Tuesday, November 30, 2021

 Belajar bertauhid dalam keseharian


Seringkali kita tidak sadar bahwa dalam hal-hal yang "biasa kita lakukan" itu kita tergelincir kepada menyandarkan diri dan kehidupan kepada selain Allah. Hal yang rutin seperti menerima gaji bulanan, menerima tunjangan atau bantuan berkala, mendapatkan sekian banyak kemudahan, mahir di bidang tertentu, terbiasa menuai pujian dll itu bisa secara tak sadar bertransformasi menjadi tuhan-tuhan lain di dalam diri yang kita berkiblat kepadanya dan mengendalikan kita sedemikian rupa sehingga diri menjadi terikat padanya.


Untuk melatih kelurusan dalam tauhid itu kita harus membiasakan diri berdzikir dalam keseharian. Hal-hal dalam.keseharian seperti mengantar anak ke sekolah, doakan mereka dan jangan sampai hati bersandar pada kecanggihan dan reputasi sekolah. Karena sebaik apapun teorinya sebuah institusi tak akan berbuah baik jika hanya mengandalkan lembaga tersebut.


Saat membantu anak-anak mengenakan jaket agar terlindung dari dingin, iringi dengan bismillah dan kesadaran bahwa Allah Yang melindungi dan memberi kehangatan. Jangan sampai tergelincir mengandalkan kecanggihan teknologi dan merk jaket semahal apapun itu.


Saat makan, berdoa dan dzikir dengan sebuah kesadaran bahwa bukan makanan ini pada hakikatnya yang membuat kenyang. Karena makan sebanyak apapun bisa tetap lapar jika sistem tubuh dibuat kacau, ini terjadi pada penderita diabetes misalnya. 


Di setiap apapun yang dikerjakan upayakan jangan menyandarkan diri pada upaya itu. Agar hati tawakal 100% kepada Allah Ta'ala, bukan pada sebab akibat. Supaya kita tidak melukai perasaan-Nya. Dia Yang Maha Pengasih yang sudah memberi karunia tak terhingga sedemikian rupa hingga tak mampu kita sebenarnya berterima kasih dengan memadai atas semua kebaikan-Nya yang melimpah.


- Renungan seorang ibu saat menyiapkan jaket musim dingin untuk anaknya

 RANGKING DAN NILAI MERAH


Sejak kecil saya terbiasa terbuai dengan berbagai pujian atas prestasi saya di sekolah. Sedemikian rupa sehingga tak terasa  rangking satu sudah seakan menjadi berhala buat saya. Hal itu berubah ketika memasuki SMA 3 Bandung. Persaingan akademik demikian ketat disana. Untuk bisa mencapai rangking 13 saja saya rasanya sudah mati-matian belajar. Ditambah untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya dapat angka merah, nilai lima tertoreh di buku rapport saya. 


Malu rasanya. Harga diri dan ego yang tertampar. Jati diri saya mulai terkoyak. Identitas "Tessa si rangking satu" mulai luntur. Then who am i? Saya rasa itu salah satu pencetus kenapa saya mulai lari ke mushalla, mulai betah berlama-lama di masjid dan rutin mengerjakan shalat dhuha. Setelah itu Allah Ta'ala memperkenalkan saya kepada buku Ihya Ulumuddinnya Al Ghazali yang tergeletak di rak buku mushalla SMA 3. Dan setelah itu saya tidak pernah lepas membaca kitab-kitab dan ilmu yang berkaitan dengan tashawwuf. 


