Mudahnya Hidup Bersama Tuhan
Dua tahun ini saya berkecimpung di dunia life coaching dengan menghadapi berbagai klien baik dari Indonesia ataupun sekitar Eropa. Di saat yang bersamaan saya pun mengampu komunitas mengkaji Al Quran dan melayani sahabat-sahabat dengan berbagai pertanyaannya sejak tahun 2016. Kalau saya bandingkan dua model life coaching yang mengandalkan ilmu-ilmu berbasis psikologi, sosiologi, neurologi sebagai pendekatan untuk membaca suatu persoalan dengan pendekatan mentoring agama adalah dua hal yang berbeda. Jauh berbeda. Di pendekatan yang berbasis ilmu dunia kita tidak bicara tentang Tuhan. Bahkan dalam mata kuliah yang berkaitan dengan hal-hal yang metafisika sekalipun akademi coaching tempat saya mendapatkan sertifikat menghindarkan menyebut "Tuhan" dan menggantinya dengan "Spiritual Being", "Consciousness", "Awareness", "Universe" dsb. Pokoknya seperti mengakui ada kekuatan dahsyat di luar jangkauan nalar manusia tapi malu-malu atau takut menyebut itu Tuhan.
Memang Allah Ta'ala sedang menempatkan saya di salah satu negara yang paling sekular di dunia dimana 70% penduduknya tidak lagi percaya kepada Tuhan. Tapi yang namanya fitrah manusia itu adalah mengenal bahkan mencintai Tuhan. Maka dalam pengembaraannya mencari setitik kebahagiaan dia berlari dari satu fatamorgana ke fatamorgana yang lain yang dia pikir bisa memberi ketenangan dan kedamaian. Akan tetapi selama dia belum membuka hatinya kepada Tuhan, maka ia hanya terantuk di satu kebahagiaan semu dan berbatas waktu ke kebahagiaan palsu lainnya yang pasti musnah dan berakhir. Karena manusia tidak akan pernah bahagia tanpa mengenal Sang Pencipta.
Kembali ke pengalaman melakukan coaching dengan modal ilmu coaching konvensional yang saya pelajari dengan berbagai metodologi untuk mendekati dan membaca sebuah permasalahan. Saya merasakan lebih pontang-panting dan lelah sekali ketika hanya mengandalkan ilmu-ilmu analisa dunia. Pendekatannya selalu tidak menyeluruh dan hanya menyentuh puncak dari gunung es. Berbeda ketika memberikan mentoring kepada sekelompok orang yang memang dari awal sudah menegaskan ingin mencari Tuhan, ingin mencari kebenaran. Berbagai solusi kehidupan sudah banyak tertulis di kitab-kitab suci yang Allah Ta'ala turunkan beserta keterangan hadits dan atsar. Sesimpel "Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat" (QS Al Baqarah). Dan bersabar dalam menjalani prosesnya. Disitu banyak hal yang mencengangkan yang terjadi dan sering di luar nalar dan perhitungan akal manusia yang terbatas. Alih-alih mencoba berbagai metodologi ini dan itu untuk meredam stress atau depresi sambil sama sekali tidak meminta pertolongan Allah Ta'ala Yang Maha Kuasa. Kita jadi seperti mencoba meraup air di lautan dengan jari-jari tangan yang terbuka. Tak ada air yang tersisa kecuali yang membasahi telapak tangan. Akibatnya dahaganya tak pernah hilang. Orang kemudian dibuat menjadi tergantung kepada berbagai solusi sesaat. Bagaikan menambal luka yang dalam dengan perdarahan organ dalam hanya dengan mengandalkan perban dan plester. Tak akan pernah selesai, bahkan bisa membahayakan nyawanya.
Manusia memang cenderung lupa akan dirinya. Lupa bahwa dia hanya sesosok ciptaan yang membutuhkan pertolongan-Nya di setiap nafas dan detak jantung. Lupa bahwa Sang Rabbul 'alamiin yang telah mengaturkan dan meminjamkan seluruh potensi kehidupannya sejak dulu sampai sekarang dan yang akan datang. Lupa bahwa dirinya tak punya pengetahuan yang mumpuni dalam mengarungi dunia ini tanpa pengajaran dari-Nya.
Lupa bahwa dirinya hamba yang mestinya berserah diri alih-alih mendikte Tuhan dengan segenap agenda hidupnya.
Lupa bahwa semua permasalahan hidup yang Allah sampaikan kepada dirinya dalah sebuah undangan untuk kembali mendekat kepada-Nya.
