Sunday, December 26, 2021

 Mengubah Diet


Kabarnya salah satu faktor yang membuat timnas sepakbola Indonesia mulai menggeliat ketika bertanding adalah kebijakan Lee Jae Hong, pelatih fisik mereka yang mengubah drastis pola diet mereka hingga yang tadinya biasanya timnas kita fisiknya kedodoran di babak kedua lalu dengan perubahan diet itu maka kekuatan dan endurance atau daya tahannya mulai meningkat. Dan memang bangsa Indonesia bisa ikut menjadi saksi atas perubahan yang dramatis tersebut.


Memerhatikan makanan yang masuk ke dalam tubuh kita sebenarnya merupakan perintah Allah Ta'ala dalam Al Qur'an karena makanan itu bisa berefek besar kepada kesehatan tidak hanya ragawi tapi akan berdampak kepada agama seseorang.


Jangankan memasukkan sesuatu yang haram yang bisa mengakibatkan shalat kita tak diterima 40 hari lamanya, mengkonsumsi sesuatu yang tidak thayyib saja akan sudah memberikan dampak yang tidak baik bagi jiwa dan raga kita.


Seperti halnya perubahan stamina pada timnas yang demikian kentara setelah diterapkan perubahan diet, jangan-jangan penyebab kita selama ini malas, kurang gairah dalam berkarya, miskin ide, seret motivasi, mudah lelah, dan tak punya daya tahan tinggi gara-gara kita mengkonsumsi hal-hal yang tidak thayyib bahkan haram melalui segenap panca indera kita. 


Coba telaah lagi buku-buku yang dibaca, lagu-lagu yang didengarkan, film-film yang ditonton, berapa lama kita menghabiskan waktu bersosial media yang tidak perlu, atau merenda pertemanan dengan mereka yang tidak memberikan manfaat baik terhadap perkembangan jiwa. Semua itu adalah "diet"nya jiwa yang akan mewarnai shadr atau ruang dada kita masing-masing.


Memang tidak mudah mengubah kebiasaan mengkonsumsi hal tertentu, si syahwat pasti sudah sedemikian terbiasa dengannya dan meraung-raung saat tidak mendapatkannya. Maka langkah awal yang paling penting adalah bersujud dan memohon kepada Allah Ta'ala agar Dia yang menuntun perubahan itu, setahap demi setahap. Agar kita makin cergas dalam kehidupan, makin peka menangkap segenap petunjuk-Nya dan meraih apa-apa yang terbaik yang sebenarnya Allah Ta'ala sudah siapkan untuk kita masing-masing. Supaya kita tidak berpulang ke hadirat-Nya nanti dalam keadaan menyesal. Menyesal tidak memberikan yang terbaik dalam hidup yang sangat singkat ini []

Friday, December 24, 2021

 Kurang Angin


Kalau naik sepeda yang bannya kurang angin itu tidak nyaman. Berat membosehnya. Kita sudah ngos-ngosan tapi tak jauh berjalan, tidak seperti kalau bannya terisi penuh dengan angin.


Angin itu tak nampak tapi dayanya besar. Demikian juga dengan ruh, ia berasal dari kata "ar-riyaah" yang artinya angin. Sesuatu yang tak terlihat tapi memberi energi.


Kalau manusia sedang dalam kondisi "kurang angin" itu bagai tak ada ruh yang menggerakkannya. Bawaannya jadi males, berat melakukan ini dan itu, tidak cergas dan kurang energi kehidupan. Dalam kondisi yang lebih parah ia bahkan tak memiliki lagi energi untuk melakukan sesuatu, tak menyala motivasinya dan suram memandang kehidupan.


So how to bring that spirit back?

Hanya dengan berdoa kepada Sang Pemilik Ruh agar Dia berkenan meniupkan kesegaran, membangkitkan semangat, membangunkan inspirasi dan menumbuhkan sekian kebaikan dalam diri kita. Berdoa dalam lisan dan juga perbuatan, mulai dengan mengerjakan kebaikan dari yang dekat, dari yang dimudahkan, dari apa yang ada. Insya Allah.


- Renungan setelah memompa ban sepeda


Sunday, December 19, 2021

 Sejak SMP entah kenapa kalau dengar lagu-lagu natal seperti "White Christmas" atau "Have Yourself A Merry Little Christmas" itu senang sekali, rasanya "feels at home". Aneh, padahal saya tidak dibesarkan di lingkungan yang memperdengarkan lagu-lagu natal seperti itu, tapi begitu sekali mendengarnya hati langsung terpaut kepada semacam realita tertentu yang pada saat itu belum terjadi. Ah, sulit menggambarkannya dengan kata-kata.


Fast forward, 30 tahun kemudian saya mulai paham kenapa fenomena itu terjadi. Karena di saat musim dingin dan mendekati natal seperti ini radio-radio di Belanda memainkan lagu-lagu natal. Ketika saya mendengarnya, saya entah tengah berada di mobil mengantarkan anak-anak les, atau sedang di rumah dengan keluarga. And yes, that feeling again, i recognize that. I feel at home...


Hidup itu seperti mimpi memang. Dalam dunia mimpi kita bisa terbang dari satu fase kehidupan ke fase kehidupan yang lain. Dalam dunia mimpi, anything is possible. Tapi mimpi adalah mimpi. Dia bukan dunia nyata. Mimpi adalah dunia yang tengah dibentangkan perlahan-demi perlahan untuk pada saatnya digulung kembali. Gone, vanish...


Dan saya ingin mengenal dunia nyata. Sebuah kehidupan yang tak mengenal akhir. Karena akhir itu menyakitkan. Seperti ketika saya mengalami akhir perjumpaan dengan ayah saya yang pergi ke alam lain melewati gerbang kematian. Makanya dalam agama saya menemukan ketenangan, karena khazanah agama adalah satu-satunya yang memberi keterangan dengan kehidupan setelah kematian. Hingga saya punya harapan untuk bertemu ayah saya lagi, tidak hanya itu. Saya meyakini jiwa ayah saya masih ada, dia menjalani kehidupan di alam barzakh, alam antara sebelum alam lain yang jauh lebih panjang usianya. Agama memberikan saya harapan itu.


