Saturday, August 31, 2019

Kenapa saya sudah lama berdoa tapi kok belum dikabulkan?

Kesalahan klasik para pendoa adalah ketika ia menggantungkan indikator keberhasilan berdoa kepada sebuah keterkabulan. Padahal esensi sebuah doa adalah terjalinnya kedekatan antara sang hamba dengan Sang Pencipta. Jika itu yang dipegang, maka pada dasarnya di setiap saat mulut dan atau hati kita berdoa dengan khusyu dan ihsan, maka target doa sudah tercapai. Karena banyak manusia yang bahkan berdoa dan ingat Allah pun tidak.

Jadi jangan dulu berburuk sangka kepada Allah saat doa merasa belum dikabul, saat keinginan belum juga terpenuhi. Sungguh Dia tahu apa yang terbaik yang harus diberikan kepada setiap orang. Belajarlah dari seorang Zakariya as yang sudah puluhan tahun berdoa dan walau Allah belum berikan apa yang dia  minta, tapi ia dengan pengetahuannya tahu apa yang Allah beri selalu lebih baik dari yang ia minta. Maka kata-katanya Allah rekam dalam Al Quranul Karim Surat Maryam ayat 4.
"...sesungguhnya aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu:
Hati-hati kalau merasa ke-pede-an sudah bisa melakukan sesuatu yang besar lalu saat dihadapkan dengan hal yang lebih kecil lalu terlontar kata-kata "ah kecil ini sih, yang susah saja aku bisa apalagi ini cetek!"
Sombong itu namanya. Padahal besar-kecil, susah-gampang semuanya hanya bisa dikerjakan dengan pertolongan Allah semata.
Saat kita mengklaim "gampang!" Kita tengah bersandar dengan kemampuan diri sendiri. Padahal manusia itu pada dasarnya fakir dan lemah kalau Allah tidak beri kekuatan.

Saya sharing begini karena berdasarkan pengalaman pribadi. Pernah beberapa kali dapat shift kerja di restoran bersamaan dengan konser, melayani ratusan pelanggan dan berdiri 7 jam non stop. Lalu saat ditawari shift 4 jam saat sedang sepi. Logika berkata, "bisa dong!" sambil lupa bilang "Insya Allah".
Apa yang terjadi?
Hari itu lutut tiba-tiba dibuat lemas, sampai hampir tak bisa merasakan apa-apa. Saya sampai sempat menduga gejala stroke. Plus dikasih vertigo. Wuah komplit sudah. Tepar saya dibuatnya.
Saya langsung istighfar banyak2. Ingat pernah terlintas pikiran sompral ngegampangin sesuatu tadi.
Ya Allah ampuun...

Nah, moral of the story. Walau pernah memegang proyek bernilai milyaran dan super complicated lalu disuruh memanage proyek puluhan juta saja dengan kompleksitas yang rendah. Harusnya mengucap bismillah yang sama.

Buat rekan-rekan dokter, walau sudah beberapa kali operasi yang sulit dan behasil. Jangan sekali-kali merasa jumawa saat disodorkan operasi pengangkatan kutil. Dianggapnya gampang surampang sumadirampang. Kade ah, pamali.

Buat sesama ibu-ibu yang sudah biasa ngurus anak banyak lalu merasa jago di hadapan ibu lain yang kelihatan repot ngurus satu anak. Hati-hati jangan merasa digdaya sambi mengusung2 jargon tapi dengan terselip bangga diri, "kalau ik bisa masa jij ga bisa"

Kita ini manusia yang lemah tanpa kekuatan dari-Nya. Apapun itu. Bahkan sekadar berdiri, sekadar bernafas, sekadar hidup. Semua semata-mata atribut yang dipinjamkan oleh-Nya. Jangan merasa jagoan, merasa pintar, merasa hebat. Kualat nanti. Bisa dijewer Allah Yang Maha Pencemburu. Semoga bermanfaat bagi-bagi pengalaman ini❤🙏

Friday, August 30, 2019

Pagi ini saya lihat seorang ibu menyeret-nyeret anaknya yang tengah mogok berjalan kaki. Padahal sudah tinggal beberapa langkah saja di depan kelas. Di tangan kanan ibu itu terkalung tas sekolah, boneka sambil tangannya menarik keras tangan anak lekakinya yang tengah berulah. Sementara tangan kirinya menggendong anak bungsunya yang baru bisa berjalan. Riweuh pisan - kalau kata orang Sunda - melihatnya.

Jam menunjukkan 8.29 pagi.
Satu menit menjelang bel sekolah.
Saya bisa melihat dan merasakan emosi yang meluap dari sang ibu. Ditariknya si anak yang tengah mogok keras-keras lalu mukanya didekatkan kepada muka si anak sambil berkata was-wes-wos dalam Bahasa Belanda dengan lantang, kira-kira meminta si anak untuk berhenti berulah dan agar nurut sama ibunya.

Bisa diduga, reaksi anak menghadapi luapan emosi seperti itu bukannya tenang tapi dia malah nangis. Makin "keritinglah" si ibu. Ditinggalkannya si anak masih dalam keadaan menangis. Ia berjalan di depan saya. Kami berputar ke arah jendela luar untuk melakukan ritual dadah-dadahan plus "kiss bye". Ritual yang hanya dikerjakan untuk anak2 TK, soalnya kalau sudah umur 7 tahun seperti abangnya sudah ngga seru didadahin juga dianya cool gitu, kurang antusias🥶

Kembali ke si ibu itu. Dia tampak berusaha menenangkan anaknya yang tangan mungilnya menggapai-gapai keluar dari celah jendela. Tak lama ketika si ibu sedang sibuk membelai-belai anaknya ini, anaknya yang lain yang jalannya masih seperti pinguin itu setengah berlari bermaksud mendekati kakaknya tapi kemudian terjatuh tak jauh dari ibu itu dengan wajah membentur paving block, ouch! Si ibu langsung melepas anaknya yang belum tenang betul dan mencoba meraih anak lain yang terjatuh sambil membawa beban tas sekllah, boneka dan sepeda roda tiga di sebelahnya. Dari mulutnya terucap kata-kata keluhan, kira-kira dia bilang "Oh, what a day!"

Jam baru menunjukkan 8.37 pagi. Aktivitas pagi baru saja dimulai. Tapi sepertinya sudah menyerap energi sekian banyak buat ibu itu, seakan telah bekerja seharian.
Saya melihatnya sambil berkata dalam hati, "i feel you, mother".

Mengurus anak kecil itu memang menguras banyak perhatian dan tenaga. Pokoknya total blood, swear and tears deh. Kalau saya renungkan kembali, saat-saat dimana emosi sering meledak adalah ketika kondisi hati sedang tidak prima. Kalau hati sedang kalut, celotehan anak yang biasanya dianggap lucu jadi nyebelin. Kalau hati sedang bergejolak, rengekan anak yang biasanya ditanggapi tenang jadi mencetuskan bentakan dan amarah. Ibaratnya kulit yang sedang meradang atau ada bisulnya, dibelai sayang pun terasa sebagai sebuah siksaan🤯

Demikianlah betapa respon kita terhadap kehidupan sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan hati. Sesuatu yang sering luput dirawat. Padahal kalau merawat tubuh rajin sekali, setiap hari dimandikan, tambah luluran kalau perlu, juga olah raga dan makan yang sehat. Tapi hati? Kapan dia diberi makan? Kapan dia olah raga? Kapan dia dimandikan?

Disitulah syariat agama lahir untuk membantu vitalitas hati manusia. Supaya menjelang hari tidak dengan wajah yang muram. Bukankah Tuhan menciptakan manusia agar berbahagia? Jadi kalau murung, cemberut, misuh-misuh apalagi teriak-teriak marah, something is wrong with us. Bukan salah takdir. Bukan salah anak yang nangis. Bukan  salah siapa-siapa. It's all on us.