Saya lahir dan dibesarkan di Indonesia. Negeri dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Alhamdulillah Allah Ta'ala memberikan bekal beragama dari orang tua saya. Bukan hanya sebatas syariat yang dilakukan tapi kasih sayang mereka, kesabaran, ketabahan, kesantunan, kemurah hatian dll adalah aspek-aspek akhlak dari agama yang sering kurang disorot. Di negeri ini, menyebut nama "Allah" sudah menjadi hal yang indah terucap di keseharian. Seperti "Insya Allah", "Alhamdulillah", "Ya Allah..." "Subhanallah". Juga panggilan adzan untuk shalat yang saya rindukan menjadi pengingat kita dalam keseharian agar tidak dilalaikan oleh kesibukan dunia dan kehilangan orientasi akhirat. Kemudian memasuki usia 30 tahunan dalam hidup saya mulai dipaparkan dengan dunia internasional sampai akhirnya pindah ke Belanda dimana saya berhadapan dengan umat yang sangat berbeda. Bukan saja bahasa verbal yang berbeda tapi juga bahasa non verbal yang asing.
Satu dekade sudah saya lewati berbaur dan mempelajari kebiasaan, alam pikiran dan kebiasaan orang-orang di Belanda dan Eropa. Dan saya perhatikan walaupun secara statistik trennya orang lebih cenderung meninggalkan agama tapi rasa pencarian itu masih ada. Mereka mengais-ngais itu di dunia psikologi, life coaching, spirituality, meditation, mindfulness, dll. Sesuatu yang menawarkan solusi lain sekadar analisa psikologi asal tidak membawa-bawa agama dan tidak menyebut Tuhan, karena Tuhan berkaitan dengan agama.
Itulah salah satu tantangan berdakwah di negeri sekuler. Bagaimana bisa mendekati mereka yang masih terpengaruh oleh waham bahwa agama itu merusak dan takut oleh doktrin-doktrin yang terlampau keras disampaikan tanpa membuat mereka lari. Salah satu yang sedang dicoba diterapkan adalah dengan pendekatan desensitisasi. Karena latar belakang ilmu saya di bidang kedokteran, saya teringat bahwa dalam menterapi pasien dengan kecenderungan hipersensitif terhadap zat tertentu yang dilakukan justru adalah dengan memaparkan dia dengan zat tersebut secara bertahap dalam dosis kecil secara berkala. Katakanlah seseorang alergi berat unsur kacang, kalau dia makan kacang dia bisa bengkak-bengkak mukanya bahkan sampai susah bernafas dan bisa mengakibatkan kematian. Cara mengobatinya adalah berikan bubuk kacang sedikit demi sedikit, jangan langsung disuapi selai kacang satu sendok, dia bisa pingsan bahkan mati.
Maka itulah yang saya coba terapkan dalam teknik coaching saya. Terhadap klien yang atheis atau agnostik saya tidak akan langsung bicara Tuhan atau mengutip dari kitab suci. Bisa kabur mereka. Tapi saya perkenalkan dulu khazanah dan inti ajarannya. Lama kelamaan jika mereka ingin tahu, itu asalnya dari mana? Saya jawab "Itu dari Al Quran". Baru mereka mengangguk-angguk dan mulai berpikir dalam. Tidak sedikit yang kemudian berubah pikiran. Ternyata Tuhan tidak seseram yang dia duga selama ini. Ternyata agama bukan sesuatu yang mengekang malah membebaskan. Ternyata hidup dan segenap takdir yang menimpa dia ada maknanya.
Di dunia yang tengah saya pijak disini, saya belajar untuk berempati, tidak menghakimi apalagi menghukumi. Who am i to judge? Belum tentu hati kita lebih selamat dibanding orang yang kita anggap bejat dan kafir itu. Siapa tahu di akhir hayatnya dia yang taubat dan kita yang malah tersesat. Na'udzubillahimindzaalik.
Tapi memang melelahkan melayani klien yang belum siap hatinya untuk menerima Tuhan. Kita hanya lompat dari satu metodologi coaching ke metodologi yang lain. Berputar di satu sumbu dan tidak kemana-mana. Disitu kita menyaksikan pentingnya sebuah hidayah. Karena kalau tidak Allah bukakan hati seseorang mau diceramahi sampai berbusa-busa pun tak akan bergeming. Dan kalau itupun yang terjadi saya selalu percaya dengan kekuatan doa. Jadi saya selalu menyelipkan doa untuk klien-klien saya. Dengan sebuah kesadaran bahwa hanya Allah Ta'ala yang bisa menolongnya, kita hanya pion semata dalam papan catur kehidupan milik-Nya.
Amsterdam, 12 September 2023
No comments:
Post a Comment