Sebagai seorang laki-laki saya diajarkan harus kuat. Saya tumbuh di lingkungan keluarga yang melarang laki-laki untuk menangis, karena menangis adalah tanda kelemahan. "Laki-laki harus kuat, laki-laki itu tegar, laki-laki itu harus nampak perkasa" Demikian hal yang terus dicekoki di benak saya. Saya pun bertumbuh kemudian menjadi anak yang tidak terbiasa memperlihatkan kelembutan atau kasih sayang karena khawatir itu dianggap sebagai sebuah kelemahan.
Ketika perang melanda daerah timur tengah, saya dan keluarga hijrah ke Belanda untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman. Saya berhasil beradaptasi dengan bahasa dan budaya setempat. Hingga saya meraih ijazah perguruan tinggi dan memiliki pekerjaan yang dipandang bagus. Saya pikir hidup baik-baik saja hingga satu persatu orang dekat dengan saya dan saya sayangi berpulang ke hadirat-Nya. Di situ saya mulai merasakan kehilangan kendali dalam hidup. Saya merasa goyah dan rapuh sedemikian rupa hingga saya berpikir untuk mencari pertolongan kepada seorang terapis. Tapi suara di dalam diri saya itu kembali bicara, dia yang berkata "kamu kuat! tak butuh bantuan orang". Akhirnya saya tak jadi menemui terapis.
Sekian lama saya bergulat dengan perasaan sedih yang kemudian saya tidak sempat saya proses dengan baik. Tak ada seorang pun yang saya ajak bicara tentang hal ini. Hingga akhirnya pukulan terakhir pun datang, beberapa bulan lalu ayah saya tiada. Air mata saya tak tertahankan saat memandang jasadnya untuk terakhir kalinya sebelum dikebumikan." Paman saya berkata, "Sudah, laki-laki jangan menangis. Sabar saja." Di titik itu saya sudah tidak tahan lagi, saya hardik beliau dan berkata "Shut the fuck up!!!" dan saya pun menangis sejadi-jadinya.
(Based on true story)
Pentingnya memproses duka cita.
Men need to learn how to cry.
No comments:
Post a Comment