Lewat ujian kehidupan hati diajak berolahraga.
Lewat syahadat, shalat, zakat, sedekah, shaum, haji hati dibersihkan.
Lewat Al Quran -sumber ilmu- hati diberi makan.

Sebagaimana kita rajin mengurus badan, maka mestinya rajin pula mengurus hati. Supaya hatinya ngga bisulan, jadinya misuh-misuh terus, merasa tak ada gairah dan semangat dan luput mensyukuri penggal-penggal kehidupan yang indah ini bersama-Nya.

Wallahu'alam😍

Thursday, August 29, 2019

Saat oom dan tantenya datang berkunjung, anak-anak dapat rezeki tak terduga. Masing-masing mendapatkan satu lembar uang pecahan 100 euro (kira-kira setara dengan 1,5 juta rupiah). Yang paling antusias menerima uang itu adalah Rumi. Maklum, sejak dia lihat temannya bisa dapat uang sebesar 2 euro karena membersihkan jendela, sejak itu dia jadi rajin beberes untuk mengumpulkan uang.

Kalau ditanya uang yang terkumpul untuk beli apa, pasti jawabannya tidak akan jauh seputar permen atau mainan. Tak terpikir masalah les renang, les sepakbola, les mengendara atau untuk tambahan uang kuliahnya nanti.

Apa kemudian yang orang tuanya lakukan? Kita simpan uang itu di celengannya. Nanti kalau akalnya sudah lebih dewasa dia akan lebih bijak untuk menggunakannya. Tidak mungkin kita biarkan anak usia 5 tahun jalan-jalan sambil pegang uang pecahan sebesar itu, bahaya nanti bisa memancing orang jahat berbuat yang tidak baik kepadanya.

Gusti Allah juga begitu sepertinya ya. Jika kita dihalangi dari sebuah keinginan, bisa jadi kita sedang dicegah dari bencana yang tak terpikirkan. Barangkali kita belum siap dengan konsekuensi sebuah pengabulan doa.

Di Al Quran ada kisah tentang sepasang anak yatim yang dinding rumahnya hampir roboh, namun kemudian ditegakkan kembali oleh Nabi Khidir as yang mengetahui bahwa di bawah dinding itu ada harta warisan orang tua mereka yang belum saatnya dibuka karena penduduk kota dimana kedua anak itu berada dikenal tamak dan anak-anak itu masih terlalu muda untuk mengelola harta kekayaannya sendiri. Sang nabi menutup harta itu agar disingkapkan pada saat yang terbaik menurut ilmu Allah.

Ya, saat yang terbaik. Itu faktor besar dalam dinamika semesta.
Kapan kita menikah.
Kapan punya anak.
Kapan pindah kerja.
Semua ada saatnya. Sebuah tirai takdir yang tipis namun tak dapat ditembus satu milipun, karena ia begitu kokoh.

Begitulah, kekayaan dan rezeki kita bisa Allah tahan karena menunggu saat yang terbaik untuk dilepaskan. Karena Allah lebih tahu kondisi dalam hati dan kesiapan kita dalam menerima itu. Seperti orang tua yang mencegah keburukan terjadi pada anaknya saat ia diberi uang banyak di atas. Maka rezeki itu disimpan dulu agar dikeluarkan pada saat yang terbaik.

Sekarang tinggal kita sabar menjalani  ketetapan-Nya. Yakin bahwa bahkan sebuah penundaan pun sebenarnya merupakan pemberian dari-Nya. Supaya kita bisa lebih tersenyum dan cerah wajah menjalani takdir masing-masing. Insya Allah😊

Wednesday, August 28, 2019


Dulu waktu masih gadis dan semangat berkarir membara pernah sempat mengincar posisi Regional Manager South East Asia, kantornya di Singapura lalu kerjaannya tiap minggu keliling dari satu kota ke kota lain se- Asia Tenggara. Sounds fun right?

Tapi saya direm saya mama, beliau selalu jadi rem saya dalam kehidupan biar ngga terlalu ngoyo sambil mengeluarkan kalimat saktinya, "Apa yang kau cari?"

Setiap kali saya dengar kalimat itu lamunan saya yang melambung entah kenapa selalu berhasil didaratkan menjejak di bumi.
Iya ya, cari apa? Status? Kemegahan? Harta?
Lha, katanya mau cari ridho Allah?
Apakah ridho-Nya ada dalam pilihan jalan itu?

Lalu terdiam.
Mendiamkan monyet-monyet hawa nafsu yang syahwat yang bergelantungan di dalam pikiran.
Diamkan.
Bawa wudhu.
Bawa shalat.
Dzikir.
Adem...
Lalu suara nurani akan bicara.
Suara dari alam tertinggi yang dekat dengan Tuhan.
Suara yang selalu membimbing kita pada jalan keselamatan dunia dan akhirat.

Sampai sekarang pertanyaan mama selalu jadi rem buat saya di setiap pengambilan keputusan, saat kecewa, ketika merasa berat berjalan atau didera oleh rasa lelah.
"Apa yang kau cari?"
Dan sungguh, Dia tidak pernah mengecewakan mereka yang mencari-Nya.


Monday, August 26, 2019


Sedang mencuci sendok siang bekas makan siang anak-anak hari ini tiba-tiba teringat akan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh sahabat Mu'adz bin Jabbal tentang tujuh malaikat penjaga langit yang menyaring amal-amal seseorang yang tidak ikhlas.

Haditsnya memilukan, getir rasanya kalau membayangkan amalan kita yang dikerjakan mati-matian dan penuh harap itu satu persatu ditolak oleh para malaikat karena mengandung ghibah, mengumpat orang, takabbur, ujub, dengki, tidak berbelas kasihan kepada orang yang terkena musibah atau ujian atau mengandung  setitik riya. Setelah itu, kalaupun ada amal-amal yang akhirnya selamat dari saringan dan layak diperlihatkan di hadapan Allah, lalu tiba-tiba semua amal -yang bahkan para malaikat pun tertipu dengan kemilau dan kemegahan cahaya yang terpancar darinya- Allah perintahkan agar dipukulkan ke wajah pelakunya. Semata-mata karena Allah tahu amal itu bukan murni diperuntukkan bagi-Nya.

Duh, Gusti...bagaimana bisa selamat.
Jadi termenung. Kalau begitu amalan yang lebih aman dari riya justru amalan yang sepi dari pandangan dan perhatian manusia.