Kembali tentang pengalaman masa kecil dan realitanya di masa depan. Saya percaya Allah Sang Pencipta dan Designer semesta kehidupan ini menyimpan hal-hal di masa lalu kita sebagai petunjuk atau hints akan apa yang akan kita hadapi dan kita lakoni di masa depan. Maka penting untuk membaca masa lalu dan masa kecil kita untuk memahami diri dan fungsi kita sendiri. Keping-keping puzzlenya berserakan di sana. Kita tinggal kumpulkan dan rangkaikan satu persatu dengan bismillah dan telaten. Dengannya kita bisa mulai melihat gambaran diri kita secara utuh, termasuk kenapa dibuat melampaui sekian takdir kehidupan dengan segala suka-duka, hitam-putih, tangis-tawa. It all come in one package. Hingga kita bisa bersaksi dengan sebenar-benar persaksian bahwa apapun yang Allah takdirkan itu tidak sia-sia. Apapun itu...

Tuesday, December 14, 2021

 

Pernah ngga kita niat belanja ke supermarket untuk beli pisang dan beras aja sebenarnya tapi pulang-pulang malah beli camilan, roti, dan lain-lain. Sementara pisang dan berasnya lupa dibelišŸ¤¦‍♀️

So what? Ya mesti balik lagi ya ngga. Lha wong berasnya butuh untuk dimasak untuk makan hari ini.

Hidup tuh begitu. Ada misi tertentu yang harus setiap orang lakukan dalam penggal waktu yang sangat singkat di bumi ini. Masalahnya kalau begitu berpulang ke rahmatullah kita bahkan tidak ngeh apa yang sebetulnya harus dikerjakan dulu di dunia, atau sudah mulai terendus sih tapi ya tidak tuntas juga dikerjakan - pretty much like pisangnya sih kebeli tapi berasnya lupa- ya bakal repot. Pasalnya kehidupan di dunia ini hanya sekali. One single shot. Either we're gonna make it or break it. Ini sepertinya yang membuat para Nabi dan para sahabatnya lebih banyak menangis daripada tertawa. Menyadari gentingnya situasi yang dihadapi. Make it or break it tadi. Hanya ada satu kesempatan. And we cannot afford to lose it...

Makanya Allah Ta'ala senantiasa mengirim juru pengingat, ya untuk mengingatkan ihwal "belanjaan" tadi. Tentang apa yang harus dilakukan oleh setiap orang. Karenanya takdir setiap orang itu unik, bahkan kembar siam yang wajahnya mirip plek-plek saja beda takdirnya. Karena dalam takdir itu ada fungsi pengingat, tentang persaksian dan perjaniian kita dulu di alam alastu (QS Al A'raaf [7]:172) tentang menjadi saksi Allah (syuhada) dalam kehidupannya masing-masing, dalam bidang dan misi hidupnya masing-masing. Tinggal kita yang hatus membuka hati agar semua peringatan dan petunjuk-Nya itu terbaca. Agar kita berpulang dengan jiwa yang tenang dan diridhoi. Aamiin.

- Renungan emak-emak selepas pulang belanja


 Sepetak Sajadah


Dunia di luar sepetak sajadah ini boleh berguncang segila apapun.

Tapi di dalam ruang sepetak ini aku menemukan ketenangan.


Kehidupan di luar sepetak sajadah ini bisa membingungkan sejadi-jadinya.

Tapi di dalam ruang sepetak ini aku menemukan keteguhan.


Perpisahan orang tua, menghadapi kesulitan ekonomi, menerjang ujian dalam hidup, menghadapi kebingungan dalam pekerjaan, mendera kebosanan, menyisir kesepian, menghela desah panjang, bersabar disakiti dan difitnah, semua bagaikan api dalam kehidupan. Yang membakar sesuatu yang tidak haq. Sakit, lelah, kecil hati saat menjalaninya. Tapi ketika kembali di ruang kecilku ini. Hanya ada aku dan Dia. Bahkan semua persoalan yang mengitar tak kuizinkan memasuki. Because this place, is my sanctuary. 


Kemanapun aku pergi ‘sepetak sajadah’ ini senantiasa ada. Dia tak terbatas oleh situasi dan keadaan. Saat di kendaraan, saat di terminal, saat di rumah sakit, saat di kantor dll. Dalam keadaan sehat atau sakit. Berdiri atau berbaring. Ruang itu selalu ada. Karena kita membutuhkan-Nya. In every single step of our way.


Bukankah setiap kita punya medan perjuangannya masing-masing? Sebuah kesulitan dan tantangan yang tak banyak orang ketahui. Kadang bahkan orang-orang terdekat kita pun tak menyadarinya. Tapi adalah kesulitan itu sendiri yang membuat kita bertumbuh dan memberikan makna pada ruang sepetak sajadah ini. Sebuah ruang teduh di tengah terik kehidupan yang terasa menyengat. Sebagai ruang hangat saat kehidupan menggigit beku. 


Been through a lot in life. Rasanya saya bisa sampai pada satu kesimpulan bahwa ruang inilah yang menyelamatkan saya. Dan saya boleh kehilangan apapun kecuali sepetak ruang sajadah ini…

 Setiap orang pada akhirnya akan menghadapi kematian. Tak ada harta dan kekuatan apapun di dunia ini yang bisa menolaknya jika itu telah datang. Tapi siapkah kita untuk menyongsong hal yang pasti itu? 


Siang malam kita sibuk mencari nafkah, mengejar cita, membangun sesuatu untuk hal yang pada saatnya akan kita tinggalkan. Tapi kadang kita lupa untuk mempersiapkan diri menjelang hal yang lebih pasti. Yaitu akhir dari perjalanan jasad di bumi ini dan awal perjalanan jiwa di alam lain.


