Friday, August 30, 2019

Pagi ini saya lihat seorang ibu menyeret-nyeret anaknya yang tengah mogok berjalan kaki. Padahal sudah tinggal beberapa langkah saja di depan kelas. Di tangan kanan ibu itu terkalung tas sekolah, boneka sambil tangannya menarik keras tangan anak lekakinya yang tengah berulah. Sementara tangan kirinya menggendong anak bungsunya yang baru bisa berjalan. Riweuh pisan - kalau kata orang Sunda - melihatnya.

Jam menunjukkan 8.29 pagi.
Satu menit menjelang bel sekolah.
Saya bisa melihat dan merasakan emosi yang meluap dari sang ibu. Ditariknya si anak yang tengah mogok keras-keras lalu mukanya didekatkan kepada muka si anak sambil berkata was-wes-wos dalam Bahasa Belanda dengan lantang, kira-kira meminta si anak untuk berhenti berulah dan agar nurut sama ibunya.

Bisa diduga, reaksi anak menghadapi luapan emosi seperti itu bukannya tenang tapi dia malah nangis. Makin "keritinglah" si ibu. Ditinggalkannya si anak masih dalam keadaan menangis. Ia berjalan di depan saya. Kami berputar ke arah jendela luar untuk melakukan ritual dadah-dadahan plus "kiss bye". Ritual yang hanya dikerjakan untuk anak2 TK, soalnya kalau sudah umur 7 tahun seperti abangnya sudah ngga seru didadahin juga dianya cool gitu, kurang antusias🥶

Kembali ke si ibu itu. Dia tampak berusaha menenangkan anaknya yang tangan mungilnya menggapai-gapai keluar dari celah jendela. Tak lama ketika si ibu sedang sibuk membelai-belai anaknya ini, anaknya yang lain yang jalannya masih seperti pinguin itu setengah berlari bermaksud mendekati kakaknya tapi kemudian terjatuh tak jauh dari ibu itu dengan wajah membentur paving block, ouch! Si ibu langsung melepas anaknya yang belum tenang betul dan mencoba meraih anak lain yang terjatuh sambil membawa beban tas sekllah, boneka dan sepeda roda tiga di sebelahnya. Dari mulutnya terucap kata-kata keluhan, kira-kira dia bilang "Oh, what a day!"

Jam baru menunjukkan 8.37 pagi. Aktivitas pagi baru saja dimulai. Tapi sepertinya sudah menyerap energi sekian banyak buat ibu itu, seakan telah bekerja seharian.
Saya melihatnya sambil berkata dalam hati, "i feel you, mother".

Mengurus anak kecil itu memang menguras banyak perhatian dan tenaga. Pokoknya total blood, swear and tears deh. Kalau saya renungkan kembali, saat-saat dimana emosi sering meledak adalah ketika kondisi hati sedang tidak prima. Kalau hati sedang kalut, celotehan anak yang biasanya dianggap lucu jadi nyebelin. Kalau hati sedang bergejolak, rengekan anak yang biasanya ditanggapi tenang jadi mencetuskan bentakan dan amarah. Ibaratnya kulit yang sedang meradang atau ada bisulnya, dibelai sayang pun terasa sebagai sebuah siksaan🤯

Demikianlah betapa respon kita terhadap kehidupan sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan hati. Sesuatu yang sering luput dirawat. Padahal kalau merawat tubuh rajin sekali, setiap hari dimandikan, tambah luluran kalau perlu, juga olah raga dan makan yang sehat. Tapi hati? Kapan dia diberi makan? Kapan dia olah raga? Kapan dia dimandikan?

Disitulah syariat agama lahir untuk membantu vitalitas hati manusia. Supaya menjelang hari tidak dengan wajah yang muram. Bukankah Tuhan menciptakan manusia agar berbahagia? Jadi kalau murung, cemberut, misuh-misuh apalagi teriak-teriak marah, something is wrong with us. Bukan salah takdir. Bukan salah anak yang nangis. Bukan  salah siapa-siapa. It's all on us.

Lewat ujian kehidupan hati diajak berolahraga.
Lewat syahadat, shalat, zakat, sedekah, shaum, haji hati dibersihkan.
Lewat Al Quran -sumber ilmu- hati diberi makan.

Sebagaimana kita rajin mengurus badan, maka mestinya rajin pula mengurus hati. Supaya hatinya ngga bisulan, jadinya misuh-misuh terus, merasa tak ada gairah dan semangat dan luput mensyukuri penggal-penggal kehidupan yang indah ini bersama-Nya.

Wallahu'alam😍

No comments:

Post a Comment