Pandangan saya tertuju kembali ke tumpukan sendok yang hendak saya cuci. "Ah ini dia!" Pekerjaan yang sepi dari perhatian manusia.😊

Moral of the story: tangga menuju Allah ada di hadapan kita di setiap tarikan nafas. Jangan terjebak oleh besar-kecil, keren-ngga keren, hebat-payah, ada duitnya atau ndak atau sekian banyak label buatan manusia dan ilusi pikiran sendiri. Kerjakan saja lillahi ta'ala. Tak perlu berharap pujian atau takut cacian, mengharap banyak like, follow, tepuk tangan, promosi atau yang lainnya dari selain Allah. Cukup Dia menjadi saksi semua perbuatan kita. Insya Allah.😍

Sunday, August 25, 2019

Ketika sebuah ujian datang, ketika musibah menjelang, ketika kesulitan hidup menghimpit. Seringkali seluruh perhatian kita hanya tertambat kepada penyebab horizontal yang berfungsi sebagai pengantar dan lupa kepada Sang Pengirim semua itu. Kita hanya sibuk menyalahkan pencuri yang mengambil barang kita. Kita hanya ditelan oleh amarah kepada pihak ketiga yang dianggap merusak rumah tangganya. Kita hanya diberangus oleh kekecewaan kepada dokter yang dianggap gagal menyembuhkan orang yang kita cintai. Tapi kita lupa bahwa sang pencuri, sang orang ketiga, dan sang dokter itu pun hanya makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang tak akan mampu bergerak kecuali kalau Allah izinkan. Ini tauhid dasar. Jika sesuatu datang ke ruang hidup kita. Walaupun sekecil nyamuk yang menggigit satu koordinat di lapisan kulit kita yang luas itu. Sungguh ia tidak akan terjadi tanpa ada izin Sang Penguasa Alam semesta. Jadi kalau suatu musibah menimpa kita, responnya harus istighfar dan bersujud kepada-Nya sambil memohon ampun serta pengetahuan akan kenapa hal itu bisa terjadi. Baru kemudian dituntun untuk mencari penyelesaiannya secara horizontal dengan hati yang tenang. Karena kalau sikap kita selalu mengandalkan kekuatan diri sendiri, mengharapkan bantuan ini-itu dalam menyelesaikan setiap permasalahan kehidupan, seumur hidup manusia akan terperangkap dalam jurang sempit yang berupa kesibukan yang tak ada habisnya dan melelahkan hati. Jika hati lelah, ia tidak mendapat kesegaran untuk meraup ilmu dan hikmah-Nya yang disebar sepanjang samudera kehidupan dunia ini. Sungguh sebuah kerugian yang amat besar. Jadi jangan harapkan hidup yang tidak ada masalah. Masalah itu datang agar kita tidak lupa kepada orientasi kehidupan yang sesungguhnya. Maka sungguh masalah adalah sebuah rahmat (pertolongan) dari-Nya jika kita menyadari. Yang penting bukan hidup tanpa masalah, itu justru bisa menggelincirkan dalam sebuah kelalaian dan keterlupaan. Masalah silakan datang, tapi hati kita jangan didera olehnya. Itulah hati yang bertawakal kepada Allah Rabbul ‘ alamiin. []

Thursday, August 22, 2019

Pagi ini Rumi memilih di website tas spiderman yang dia sukai. Kita mencoba membiasakan diri hanya membeli barang yang memang dibutuhkan, bukan diinginkan. Agar lebih ringan hisab di akhirat nanti. Kebetulan tas yang ada sudah mulai bolong lebar yang mengakibatkan barang-barang kecil yang ada di dalam tasnya berjatuhan.

Diantara sekian banyak pilihan, dia  keukeuh - bersikeras ingin tas yang itu, dengan faktor utama warnanya sesuai dengan warna favoritnya. Saya kasih pertimbangan lagi sama anak itu tentang harga, kualitas, dimensi tas, waktu kirim dsb. Hal yang belum masuk dalam pertimbangan seorang anak usia lima tahun. Jadinya agak menantang juga membawa dia ke level diskusi rasional karena dia sudah cenderung diselimuti oleh keingunannya yang "pokoknya warna itu".

Jadi ingat waktu saya "merengek-rengek" sama Allah minta dikabulkan doa yang itu, pake ngancam-ngancam segala "Bukankah Engkau Maha Mengabulkan doa ya Allah. Bukankah Engkau berlari kalau aku berjalan" sambil dalam hati menggerutu "kok ngga dikabul juga sih? Kok lama responnya?". Haduh maaf ya Gusti. Astaghfirullah.

Begitulah kalau akal hati masih level seperti anak usia 5 tahun. Masih emosional, tidak berpikir matang, grasa-grusu, inginnya instan, kurang perenungannya jadi boro-boro berpikir jauh tentang konsekuensi sebuah pengabulan doa dan hikmah dibalik sebuah penundaan doa.

Untung Allah itu Maha Baik. Serewel apapun kita toh jatah oksigen kita tidak langsung dipotong. Sengeyel apapun toh hidup masih asyik-asyik aja, sambil ngopi-ngopi di cafe ber-ac dan nyaman. Duh, Gusti, maafkan semua kebodohan hamba. Maafkan semua doa yang hamba panjatkan tanpa sebuah pengetahuan yang haq. Dan maaf kalau sempat memaksa-maksa dengan ancaman dan rengekan yang tak pantas.

Sembah sungkem...
Berpetualang bertiga sama Elia (7thn) dan Rumi (5thn) naik kereta ke berbagai kota kecil di Belgia. It's spontaneous trip karena diajak Teguh Sugihartono papanya anak-anak yang sedang bike tour tiga malam lalu disergap rasa rindu keluarga katanya.

Walau di awal agak haroream alias enggan pergi lagi, karena kami baru saja pulang dari liburan di Perancis. Tapi kesempatan untuk menjelajah tempat-tempat yang baru sayang untuk dilewatkan. Lagipula selagi ada rezeki usia, kesempatan dan kemampuan.

Akhirnya bismillah, berbekal satu tas trolley combo-backpack dan satu tas kecil spiderman tempat menyimpan snacks. Pergilah dengan anak-anak naik-turun beberapa kereta, berjalan hampir 2km ke tempat tujuan tanpa internet, hanya mengandalkan peta manual, membaca sign boards dan tanya sana-sini kadang pakai bahasa isyarat, terutama memasuki Belgia yang berbatasan dengan Perancis dimana jarang ada yang berbahasa Inggris ataupun bahasa Belanda.

Selalu tertegun jika mengunjungi tempat baru dan memerhatikan aktivitas keseharian penduduknya secara sekilas. Bagaimana setiap manusia ada dalam genggamannya. Kehidupan yang telah mereka arungi, apa yang tengah dihadapinya serta masa depannya berada dalam genggaman Allah Ta'ala. Betapa hebatnya kita punya Tuhan yang mengetahui, merencanakan, memelihara bahkan menggenggam kehidupan setiap manusia. Aku ngurus dua anak saja sudah pegal-pegal. Ngga kebayang kuasa Sang Gusti. Allahu Akbar!

Sering membawa kesejukan tersendiri saat berjalan melihat dunia seperti ini, bahwa kita bagian dari peta besar rencana-Nya yang saling berhubungan satu sama lain. Dia Yang tidak hanya 'direcoki' oleh beragam keluhan dan permintaan kita yang tak ada habis-habisnya. Juga diminta oleh semua penghuni dunia dengan memanggil nama dan julukan yang berbeda-beda untuk-Nya. Bagaimanapun hanya ada satu Tuhan di alam semesta ini. That is pure logic. Karena kalau ada lebih dari satu Tuhan, pasti alam semesta tak akan seharmoni ini. Sama saja kalau ada dua pimpinan dalam sebuah perusahaan skala kecil saja sudah berantakan kebijakan yang dibuat.

Berjalan bersama anak-anak melintasi berbagai kota kecil di Belgia, singgah di stasiun-stasiun yang tak ada taksi di halaman kedatangannya. Berpeluh keringat sambil menenangkan anak yang mulai merengek kelelahan karena kita agak tersesat saat mencari penginapan. Sampai terkacir-kacir mencari wc karena si kecil kadung kebelet pipis. Semua bagian dari petualangan  singkat yang mengesankan ini. Bagian dari pelajaran melihat dunia, agar tak terlalu terperangkap dalam tempurung pikiran kita. Merasa hidup nelongso atau masalah kita paling berat sedunia. Lagu klasik yang biasanya otomatis terputar di benak kita kalau kurang piknik.

Maka istirahatkan hati. Dikala jenuh, saat penat, ketika merasa "low energy". Bentangkan sajadah, mohon kekuatan dari-Nya. Dan biasanya Dia akan menurunkan jalan-jalan hiburannya yang berbeda untuk setiap orang. And for me personally, this spontaneous trip is definitely the reward 😊❤Alhamdulillah...