Ketika beralih ke alam barzakh, maka jiwa akan ditanya oleh malaikat, "Man Rabbuka?" Siapa Tuhanmu? Sepertinya pertanyaan yang simpel dan kita merasa bisa menjawabnya dengan mudah. Tapi yang berpikir bahwa jawabannya mudah adalah memori dalam sel-sel saraf otak kita yang tak akan lagi berfungsi di alam barzakh nanti. Dia nanti akan menjadi santapan cacing-cacing tanah. Lantas, siapa yang akan menjawab? Akal jiwa kita. Tapi akal jiwa itu tak akan pernah bisa menjawab bahwa Sang Rabb atau Sang Pemelihara adalah Allah jika dalam kehidupan ia tak pernah mengalaminya. Karena yang dia lihat yang memelihara adalah gaji tetap itu, warisan itu, pasangan yang menjamin, keluarga yang senantiasa membantu. Jika ia tak pernah merasakan dan melihat bahwa Allah yang mendatangkan itu semua maka ia akan gagap menjawab pertanyaan dasar itu.


Disini kemudian kita paham bahwa kesempitan dalam hidup, ujian, sakit dan musibah itu perlu untuk mengoyak tirai-tirai kebergantungan kita pada hal-hal selain Allah. Sesuatu yang kita tawakali dengan tidak sadar. Agar kita melihat bagaimana kuasa Allah yang menyembuhkan walaupun dunia medis sudah angkat tangan. Bahwa kasih sayang Allah yang mengurus anak-anak walaupun berdasarkan hitungan tak akan cukup pendapatan bisa menjamin masa depan mereka. Bahwa keajaiban Allah yang membukakan jalan yang kita anggap tak akan bisa terbuka selamanya. 


Itulah kehidupan, wahana untuk mengenal Allah Sang Rabb melalui semua asma dan perbuatan-Nya.

Monday, December 6, 2021

 Jika sebuah bencana atau keburukan menimpa kita, biasanya respon kita adalah mencari kambing hitam. Yang dengannya serta merta kita mudah melempar kesalahan,


"Gara-gara dia rumah tanggaku hancur!"

"Gara-gara si penipu itu usahaku bangkrut!"

"Gata-gara si pencuri itu laptopku hilang!"


Mudah memang. Salahkan saja orang lain, toh memang mereka yang berbuat.

Tapi tunggu dulu. Kalau orang beriman, ia akan senantiasa berupaya melihat keterlibatan-Nya di balik segala sesuatu. Baik itu hal yang menyenangkan ataupun yang menyakitkan sekalipun. Karenanya dia tidak akan sekadar berhenti menyalahkan yang lain. Imannya akan melihat bahwa bagaimanapun Allah Yang Maha Kuasa mengizinkan hal itu terjadi. "Kenapa ya Engkau izinkan ini terjadi?" Batinnya akan terus bertanya sambil memohon bimbingan-Nya. Karena di balik semua takdir-Nya pasti tersimpan hikmah dan kebaikan yang banyak.


 Lantas apa hikmah di balik rumah tangga yang hancur? Bisnis yang kolaps? Keuangan yang menipis karena diminta terus dari kiri-kanan dsb? Barangkali itulah obat mujarab dari Allah Ta'ala bagi kecintaan dan kemelekatan kita kepada dunia yang bisa membawa petaka dunia dan akhirat. Sesuatu yang kita tidak sadari bahayanya. Dan Allah adalah Maha Pengasih apalagi kepada mereka yang betul-betul mencari-Nya. Agar kita tak terjebak pada kebiasaan menyalahkan orang lain atau situasi dan kehilangan kesempatan untuk tafakur dan meraih hikmah dan segenap kebaikan yang ada.[]

Wednesday, December 1, 2021

 Hantu bernama "si mantan"


Berinteraksi dengan mantan istri suami itu gampang-gampang susah. Bagaikan melangkah di atas medan beranjau kita harus hati-hati jangan sampai salah memberikan respon dan berdampak mencederai hati orang.


Butuh 3 tahun bagi saya sendiri untuk menemukan the right move, so we're not stepped into each other's toe. Awalnya ganjil karena bagaimanapun kalau menikah dengan duda atau janda itu secara tidak langsung si mantan akan ada selalu dalam perhitungan khususnya jika ada anak dari pernikahan sebelumnya. Lama-lama kegerahan itu memudar dengan sendirinya seiring dengan interaksi yang semakin dalam dengan si mantan. Dalam pengalaman saya, adalah kita sebagai istri yang harus membuka jalan duluan, karena si mantan pasti banyak sungkannya, merasa diri sudah tidak memiliki hak dan bagian di rumah tangga. Maka saya raih dia dengan berlibur bersama, tinggal di rumah kami selama beberapa malam atau menyewa bungalow libiran bersama. Sesuatu yang buat ukuran orang Belanda yang cenderung bebas pun sudah dianggap "wow!". At least i got that comment a lot.


Tapi saya percaya hidup ini adalah untuk berbagi. Masa saya tega berbahagia sendiri saat liburan sementara M, mantan suami saya tinggal sendirian di apartemennya- karena keluarganya di luar negeri. Dan juga saya pertimbangkan anak tiri saya pasti senang melihat papa dan mamanya kumpul bersama di saat-saat liburan. Jadi saya belajar untuk mengesampingkan suara-suara egois dan nyinyir dari kiri-kanan yang berkata "awas lho, ntar suami balik lagi" dsb. Ah tawakal saja sama Allah. Kalau memang itu jalannya, apapun yang dari Dia pasti yang terbaik. As simple as that. I'm not afraid.


