan saja, hadapi ketidakpahaman dengan senyuman dan perkataan yang baik.

Syukur-syukur bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa mengakomodasi peran kita sebagai ibu atau punya keluarga yang bisa membantu mengurus anak saat kita bekerja. Tapi, apapun posisi atau titel kita di pekerjaan. Prioritas pertama buat ibu adalah tetap anak-anaknya.

Bu, anda dan kita yang terlahir sebagai perempuan memiliki amanah besar. Rasulullah mengatakan perempuan adalah tiang negara. Jika kita lemah dan rapuh maka negara pun hancur. Perempuan pun jadi pilar di level keluarganya. Jika kita mengeluh keadaan yang ada maka kita tengah merontokkan sendi-sendi pilar kehidupan sendiri.

Belajarlah dari seorang Siti Maryam, ibu rumah tangga yang perannya mengurus seorang anak yang lahir menjadi salah satu nabi besar. Setiap kita pun diamanahi seorang manusia yang memegang amanah besar dari Rabbnya. Peran ibu selain melahirkan mereka secara raga adalah juga membimbing mereka agar pada saatnya terlahir kembali untuk kedua kalinya. Kelahiran jiwa mereka yang akan membuat senang Allah Ta'ala. Sungguh tak ada pekerjaan yang lebih mulia selain membina dan membimbing seorang manusia untuk kembali kepada Tuhannya.

Jadi bu, banggalah sebagai ibu rumah tangga - hilangkan kata-kata "cuma ibu rumah tangga". Lain kali ada orang bertanya, bilang dengan bangga, sebuah kebanggaan yang berasal dari sebuah kebersyukuran bahwa apa yang Allah tetapkan adalah yang terbaik, katakan "aku seorang IBU RUMAH TANGGA"

Thursday, October 3, 2019

Almarhum ayah saya adalah seorang wartawan. Saat kecil saya kerap diajak ke kantornya dan bisa anteng seharian diberi “mainan” mesin tik merk Brother yang besar dan beberapa lembar kertas. I grew up with typewriter, hingga setiap bunyi mesin tik bagai sebuah simfoni yang indah di telinga saya. Dari sana kiranya benih kecintaan saya untuk menulis mulai tumbuh.

Ayah juga kerap mengajak saya berkeliling untuk mewawancara sekian banyak orang. Spesialisasi  ayah adalah mewawancara kisah-kisah unik manusia. Tentang lelaki yang menjadi seorang transgender, tentang bapak tua yang blusukan dengan sepeda desain unik ke pelosok kota Bandung hanya untuk membersihkan jalanan dari sampah, tentang artis yang sudah lama meninggalkan dunia gemerlap dunia entertainment.
Basically, mereka yang luput dari perhatian kebanyakan manusia atau mereka yang dipandang aneh oleh masyarakat. Somehow, my father could get into them. Dia bisa membuat pendekatan yang berbeda kepada setiap orang sehingga mereka mau membuka dirinya dan bersedia membagi ceritanya dengan orang banyak. I know later that it’s not easy to share something private. It’s like you open up your  vulnerable spot.

Secara tidak sadar saya menyerap teknik-teknik ayah saya dalam berinteraksi dengan orang. Hal itu baru saja diingatkan oleh sepupu saya yang beberapa minggu lalu sempat singgah di Belanda. Saat kami ngobrol santai berbagi kisah di bandara, sepupu saya nyeletuk, “ Kamu gaya bicaranya seperti bapak kamu banget!”

Ayah memang orangnya supel. Beliau bisa bicara dalam berbagai level. Semua orang bahkan yang baru kenal beliau bisa tiba-tiba ngobrol berjam-jam dengannya seperti laiknya sahabat lama saja. Sebuah kualitas banyak saya pelajari darinya. Saat saya berprofesi sebagai seorang dokter, saya lebih tertarik untuk mengenal mengapa seseorang bisa sakit seperti itu dibanding sekadar menegakkan diagnosis dan menuliskan resep di atas secarik kertas. Karenanya saya sempat pindah dari sebuah klinik ramai dengan dua ratusan pasien sehari ke klinik yang lebih sepi dengan pasien maksimal 20 orang per hari. Alasannya simpel, supaya saya punya lebih banyak waktu ngobrol dengan setiap pasien.

Banyak hal yang terungkap dari sesi bicara dari hati ke hati itu. Pernah saya punya seorang pasien, seorang ibu paruh usia yang setiap bulan pasti datang untuk minta resep lagi untuk penyakit maag kronisnya. Hingga suatu waktu ia membuka diri bercerita bahwa suaminya punya wanita idaman lain. Rasa marah, kecewa, terluka dan banyak emosi itu kiranya yang membuat racun bagi lambungnya hingga ia berkali-kali meradang. Singkat cerita kisah ini berakhir damai. Sang suami yang ternyata punya anak dari perselingkuhannya ditawarkan opsi poligami oleh ibu ini. Sebuah kebesaran hati yang luar biasa yang didemonstrasikan oleh beliau. Setelah badai pernikahan itu, setahun kemudian mereka memiliki anak lagi. Penyakit lambung sang ibu berangsur hilang. And life goes on.

Menulis dan berkomunikasi dalam dengan orang lain adalah salah satu warisan yang diajarkan oleh ayah dengan tanpa disengaja. Saya yakin Allah sudah membekali setiap orang sejak kecil dengan potensi uniknya dan alam yang menunjang dirinya masing-masing. I have to admit, both quality helped me a lot in pursuing my career, and more over having significant role in the pursuit of my happiness, that is when I finally found my niche, a work that makes you feel like a river moving in you, a joy!