Wednesday, September 27, 2023

 Manusia sangat serius mempersiapkan masa depan kehidupannya.

Tentang rencana kuliah

Tentang rencana karir

Tentang rencana menikah

Tentang rencana punya anak

Tentang rencana pendidikan anak

Tentang rencana keluar negeri

Tentang rencana lamaran anaknya

Tentang rencana menyambut cucu


And so on and so forth

And endless loop of desire


Tapi, jarang sekali yang sungguh-sungguh merencanakan hal yang paling dekat dengannya, yaitu kematian.

Apa yang sudah dipersiapkan untuk menjelang kehidupan setelah mati?


Amsterdam, 27 Sept 2023

16.07 sore hari menunggu Rumi main sepakbola

Tuesday, September 26, 2023

 Allah Ta'ala berjanji "Berdoalah kepadaKu, niscaya akan kuperkenankan bagimu." (QS. Al-Mukmin:60)


Ayatnya jelas dan lugas. Tapi kenapa saya kerap merasa meminta sesuatu kok tidak kontan diberikan? 

Saya mohon ingin menikah dengan si A tidak kesampaian.

Saya meminta agar kerja di perusahaan B yang kelihatannya keren itu tapi tidak dibukakan juga jalannya.

Saya meratap ingin dibebaskan dari utang, tapi bertahun-tahun sepertinya masih berkubang di lubang yang sama.


Kenapa? Apakah Allah tidak menepati janji?

Ah tidak mungkin. Hati berkata.

Tapi kenapa permintaanku tidak dikabulkan saja?


Begitulah, kita kemudian merasakan konflik batin bahkan tak jarang keraguan mulai menyeruak. Benarkah Dia Dzat Yang Maha segalanya? Kok minta uang sepuluh juga saja susah. Seolah Tuhan tidak lagi bisa praktis menjawab persoalan keseharian kita.


Apa yang salah?


Jelas bukan salah Tuhan. tapi kita yang belum tepat dalam memandang dan membaca kehidupan.


Untuk memahami apa yang terjadi kita mesti ingat bahwa Allah itu Ar Rahman dan Ar Rahim. Cinta kasih kepada semesta ciptaan-Nya mewarnai kehidupan. Karenanya suatu permintaan akan dikabulkan jika itu membawa kebaikan dunia dan akhirat bagi si hamba. Dan yang paling tahu hanya Allah Ta'ala. 

Oleh karenanya panduan Al Quran jelas tatkala menghadapi hal yang kita sukai atau hal yang tidak kita sukai,


"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).


Dan konteks ayat ini didahului dengan kewajiban berperang. Diantaranya peperangan di dalam diri tentang persepsi baik dan buruk, serta hal yang dibenci atau yang disukai. Lalu ayat itu ditutup dengan pernyataan yang tegas, "Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui". Maka terkait sebuah permohonan dan doa yang sepertinya tidak terkabul atau tertunda. Percayalah bahwa semua dalam pengaturan Allah Ta'ala yang terbaik. Tinggal kuatkan kesabaran menjalaninya dan mensyukuri apa yang ada. Karena kebersyukuran akan membuka pintu rezeki di depan kita. Sebab bisa jadi sesuatu pemberian itu dihalangi oleh hijab hati atau ketidaksiapan kita dalam menerimanya. 


Tetaplah berdoa. Tapi jangan semata-mata ukur kesuksesan doa itu hanya dengan terkabulnya keinginan kita dengan kehilangan pandangan hati kepada Sang Pemberi. Jadilah seperti Nabi Zakariya yang walaupun berdoa konon hingga 60 tahun lamanya menunggu terkabulnya doa dan tetap berkata dengan penuh keyakinan "Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku" QS Maryam: 4 []