Sekarang setelah 10 tahun saya berinteraksi dengan M jujur makin tumbuh rasa sayang sama dia. Saya mengerti perjuangannya saat bercerai dan membesarkan anak sendiri secara praktis. Saya suka melibatkan dia dalam foto-foto keluarga, karena saya bilang sama dia "you are part of the family". Kadang kalau lama tak ketemu malah suka kangen. Bukti bahwa perasaan tidak enak dan negatif yang bermunculan di awal waktu tak lain hanya hantu-hantu yang tak nyata, ia hanya kepulan asap dari ketakutan kita sendiri yang tak beralasan. And there is a remedy for that, which is love and openness. Bagaimanapun keadaannya berjuang untuk menjadi orang yang menebarkan kasih. ❤

Tuesday, November 30, 2021

 Belajar bertauhid dalam keseharian


Seringkali kita tidak sadar bahwa dalam hal-hal yang "biasa kita lakukan" itu kita tergelincir kepada menyandarkan diri dan kehidupan kepada selain Allah. Hal yang rutin seperti menerima gaji bulanan, menerima tunjangan atau bantuan berkala, mendapatkan sekian banyak kemudahan, mahir di bidang tertentu, terbiasa menuai pujian dll itu bisa secara tak sadar bertransformasi menjadi tuhan-tuhan lain di dalam diri yang kita berkiblat kepadanya dan mengendalikan kita sedemikian rupa sehingga diri menjadi terikat padanya.


Untuk melatih kelurusan dalam tauhid itu kita harus membiasakan diri berdzikir dalam keseharian. Hal-hal dalam.keseharian seperti mengantar anak ke sekolah, doakan mereka dan jangan sampai hati bersandar pada kecanggihan dan reputasi sekolah. Karena sebaik apapun teorinya sebuah institusi tak akan berbuah baik jika hanya mengandalkan lembaga tersebut.


Saat membantu anak-anak mengenakan jaket agar terlindung dari dingin, iringi dengan bismillah dan kesadaran bahwa Allah Yang melindungi dan memberi kehangatan. Jangan sampai tergelincir mengandalkan kecanggihan teknologi dan merk jaket semahal apapun itu.


Saat makan, berdoa dan dzikir dengan sebuah kesadaran bahwa bukan makanan ini pada hakikatnya yang membuat kenyang. Karena makan sebanyak apapun bisa tetap lapar jika sistem tubuh dibuat kacau, ini terjadi pada penderita diabetes misalnya. 


Di setiap apapun yang dikerjakan upayakan jangan menyandarkan diri pada upaya itu. Agar hati tawakal 100% kepada Allah Ta'ala, bukan pada sebab akibat. Supaya kita tidak melukai perasaan-Nya. Dia Yang Maha Pengasih yang sudah memberi karunia tak terhingga sedemikian rupa hingga tak mampu kita sebenarnya berterima kasih dengan memadai atas semua kebaikan-Nya yang melimpah.


- Renungan seorang ibu saat menyiapkan jaket musim dingin untuk anaknya

 RANGKING DAN NILAI MERAH


Sejak kecil saya terbiasa terbuai dengan berbagai pujian atas prestasi saya di sekolah. Sedemikian rupa sehingga tak terasa  rangking satu sudah seakan menjadi berhala buat saya. Hal itu berubah ketika memasuki SMA 3 Bandung. Persaingan akademik demikian ketat disana. Untuk bisa mencapai rangking 13 saja saya rasanya sudah mati-matian belajar. Ditambah untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya dapat angka merah, nilai lima tertoreh di buku rapport saya. 


Malu rasanya. Harga diri dan ego yang tertampar. Jati diri saya mulai terkoyak. Identitas "Tessa si rangking satu" mulai luntur. Then who am i? Saya rasa itu salah satu pencetus kenapa saya mulai lari ke mushalla, mulai betah berlama-lama di masjid dan rutin mengerjakan shalat dhuha. Setelah itu Allah Ta'ala memperkenalkan saya kepada buku Ihya Ulumuddinnya Al Ghazali yang tergeletak di rak buku mushalla SMA 3. Dan setelah itu saya tidak pernah lepas membaca kitab-kitab dan ilmu yang berkaitan dengan tashawwuf. 


Ada cara lain memandang kehidupan ternyata. Yang lepas dari perlombaan semu dari sekadar nilai dan rangking akademi. Saya mulai belajar bahwa setiap manusia terlahir membawa keutamaannya masing-masing. Yang itu akan bisa memberkahi dunia jika ia berserah diri dengan pengaturan Ilahiyah. Dan saya belajar bahwa angka merah bukanlah suatu aib. Justru itu indikator yang berharga yang menunjukkan bahwa memang bidang kita bukan disitu. Hal ini saya coba terapkan untuk anak-anak saya. Agar mereka jangan merasa malu dengan nilai rapport yang kurang. It's okay, it is as it it. Bisa jadi memang dia bukan bidangnya di matematika, bukan bidangnya di kimia dll. So in a way, saya berterima kasih kepada Pak Syahrul, guru kimia saya yang memberikan saya angka merah di rapport. Dengan kejujuran beliau itu saya menjadi terbangunkan dan mulai mencari makna lain dari dunia. Al fatihah untuk beliau.

Monday, November 29, 2021

 Sebagai seorang laki-laki saya diajarkan harus kuat. Saya tumbuh di lingkungan keluarga yang melarang laki-laki untuk menangis, karena menangis adalah tanda kelemahan. "Laki-laki harus kuat, laki-laki itu tegar, laki-laki itu harus nampak perkasa" Demikian hal yang terus dicekoki di benak saya. Saya pun bertumbuh kemudian menjadi anak yang tidak terbiasa memperlihatkan kelembutan atau kasih sayang karena khawatir itu dianggap sebagai sebuah kelemahan. 


Ketika perang melanda daerah timur tengah, saya dan keluarga hijrah ke Belanda untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman. Saya berhasil beradaptasi dengan bahasa dan budaya setempat. Hingga saya meraih ijazah perguruan tinggi dan memiliki pekerjaan  yang dipandang bagus. Saya pikir hidup baik-baik saja hingga satu persatu orang dekat dengan saya dan saya sayangi berpulang ke hadirat-Nya. Di situ saya mulai merasakan kehilangan kendali dalam hidup. Saya merasa goyah dan rapuh sedemikian rupa hingga saya berpikir untuk mencari pertolongan kepada seorang terapis. Tapi suara di dalam diri saya itu kembali bicara, dia yang berkata "kamu kuat! tak butuh bantuan orang". Akhirnya saya tak jadi menemui terapis.


