Sunday, August 4, 2019

Kita harus sungguh belajar masalah tawakal kepada seekor semut yang pada sebuah riwayat pernah berdialog dengan Nabi Sulaiman as, seorang manusia yang diberi kekayaan dan kekuasaan yang tak pernah dimiliki oleh seorang pun sebelum dan setelahnya.
Suatu hari Nabi Sulaiman yang pemurah itu bertanya kepada seekor semut ihwal berapa banyak makanan yang ia butuhkan untuk hidup setahun? Sang semut menjawab, “ Satu butir gandum wahai rajaku.” Maka disediakanlah satu butir gandum dalam botol untuk kebutuhan kehidupan semut itu untuk setahun. Setelah hampir satu tahun berlalu, Sulaiman as memeriksa lagi isi botol itu dan terkejut ketika mendapatkan bahwa di dalamnya masih terdapat separuh butir gandum. Ia pun bertanya kepada sang semut, dan berikut kira-kira jawaban semut itu.
“ Wahai rajaku, maafkan. Selama ini aku bertawakal kepada Allah ihwal rezekiku. Dan Dia Dzat Yang Maha Memelihara dengan baik, tak pernah luput sedikitpun memberiku penghidupan. Akan tetapi ketika aku mengandalkan dirimu, aku khawatir engkau lupa atau khilaf. Maka aku sisakan separuh gandum itu untuk kelangsungan hidupku sendiri.”
Itulah saat Allah Ta’ ala mengajari Sulaiman as tentang tawakal.
Kita pun demikian. Jika mengandalkan makhluk-Nya maka kekuatan keajaiban kita sebenarnya jadi lemah. Seperti Bani Israil yang tadinya berlimpah mukjizat hingga turun makanan dari langit dan bumi berupa manna dan salwa, tapi semua itu hilang ketika mereka mulai meminta raja dari kalangan manusia, tidak mau mengambil Allah langsung sebagai raja lagi.
Sekarang siapa raja dalam kehidupan kita? Sesuatu yang mengendalikan dan mencengkram diri kita. Barangkali pekerjaan yang kita takut kehilangan atasnya itu. Bisa jadi pasangan yang kita mengandalkan semua kehidupan kepadanya itu. Atau bisnis yang senantiasa kita harapkan dan hitung keuntungan darinya. Padahal perusahaan sebesar apapun bisa kolaps oleh satu krisis ekonomi. Bisnis semelejit apapun bisa pailit dengan sebuah kesalahan management atau persaingan. Pasangan sebaik apapun bisa diguncang skandal dan meninggalkan kita oleh satu dan lain sebab.
Selama hati lebih bersandar kepada hal-hal selain Allah maka praktis pertolongan-Nya menjadi samar. Kita pun otomatis tidak akan mengenal Dia dengan sebaik-baik pengenalan. Karena hati kalau boleh jujur akan lebih gentar, lebih khawatir jika tabungan menipis, bisnis gagal, atau dunianya dijungkir balikkan sedemikian rupa.
Sekian puluh tahun kita hidup di dunia, kita ternyata belum fasih untuk sekadar menjawab pertanyaan para malaikat kubur yang pasti akan kita temui dengan pertanyaan “ Man Rabbuka?”, “ Siapa Tuhanmu?”. Karena kerapnya kegalauan hati kita, keburu-buruan hawa nafsu kita dan kekurang tawakalan hati kita membuat kita mengganti daerah kekuasaan Tuhan dengan tuhan-tuhan lain yang sama sekali tidak sepadan. Na’ udzubillah.

No comments:

Post a Comment