Wednesday, August 30, 2023

 "Orang-orang yang beriman dan beramal saleh pasti akan Kami masukkan mereka dalam (golongan) ash shalihiin" QS Al Ankabuut [29]:9


Siapa itu golongan yang disebut ash shalihiin?
Mereka adalah orang-orang yang ada di shiraathal mustaqiim.

Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, ash shiddiqiin, asy syuhada, dan ash shalihiin. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An Nisaa' [4]:69)

Kemudian di banyak ayat dalam Al Quran amal shalih itu disandingkan setelah iman. Jadi iman adalah landasan seseorang beramal shalih. Dengan kata lain beramal shalih tidak sesederhana berbuat kebaikan, tapi mengerjakan apa yang Allah tugaskan. Si hamba paham apa yang Allah tugaskan karena di dalam hatinya sudah menyala cahaya iman yang dengannya ia mulai memahami petunjuk Allah Ta'ala. Orang yang terbiasa mengerjakan amal shalih itulah yang diharapkan masuk ke golongan ash shalihiin. Ada di shiraathal mustaqiim. Doa yang kita panjatkan setiap shalat dalam untaian surat Al Fatihah, "ihdina shiraathal mustaqiim".

Amal shalih ini sebenarnya investasi utama kita. Tidak setiap orang punya uang berlebih, tidak semua orang punya orang tua yang kaya, tidak semua orang punya pekerjaan bergaji tinggi, tidak semua orang sukses besar bisnisnya. Tapi Allah itu adil, yang namanya kedamaian dan kebahagiaan itu tak ada sangkut pautnya dengan uang, properti yang berderet, kesuksesan dunia, popularitas dll. Bisa jadi tambah uang, tambah jabatan malah tambah pusing. Keluarga berantakan, shalat awut-awutan, boro-boro menikmati munajat dengan Allah. Di akhir hidupnya, dia hanya dibuat lelah dengan berlari-lari di fatamorgana hingga ajal menjemput dia tidak siap dengan bekal untuk menjelang alam berikutnya.

Amal shalih itu kunci kebahagiaan hidup kita dan itu dijamin oleh Allah Ta'ala dalam Al Quran, surat An Nahl ayat 97,

"Barangsiapa beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Dan siapa yang lebih baik dalam menunaikan janji selain dari Allah Ta'ala. Maka buktikanlah, cari amal shalih kita dengan bismillah.[]

Saturday, August 26, 2023

 “It’s only a matter of time before doctors become replaced by artificial intelligence (AI)” kata Yuval Noah Harari ketika diwawancara oleh BBC dalam rangka peluncuran bukunya “21 lessons for the 21st century”. Saya tidak setuju dengan dia. Sama halnya saya tidak setuju dengan pendapatnya di buku Sapiens bahwa kita manusia adalah Homo Sapiens.


Kalaupun AI bisa mengolah semua data mengenai kondisi tubuh manusia seperti tanda-tanda vital, bioritme dll, itu masih puncak dari gunung es dari keadaan yang sebenarnya, karena manusia adalah makhluk yang bukan sekadar raga yang terdiri dari sekumpulan organ dan sistem. Manusia punya jiwa dan ruh. Manusia punya pikiran dan emosi dan perasaan. Semuanya mempengaruhi state of well-being seorang manusia.


Mungkin kalau sekadar mengatasi gejala penyakit yang ada, AI masih bisa diandalkan. Sakit kepala? Ini obatnya. Sakit perut? Minum ini. Sakit pinggang? Ambil ini. Tapi memori saya masih kuat menjejak saat mendengar kuliah umum etika kedokteran untuk para mahasiswa kedokteran baru yang disampaikan oleh almarhum Prof. Rully Roesly dulu , beliau mengatakan bahwa kemampuan menjadi dokter terutama ditentukan oleh anamnesa yang baik. Lebih dari 70% akurasi diagnosis itu dari anamnesa yang baik. Anamnesa adalah sesimpel wawancara dokter kepada pasien. Dia membutuhkan kemampuan komunikasi, kemampuan mendengarkan dan empati yang baik. Lebih dari itu seorang dokter yang memiliki hati yang hidup akan bisa menangkap  hal-hal yang jauh lebih dalam. Sesuatu yang tak akan mungkin dijangkau oleh AI karena mereka tak punya hati.