Sekian lama saya bergulat dengan perasaan sedih yang kemudian saya tidak sempat saya proses dengan baik. Tak ada seorang pun yang saya ajak bicara tentang hal ini. Hingga akhirnya pukulan terakhir pun datang, beberapa bulan lalu ayah saya tiada. Air mata saya tak tertahankan saat memandang jasadnya untuk terakhir kalinya sebelum dikebumikan." Paman saya berkata, "Sudah, laki-laki jangan menangis. Sabar saja." Di titik itu saya sudah tidak tahan lagi, saya hardik beliau dan berkata "Shut the fuck up!!!" dan saya pun menangis sejadi-jadinya.


(Based on true story)


Pentingnya memproses duka cita.

Men need to learn how to cry.

Tuesday, November 23, 2021

 Excess Baggage


Saat kemarin mengantar mama check-in ke bandara ada kejadian aneh. Ternyata ada perbedaan perhitungan mama tentang berat koper dengan saat koper besar dan isinya itu ditimbang di bandara. Dan tidak tanggung-tanggung bedanya 7 kg. 


Mama terlihat agak panik, apakah harus dikeluarkan sebagian isinya yang kebanyakan coklat dan oleh-oleh itu? Sementara waktu yang tersisa sebelum boarding sudah semakin mepet. Saya lihat mama dzikir dan berdoa terus menerus. Tampaknya beliau memohon kepada Allah agar diberi jalan keluar, karena ini diniatkan untuk sedekah.


Entah kenapa saat itu mama dibuat jadi ada di antrian terakhir, padahal kami datang 1,5 jam sebelumnya dan biasanya tidak pernah ada di antrian terakhir. Barangkali karena masih di tengah pandemi juga sehingga pengecekan dokumen membutihkan waktu lebih lama dari biasanya  karena harus diperiksa bukti tes PCR dan vaksinasi. Tapi kemudian gara-gara menjadi penumpang terakhir yang harus check-in baggage, petugasnya jadi terburu-buru.


Nah, kondisinya kan excess baggage. Ya sudah saya pikir bayar saja kelebihannya. Kasihan mama kalau harus bongkar-bongkar koper. Biaya kelebihan bagasi itu 35 euro per kilo. Jadi kalau 7 kilo itu kita harus bayar sekitar 4juta rupiah, jumlah yang lumayan besar, hampir separuh harga tiket pp Indonesia- Belanda. Saat saya baru mengeluarkan dompet tiba-tiba dari arah kanan datang ibu-ibu petugas bandara berjilbab sambil bicara ke walkie-talkie yang ada dalam genggaman tangan kanannya. Dia memberi sinyal pada petugas yang tengah melayani mama saya agar bersegera tutup. Mbak petugasnya lalu bilang , "ini ada excess baggage". Tapi petugas yang membawa walkie talkie itu langsung menggeleng dan berkata "it's okay, just move on" sambil menunjuk ke arah gerbang pemberangkatan agar mama saya segera melangkah ke sana.


Saya dan mama saling berpandangan dan terbengong-bengong. It all happened so fast. Tapi Allah memang Maha Kuasa. Dasar memang rezekinya mamašŸ„°

 Syariat agama itu tujuannya membawa ketenangan hati. Hanya saja hawa nafsu dan syahwat yang enggan untuk dikekang dan diatur itu saja yang selalu protes dan berkeberatan. Dan memang kalau ditelaah lebih dalam banyak persoalan dalam hidup itu ditimbulkan oleh dua oknum tadi yang belum ter-manage dengan baik.


Hawa nafsu misalnya inginnya selalu kelihatan unggul, cemerlang, keren dan paling tidak mau merasa dikecilkan, tidak dianggap atau kurang dari yang lain. Maka gara-gara mendengarkan hawa nafsu orang bisa cenderung memaksakan diri membeli hal yang tidak perlu bahkan memaksakan diri membeli sesuatu walaupun harus nyicil sampai ubanan.


Syahwat pun dayanya tak kalah hebat. Dia selalu ngiler dengan elemen-elemen keindahan dunia. Lihat mobil baru, pengen. Lihat hape baru, pengen juga. Lihat laki-laki atau perempuan yang baru dan tampaknya lebih kinclong, eh ngebet juga. Duh, repot kita dibuatnya. Keinginannya tidak ada habis-habisnya. 


Maka dalam permasalahan syahwat saja misalnya, agama memberikan arahan. Misalnya ada hadits Rasulullah yang menganjurkan kalau seseorang melihat orang lain yang menarik hatinya sedemikian rupa hingga syahwatnya menjadi bergelora maka solusinya bukan dengan ngoyo bikin pe-de-kate dan merakayasa skenario untuk mendapatkan di kecengan itu. Tapi kalau sudah nikah, ya kembalilah melampiaskan syahwatnya dengan pasangan yang halal. Kalau belum punya pasangan? Shaum , itu cara melemahkan daya syahwat.


Kalau satu hal ini saja dipatuhi dengan baik, rasanya bisa memotong sekian banyak drama dalam kehidupan misalkan yang diakibatkan oleh kehadiran pihak ketiga yang bahkan bisa memporak-porandakan sendi-sendi rumah tangga. Tapi kalau memang sudah terjadi, apa daya. Bagaimanapun ada izin Allah di balik hal yang tampaknya akal kita masih pusing untuk mencernanya. Caranya, istighfar banyak-banyak, shalat dengan baik dan bangun ketaqwaan kepada Allah. Karena dengan hati yang taqwa maka Allah akan mengajari. Toh kita butuh Allah ajari agar bisa memahami kenapa hal seperti itu Dia izinkan terjadi?

 Ketik kita ditempatkan dalam keadaan yang tidak berdaya, itulah saat emas dimana Allah Ta'ala akan memperkenalkan dirinya dengan lebih jelas dengan menyingkirkan "sesembahan" lain selain Dia yang biasanya kita agungkan, andalkan dan banggakan.