Ada cara lain memandang kehidupan ternyata. Yang lepas dari perlombaan semu dari sekadar nilai dan rangking akademi. Saya mulai belajar bahwa setiap manusia terlahir membawa keutamaannya masing-masing. Yang itu akan bisa memberkahi dunia jika ia berserah diri dengan pengaturan Ilahiyah. Dan saya belajar bahwa angka merah bukanlah suatu aib. Justru itu indikator yang berharga yang menunjukkan bahwa memang bidang kita bukan disitu. Hal ini saya coba terapkan untuk anak-anak saya. Agar mereka jangan merasa malu dengan nilai rapport yang kurang. It's okay, it is as it it. Bisa jadi memang dia bukan bidangnya di matematika, bukan bidangnya di kimia dll. So in a way, saya berterima kasih kepada Pak Syahrul, guru kimia saya yang memberikan saya angka merah di rapport. Dengan kejujuran beliau itu saya menjadi terbangunkan dan mulai mencari makna lain dari dunia. Al fatihah untuk beliau.

Monday, November 29, 2021

 Sebagai seorang laki-laki saya diajarkan harus kuat. Saya tumbuh di lingkungan keluarga yang melarang laki-laki untuk menangis, karena menangis adalah tanda kelemahan. "Laki-laki harus kuat, laki-laki itu tegar, laki-laki itu harus nampak perkasa" Demikian hal yang terus dicekoki di benak saya. Saya pun bertumbuh kemudian menjadi anak yang tidak terbiasa memperlihatkan kelembutan atau kasih sayang karena khawatir itu dianggap sebagai sebuah kelemahan. 


Ketika perang melanda daerah timur tengah, saya dan keluarga hijrah ke Belanda untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman. Saya berhasil beradaptasi dengan bahasa dan budaya setempat. Hingga saya meraih ijazah perguruan tinggi dan memiliki pekerjaan  yang dipandang bagus. Saya pikir hidup baik-baik saja hingga satu persatu orang dekat dengan saya dan saya sayangi berpulang ke hadirat-Nya. Di situ saya mulai merasakan kehilangan kendali dalam hidup. Saya merasa goyah dan rapuh sedemikian rupa hingga saya berpikir untuk mencari pertolongan kepada seorang terapis. Tapi suara di dalam diri saya itu kembali bicara, dia yang berkata "kamu kuat! tak butuh bantuan orang". Akhirnya saya tak jadi menemui terapis.


Sekian lama saya bergulat dengan perasaan sedih yang kemudian saya tidak sempat saya proses dengan baik. Tak ada seorang pun yang saya ajak bicara tentang hal ini. Hingga akhirnya pukulan terakhir pun datang, beberapa bulan lalu ayah saya tiada. Air mata saya tak tertahankan saat memandang jasadnya untuk terakhir kalinya sebelum dikebumikan." Paman saya berkata, "Sudah, laki-laki jangan menangis. Sabar saja." Di titik itu saya sudah tidak tahan lagi, saya hardik beliau dan berkata "Shut the fuck up!!!" dan saya pun menangis sejadi-jadinya.


(Based on true story)


Pentingnya memproses duka cita.

Men need to learn how to cry.

Tuesday, November 23, 2021

 Excess Baggage


Saat kemarin mengantar mama check-in ke bandara ada kejadian aneh. Ternyata ada perbedaan perhitungan mama tentang berat koper dengan saat koper besar dan isinya itu ditimbang di bandara. Dan tidak tanggung-tanggung bedanya 7 kg. 


Mama terlihat agak panik, apakah harus dikeluarkan sebagian isinya yang kebanyakan coklat dan oleh-oleh itu? Sementara waktu yang tersisa sebelum boarding sudah semakin mepet. Saya lihat mama dzikir dan berdoa terus menerus. Tampaknya beliau memohon kepada Allah agar diberi jalan keluar, karena ini diniatkan untuk sedekah.


Entah kenapa saat itu mama dibuat jadi ada di antrian terakhir, padahal kami datang 1,5 jam sebelumnya dan biasanya tidak pernah ada di antrian terakhir. Barangkali karena masih di tengah pandemi juga sehingga pengecekan dokumen membutihkan waktu lebih lama dari biasanya  karena harus diperiksa bukti tes PCR dan vaksinasi. Tapi kemudian gara-gara menjadi penumpang terakhir yang harus check-in baggage, petugasnya jadi terburu-buru.