- Amsterdam, Rabu 27 September 2023

00.32 malam

Tuesday, September 19, 2023

 Ada hukum dan aturan dalam kehidupan yang sangat kokoh

Demikian kokohnya sampai sekuat apapun keinginan dan upaya kita untuk menerobos bahkan menembusnya sekalipun tidak akan pernah berhasil jika apa yang kita inginkan itu tidak tertulis di Lauh Mahfudz, it was not meant to be.
Tentang hal ini ada seorang pemuda yang datang kepada Rasulullah saw meminta agar didoakan oleh sang Nabi saw agar dirinya bisa berjodoh dengan seorang perempuan dambaan hatinya. Bukankah doa nabi adalah makbul? Mungkin begitu pikir si pemuda itu. Yang tidak disangka, Rasulullah tidak langsung mendoakan, malah memberi nasihat bahwa kalaupun beliau beserta seluruh penghuni langit mendoakan - dengan kata lain doa yang kuat sekalipun dan all out - tapi kalau ihwal perjodohan dengan si perempuan itu tidak ada tulisannya di Lauh Mahfudz maka tak akan pernah terjadi.
Jadi ada hal lain dalam kehidupan yang mesti kita telaah. Makanya hidup itu tidak bisa ngoyo, kita akan sakit sendiri dan patah karena terlalu memaksakan kehendak diri tanpa pernah mencoba membaca apa kehendak-Nya.
Itulah pentingnya belajar agama. Pentingnya mempelajari Al Quran. Pentingnya membuka khazanah keilmuan dasar tentang apa kehidupan ini dan bagaimana aturan mainnya. Agar kita tidak pontang-panting mencari-cari jalankeluar sendiri tapi hanya sekadar berputar-putar di dalam labirin yang seolah tak bertepi. Seumur hidup terlalu mengandalkan kemampuan diri, kemampuan pasangan, kekayaan, tabungan, karir yang menjanjikan, posisi yang mentereng, popularitas yang sedang bersinar, bantuan keluarga, warisan orang tua dll. Tapi Tuhan. Dia jadi nomor sekian, sekadar jeda shalat diantara kesibukan mencari dunia - pun sekadar menggugurkan kewajiban. Bebas dari rasa bersalah atau takut sama mertua atau apa kata orang kalau dilihat tidak shalat.
Di alam mulkiyah ini kita tinggal menjalani apa yang telah Dia tetapkan. Pilihannya hanya bersuka cita (tau'an) atau terpaksa (karhan) melakukannya (QS Fushshilat:11). Kesukacitaan itu yang membuat khazanah jiwa mengembang menjadi tujuh langit.
Suka cita menerima takdir hari ini, walaupun masih terasa pedih dikhianati orang dekat. Sakitnya tuh disini. Tapi keyakinan bahwa di balik segala yang terjadi pasti ada hikmahnya membuat dia bisa menelan pil pahit itu, semoga berkhasiat menjadi pensuci jiwa.
Suka cita menerima kenyataan keadaan hari ini. Walaupun berat rasanya, tapi dia tetap ber-husnodzon bahwa Tuhannya menyimpan berlimpah kebaikan jika dia bersabar melalui ini semua. Semua akan indah pada saatnya.
Sukacita menjalani kondisi fisik yang sakit. Walaupun sakitnya kadang tak tertahankan sambil meringis pedih, tapi keyakinannya kepada keadilan Sang Pencipta dan kehidupan yang lebih baik di alam berikutnya memompa semangatnya untuk terus menjalani episode ini dengan sebuah kesukacitaan di hatinya.
Hidup itu ada arah dan orientasinya. Keberadaan kita dalam penggal waktu yang singkat ini pun demikian. Ada tujuan dan misi sucinya. Kita bukan sekadar makhluk yang sekadar numpang lewat, hidup, bernafas, berkembang biak, meraih kenyamanan hidup dan selesai. Setiap manusia punya fitrah mengejar makna hidup. Tapi hidup baru bisa dimaknai jika kita memahami apa maksud semua ini, kenapa aku dilahirkan di orang tua yang itu? Kenapa dalam raga yang ini? Kenapa pernah mengalami ini dan itu? Kenapa ini? Kenapa itu? Semua pengetahuan kita tentang diri sendiri dan seluruh takdir yang melingkupinya adalah anak tangganya untuk mengenal siapa Sang Rabb, yang mendesain itu semua. Hanya dengan perspektif itu maka kita mulai bisa melihat pola yang tertampilkan dengan berbagai warna kehidupan yang telah terjadi. Dengannya episode gelap sekalipun membentuk keping puzzle tertentu yang melengkapi sebuah gambaran yang utuh. Yang tanpa keping itu kita tidak pernah menjadi orang yang utuh. Yang terjadi sudah berlalu. It's done. Keburukannya kita istighfar, kebaikannya kita syukuri. And we move on. Baca terus kitab kehidupan kita. Itu cara bersyukur. Karena tak ada yang bisa mengagungkan kehidupan kita kecuali diri kita sendiri.
Hidup itu ada arahnya. Yaitu untuk mengenal Sang Pencipta dari mulai level asma-asma, sifat dan perbuatan-Nya. Di alam ini, kita belajar membaca siapa Dia dari semua ciptaan-Nya yang diorkestrasi demikian teliti dan detil sejak zaman azali.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemehakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur” (QS Luqmaan: 31).