Saya jadi ingat pengalaman pernah kerja di sebuah klinik di daerah Cicalengka di sekitar tahun 2002-2003 dulu. Klinik itu selalu ramai oleh pasien yang jumlahnya ratusan di pagi dan sore sampai malam hari. Maklum dengan anya merogoh kocek 12ribu rupiah saja pasien sudah bisa konsultasi dengan dokter plus mendapat paket obat. Memang senang bisa banyak menolong orang, tapi saya sering tidak puas dalam melakukan anamnesa. Karena bagaimanapun proses anamnesa membutuhkan waktu, dan setiap kali saya mencoba menggali lebih jauh riwayat penyakitnya si petugas administrasi sedikit-sedikit memberi sinyal “jangan kelamaan dok, pasien masih banyak yang antri”. Nah, serba salah. Akhirnya diagnosa langsung ditegakkan berdasarkan data yang terbatas. Mungkin si pasien akan merasa sembuh dengan berbagai pereda sakit atau obat-obat simtomatik. Tapi hanya masalah waktu keluhannya berulang jika akar penyakit itu tidak kita temukan.


Kondisi itu juga yang memutuskan saya pindah ke klinik yang lebih sepi di Purwakarta. Di sana saya bisa leluasa menganamnesa pasien. Saya jadi tahu bahwa di balik sering kambuhnya eksim seorang nenek tua ada hubungannya dengan konflik dengan mantunya. Saya jadi memerhatikan bahwa di balik serangan maag yang berulang pada seorang ibu ternyata bersumber pada ricuh di rumah tangganya. Saya jadi paham bahwa di balik sakit panu yang berulang ternyata bapak ini punya kecenderungan diabetes dan beliau susah mengontrol makanan karena makan makanan yang enak adalah media pelampiasan dia dari ketegangan yang ada di rumah tangganya.


Manusia itu memang kompleks. Tidak seperti memperbaiki robot. Begitu banyak dinamika yang terjadi di dalam semesta diri manusia. Ada tiga alam yang membentuk seorang manusia. Raga dalam alam mulk, jiwa dari alam malakut, ruh dari alam jabarut. Dan itu saya yakin sampai kapanpun tak akan pernah bisa terjangkau oleh AI. It is not that intelligent afterall…

Wednesday, August 9, 2023

 Renungkanlah ini.

Berpikir baik itu ibadah kepada Tuhan.

Berbuat baik itu ibadah kepada Tuhan.

Memancarkan sifat-sifat kebaikan-Nya seperti memaafkan, membukakan jalan, menafkahkan sesuatu, memberi kelapangan, membersihkan, merapikan, menyembuhkan, bersabar dll  adalah sebuah ibadah kepada Tuhan.

Mengingat-Nya di pagi hari, memohon ampunan-Nya, meminta perlindungan-Nya, meminta petunjuk-Nya bahkan dalam perkara meminta garam, memilih menu masakan, memilih rumah, memilih jodoh, memilih proyek, memilih pekerjaan dll adalah ibadah kepada Tuhan.


Kita beribadah kepada Tuhan untuk mendapatkan curahan sifat-sifat baik-Nya. Maka tanda seseorang semakin dekat kepada Allah pasti akhlaknya semakin mulia karena sifat-sifat Allah makin terpantul dari qalbnya dan mewarnai tindakannya sehari-hari.


Kita beribadah kepada Allah agar penglihatan kita disinari oleh daya penglihatan-Nya. Agar kita jadi lebih bisa melihat kebenaran, lebih bisa meraup ilmu dan pelajaran di balik setiap takdir yang Dia tetapkan sehari-hari. Maka tanda ibadah seseorang benar pastilah dia makin mensyukuri kehidupannya. Dan orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang ada di shiraathal mustaqiim. Sesuatu yang kita minta setiap shalat.


Kita beribadah adalah untuk meraih hikmah. Kebijaksanaan yang didasarkan atas ilmu yang benar tentang Tuhan, Sang Pencipta. Karena pada akhirnya yang kita tuju dari semua ibadah kita adalah sebuah kedekatan dengan Sang Pencipta. Sang cinta pertama jiwa kita yang sudah terukir kuat sejak perjanjian di saat Tuhan bertanya “alastu birabbikum” - bukankah Aku Rabb-mu? Masih bersaksikaj kita bahwa adalah Dia yang selalu ada, adalah Dia yang selama ini memeberi rezeki, adalah Dia yang mengurus orang tua dan anak-anak kita, adalah Dia yang mengaturkan jasad, adalah Dia yang mengaturkan segenap takdir kehiduoan kita hingga tak ada satu keping pun yang sia-sia.

Simpan jawabannya saat nanti berpindah ke alam barzakh untuk menjawab pertanyaan para malaikat yang menyambut kita dengan “Man Rabbuka?”

- terinspirasi dengan tausiyah dari Muhammad Raheem Bawa Muhaiyyaddeen