Nah, kondisinya kan excess baggage. Ya sudah saya pikir bayar saja kelebihannya. Kasihan mama kalau harus bongkar-bongkar koper. Biaya kelebihan bagasi itu 35 euro per kilo. Jadi kalau 7 kilo itu kita harus bayar sekitar 4juta rupiah, jumlah yang lumayan besar, hampir separuh harga tiket pp Indonesia- Belanda. Saat saya baru mengeluarkan dompet tiba-tiba dari arah kanan datang ibu-ibu petugas bandara berjilbab sambil bicara ke walkie-talkie yang ada dalam genggaman tangan kanannya. Dia memberi sinyal pada petugas yang tengah melayani mama saya agar bersegera tutup. Mbak petugasnya lalu bilang , "ini ada excess baggage". Tapi petugas yang membawa walkie talkie itu langsung menggeleng dan berkata "it's okay, just move on" sambil menunjuk ke arah gerbang pemberangkatan agar mama saya segera melangkah ke sana.


Saya dan mama saling berpandangan dan terbengong-bengong. It all happened so fast. Tapi Allah memang Maha Kuasa. Dasar memang rezekinya mama🥰

 Syariat agama itu tujuannya membawa ketenangan hati. Hanya saja hawa nafsu dan syahwat yang enggan untuk dikekang dan diatur itu saja yang selalu protes dan berkeberatan. Dan memang kalau ditelaah lebih dalam banyak persoalan dalam hidup itu ditimbulkan oleh dua oknum tadi yang belum ter-manage dengan baik.


Hawa nafsu misalnya inginnya selalu kelihatan unggul, cemerlang, keren dan paling tidak mau merasa dikecilkan, tidak dianggap atau kurang dari yang lain. Maka gara-gara mendengarkan hawa nafsu orang bisa cenderung memaksakan diri membeli hal yang tidak perlu bahkan memaksakan diri membeli sesuatu walaupun harus nyicil sampai ubanan.


Syahwat pun dayanya tak kalah hebat. Dia selalu ngiler dengan elemen-elemen keindahan dunia. Lihat mobil baru, pengen. Lihat hape baru, pengen juga. Lihat laki-laki atau perempuan yang baru dan tampaknya lebih kinclong, eh ngebet juga. Duh, repot kita dibuatnya. Keinginannya tidak ada habis-habisnya. 


Maka dalam permasalahan syahwat saja misalnya, agama memberikan arahan. Misalnya ada hadits Rasulullah yang menganjurkan kalau seseorang melihat orang lain yang menarik hatinya sedemikian rupa hingga syahwatnya menjadi bergelora maka solusinya bukan dengan ngoyo bikin pe-de-kate dan merakayasa skenario untuk mendapatkan di kecengan itu. Tapi kalau sudah nikah, ya kembalilah melampiaskan syahwatnya dengan pasangan yang halal. Kalau belum punya pasangan? Shaum , itu cara melemahkan daya syahwat.


Kalau satu hal ini saja dipatuhi dengan baik, rasanya bisa memotong sekian banyak drama dalam kehidupan misalkan yang diakibatkan oleh kehadiran pihak ketiga yang bahkan bisa memporak-porandakan sendi-sendi rumah tangga. Tapi kalau memang sudah terjadi, apa daya. Bagaimanapun ada izin Allah di balik hal yang tampaknya akal kita masih pusing untuk mencernanya. Caranya, istighfar banyak-banyak, shalat dengan baik dan bangun ketaqwaan kepada Allah. Karena dengan hati yang taqwa maka Allah akan mengajari. Toh kita butuh Allah ajari agar bisa memahami kenapa hal seperti itu Dia izinkan terjadi?

 Ketik kita ditempatkan dalam keadaan yang tidak berdaya, itulah saat emas dimana Allah Ta'ala akan memperkenalkan dirinya dengan lebih jelas dengan menyingkirkan "sesembahan" lain selain Dia yang biasanya kita agungkan, andalkan dan banggakan.


