Salah besar kalau menganggap kematian adalah hal yang masih jauh hingga kita lalai dalam mempersiapkan diri menjelang alam yang pasti akan dilalui di depan.
Kita menyibukkan diri sedemikian rupa memuaskan gengsi, ego, dan seribu satu keinginan sambil lalai menyertakan Allah di dalamnya, sambil menganggap enteng shalat - sebuah pertemuan khusus antara hamba dengan Sang Pencipta. Ya, kita yang shalat masih dengan shalat dalam tataran raga sementara hawa nafsu, keinginan, emosi dan lain-lain masih berkeliaran liar dalam shalat. Kemudian karena merasa sudah shalat, zakat, ikut puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, pun haji dan umrah sudah beberapa kali, lantas sudah merasa memegang tiket ke surga dan aman menjelang kehidupan di alam barzakh dan berikutnya.
Demi Allah kita sama sekali tidak aman dan mutlak membutuhkan rahmat (pertolongan) Allah Ta’ala. Tapi rasa fakir ini hanya bisa muncul ketika selimut dunia yang menutup qalbu mulai disingkapkan. Hingga cahaya hidayah-Nya mulai menerangi ruang dada (shadr) dan membuat seseorang mulai berjarak hatinya dengan dunia. Ia masih orang yang sama yang berjibaku siang-malam dan bekerja keras, bedanya hatinya tidak dihadapkan kepada hasil-hasil duniawiyah.
Salah besar menganggap kematian akan datang jelang usia tua.
Hari ini saya kehilangan salah satu sahabat kuliah lain. Belumlah genap tiga bulan lalu saya berdiri melakukan shalat gaib bagi sahabat saya Miftah. Malam ini ternyata giliran Nia (Nikmah) dipanggil ke alam berikutnya.
Semua orang kalau mendengar namanya biasanya kompak menyebut tiga kualitas beliau yang sangat menonjol: Pinter banget, pinter banget, dan pinter banget. But above all, Nia adalah orang yang rendah hati, baik dan ringan tangan.
Salah satu pengalaman yang berkesan bersama Nia adalah saat waktu itu saya nebeng kendaraan bersama beliau ke kampus FK Unpad Jatinangor di pagi hari untuk mengikuti ujian Ilmu Kesehatan Anak. Saat datang ke rumahnya dia baru selesai mandi dan bilang sambil agak rusuh, “Aduh Tes, sori ya aku belum siap mana ga sempat baca diktat (fotokopian) lagi!” Dalam hati aku kaget, “Haah, belum baca diktat? Kok iso? Kan ujian tinggal beberapa jam lagi?” Tapi aku tak berkata apa-apa. Tak lama kemudian Nia keluar dari kamar sambil menenteng Text Book Nelson’s Pediatric. Oh, itu sebabnya dia tidak sempat baca diktat, karena belajar langsung dari buku teks. Tak seperti aku...🙀
Kemudian hasilnya memang aku selalu keok ketinggalan dari nilainya yang hampir selalu dapat A.
Setelah pindah ke Amsterdam, Nia pernah berbaik hati mengunjungiku dan anak-anak, menempuh perjalanan jauh dari kota Nijmegen. Beliau waktu itu kabarnya sudah jadi dosen dan konsulen di bagian Ilmu Kesehatan Anak di salah satu perguruan tinggi negeri keren di Indonesia. But you know what? To me she is still the old same Nia. Beliau sikapnya tidak berubah, gayanya masih sederhana seperti dulu. Orang hanya baru tahu kedalaman ilmunya saat berdiskusi dengan dia. Karena memang beliau humble, demikian rendah hati.
Terakhir kami sempat chat online. Nia mengabarkan bahwa tengah mengambil studi lagi di Inggris, kali ini beserta suami dan keluarganya. Tentu aku senang karena Inggris dan Belanda hanya beberapa jam saja naik pesawat. Kami bahkan sempat berjanji untuk bertemu suatu saat nanti. Sayangnya janji itu tak akan pernah terpenuhi.
Hari ini Nia berpulang ke Rahmatullah di London dan kabarnya akan dimakamkan disana.
Maaf belum bisa melayat ya Ni. Alhamdulillah shalat gaib untukmu sudah ditunaikan. Semoga kesaksianku yang sederhana ini bisa membantumu menjelang kehidupan di alam barzakh. Sesuai sabda Rasulullah saw,
“Orang yang kalian puji dengan kebaikan wajib baginya surga.” (HR Muslim)
Till we meet again, insya Allah❤️
No comments:
Post a Comment