Tuesday, August 20, 2019

Kenapa ketika kita mendekat kepada Allah kemudian dijelang oleh berbagai ujian dan musibah?

Karena kita mendekat kepada Dzat Yang Maha Suci. Maka tidak bisa mendekat kepada-Nya dengan membawa setitikpun ketidaksucian (kotoran). Oleh karenanya musibah yang timbul sebenarnya refleksi dari kekotoran diri kita, yang kemudian ditampakkan.

Semakin dekat seseorang kepada Allah, tentu akan semakin dekat kepada cahaya-Nya. Cahaya itu yang akan membakar dosa dalam diri kita. Semakin mendekat maka lapis dosa itu akan semakin diungkap.

Pengungkapan dosa itu akan dirasakan sebagai takdir yang menelan kita. Itu tanda  bahwa kita sedang ditarik mendekat oleh Allah Ta’ala.

Karena kalau memang diri sudah bersih betul kenapa harus ada musibah?


- Adaptasi dari tausiyah Mursyid Zamzam AJ Tanuwijaya, 30 Maret 2014

Sunday, August 18, 2019

Ada tiga jenis sakit.

Pertama: karena penebusan dosa. Suatu kesalahan, kekhilafan, perkataan yang menyakiti, pikiran yang tak tepat yang meracuni sel-sel dalam tubuh dan dibersihkan melalui sakitnya

Kedua: karena hendak jelang ajal. Jadi sakitnya sebagai rahmat agar sang hamba bersiap diri untuk berpindah alam.

Ketiga: semata-mata karena ujian dari Allah. Tidak berkaitan dengan dosa yang dilakukannya dan tidak pula sedang menjelang kematian. Jika seseorang diberi ujian yang bukan berasal dari kesalahannya justru adalah tanda afdhalnya iman.

Apapun itu, sakit adalah rahmatNya yang membersihkan jiwa hamba, jika dijalani dengan sabar dan ikhlas. Insya Allah.

- Adaptasi tausiyah Mursyid Zamzam AJ Tanuwijaya yang disampaikan 18 Desember 2011

Friday, August 16, 2019

Dalam hidup Allah akan menguji orang beriman dengan dihadirkan hal-hal yang menggiurkan sekadar untuk menguji kualitas keimanan dan kesungguhan hatinya dalam mengabdi kepada Allah semata. Sesuatu yang dalam Al Quran sebutkan sebagai:

“..binatang buruan yang mudah ditangkap..” (QS Al Maidah [5]: 94)

Atau seperti fenomena ikan yang banyak di hari Sabat (Sabbath), hari dimana Bani Israil diperintahkan untuk beribadah untuk Allah dan tidak keluar rumah (QS An Nisaa [4]: 154)

Bentuk ‘ binatang’  buruan atau ‘ ikan’  di zaman kita sekarang bisa berupa tiba-tiba ditawari proyek tertentu, tiba-tiba diajak bisnis tertentu, tahu-tahu dipanggil interview untuk pekerjaan tertentu yang lebih tinggi posisinya di kota lain, tak diduga dapat tawaran beasiswa ke luar negeri, dan berbagai macam tawaran yang tiba-tiba datang dan memang menggiurkan untuk diambil.

Kenapa datangnya kesempatan meraih rezeki dunia itu dihitung sebagai ujian? Karena semua itu dihadirkan justru dalam tenggang waktu dimana seseorang sedang ditempatkan di ‘ mihrab’nya masing-masing. Sebuah ruang sepi untuk ibadah. “ Hari Sabat” bagi setiap orang yang berupa ruang kefakiran dalam sebuah episode tertentu dalam hidupnya.

Perhatikan di dua ayat tersebut datangnya ‘ binatang buruan’  dan ‘ ikan yang banyak’ justru hadir pada saat si hamba seharusnya fokus beribadah kepada Allah, satu di saat umrah dan haji dan yang kedua di hari Sabat. Keduanya adalah hari saat hati kita seharusnya berpaling sepenuhnya dari dunia. Tapi yang menggoda memang sebagai ujiannya yang didatangkan justru berbagai fasilitas dunia yang justru sedang dibutuhkan oleh hawa nafsu dan syahwatnya pada saat itu.

Misalnya sedang Allah tempatkan mengurus orang tua yang sakit dan keadaan ekonomi pas-pasan, tiba-tiba dapat tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi tapi dengan konsekuensi tidak bisa lagi mengurus orang tua yang tinggal sebatang kara. Sedang Allah amanahkan mengurus anak yang masih kecil-kecil, tiba-tiba mendapatkan tawaran karir menantang dengan posisi tinggi tapi harus sering melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan keluarga. Sedang Allah uji dengan sakit, tiba-tiba diajak teman berobat ke ‘ orang pintar’ yang sakti menyembuhkan tapi harus memakai jimat ini-itu.

Kondisi setiap orang tentunya berbeda, kita tidak berhak, tidak pantas dan tidak akan pernah mampu menilai kehidupan orang lain. Karena kehidupan dirinya sendiri pun belum tentu dipahami apalagi kedalaman permasalahan kehidupan orang lain.

Yang penting, berhati-hatilah karena sesuatu yang Allah mudahkan belum tentu Dia perkenankan untuk diambil. Disini pentingnya taqwa, berhati-hati dalam mengambil keputusan. Takut kepada makar-Nya. Tidak terburu-buru melangkah dan mengedepankan menimbang aspek perasaan Allah dibanding keinginan dan ambisi diri sendiri.


Wednesday, August 14, 2019

Kesalahan fatal saya saat me”manage” kehidupan adalah ketika saya terapkan pola management seperti saya memimpin rumah sakit dan departemen dulu. I was so into target and achievements. What can i say, old habit is hard to die.

Akhirnya kelimpungan sendiri. Saat saya sedang semangat mengejar deadline terjemahan, tiba-tiba anak merengek dan minta perhatian jadinya malah saya yang kesal, kasihan anak-anakku yang polos itu. Ketika saya sedang ingin menghadiri pengajian tertentu atau simposium Ibnu Arabi yang saya sangat dambakan, lalu anak agak hangat badannya dan suami keberatan kalau saya pergi. Saya malah misuh-misuh sama suami karena menganggap dia tidak mau berbagi tanggung jawab.

Begitupun saat cari kerja inginnya pakai Warp Speed seperti di Star Trek. Apa daya buntutnya sudah sebroyongan beruntun. Tak bisa berlari kencang seperti dulu. Kalaupun dipaksakan pasti harus ada yang dikorbankan.

Saya pun sempat terpuruk. Seperti menabrak tembok beton keras dan saya tetap menyeruduknya. Demikian ngoyo dan tidak “work with the flow”. 

Sampai akhirnya ditegur keras dengan anak bungsu saya Rumi yang masuk rumah sakit seminggu setelah my biggest breakthrough job interview di sebuah NGO di Amsterdam. Disitu saya dibuat sadar dengan posisi dan keadaan saat itu. Sambil memeluk badan Rumi (yang saat itu berusia 1,5 tahun) yang terkulai lemah karena infeksi pernafasan yang menyerangnya. Dua selang dan satu kabel menempek di tubuhnya; selang oksigen, selang untuk memasukkan makanan dan kabel untuk memantau keadaan vitalnya. 