Tuesday, September 12, 2023

 Mudahnya Hidup Bersama Tuhan

Dua tahun ini saya berkecimpung di dunia life coaching dengan menghadapi berbagai klien baik dari Indonesia ataupun sekitar Eropa. Di saat yang bersamaan saya pun mengampu komunitas mengkaji Al Quran dan melayani sahabat-sahabat dengan berbagai pertanyaannya sejak tahun 2016. Kalau saya bandingkan dua model life coaching yang mengandalkan ilmu-ilmu berbasis psikologi, sosiologi, neurologi sebagai pendekatan untuk membaca suatu persoalan dengan pendekatan mentoring agama adalah dua hal yang berbeda. Jauh berbeda. Di pendekatan yang berbasis ilmu dunia kita tidak bicara tentang Tuhan. Bahkan dalam mata kuliah yang berkaitan dengan hal-hal yang metafisika sekalipun akademi coaching tempat saya mendapatkan sertifikat menghindarkan menyebut "Tuhan" dan menggantinya dengan "Spiritual Being", "Consciousness", "Awareness", "Universe" dsb. Pokoknya seperti mengakui ada kekuatan dahsyat di luar jangkauan nalar manusia tapi malu-malu atau takut menyebut itu Tuhan.
Memang Allah Ta'ala sedang menempatkan saya di salah satu negara yang paling sekular di dunia dimana 70% penduduknya tidak lagi percaya kepada Tuhan. Tapi yang namanya fitrah manusia itu adalah mengenal bahkan mencintai Tuhan. Maka dalam pengembaraannya mencari setitik kebahagiaan dia berlari dari satu fatamorgana ke fatamorgana yang lain yang dia pikir bisa memberi ketenangan dan kedamaian. Akan tetapi selama dia belum membuka hatinya kepada Tuhan, maka ia hanya terantuk di satu kebahagiaan semu dan berbatas waktu ke kebahagiaan palsu lainnya yang pasti musnah dan berakhir. Karena manusia tidak akan pernah bahagia tanpa mengenal Sang Pencipta.
Kembali ke pengalaman melakukan coaching dengan modal ilmu coaching konvensional yang saya pelajari dengan berbagai metodologi untuk mendekati dan membaca sebuah permasalahan. Saya merasakan lebih pontang-panting dan lelah sekali ketika hanya mengandalkan ilmu-ilmu analisa dunia. Pendekatannya selalu tidak menyeluruh dan hanya menyentuh puncak dari gunung es. Berbeda ketika memberikan mentoring kepada sekelompok orang yang memang dari awal sudah menegaskan ingin mencari Tuhan, ingin mencari kebenaran. Berbagai solusi kehidupan sudah banyak tertulis di kitab-kitab suci yang Allah Ta'ala turunkan beserta keterangan hadits dan atsar. Sesimpel "Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat" (QS Al Baqarah). Dan bersabar dalam menjalani prosesnya. Disitu banyak hal yang mencengangkan yang terjadi dan sering di luar nalar dan perhitungan akal manusia yang terbatas. Alih-alih mencoba berbagai metodologi ini dan itu untuk meredam stress atau depresi sambil sama sekali tidak meminta pertolongan Allah Ta'ala Yang Maha Kuasa. Kita jadi seperti mencoba meraup air di lautan dengan jari-jari tangan yang terbuka. Tak ada air yang tersisa kecuali yang membasahi telapak tangan. Akibatnya dahaganya tak pernah hilang. Orang kemudian dibuat menjadi tergantung kepada berbagai solusi sesaat. Bagaikan menambal luka yang dalam dengan perdarahan organ dalam hanya dengan mengandalkan perban dan plester. Tak akan pernah selesai, bahkan bisa membahayakan nyawanya.
Manusia memang cenderung lupa akan dirinya. Lupa bahwa dia hanya sesosok ciptaan yang membutuhkan pertolongan-Nya di setiap nafas dan detak jantung. Lupa bahwa Sang Rabbul 'alamiin yang telah mengaturkan dan meminjamkan seluruh potensi kehidupannya sejak dulu sampai sekarang dan yang akan datang. Lupa bahwa dirinya tak punya pengetahuan yang mumpuni dalam mengarungi dunia ini tanpa pengajaran dari-Nya.
Lupa bahwa dirinya hamba yang mestinya berserah diri alih-alih mendikte Tuhan dengan segenap agenda hidupnya.
Lupa bahwa semua permasalahan hidup yang Allah sampaikan kepada dirinya dalah sebuah undangan untuk kembali mendekat kepada-Nya.