Kadang kita dibuat menjadi melakukan banyak kesalahan. Kadang dibuat sakit dan lemah. Kadang mata pencaharian dibuat sulit untuk didapatkan. Kadang pernikahan kita dibuat ditimpa prahara. Kadang anak dibuat sakit atau bermasalah. Kadang dibuat konflik dengan orang tua atau keluarga. Ada seribu satu cara datangnya ujian dari Allah Ta'ala itu.


Maka ketika dibuat tak berdaya, sabarlah, banyak istighfar dan kontemplasi ke dalam diri. Jangan mudah melempar batu sembunyi tangan, menunjuk kesalahan kepada orang lain atau situasi. Karena semua dalam kendali Allah Ta'ala. Tak ada yang mampu mendesain takdir kecuali Dia Ta'ala. Bahkan tidak para nabi, tidak syaithan, pun tidak para malaikat-Nya.

Friday, November 19, 2021

 

Penjara itu sesuatu yang kita asosiasikan sebagai keadaan yang mengekang, membatasi gerak dan berupa hukuman. Sedemikian rupa orang kemudian tak mau berada dalam kondisi terpenjara.

Tapi sejarah manusia kemudian mengungkap bahwa ada hal-hal besar yang justru terlahirkan dalam kondisi orang dipenjara. Seorang Marcopolo misalnya tak akan mengeluarkan pengalamannya berkelana jika ia tak sempat dipenjara. Bung Karno menyusun pidato yanng menggetarkan Indonesia Menggugat tatkala beliau berada dalam tahanan penjara. Disitulah kabarnya sang Bapak Bangsa ini mengolah gugatan dengan membaca sekitar 80 buku dan pidato-pidato terkenal. Almarhum Buya Hamka pun menelurkan Tafsir Al Azhar ketika beliau sedang berada dalam penjara. Dan jangan lupa Nabi Yusuf as yang melegenda itu dimatangkan oleh Allah Ta'ala dalam penjara.

Jadi dalam ruang takdir yang kita pandang sebagai sebuah keterbatasan, kesempitan dan ketidakleluasaan. Di situ sebenarnya Allah Ta'ala tengah menumbuhkan benih dalam diri kita agar ia berbuah dan minyak ma'rifat yang dihasilkan dari buah itu akan menyalakan qalb kita selapis demi selapis hingga bertemu sumber api yang ada di dalam (mishbah). Sebuah pertemuan dua lautan.

Maka terima saja apa yang ada dan jalani dengan hati yang bersuka cita. Make the best out of it. That's how we live our life happily👌

 Sebenarnya bukan orang lain yang membuat kita bersedih atau menderita. Akan tetapi ketergantungan kita kepada mereka yang membuat kita sedemikian rupa rentan oleh perubahan yang ada.


Orang yang demikian terbiasa menggantungkan diri dan penghidupannya pada orang lain akan kepayahan ketika mereka yang diandalkan menjadi tempat sandarannya itu tiba-tiba tidak bisa memenuhi apa yang diharapkan. Obyek sandaran itu bisa jadi pasangan hidup, pekerjaan, orang tua, saudara, teman-teman yang biasa selalu dapat diandalkan memberikan pertolongan atau perhatian.


Selagi ia masih terbiasa mengandalkan selain Allah untuk menjamin penghidupannya, selama itu juga sebenarnya ia kehilangan sebuah kesempatan untuk betul-betul mengenal Allah sebagai Rabb. Karena terhalang oleh pemelihara-pemelihara yang merupakan perantara-perantara-Nya.


Jika seseorang dirahmati oleh Allah Ta'ala, maka ia akan memasuki sebuah "masa pengeringan" dimana semua hal yang biasanya dia dapat andalkan tiba-tiba berantakan, apa yang biasanya cepat memberi solusi dibuat menjauh dan sulit. Sebuah kondisi yang membuatnya menjadi fakir, sehingga ia jatuh bersimpuh dan kembali memalingkan wajah hatinya kepada Allah Sang Rabbul 'Alamiin.