Selama tiga malam saya menemani dia sambil tidur di sebelah ranjang kecilnya di rumah sakit. Rumi tidak bisa tidur kecuali kalau saya peluk. Dan tidak mudah memeluk tubuh kecil dengan seliweran selang diantaranya. Pernah malam pertama saat badannya demikian lemah, saya sampai terpikir barangkali anak ini akan dipanggil pulang oleh-Nya.  Air mata saya mengalir deras. Sebagian besar meminta maaf karena banyak menyia-nuiakan saat untuk bersama dia atau sering marah sama dia. Hingga akhirnya saya sampai pada titik ketika saya pasrahkan dia dan berkata kepada Allah. “Ya Allah, anak ini milik-Mu, Engkau Maha Tahu mana yang terbaik baginya. Jika Engkau berniat menjemputnya kembali, pasti itu yang terbaik baginya. Saya ikhlaskan ya Allah...”

Lalu saya berdzikir hingga tertidur. Dan malam itu saya diberi sebuah mimpi yang mengubah visi kehidupan saya dan cara saya menyikapi kehidupan.

Itulah sekilas pelajaran hidup ketika saya menuai sebuah malapetaka berupa pontang-panting, marah, konflik rumah tangga, ketegangan, dan semua perasaan neraka lainnya ketika hidup terlampau menekankan pada hasil akhir dan sangat kurang berserah diri dan tawakal kepada Allah. Once again, i was playing God. Astaghfirullah...

Sekarang, saya lebih tenang alhamdulillah. Satu-persatu yang berserak sudah mulai Allah dekatkan. Jadi begini ya caranya. Bukan kita yang mengumpulkan itu semua, pasti tidak mampu, pasti gagalnya. Tapi jalannya harus mendongak dulu ke atas, minta sama Gusti Allah, tawakal kepada-Nya. Sungguh Dia Maha merespon dengan baik tatkala kita sungguh-sungguh memohon pertolongan-Nya.

Bahwa dalam perjalanannya akan juga menghadapi lelah dan kesulitan, iya. Tapi dengan hati yang menghadap kepada Allah semua itu jadi relatif tak terasa. Jauh sekali dibandingkan ketika saya ngoyo mengatur sendiri kehidupan saya dan akhirnya gagal total.

Jadi kuncinya,  kerjakan saja semua kewajiban hidup kita sebaik-baiknya. Apa yang ada di depan mata kerjakan. Lihat tumpukan cucian rapikan, lihat rumah kotor bersihkan, ada pertanyaan dari sahabat via email jawab, ada tetangga ngajak ngobrol layani. Lalu jika ada kesempatan ya kembali menulis dan membaca. Work with the flow. Tanpa memikirkan hasil akhir atau ditarget. Tidak ngoyo. Ternyata lebih nyaman.

“Dharma itu bekerja sekarang, sebaik-baiknya dan jangan pernah menggantungkan kepada hasil akhir.”
  • Bhagawad Gita

Monday, August 12, 2019

NGADEP

“Luar biasa beliau, ‘ngadep’ betul sama suaminya”.

Saya sering mendengar ibu berkata demikian saat bercerita tentang seorang perempuan yang tetap setia, berbakti dan memilih memaafkan suaminya yang kerap melukai hatinya dengan berselingkuh.

Itu saat pertama kalinya saya belajar sebuah istilah dan kualitas yang luar biasa. “Ngadep”. Menghadapkan diri dalam kondisi apapun. Sesuatu yang hanya bisa terjadi jika sebuah rasa hasrat cinta telah membara dalam diri seseorang. Sebuah cinta sejati yang berakar dari rasa kebaktian kepada yang lain, yang dengannya ia tetap berbuat baik walau telah disakiti. Seperti bunga mawar yang tetap mengeluarkan wewangian bahkan ketika setiap kelopak bunganya diremukkan.

Ibnu Arabi menyebut fenomena “ngadep” ini sebagai “tawajjuh”. Dalam Al Futuuhaat al Makkiyyah dikatakan, “Hasrat cinta (‘isyq) yang benar akan menghasilkan penghadapan wajah (tawajjuh) dalam pencarian terhadap pihak yang dicintai. Dan penghadapan wajah yang benar akan menghasilkan ketersambungan dari pihak yang dicintai kepada yang mencintai.”

Dengannya saya belajar menjadi lebih memaknai doa pembuka dalam shalat, “inni wajahtu wajhiya lilladzi fatarassamaawati wal ardh”. Sekaligus jadi kelu lidah dan malu saat mengucapkannya menyadari betapa legowonya hati Dia dan betapa sangat memaafkannya Dia mengetahui bahwa doa iftitah yang saya ucapkan kerap kali hanya kata-kata kosong. Saya bilang “aku hadapkan wajahku” tapi saat shalat pikiranku entah lari kemana, cita-citaku entah membumbung kemana, ketakjubanku entah mengarah kemana. Yang pasti bukan pada-Nya. Dia tahu itu. Tapi tetap datang dan setia saat mulut saya mengucap “Allahu Akbar”, karena Dia selalu memenuhi janji. Dia akan datang saat takbir diucapkan tapi akan pergi seiring dengan ketidakkhusyuan hati kita. Duh, Gusti maaf...

Karenanya saya tengah belajar “ngadep”, mulai dengan menghadapkan wajah hati yang benar dalam kekhusyuan shalat, dengannya kita jadi lebih mudah dalam “ngadep” dalam keseharian. Lebih diringankan mengangkat beban hidup yang nampak seberat apapun. Lebih dimudahkan menjalani ujian hidup yang nampak sesulit apapun. Lebih dilapangkan hati menapaki hidup yang nampak sesempit apapun. Semua hanya bisa dengan pertolongan Allah, suatu anugerah yang turun dengan sendirinya ketika kita telah tersambung kepada-Nya. 

Dan “ngadep” - menghadapkan diri kepada takdir hari ini, mensyukuri apa yang ada, berpikir positif, let it go, maafkan, berwajah cerah adalah kunci-kunci untuk mendapatkan ketersambungan dengan-Nya di setiap saat. Sebagaimana Dia yang selalu menyediakan Diri-Nya untuk kita setiap waktu tanpa henti...

Saturday, August 10, 2019

Wukuf di Arafah: Berdiam di Padang Pengenalan

“Al Hajj ‘arafah” sabda Rasulullah saw dalam HR At Tirmidzi. Menggambarkan sebuah korelasi yang signifikan antara keberhajian seseorang dengan pengenalannya atas diri, atas kehidupan dan tentu atas Sang Rabb.

Karena Rasulullah saw pun bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.” “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”

Pengenalan diri ini menjadi landasan yang penting dalam kita membangun peribadatan kepada Allah. Karena tangga menuju-Nya dibangun dari tanah bumi yang dipijak dan yang membentuk diri dan kehidupan masing-masing. Bukan dari yang lain. Dan sama sekali bukan dari yang jauh dari bumi tempat kita pernah dan sedang berpijak.

Semakin seseorang mengenal jati dirinya masing-masing semakin ia akan selektif dalam berteman, membaca buku, memilih pekerjaan, memutuskan kegiatan liburan dan waktu luang dan lain-lain aktivitas yang melingkupi dirinya. Dan yang paling penting. Semakin seseorang mengenali apa pekerjaan yang berasal dari bakat jiwanya, sebuah misi hidup atau kodrat diri yang telah diamanahkan dulu kepadanya. Maka disitulah mata air kebahagiannya akan ditemukan. Yang dengannya jiwanya tidak lagi merasakan dahaga dalam hidup berupa kesepian, kebingungan, kekhawatiran, kebosanan, kemalasan dll rasa yang melemahkan. Karena itulah shiraathal mustaqiimnya. Jarak yang paking dekat mendapatkan ridho dan cahaya Allah melalui kegiatan merahmati buminya masing-masing.