Kadang kita dibuat menjadi melakukan banyak kesalahan. Kadang dibuat sakit dan lemah. Kadang mata pencaharian dibuat sulit untuk didapatkan. Kadang pernikahan kita dibuat ditimpa prahara. Kadang anak dibuat sakit atau bermasalah. Kadang dibuat konflik dengan orang tua atau keluarga. Ada seribu satu cara datangnya ujian dari Allah Ta'ala itu.


Maka ketika dibuat tak berdaya, sabarlah, banyak istighfar dan kontemplasi ke dalam diri. Jangan mudah melempar batu sembunyi tangan, menunjuk kesalahan kepada orang lain atau situasi. Karena semua dalam kendali Allah Ta'ala. Tak ada yang mampu mendesain takdir kecuali Dia Ta'ala. Bahkan tidak para nabi, tidak syaithan, pun tidak para malaikat-Nya.

Friday, November 19, 2021

 

Penjara itu sesuatu yang kita asosiasikan sebagai keadaan yang mengekang, membatasi gerak dan berupa hukuman. Sedemikian rupa orang kemudian tak mau berada dalam kondisi terpenjara.

Tapi sejarah manusia kemudian mengungkap bahwa ada hal-hal besar yang justru terlahirkan dalam kondisi orang dipenjara. Seorang Marcopolo misalnya tak akan mengeluarkan pengalamannya berkelana jika ia tak sempat dipenjara. Bung Karno menyusun pidato yanng menggetarkan Indonesia Menggugat tatkala beliau berada dalam tahanan penjara. Disitulah kabarnya sang Bapak Bangsa ini mengolah gugatan dengan membaca sekitar 80 buku dan pidato-pidato terkenal. Almarhum Buya Hamka pun menelurkan Tafsir Al Azhar ketika beliau sedang berada dalam penjara. Dan jangan lupa Nabi Yusuf as yang melegenda itu dimatangkan oleh Allah Ta'ala dalam penjara.

Jadi dalam ruang takdir yang kita pandang sebagai sebuah keterbatasan, kesempitan dan ketidakleluasaan. Di situ sebenarnya Allah Ta'ala tengah menumbuhkan benih dalam diri kita agar ia berbuah dan minyak ma'rifat yang dihasilkan dari buah itu akan menyalakan qalb kita selapis demi selapis hingga bertemu sumber api yang ada di dalam (mishbah). Sebuah pertemuan dua lautan.

Maka terima saja apa yang ada dan jalani dengan hati yang bersuka cita. Make the best out of it. That's how we live our life happilyšŸ‘Œ

 Sebenarnya bukan orang lain yang membuat kita bersedih atau menderita. Akan tetapi ketergantungan kita kepada mereka yang membuat kita sedemikian rupa rentan oleh perubahan yang ada.


Orang yang demikian terbiasa menggantungkan diri dan penghidupannya pada orang lain akan kepayahan ketika mereka yang diandalkan menjadi tempat sandarannya itu tiba-tiba tidak bisa memenuhi apa yang diharapkan. Obyek sandaran itu bisa jadi pasangan hidup, pekerjaan, orang tua, saudara, teman-teman yang biasa selalu dapat diandalkan memberikan pertolongan atau perhatian.


Selagi ia masih terbiasa mengandalkan selain Allah untuk menjamin penghidupannya, selama itu juga sebenarnya ia kehilangan sebuah kesempatan untuk betul-betul mengenal Allah sebagai Rabb. Karena terhalang oleh pemelihara-pemelihara yang merupakan perantara-perantara-Nya.


Jika seseorang dirahmati oleh Allah Ta'ala, maka ia akan memasuki sebuah "masa pengeringan" dimana semua hal yang biasanya dia dapat andalkan tiba-tiba berantakan, apa yang biasanya cepat memberi solusi dibuat menjauh dan sulit. Sebuah kondisi yang membuatnya menjadi fakir, sehingga ia jatuh bersimpuh dan kembali memalingkan wajah hatinya kepada Allah Sang Rabbul 'Alamiin.


Di awal waktu proses ini akan terasa menyakitkan, seperti bayi yang menangis tatkala memasuki waktu penyapihan. Tapi ini satu-satunya jalan untuk menyapih ketergantungannya kepada dunia. Hingga dia mengenal dan membangun keakraban dengan Sang Maha Pemelihara dan tidak menggantungkan hidup dan kebahagiaannya kepada obyek-obyek selain-Nya yang fana itu.

Wednesday, November 17, 2021

 Saya percaya semua orang bisa menulis. Tak perlu dibandingkan gaya seseorang dengan yang lain. Tulisan itu seperti sebuah lukisan, setiap orang punya alirannya masing-masing untuk mengekspresikan dirinya dengan lebih leluasa. Artinya masalah tulisan itu bagus atau tidak hanya masalah selera.


Tapi untuk menjadi seorang penulis memang dibutuhkan ketekunan, kedisiplinan dan kesabaran. Anda harus menulis setiap hari. Sedemikian rupa sampai jiwa rasanya lapar kalau belum menulis di hari itu. Karena bagi seorang penulis, menulis adalah cara bertasbihnya. 


Perjalanan saya mulai tekun menulis baru dimulai di tahun 2008, bertepatan dengan sedang musim blog dan adanya fasilitas internet. Sesuatu yang memudahkan saya menulis dimanapun menggunakan berbagai media yang ada. Karena munculnya ide tak mengenal waktu dan tempat. You just have to be ready when it come. Kalau ide itu tidak ditangkap dan dituangkan langsung menjadi tulisan dia akan basi. Banyak ide yang saya sempat tulis tapi tak langsung dituliskan, ketika mencoba menuliskannya ide itu bagaikan sudah basi. Hilang rasa. Sayang sekali...