Saya lahir dan dibesarkan di Indonesia. Negeri dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Alhamdulillah Allah Ta'ala memberikan bekal beragama dari orang tua saya. Bukan hanya sebatas syariat yang dilakukan tapi kasih sayang mereka, kesabaran, ketabahan, kesantunan, kemurah hatian dll adalah aspek-aspek akhlak dari agama yang sering kurang disorot. Di negeri ini, menyebut nama "Allah" sudah menjadi hal yang indah terucap di keseharian. Seperti "Insya Allah", "Alhamdulillah", "Ya Allah..." "Subhanallah". Juga panggilan adzan untuk shalat yang saya rindukan menjadi pengingat kita dalam keseharian agar tidak dilalaikan oleh kesibukan dunia dan kehilangan orientasi akhirat. Kemudian memasuki usia 30 tahunan dalam hidup saya mulai dipaparkan dengan dunia internasional sampai akhirnya pindah ke Belanda dimana saya berhadapan dengan umat yang sangat berbeda. Bukan saja bahasa verbal yang berbeda tapi juga bahasa non verbal yang asing.
Satu dekade sudah saya lewati berbaur dan mempelajari kebiasaan, alam pikiran dan kebiasaan orang-orang di Belanda dan Eropa. Dan saya perhatikan walaupun secara statistik trennya orang lebih cenderung meninggalkan agama tapi rasa pencarian itu masih ada. Mereka mengais-ngais itu di dunia psikologi, life coaching, spirituality, meditation, mindfulness, dll. Sesuatu yang menawarkan solusi lain sekadar analisa psikologi asal tidak membawa-bawa agama dan tidak menyebut Tuhan, karena Tuhan berkaitan dengan agama.
Itulah salah satu tantangan berdakwah di negeri sekuler. Bagaimana bisa mendekati mereka yang masih terpengaruh oleh waham bahwa agama itu merusak dan takut oleh doktrin-doktrin yang terlampau keras disampaikan tanpa membuat mereka lari. Salah satu yang sedang dicoba diterapkan adalah dengan pendekatan desensitisasi. Karena latar belakang ilmu saya di bidang kedokteran, saya teringat bahwa dalam menterapi pasien dengan kecenderungan hipersensitif terhadap zat tertentu yang dilakukan justru adalah dengan memaparkan dia dengan zat tersebut secara bertahap dalam dosis kecil secara berkala. Katakanlah seseorang alergi berat unsur kacang, kalau dia makan kacang dia bisa bengkak-bengkak mukanya bahkan sampai susah bernafas dan bisa mengakibatkan kematian. Cara mengobatinya adalah berikan bubuk kacang sedikit demi sedikit, jangan langsung disuapi selai kacang satu sendok, dia bisa pingsan bahkan mati.
Maka itulah yang saya coba terapkan dalam teknik coaching saya. Terhadap klien yang atheis atau agnostik saya tidak akan langsung bicara Tuhan atau mengutip dari kitab suci. Bisa kabur mereka. Tapi saya perkenalkan dulu khazanah dan inti ajarannya. Lama kelamaan jika mereka ingin tahu, itu asalnya dari mana? Saya jawab "Itu dari Al Quran". Baru mereka mengangguk-angguk dan mulai berpikir dalam. Tidak sedikit yang kemudian berubah pikiran. Ternyata Tuhan tidak seseram yang dia duga selama ini. Ternyata agama bukan sesuatu yang mengekang malah membebaskan. Ternyata hidup dan segenap takdir yang menimpa dia ada maknanya.
Di dunia yang tengah saya pijak disini, saya belajar untuk berempati, tidak menghakimi apalagi menghukumi. Who am i to judge? Belum tentu hati kita lebih selamat dibanding orang yang kita anggap bejat dan kafir itu. Siapa tahu di akhir hayatnya dia yang taubat dan kita yang malah tersesat. Na'udzubillahimindzaalik.
Tapi memang melelahkan melayani klien yang belum siap hatinya untuk menerima Tuhan. Kita hanya lompat dari satu metodologi coaching ke metodologi yang lain. Berputar di satu sumbu dan tidak kemana-mana. Disitu kita menyaksikan pentingnya sebuah hidayah. Karena kalau tidak Allah bukakan hati seseorang mau diceramahi sampai berbusa-busa pun tak akan bergeming. Dan kalau itupun yang terjadi saya selalu percaya dengan kekuatan doa. Jadi saya selalu menyelipkan doa untuk klien-klien saya. Dengan sebuah kesadaran bahwa hanya Allah Ta'ala yang bisa menolongnya, kita hanya pion semata dalam papan catur kehidupan milik-Nya.
Amsterdam, 12 September 2023