Kebahagiaan yang hakiki itu adalah surga. Oleh karenanya di Hari Arafah, hari saat jati diri dikenali sang hamba akan otomatis terbebas dari neraka kehidupan yanh tak sesuai dan jati diri yang tidak cocok dengan dirinya. Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Tidak ada satu hari pun yang di hari itu Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka daripada hari ‘Arafah. Karena pada hari tersebut Allah turun kemudian membangga-banggakan mereka di depan para malaikat seraya berfirman: ‘Apa yang mereka inginkan? (Pasti akan Aku kabulkan).” (HR. Muslim, hadits no. 2402).

Inilah jalan kebahagiaan yang Allah Ta’ala janjikan bagi mereka yang berserah diri kepada-Nya. Percaya saja kepada Allah. Dia sungguh sudah mengatur semuanya, bahkan dalam hal yang akal kita tak terbayangkan. 

Setiap orang harus sampai di Padang Pengenalannya masing-masing. Sebuah tempat dan fase dimana Allah Ta’ala mengumpulkan hal-hal yang terserak dari diri kita. Sebagaimana Allah mengumpulkan kembali Adam as dan Siti Hawa.

“Awaluddiina ma’rifatullah” - Rasulullah saw

Awal beragama adalah ma’rifatullah. Logis sekali. Jika tidak dilandasi dengan ma’rifatullah maka bangunan agama kita besar kemungkinan salah bangun. Seperti mencoba mempersembahkan sesuatu kepada yang kita cintai tanpa tahu dan mengenal dengan baik apa yang menjadi cita-cita dan kesukaannya. Ketika seseorang beragama hanya dilandaskan oleh keinginan dirinya, bisa jadi apa yang ia lakukan jauh dari apa yang Allah ridhoi, walaupun seolah baik dan hebat di mata manusia.

Hari Arafah merupakan hari diturunkannya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu..” (QS. Al-Maidah : 4).

Di hari pengenalan seseorang bangunan agama mulai teridentifikasi dan pondasi yang tepat mulai dipancangkan. Sebuah jalan spesifik yang Allah ridhoi bagi setiap manusia yang ikhlas dan sungguh-sungguh mencari-Nya.

Wallahu’alam.

Wednesday, August 7, 2019

Utamakan Allah dibanding segalanya.
Utamakan memenuhi hak-hak-Nya dibanding yang lainnya.

Karena jika Dia kita utamakan, niscaya hal-hal lain semuanya akan otomatis tercakup, terjaga, terpelihara. Dunia dan akhirat. Insya Allah.

Fellering, Perancis pukul 5.38 pagi
8 Agustus 2019
Rumi senang sekali diberi koin pecahan 10 sen dari papanya. Kemana-mana koin itu dibawa, katanya kalau ada mainan yang bagus mau dia beli. Sampai pada suatu saat dia baru sadar bahwa uangnya itu tidak cukup untuk membeli bahkan mainan yang paling murah sekalipun.

Pagi ini dia minta diantar ke fountain of wish, di Eropa ada tradisi jika engkau melempar koin ke sebuah kolam yang dianggap keramat, maka keinginanmu akan terkabul. Semacam tindakan bersedekah untuk memancing rezeki dari Tuhan.

Alhamdulillah, anak usia 5 tahun ini sudah tahu cara cerdas untuk bertransaksi dengan Yang Maha Kaya. Yaitu dengan bersedekah.


  • Ketika ditanya apa harapannya kalau dia melempar koin itu. Dia jawab mau beli walkie talkie untuk semua anggota keluarga. Untuk mamanya, papanya, kakaknya juga neneknya di Indonesia. "So i can talk to all my family" imbuhnya.❤

Tuesday, August 6, 2019

Sejarah pernah mencatat keberadaan sebuah bangsa dengan kekuatan fisik yang luar biasa hingga bisa menaklukkan benua Asia, Timur Tengah dan sebagian Eropa bagian timur. Itulah Bangsa Mongol, tentaranya dikenal memiliki kekuatan yang tak terkalahkan, mereka terlatih untuk bisa berkuda ratusan kilometer sehari dengan tanpa istirahat. Dikisahkan kalau ada seorang prajurit Mongol dikeroyok oleh tiga puluh orang, maka orang Mongol itu tetap akan menang.
Namun, sejarah pula mencatat bahwa bangsa penakluk besar itu pernah “ ditaklukkan” oleh tanah jajahannya. Yaitu dimulai ketika Berkhe Khan, cucu dari Genghis Khan memeluk agama Islam. Hal itu diikuti oleh prajurit Mongol lain sehingga hampir seluruhnya bersyahadat. Fenomena ini dalam sejarah dicatat sebagai, “Penakluk yang ditaklukkan oleh tanah jajahannya.”
Apa yang membuat Bangsa Mongol, bangsa yang terkenal kuat dan keras itu menjadi luluh memeluk Islam? Terutama karena akhlak para mukmin yang berada di tanah yang mereka rebut.
Demikianlah kekuatan akhlak. Kekuatan transformasi Ilahiyah dalam diri bisa memancar dayanya hingga menerangi hati orang lain untuk ber-Islam.
Dalam interaksi bermasyarakat atau berumah tangga kita akan diuji oleh perilaku orang  lain yang tidak pantas atau bahkan menyakitkan. Bisa jadi datang dari pasangan kita, anak kita, tetangga, keluarga, pimpinan di kantor atau rekan dalam berbisnis. Inilah jihad yang sesungguhnya. Ketika hawa nafsu lebih cenderung ingin membalas dendam dan menghantam balik, justru kita berjuang untuk meredamnya dan mematikan bara dendam dengan terus berbuat baik. Ketika bara amarah lebih cenderung untuk melampiaskan kemarahan dengan berteriak, memukul meja atau balik berkata-kata tajam, kita berjuang untuk diam sambil istighfar. Ketika hati bergejolak dengan ragam fitnah jahat yang disebarkan dan rasanya ingin membalas dengan mengungkapkan keburukan orang tersebut, kita berjuang untuk memilih membalas dengan elegan dan dengan akhlak yang mulia sambil menutupi aibnya.
Buah dari akhlak yang baik pasti akan bisa dipetik di dunia dan akhirat. Setidaknya bagi diri kita sendiri sudah terasa manfaatnya. Sifat memaafkan, sabar dan tawakal itu lebih menyehatkan diri dibanding marah, balas dendam dan menyimpan kekesalan. Sifat kepemurahan dan welas asih itu justru yang paling efektif memancing rahmat Allah Ta’ ala.
Bersuluk adalah fokus menempa diri sendiri hingga kita tidak dipusingkan oleh kelakukan orang lain di sekitar kita dan dengan dzikir menjalani semua itu manis dan pahitnya hingga semua terasa menjadi manis dalam jiwa kita. Karena apapun yang hadir adalah pemberian langsung dari-Nya.



Mati listrik itu mengesalkan. Apalagi jika matinya di malam hari, jika kita tidak punya generator (genset) maka semua komponen elektronik dalam rumah otomatis lumpuh, tak dapat digunakan. Sambungan wifi hilang, lampu jelas padam, pemanas air tak berfungsi, televisi, radio dll yang membutuhkan  daya listrik untuk bisa difungsikan secanggih apapun benda itu menjadi tidak dapat dinikmati fiturnya jika aliran listrik tidak ada.

Dalam diri kita aliran listrik itu laksana ruh. Ada jenis ruh yang bisa menghidupkan semua komponen tubuh seperti jantung, otak, paru-paru dll hingga kita bisa hidup dan menjalani keseharian. Jenis ruh ini standar diberikan kepada semua manusia hingga batas waktu yang telah ditentukan. Tercatat saat kita dulu masih berbentuk janin usia 120 hari di kandungan ibunda.