Menulis juga seperti body building. Anda perlu menambah bebannya di waktu-waktu tertentu. Di awal waktu saya nyaman saja bermain di ranah tulisan-tulisan pendek. Tapi kemudian saya didorong untuk menulis terjemahan sebuah kitab berbahasa Inggris kuno yang sampai keriting mengerjakannya. Setelah itu beralih menerjemahkan biografi, masih dirasa enteng. Sampai kemudian beban ditambah untuk menulis biografi itu sendiri. Tak tanggung-tanggung dua biografi pada waktu yang bersamaan. Setelah itu menerjemahkan kitab tashawwuf bergaya bahasa sastra dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. That's another challenge. Dan setelah itu menerjemahkan buku-buku Bahasa Belanda kuno ke Bahasa Indonesia. Also another additional weight. 


Pusing kalau dipikir-pikir bagaimana bisa memanage dengan kegiatan mengurus keluarga, bekerja dan kuliah. Tapi kan ada Gusti Allah, semua Dia yang mengatur. Selama kita berserah diri kepada-Nya ternyata kok ya bisa saja ya. Aneh bin ajaib. But then i realize that it was not me. Karena kalau mengandalkan kemampuan diri kita kosong besar. Tapi jangan pula menjadikan alasan untuk tidak berkarya. Just do it. No excuse!


Jadi buat yang masih segan menulis dengan berbagai alasan ini dan itu. Tampaknya yang pertama harus dipertanyakan bukan masalah apakah kita bisa menulis atau tidak. It's just a matter of strong will. Mau atau tidak menulis? Kalau iya. What stop you then?

Tuesday, November 16, 2021

 Orang yang tak pernah mengalami rasa haus yang demikian mencekik kerongkongan tak akan pernah menghargai nilai setetes air.


Orang yang selalu gampang hidupnya, lancar jaya bisnisnya dan serba mudah kesehariannya tak akan memahami nilai sebuah keajaiban ketika dunia disempitkan dan tiba-tiba ada sebuah pertolongan yang tak terduga.


Orang yang selalu bisa mengandalkan orang tua, pasangan, teman, tabungan, simpanan, warisan dsb tak akan merasakan kegembiraan yang penuh ketakjuban saat tak ada lagi rasanya yang bisa diandalkan tapi pertolongan-Nya tiba-tiba hadir dengan ajaib.


Anak-anak pun kalau biasa dimanjakan dengan semua fasilitas orang tua tak akan pernah belajar untuk menjadi kuat, sabar, tangguh dan mandiri.


Memang jadi orang tua itu mesti bisa tegaan. Suatu saat melepas dan melihat anaknya pontang-panting. I know its not easy for me with all my maternal gate-keeper thingy yang bawaannya selalu ingin membantu anak. Tapi sadar juga sebenarnya bahwa kalau si anak terus disuapi dia tidak punya kesempatan melatih otot-ototnya. Tidak sekadar otot secara fisik, tapi ada otot kesabaran, otot kemandirian, otot kebersyukuran dll yang itu penting untuk bekal dia menjalani kehidupan jangka panjangnya.


Saya jadi merenung, jangan-jangan ini juga jawaban atas pertanyaan saya tentang kenapa Tuhan mengirim kita ke alam dunia yang penuh cobaan, kegelapan, ujian dan melelahkan? Karena Dia ingin agar potensi-potensi dalam diri kita bertumbuh. Sesuatu yang tak akan pernah terjadi kalau kita leyeh-leyehan terus di surga menikmati semua fasilitas yang ada tanpa mengeluarkan peluh dan berkorban untuk itu.


-Perjalanan dalam metro menuju De Pijp Amsterdam di tengah musim gugur yang makin dingin 6°C

Friday, November 12, 2021

 Dalam sebuah kelas coaching instrukturnya membimbing sesi visualisasi dimana setiap orang harus coba membayangkan ada sebuah pintu yang menggambarkan tujuan masing-masing dan bayangkan juga ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk berjalan mendekati tujuan itu.


Lalu salah satu peserta seorang Bapak usia pensiun berambut putih berkata bahwa penghalang yang dia bayangkan itu adalah ayahnya sendiri. Dia kemudian berkata dengan lirih dan tampak menahan tangis bahwa ayahnya baru saja meninggal dan dia tidak memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya. Sang ayah adalah orang yang keras sekali sedemikian rupa hingga sepanjang hidup berada ia merasa seperti berada dalam bayang-bayangan harapan ayahnya sendiri.


Jelang akhir hidup sang ayah ketika ia terbaring tak berdaya dia berkata, "Saya pegang tangan ayah saya. Aneh sekali rasanya karena saya tak pernah dekat dengan beliau baik secara fisik maupun psikis." Dengan kepergian sang ayah yang tersisa hanya kenangan pahit serta sebuah lubang besar yang tak akan pernah terisi tentang seorang anak yang haus akan kedekatan dan ekspresi kasih sayang dari ayahnya sendiri.


Ketika saya bertanya apa menurut dia pelajaran yang bisa diambil dari hubungan yang sedemikian rupa dengan ayahnya dia menjawab bahwa itu adalah hal yang tidak mudah tapi bagaimanapun ia adalah bagian dari proses mencari kedamaian bagi dirinya sendiri.


Saya menarik nafas dalam-dalam dan menjadi merenung karenanya. Tentang betapa dalam dampak yang diakibatkan dalam sebuah interaksi antara orang tua dan anak. Bagaimana itu bisa membentuk si anak dan membayangi mereka berpuluh tahun lamanya. Kadang kita sebagai orang tua tidak sadar betapa kita merusak jiwa anak-anak kita yang fitrah karena menuruti ego yang masih demikian menggurita...

Monday, November 8, 2021

 Kalau sedang menghadapi writer's block, sebuah kondisi dimana inspirasi untuk menulis seakan mandeg biasanya setelah shalat saya pergi ke stasiun kereta api atau bandara. Entah kenapa dinamika yang ada disana begitu mengagumkan untuk saya. Melihat orang lalu-lalang berjalan kebanyakan dengan ritme cepat kalau tidak agak berlari mengejar sesuatu. Ada juga pemandangan haru seperti perpisahan atau pertemuan dengan orang yang dikasihi. Selain itu saya perhatikan orang-orang yang bekerja di sana, para petugas kebersihan petugas keamanan, petugas bandara, penjaga toko, penjual suvenir dll. Bagaimana orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.