Di awal waktu proses ini akan terasa menyakitkan, seperti bayi yang menangis tatkala memasuki waktu penyapihan. Tapi ini satu-satunya jalan untuk menyapih ketergantungannya kepada dunia. Hingga dia mengenal dan membangun keakraban dengan Sang Maha Pemelihara dan tidak menggantungkan hidup dan kebahagiaannya kepada obyek-obyek selain-Nya yang fana itu.

Wednesday, November 17, 2021

 Saya percaya semua orang bisa menulis. Tak perlu dibandingkan gaya seseorang dengan yang lain. Tulisan itu seperti sebuah lukisan, setiap orang punya alirannya masing-masing untuk mengekspresikan dirinya dengan lebih leluasa. Artinya masalah tulisan itu bagus atau tidak hanya masalah selera.


Tapi untuk menjadi seorang penulis memang dibutuhkan ketekunan, kedisiplinan dan kesabaran. Anda harus menulis setiap hari. Sedemikian rupa sampai jiwa rasanya lapar kalau belum menulis di hari itu. Karena bagi seorang penulis, menulis adalah cara bertasbihnya. 


Perjalanan saya mulai tekun menulis baru dimulai di tahun 2008, bertepatan dengan sedang musim blog dan adanya fasilitas internet. Sesuatu yang memudahkan saya menulis dimanapun menggunakan berbagai media yang ada. Karena munculnya ide tak mengenal waktu dan tempat. You just have to be ready when it come. Kalau ide itu tidak ditangkap dan dituangkan langsung menjadi tulisan dia akan basi. Banyak ide yang saya sempat tulis tapi tak langsung dituliskan, ketika mencoba menuliskannya ide itu bagaikan sudah basi. Hilang rasa. Sayang sekali...


Menulis juga seperti body building. Anda perlu menambah bebannya di waktu-waktu tertentu. Di awal waktu saya nyaman saja bermain di ranah tulisan-tulisan pendek. Tapi kemudian saya didorong untuk menulis terjemahan sebuah kitab berbahasa Inggris kuno yang sampai keriting mengerjakannya. Setelah itu beralih menerjemahkan biografi, masih dirasa enteng. Sampai kemudian beban ditambah untuk menulis biografi itu sendiri. Tak tanggung-tanggung dua biografi pada waktu yang bersamaan. Setelah itu menerjemahkan kitab tashawwuf bergaya bahasa sastra dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. That's another challenge. Dan setelah itu menerjemahkan buku-buku Bahasa Belanda kuno ke Bahasa Indonesia. Also another additional weight. 


Pusing kalau dipikir-pikir bagaimana bisa memanage dengan kegiatan mengurus keluarga, bekerja dan kuliah. Tapi kan ada Gusti Allah, semua Dia yang mengatur. Selama kita berserah diri kepada-Nya ternyata kok ya bisa saja ya. Aneh bin ajaib. But then i realize that it was not me. Karena kalau mengandalkan kemampuan diri kita kosong besar. Tapi jangan pula menjadikan alasan untuk tidak berkarya. Just do it. No excuse!


Jadi buat yang masih segan menulis dengan berbagai alasan ini dan itu. Tampaknya yang pertama harus dipertanyakan bukan masalah apakah kita bisa menulis atau tidak. It's just a matter of strong will. Mau atau tidak menulis? Kalau iya. What stop you then?

Tuesday, November 16, 2021

 Orang yang tak pernah mengalami rasa haus yang demikian mencekik kerongkongan tak akan pernah menghargai nilai setetes air.


Orang yang selalu gampang hidupnya, lancar jaya bisnisnya dan serba mudah kesehariannya tak akan memahami nilai sebuah keajaiban ketika dunia disempitkan dan tiba-tiba ada sebuah pertolongan yang tak terduga.


Orang yang selalu bisa mengandalkan orang tua, pasangan, teman, tabungan, simpanan, warisan dsb tak akan merasakan kegembiraan yang penuh ketakjuban saat tak ada lagi rasanya yang bisa diandalkan tapi pertolongan-Nya tiba-tiba hadir dengan ajaib.


