Saya tidak diajarkan agama tertentu oleh kedua orang tua. Mereka orang-orang agnostik dan saya pun tak terelakkan tumbuh menjadi memiliki keyakinan seperti mereka. Orang tua saya cukup keras dalam mendidik anaknya. Kami selalu ditanamkan untuk memiliki tanggung jawab sejak kecil. Mengerjakan banyak pekerjaan rumah tangga, belajar dengan baik agar sukses dalam hidup dengan standar sukses kebanyakan orang, punya karir cemerlang, memiliki properti dan kekayaan yang melebihi rata-rata. Itu yang selalu ditekankan. Bahwa hidup adalah tanggung jawab diri sendiri. Gagal atau berhasilnya kita yang menentukan.
Selama berdekade lamanya saya menerapkan strategi yang mereka ajarkan. Saya unggul di pelajaran dan kuliah sampai meraih gelar doktor di salah satu perguruan ternama di dunia. Saya pikir semua pencapaian itu bisa membuat mereka bangga, tapi selalu ada tuntutah lainnya. Tentang status, pasangan, keturunan, dll. It’s an endless pressure.
Di tengah itu semua, sebuah tragedi kehidupan terjadi menimpa saya. Sesuatu yang membuat pondasi dan kepercayaan runtuh dan hancur berkeping-keping. Saya tak tahu lagi apa yang harus saya percayai. Saya merasa limbung, tak tahu harus kemana dan apa yang harus dilakukan. Saya lelah selalu merasa bertanggung jawab atas hidup saya dan memikul beban berupa berbagai konsekuenai dari pilihan-pilihan jalan hidup. Selalu ada yang tidak beres. Akhirnya saya menyerah. Saya tidak mau hidup jadi orang bebas. Saya tidak mau dipaparkan dengan ribuan kesempatan dan lelah memilihnya. Saya hanya ingin diarahkan. Apa yang harus saya lakukan dalam hidup?
Di tengah kegalauan itu saya mulai mencari-cari jawaban melalui agama. Saya telusuri berbagai agama dan kepercayaan. Saya bertanya kepada para ulamanya tentang satu pertanyaan esensial dalam hidup saya. Saya ingin mengerti kenapa hal itu terjadi? Sesuatu yang logika pikiran saya tak sanggup untuk menjangkaunya. Kegelisahan saya kemudian membawa saya berkenalan sebuah komunitas muslim di Inggris. Where everybody is welcome. Ada mentor yang siap menjawab semua pertanyaan saya dengan sabar. And i asked a lot. Barangkali ribuan pertanyaan sudah saya ajukan hingga akhirnya saya menyerah. I give up.
Saya memilih untuk surrender. Berserah diri. Biar Tuhan yang mengatur. Saya lelah mengatur hidup saya sendiri. Saya ingin hidup saya diaturkan. Saya penat harus menyaring dan menguji diantara sekian banyak kemungkinan yang ada. Saya ingin Tuhan menyaringnya untuk saya. Saya hanya butuh kepastian. Dan saya mulai merasa bahwa satu-satunya kepastian adalah mendekat dengan Dzat Yang selalu ada. Yang menciptakan alam ini dengan ilmunya. Tentu Dia Yang lebih tahu. Akhirnya setelah melalui berbagai proses pasang sururt, saya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimah syahadah dan menjadi seorang muslim. Orang tua saya khawatir dengan keputusan saya tersebut. Dalam bayangannya menjadi seorang muslim membuat kebebasan hidup kita jadi terbatasi. Padahal sebaliknya. Apa yang saya rasakan sebagai kebebasan memilih jalan hidup sebelumnya adalah sebuah kebebasan semu karena akhirnya saya terjebak pada lingkaran setan yang tak berujung berupa sebuah upaya mencari kebahagiaan. A pursuit of happiness. Tanpa pernah memahami apa makna dari kebahagiaan itu sendiri. Justru dengan menjadi muslim dan menjalanian semua syariat-Nya saya merasakan kebebasan yang lebih dalam. Ada kedamaian yang mulai menetes dalam batin. Ada sebuah cahaya terang yang mulai berpendar dalam kegelapan hidup. Sebuah keterbukaan yang mencengangkan. Sesuatu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Seperti bayi yang baru terlahir ke alam baru, saya masih merasa lemah tapi saya tahu there is no way back. Alam yang baru adalah lebih menggairahkan dan lebih menjanjikan dari alam kehidupan saya sebelumnya. Tidak juga berarti bahwa semuanya menyenangkan or a walk in a park. Ada juga rasa sedih, lelah, kadang marah. Tapi kali ini semuanya menjadi memiliki makna. Dan saya pikir, itu yang orang butuhkan dalam hidup. Agar dia bisa memaknai sungai takdir kehidupannya.
- Based on true story
Terinspirasi dari obrolan sore yang menginspirasi, Amsterdam 4 September 2023 / 19 Safar 1445 H
No comments:
Post a Comment