Namun ada jenis ruh lain yang harus dikejar bagi mereka yang memiliki keinginan kuat (himmah) untuk mendapatkan ridho Allah. Ruh ini disebut Ruhul-Qudus, utusan tertinggi Allah kepada setiap insan yang telah mencapai titik taubatan nasuha. Dalam Al Quran, insan yang telah meraih ruh tertinggi ini disebut telah beriman dengan iman yang sesungguhnya (iman billah). Dan kategorinya adalah para syuhada dan shiddiqiin. Jelas golongan manusia yang sudah berada di shiraathal mustaqiim.

Kehadiran Ruhul-Qudus ini seperti arus listrik yang menghidupkan sekian banyak potensi di dalam diri kita. Terutama potensi akal untuk mengenal Allah, memahami Al Quran serta membuat manusia menjadi menyadari bahwa tidak ada yang sia-sia dalam kehidupan. Sebuah tingkatan orang yang sudah menyala akal lubbnya dan berkata "Rabbana maa khalaqta haadza baathilaa"

Selama Ruhul-Qudus belum menyala dalam qalb seseorang, manusia belum ajeg pijakan hidupnya. Masih meraba-raba mencari posisi diri dalam konstelasi semesta. Masih menerka-nerka kodrat dirinya apa. Makanya selalu ada dirasa kekosongan dan rasa hampa dalam hati selama seseorang belum Allah pertemukan dengan bidang yang memang miliknya semata.

Seperti fenomena aliran listrik padam dan kita dibuat kelabakan karenanya. Selama Ruhul-Qudus belum Allah nyalakan dalam diri, sesuatu yang disebut dengan "kelahiran kedua" oleh Nabi Isa as. Maka hidup kita akan mudah dibuat kelabakan oleh berbagai fenomena: perseteruan keluarga, gunjang-ganjing rumah tangga, ribut pilpres, heboh harga sembako naik, doa yang belum dikabulkan juga, kehilangan anggota keluarga, musibah yang rentan menerpa kita dsb.

Seumur hidup kita akan dihantam oleh berbagai masalah. Tujuannya agar akal dalam berkembang. Seperti anak sekolah yang diberi ujian agar dia naik tingkat. Ujian pada hakikatnya akan menampakkan keadaan dalam hati kita yang sebenarnya pada saat itu. Sungguh sebuah pertolongan Allah untuk melihat keadaan hati yang terdalam. Jika tidak kita akan terjebak pada waham diri sudah pintar, diri yang shalih, diri sudah beriman dll.

Suluk adalah jalan untuk menaklukkan diri sendiri, meredam amarah, mengendalikan hawa nafsu dan syahwat. Hingga semuanya tunduk berserah diri menjadi muslim. Semakin hati kita bercahaya karena dipoles dan digerinda dalam sungai takdir kehidupan masing-masing yang kita sabar dan ridho menjalaninya. Semakin dekat kita pada saat-saat Allah menyalakan api misbah dalam qalb kita. Agar menyala semua komponen dalam diri yang Allah berikan. Supaya semua itu tidak mubazir. Agar saat kita kembali kepada Allah sudah dengan jiwa yang tenang (nafs muthmainnah).
Semoga...

Sunday, August 4, 2019

Salah besar kalau menganggap kematian adalah hal yang masih jauh hingga kita lalai dalam mempersiapkan diri menjelang alam yang pasti akan dilalui di depan.

Kita menyibukkan diri sedemikian rupa memuaskan gengsi, ego, dan seribu satu keinginan sambil lalai menyertakan Allah di dalamnya, sambil menganggap enteng shalat - sebuah pertemuan khusus antara hamba dengan Sang Pencipta. Ya, kita yang shalat masih dengan shalat dalam tataran raga sementara hawa nafsu, keinginan, emosi dan lain-lain masih berkeliaran liar dalam shalat. Kemudian karena merasa sudah shalat, zakat, ikut puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, pun haji dan umrah sudah beberapa kali, lantas sudah merasa memegang tiket ke surga dan aman menjelang kehidupan di alam barzakh dan berikutnya.

Demi Allah kita sama sekali tidak aman dan mutlak membutuhkan rahmat (pertolongan) Allah Ta’ala. Tapi rasa fakir ini hanya bisa muncul ketika selimut dunia yang menutup qalbu mulai disingkapkan. Hingga cahaya hidayah-Nya mulai menerangi ruang dada (shadr) dan membuat seseorang mulai berjarak hatinya dengan dunia. Ia masih orang yang sama yang berjibaku siang-malam dan bekerja keras, bedanya hatinya tidak dihadapkan kepada hasil-hasil duniawiyah.

Salah besar menganggap kematian akan datang jelang usia tua.

Hari ini saya kehilangan salah satu sahabat kuliah lain. Belumlah genap tiga bulan lalu saya berdiri melakukan shalat gaib bagi sahabat saya Miftah. Malam ini ternyata giliran Nia (Nikmah) dipanggil ke alam berikutnya.

Semua orang kalau mendengar namanya biasanya kompak menyebut tiga kualitas beliau yang sangat menonjol: Pinter banget, pinter banget, dan pinter banget. But above all, Nia adalah orang yang rendah hati, baik dan ringan tangan.

Salah satu pengalaman yang berkesan bersama Nia adalah saat waktu itu saya nebeng kendaraan bersama beliau ke kampus FK Unpad Jatinangor di pagi hari untuk mengikuti ujian Ilmu Kesehatan Anak. Saat datang ke rumahnya dia baru selesai mandi dan bilang sambil agak rusuh, “Aduh Tes, sori ya aku belum siap mana ga sempat baca diktat (fotokopian) lagi!” Dalam hati aku kaget, “Haah, belum baca diktat? Kok iso? Kan ujian tinggal beberapa jam lagi?” Tapi aku tak berkata apa-apa. Tak lama kemudian Nia keluar dari kamar sambil menenteng Text Book Nelson’s Pediatric. Oh, itu sebabnya dia tidak sempat baca diktat, karena belajar langsung dari buku teks. Tak seperti aku...🙀
Kemudian hasilnya memang aku selalu keok ketinggalan dari nilainya yang hampir selalu dapat A.

Setelah pindah ke Amsterdam, Nia pernah berbaik hati mengunjungiku dan anak-anak, menempuh perjalanan jauh dari kota Nijmegen. Beliau waktu itu kabarnya sudah jadi dosen dan konsulen di bagian Ilmu Kesehatan Anak di salah satu perguruan tinggi negeri keren di Indonesia. But you know what? To me she is still the old same Nia. Beliau sikapnya tidak berubah, gayanya masih sederhana seperti dulu. Orang hanya baru tahu kedalaman ilmunya saat berdiskusi dengan dia. Karena memang beliau humble, demikian rendah hati.

Terakhir kami sempat chat online. Nia mengabarkan bahwa tengah mengambil studi lagi di Inggris, kali ini beserta suami dan keluarganya. Tentu aku senang karena Inggris dan Belanda hanya beberapa jam saja naik pesawat. Kami bahkan sempat berjanji untuk bertemu suatu saat nanti. Sayangnya janji itu tak akan pernah terpenuhi.

Hari ini Nia berpulang ke Rahmatullah di London dan kabarnya akan dimakamkan disana.