Anak-anak pun kalau biasa dimanjakan dengan semua fasilitas orang tua tak akan pernah belajar untuk menjadi kuat, sabar, tangguh dan mandiri.


Memang jadi orang tua itu mesti bisa tegaan. Suatu saat melepas dan melihat anaknya pontang-panting. I know its not easy for me with all my maternal gate-keeper thingy yang bawaannya selalu ingin membantu anak. Tapi sadar juga sebenarnya bahwa kalau si anak terus disuapi dia tidak punya kesempatan melatih otot-ototnya. Tidak sekadar otot secara fisik, tapi ada otot kesabaran, otot kemandirian, otot kebersyukuran dll yang itu penting untuk bekal dia menjalani kehidupan jangka panjangnya.


Saya jadi merenung, jangan-jangan ini juga jawaban atas pertanyaan saya tentang kenapa Tuhan mengirim kita ke alam dunia yang penuh cobaan, kegelapan, ujian dan melelahkan? Karena Dia ingin agar potensi-potensi dalam diri kita bertumbuh. Sesuatu yang tak akan pernah terjadi kalau kita leyeh-leyehan terus di surga menikmati semua fasilitas yang ada tanpa mengeluarkan peluh dan berkorban untuk itu.


-Perjalanan dalam metro menuju De Pijp Amsterdam di tengah musim gugur yang makin dingin 6°C

Friday, November 12, 2021

 Dalam sebuah kelas coaching instrukturnya membimbing sesi visualisasi dimana setiap orang harus coba membayangkan ada sebuah pintu yang menggambarkan tujuan masing-masing dan bayangkan juga ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk berjalan mendekati tujuan itu.


Lalu salah satu peserta seorang Bapak usia pensiun berambut putih berkata bahwa penghalang yang dia bayangkan itu adalah ayahnya sendiri. Dia kemudian berkata dengan lirih dan tampak menahan tangis bahwa ayahnya baru saja meninggal dan dia tidak memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya. Sang ayah adalah orang yang keras sekali sedemikian rupa hingga sepanjang hidup berada ia merasa seperti berada dalam bayang-bayangan harapan ayahnya sendiri.


Jelang akhir hidup sang ayah ketika ia terbaring tak berdaya dia berkata, "Saya pegang tangan ayah saya. Aneh sekali rasanya karena saya tak pernah dekat dengan beliau baik secara fisik maupun psikis." Dengan kepergian sang ayah yang tersisa hanya kenangan pahit serta sebuah lubang besar yang tak akan pernah terisi tentang seorang anak yang haus akan kedekatan dan ekspresi kasih sayang dari ayahnya sendiri.


Ketika saya bertanya apa menurut dia pelajaran yang bisa diambil dari hubungan yang sedemikian rupa dengan ayahnya dia menjawab bahwa itu adalah hal yang tidak mudah tapi bagaimanapun ia adalah bagian dari proses mencari kedamaian bagi dirinya sendiri.


Saya menarik nafas dalam-dalam dan menjadi merenung karenanya. Tentang betapa dalam dampak yang diakibatkan dalam sebuah interaksi antara orang tua dan anak. Bagaimana itu bisa membentuk si anak dan membayangi mereka berpuluh tahun lamanya. Kadang kita sebagai orang tua tidak sadar betapa kita merusak jiwa anak-anak kita yang fitrah karena menuruti ego yang masih demikian menggurita...

Monday, November 8, 2021

 Kalau sedang menghadapi writer's block, sebuah kondisi dimana inspirasi untuk menulis seakan mandeg biasanya setelah shalat saya pergi ke stasiun kereta api atau bandara. Entah kenapa dinamika yang ada disana begitu mengagumkan untuk saya. Melihat orang lalu-lalang berjalan kebanyakan dengan ritme cepat kalau tidak agak berlari mengejar sesuatu. Ada juga pemandangan haru seperti perpisahan atau pertemuan dengan orang yang dikasihi. Selain itu saya perhatikan orang-orang yang bekerja di sana, para petugas kebersihan petugas keamanan, petugas bandara, penjaga toko, penjual suvenir dll. Bagaimana orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.