Friday, September 8, 2023

 Benarkah aku mencari Tuhan?

Jangan-jangan sekadar mencari legitimasi dan kenyamanan hidup dibalut dengan hiasan agama.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Jangan-jangan sekadar meraup kepuasan dari sebuah pengembaraan intelektualitas yang tak bertepi.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Jangan-jangan hanya tertawan dengan pemberiannya baik bersifat materi atau non materi. Hal yang nampaknya duniawi atau bahkan tampaknya bernuansa agama sekalipun tapi bersumber dari syahwat spiritual semata.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Kalau memang iya, kenapa masih mempertanyakan kebijakan-Nya bahkan tidak menerima dan marah kepada-Nya hingga tak mau lagi menyebut namanya dan enggan lagi mensujudkan diri di hadapan-Nya.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Kalau iya, kenapa shalatku masih terasa hambar dan bukan jadi cerminan sebuah pertemuan antara dua kekasih. Yang merindui dan dirindui.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Jika iya, kenapa aku lebih betah berlama-lama scroll down sosial media dibanding membaca kalam-Nya.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Jangan-jangan ucapanku baru sekadar lip service.
Aku yang mengatakan berkali-kali "Allahu Akbar" dalam shalat, tapi pada kenyataannya, permasalahan hidup dan himpitan kesulitan ekonomi yang lebih besar dampaknya kepada-Ku dibandingkan janji-Nya sebagai Sang Pemberi Rezeki.

Jangan-jangan ikrarku baru pernyataan di bibir ketika berkata lantang "Laa ilaaha ilallah" sementara sekian berhala dan tuhan-tuhan lain masih mendominasi dalam hatiku. tuhan kecil bernama ego, bangga diri, takut dipandang gagal, takut dipandang hina di masyarakat. Itu yang ternyata lebih menguasai dan mendikte diriku dibanding Tuhan Yang Maha Esa.

Aku meragukan pencarianku kepada Tuhan.
Rasanya selama ini masih berupa klaim di bibir.
Aku telah terjebak dalam sebuah waham keshalihan.
Memandang diri baik dan shalih padahal hati masih penuh dengan berhala dan kegelapan. Astaghfirullah.

Benarlah tanpa rahmat-Nya aku tidak akan pernah keluar dari kenistaan ini agar bisa menjadi cahaya-Nya.
Astaghfirullah...

Monday, September 4, 2023

 Saya tidak diajarkan agama tertentu oleh kedua orang tua. Mereka orang-orang agnostik dan saya pun tak terelakkan tumbuh menjadi memiliki keyakinan seperti mereka. Orang tua saya cukup keras dalam mendidik anaknya. Kami selalu ditanamkan untuk memiliki tanggung jawab sejak kecil. Mengerjakan banyak pekerjaan rumah tangga,  belajar dengan baik agar sukses dalam hidup dengan standar sukses kebanyakan orang, punya karir cemerlang, memiliki properti dan kekayaan yang melebihi rata-rata. Itu yang selalu ditekankan. Bahwa hidup adalah tanggung jawab diri sendiri. Gagal atau berhasilnya kita yang menentukan.