Maaf belum bisa melayat ya Ni. Alhamdulillah shalat gaib untukmu sudah ditunaikan. Semoga kesaksianku yang sederhana ini bisa membantumu menjelang kehidupan di alam barzakh. Sesuai sabda Rasulullah saw,

 “Orang yang kalian puji dengan kebaikan wajib baginya surga.” (HR Muslim)

Till we meet again, insya Allah❤️
Kita harus sungguh belajar masalah tawakal kepada seekor semut yang pada sebuah riwayat pernah berdialog dengan Nabi Sulaiman as, seorang manusia yang diberi kekayaan dan kekuasaan yang tak pernah dimiliki oleh seorang pun sebelum dan setelahnya.
Suatu hari Nabi Sulaiman yang pemurah itu bertanya kepada seekor semut ihwal berapa banyak makanan yang ia butuhkan untuk hidup setahun? Sang semut menjawab, “ Satu butir gandum wahai rajaku.” Maka disediakanlah satu butir gandum dalam botol untuk kebutuhan kehidupan semut itu untuk setahun. Setelah hampir satu tahun berlalu, Sulaiman as memeriksa lagi isi botol itu dan terkejut ketika mendapatkan bahwa di dalamnya masih terdapat separuh butir gandum. Ia pun bertanya kepada sang semut, dan berikut kira-kira jawaban semut itu.
“ Wahai rajaku, maafkan. Selama ini aku bertawakal kepada Allah ihwal rezekiku. Dan Dia Dzat Yang Maha Memelihara dengan baik, tak pernah luput sedikitpun memberiku penghidupan. Akan tetapi ketika aku mengandalkan dirimu, aku khawatir engkau lupa atau khilaf. Maka aku sisakan separuh gandum itu untuk kelangsungan hidupku sendiri.”
Itulah saat Allah Ta’ ala mengajari Sulaiman as tentang tawakal.
Kita pun demikian. Jika mengandalkan makhluk-Nya maka kekuatan keajaiban kita sebenarnya jadi lemah. Seperti Bani Israil yang tadinya berlimpah mukjizat hingga turun makanan dari langit dan bumi berupa manna dan salwa, tapi semua itu hilang ketika mereka mulai meminta raja dari kalangan manusia, tidak mau mengambil Allah langsung sebagai raja lagi.
Sekarang siapa raja dalam kehidupan kita? Sesuatu yang mengendalikan dan mencengkram diri kita. Barangkali pekerjaan yang kita takut kehilangan atasnya itu. Bisa jadi pasangan yang kita mengandalkan semua kehidupan kepadanya itu. Atau bisnis yang senantiasa kita harapkan dan hitung keuntungan darinya. Padahal perusahaan sebesar apapun bisa kolaps oleh satu krisis ekonomi. Bisnis semelejit apapun bisa pailit dengan sebuah kesalahan management atau persaingan. Pasangan sebaik apapun bisa diguncang skandal dan meninggalkan kita oleh satu dan lain sebab.
Selama hati lebih bersandar kepada hal-hal selain Allah maka praktis pertolongan-Nya menjadi samar. Kita pun otomatis tidak akan mengenal Dia dengan sebaik-baik pengenalan. Karena hati kalau boleh jujur akan lebih gentar, lebih khawatir jika tabungan menipis, bisnis gagal, atau dunianya dijungkir balikkan sedemikian rupa.
Sekian puluh tahun kita hidup di dunia, kita ternyata belum fasih untuk sekadar menjawab pertanyaan para malaikat kubur yang pasti akan kita temui dengan pertanyaan “ Man Rabbuka?”, “ Siapa Tuhanmu?”. Karena kerapnya kegalauan hati kita, keburu-buruan hawa nafsu kita dan kekurang tawakalan hati kita membuat kita mengganti daerah kekuasaan Tuhan dengan tuhan-tuhan lain yang sama sekali tidak sepadan. Na’ udzubillah.

Ada yang bertanya bagaimana hukumnya meminta pertolongan kyai untuk mencabut sihir atau guna-guna yang dikirim orang lain?

Saya jawab, kalau saya lebih mendahulukan minta tolong kepada Allah dibanding siapapun. Karena demikianlah adabnya.

Minta doa kepada orang shalih boleh-boleh saja tapi jangan malah menjadikan mereka berkuasa lebih dari Allah dalam mencabut ujian yang hadir dalam hidup kita berupa guna-guna atau santet.

Kaidahnya jelas dalam Al Quran:
 “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka" Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. (QS. Al Hijr : 39 – 42)

Ketidakikhlasan adalah pangkal penyebab kita terkena sihir. Barangkali hati masih mencari pangkat, masih dendam, masih cinta dunia dll. Hal-hal itu yang menjadi kunci masuknya kekuatan jahat.

Maka kuncinya sederhana, bertaubatlah dengan benar. Allah Kuasa melakukan apapun juga. Melebihi kuasa manusia sesakti apapun di muka bumi. Itulah tauhid yang benar dan aman bagi jiwa dan hati kita serta pertanggungjawabannya di akhirat nanti.
Wallahu'alam

Saturday, August 3, 2019

Berkomunikasi itu hal yang tidak mudah. Apalagi jika komunikasi antar dua orang dengan bahasa yang berbeda. Saya sudah merasakan berkomunikasi dengan orang Korea, orang Jepang, orang Tiongkok, orang Ethiopia, orang Belgia dan orang Perancis yang kurang fasih berbahasa Inggris dan memang repot, tak jarang harus memakai bahasa isyarat untuk bisa menyampaikan pesan yang kita maksudkan.

Kemampuan akal yang baik diperlukan agar dapat berkomunikasi dengan baik, tidak hanya lintas bahasa tapi juga pada tahap berikutnya menangkap hal-hal yang halus tak terucapkan. Untuk yang terakhir ini kapasitas akal batin yang perlu ditingkatkan.

I can’t help but to think. Kalau komunikasi antara sesama manusia saja sudah diperlukan kemampuan, latihan dan akal yang baik. Bagaimana kiranya kita bisa memahami bahasa dan isyarat dari Sang Maha Pencipta? Padahal setiap hari doa yang kita panjatkan setidaknya 17 kali dalam sehari dalam shalat itu “ihdina shiraathal mustaqiim”, memohon agar ditunjukkan ke jalan kehidupan kita masing-masing yang Allah ridhoi. Kemudian ketika Dia berkata-kata pasti akan menyesuaikan dengan kapasitas akal sang hamba. Seperti halnya tidak mungkin memberi instruksi yang sama pada seorang anak usia 4 tahun dan orang yang sudah dewasa dan sehat akalnya.

Dan sungguh Dia selalu merespon setiap doa kita yang kadang abal-abal itu, itu akhlak-Nya yang Maha Mulia. Dengan berbagai cara, dengan berbagai simbol, dengan berbagai derajat komunikasi. Hanya memang selama kemampuan akal kita tidak meningkat maka akan selalu terjadi “missed-communication” dengan-Nya. Dia bilang ke kiri, kita malah ke kanan. Dia bilang tunggu dulu, kita malah tancap gas. Dia bilang istirahat dulu, kita malah ingin kelayapan sana-sini. Repot. Akhirnya kita yang kelimpungan memahami semua fenomena kehidupan, apa makna musibah, apa hikmah di balik kebingungan dan rasa nelangsa ini?

Sebagaimana pepatah mengatakan “when in Rome do what the Romans do”. Mirip dengan pepatah, “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Kita harus sadar diri sebagai “tamu” dalam kehidupan ini dimana semua yang kita miliki adalah pinjaman dari Sang Maha Pencipta. Maka berusahalah untuk memahami apa karsa Dia yang meminjamkan semua ini, karena ada maksud kita dicipta dengan bentuk, potensi, kegemaran dan bakat yang berbeda-beda. Apa maksudnya? Agar kita tidak tenggelam dalam samudera dunia, agar kita tidak terlalaikan dalam penggal usia dunia yang sangat singkat ini, agar wajah hati kita cerah menjalani setiap episode kehidupan yang bervariasi. Itulah salah satu mengapa kita bertanya “ihdina shiraathal mustaqiim” agar hidup jadi lebih dimaknai. Wallahu’alam