Probably its the sense of purpose yang membuat saya betah berlama-lama memerhatikan keadaan seperti ini. Betapa orang berjalan dengan tujuan tertentu. Beda cara jalannya dengan orang yang luntang-lantung tak mengerti mau kemana, apalagi tersesat, terlihat rona panik di wajahnya.


Hidup itu seperti itu. Kita perlu a sense of purpose agar jatah nafas setiap saat bisa digunakan sebaik-baiknya. Agar tidak mudah patah dan rapuh menjalani kehidupan. Agar tak gampang didera oleh kebosanan. Kalau tidak kita akan luntang-lantung mengerjakan sesuatu yang tanpa arah dan terjebak oleh ilusi mengejar sebuah pepesan kosong. Tahu-tahu peluit panjang dibunyikan. Seluruh isi stasiun harus dikosongkan. Kiamat terjadi, baik itu kiamat kecil berupa kematian maupun kiamat besar berupa runtuhnya eksistensi alam semesta.  


Jangan sampai saat peluit berbunyi kita tak membawa bekal apapun untuk kehidupan di tujuan berikutnya. Rugi besar, na'udzubillah...


- Amsterdam Central Station, 13.24

8 Nov 2021


 Kerjakan semua amanah yang ada di tangan kita dengan baik dan didasari oleh hati yang tulus. Tak perlu mengharapkan ucapan terima kasih atau imbalan. Itu artinya tidak ikhlas.


Harapan akan sesuatu selain Allah itu yang merusak nilai amal tersebut di mata Allah dan mendatangkan derita. Karena ketika kita tidak mendapatkan penghargaan atau pengakuan seperti yang kita inginkan yang tersisa hanya sakit hati. Kalaupun kita kemudian mendapat pujian malah menjadikan bangga diri. Dua-duanya tidak bermanfaat dan malah mengotori hati.


Biar saja orang mau bicara apa. 

Biar saja orang tidak mengucap terima kasih.

Biar saja kita seakan tidak dianggap.


Be good anyway.

Bekerjalah terus. Berkaryalah terus. Bersinarlah terus. Justru nilai sebuah amal itu ditentukan dari kadar keikhlasannya. Kita melakukan semua itu agar Allah Ta'ala tersenyum ridho kepada kita. Aamiin.

Monday, November 1, 2021

 It is like a blink of an eye indeed.


Rasanya baru kemarin memeluk tubuh kecil mereka dalam pangkuan. Sekarang sudah besar badannya dan terlalu berat untuk ditimang.


Rasanya baru kemarin mendengar tangisannya kalau saya sebentar saja hilang dari pandangan mereka. Sekarang gantian saya yang harus cari-cari mereka yang asyik bermain bersama teman-temannya.


"Semua ada masanya" begitu selalu kata mama saya kalau beliau menerima curhat anaknya tentang betapa melelahkan tugas mengasuh anak itu.


Dan masa itu sudah berlalu, tinggal kenangan yang tersisa yang terekam dalam ribuan foto-foto yang saya abadikan dan saya buatkan album tahunan. Agar suatu saat nanti mereka bisa melihatnya dan mengingat betapa hidup mereka penuh dihiasi oleh kenangan yang indah.


And in a way it's my way to say to them that i was there, i was the one who took your video and pictures, i was the one who cheered you at your first step, i was the one who giggled to your blabbering talk, i was the one who prepare your first meal. I was there in every step of your milestone. Witnessing you grow, holding you when you are ill, comfort you when the world seems too much for you to bear.


What they don't understand yet is that i have to make sacrifices in order to be present with them. But that is what every parent will do. They make sacrifices. This is what they do in order to pass the baton to their children someday.


Looking back, i then realized that what i called by "sacrifice" is nothing but God's way to cherry pick what is the most essential thing for me. And if i get to choose, would i do it all over again? You betcha!