Selama berdekade lamanya saya menerapkan strategi yang mereka ajarkan. Saya unggul di pelajaran dan kuliah sampai meraih gelar doktor di salah satu perguruan ternama di dunia. Saya pikir semua pencapaian itu bisa membuat mereka bangga, tapi selalu ada tuntutah lainnya.  Tentang status, pasangan, keturunan, dll. It’s an endless pressure.


Di tengah itu semua, sebuah tragedi kehidupan terjadi menimpa saya. Sesuatu yang membuat pondasi dan kepercayaan runtuh dan hancur berkeping-keping. Saya tak tahu lagi apa yang harus saya percayai. Saya merasa limbung, tak tahu harus kemana dan apa yang harus dilakukan. Saya lelah selalu merasa bertanggung jawab atas hidup saya dan memikul beban berupa berbagai konsekuenai dari pilihan-pilihan jalan hidup. Selalu ada yang tidak beres. Akhirnya saya menyerah. Saya tidak mau hidup jadi orang bebas. Saya tidak mau dipaparkan dengan ribuan kesempatan dan lelah memilihnya. Saya hanya ingin diarahkan. Apa yang harus saya lakukan dalam hidup?


Di tengah kegalauan itu saya mulai mencari-cari jawaban melalui agama. Saya telusuri berbagai agama dan kepercayaan. Saya bertanya kepada para ulamanya tentang satu pertanyaan esensial dalam hidup saya. Saya ingin mengerti kenapa hal itu terjadi? Sesuatu yang logika pikiran saya tak sanggup untuk menjangkaunya. Kegelisahan saya kemudian membawa saya berkenalan sebuah komunitas muslim di Inggris. Where everybody is welcome. Ada mentor yang siap menjawab semua pertanyaan saya dengan sabar. And i asked a lot. Barangkali ribuan pertanyaan sudah saya ajukan hingga akhirnya saya menyerah. I give up. 


Saya memilih untuk surrender. Berserah diri. Biar Tuhan yang mengatur. Saya lelah mengatur hidup saya sendiri. Saya ingin hidup saya diaturkan. Saya penat harus menyaring dan menguji diantara sekian banyak kemungkinan yang ada. Saya ingin Tuhan menyaringnya untuk saya. Saya hanya butuh kepastian. Dan saya mulai merasa bahwa satu-satunya kepastian adalah mendekat dengan Dzat Yang selalu ada. Yang menciptakan alam ini dengan ilmunya. Tentu Dia Yang lebih tahu. Akhirnya setelah melalui berbagai proses pasang sururt, saya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimah syahadah dan menjadi seorang muslim. Orang tua saya khawatir dengan keputusan saya tersebut. Dalam bayangannya menjadi seorang muslim membuat kebebasan hidup kita jadi terbatasi. Padahal sebaliknya. Apa yang saya rasakan sebagai kebebasan memilih jalan hidup sebelumnya adalah sebuah kebebasan semu karena akhirnya saya terjebak pada lingkaran setan yang tak berujung berupa sebuah upaya mencari kebahagiaan. A pursuit of happiness. Tanpa pernah memahami apa makna dari kebahagiaan itu sendiri. Justru dengan menjadi muslim dan menjalanian semua syariat-Nya saya merasakan kebebasan yang lebih dalam. Ada kedamaian yang mulai menetes dalam batin. Ada sebuah cahaya terang yang mulai berpendar dalam kegelapan hidup. Sebuah keterbukaan yang mencengangkan. Sesuatu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Seperti bayi yang baru terlahir ke alam baru, saya masih merasa lemah tapi saya tahu there is no way back. Alam yang baru adalah lebih menggairahkan dan lebih menjanjikan dari alam kehidupan saya sebelumnya. Tidak juga berarti bahwa semuanya menyenangkan or a walk in a park. Ada juga rasa sedih, lelah, kadang marah. Tapi kali ini semuanya menjadi memiliki makna. Dan saya pikir, itu yang orang butuhkan dalam hidup. Agar dia bisa memaknai sungai takdir kehidupannya.


- Based on true story

Terinspirasi dari obrolan sore yang menginspirasi, Amsterdam 4 September 2023 / 19 Safar 1445 H