Probably its the sense of purpose yang membuat saya betah berlama-lama memerhatikan keadaan seperti ini. Betapa orang berjalan dengan tujuan tertentu. Beda cara jalannya dengan orang yang luntang-lantung tak mengerti mau kemana, apalagi tersesat, terlihat rona panik di wajahnya.


Hidup itu seperti itu. Kita perlu a sense of purpose agar jatah nafas setiap saat bisa digunakan sebaik-baiknya. Agar tidak mudah patah dan rapuh menjalani kehidupan. Agar tak gampang didera oleh kebosanan. Kalau tidak kita akan luntang-lantung mengerjakan sesuatu yang tanpa arah dan terjebak oleh ilusi mengejar sebuah pepesan kosong. Tahu-tahu peluit panjang dibunyikan. Seluruh isi stasiun harus dikosongkan. Kiamat terjadi, baik itu kiamat kecil berupa kematian maupun kiamat besar berupa runtuhnya eksistensi alam semesta.  


Jangan sampai saat peluit berbunyi kita tak membawa bekal apapun untuk kehidupan di tujuan berikutnya. Rugi besar, na'udzubillah...


- Amsterdam Central Station, 13.24

8 Nov 2021


 Kerjakan semua amanah yang ada di tangan kita dengan baik dan didasari oleh hati yang tulus. Tak perlu mengharapkan ucapan terima kasih atau imbalan. Itu artinya tidak ikhlas.


Harapan akan sesuatu selain Allah itu yang merusak nilai amal tersebut di mata Allah dan mendatangkan derita. Karena ketika kita tidak mendapatkan penghargaan atau pengakuan seperti yang kita inginkan yang tersisa hanya sakit hati. Kalaupun kita kemudian mendapat pujian malah menjadikan bangga diri. Dua-duanya tidak bermanfaat dan malah mengotori hati.


Biar saja orang mau bicara apa. 

Biar saja orang tidak mengucap terima kasih.

Biar saja kita seakan tidak dianggap.


Be good anyway.

Bekerjalah terus. Berkaryalah terus. Bersinarlah terus. Justru nilai sebuah amal itu ditentukan dari kadar keikhlasannya. Kita melakukan semua itu agar Allah Ta'ala tersenyum ridho kepada kita. Aamiin.

Monday, November 1, 2021

 It is like a blink of an eye indeed.


Rasanya baru kemarin memeluk tubuh kecil mereka dalam pangkuan. Sekarang sudah besar badannya dan terlalu berat untuk ditimang.


Rasanya baru kemarin mendengar tangisannya kalau saya sebentar saja hilang dari pandangan mereka. Sekarang gantian saya yang harus cari-cari mereka yang asyik bermain bersama teman-temannya.


"Semua ada masanya" begitu selalu kata mama saya kalau beliau menerima curhat anaknya tentang betapa melelahkan tugas mengasuh anak itu.


Dan masa itu sudah berlalu, tinggal kenangan yang tersisa yang terekam dalam ribuan foto-foto yang saya abadikan dan saya buatkan album tahunan. Agar suatu saat nanti mereka bisa melihatnya dan mengingat betapa hidup mereka penuh dihiasi oleh kenangan yang indah.


And in a way it's my way to say to them that i was there, i was the one who took your video and pictures, i was the one who cheered you at your first step, i was the one who giggled to your blabbering talk, i was the one who prepare your first meal. I was there in every step of your milestone. Witnessing you grow, holding you when you are ill, comfort you when the world seems too much for you to bear.


What they don't understand yet is that i have to make sacrifices in order to be present with them. But that is what every parent will do. They make sacrifices. This is what they do in order to pass the baton to their children someday.


Looking back, i then realized that what i called by "sacrifice" is nothing but God's way to cherry pick what is the most essential thing for me. And if i get to choose, would i do it all over again? You betcha!


Sunday, October 31, 2021

 To me part of getting older is to know what you REALLY want to do.


Not what you ego wanted.

Not what people told you so.

Not what might look good on you.

Not any of that.


It's the journey within to discover who you really are.

What do we really want to do.

And that has nothing to do with money, fame, social status, grading, promotion, fear of what would people say, fear of losing friends, worry about your future or the future of your kids, etc. Again, not any of that.


So, when you can freed yourself from that things, what do you really want to do?

Friday, October 29, 2021

 Dalam perjalanannya menuju untuk beribadah di atas gunung, Nabi Musa as berpapasan dengan seorang shalih yang meminta rahmat dan ada seorang lagi yang wajahnya tampak sedih dengan air mata bercucuran seraya meminta agar Musa bertanya kepada Tuhan apakah Dia masih mencintainya. Dia pun menjumpai seorang yang sedang dimabuk cinta yang berteriak kepadanya,

"Hei! Katakan kepada Tuhan bahwa aku sudah tidak sanggup lagi, bahwa aku sudah lelah menderita. Sudah selesai urusanku dengan-Nya dan Dia pun sudah tak ada urusan lagi denganku!"
Musa pun berjalan melewati mereka semua dengan tenang.
Ketika berhadapan dengan Tuhan, ia menceritakan tentang dua orang yang dijumpainya dan Tuhan berkata,
"Rahmat-Ku adalah bagi orang yang shalih dan cintaku bagi hamba-Ku yang lainnya; bagaimana dengan orang yang gila itu? Mengapa kau tidak menceritakannya?"
"Hamba tidak berani Tuhan, walaupun Engkau Maha Mengetahui" ujar Musa.
"Katakan kepadanya"kata Tuhan "bahwa Engkau adalah milik-Ku selamanya, Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, walaupun engkau meninggalkan-Ku atau tetap bersama-Ku."
- Hafiz

Thursday, October 28, 2021

 Bersabar didera keletihan dan rasa bosan itu sudah salah satu makanan pokok ibu rumah tangga. Itulah medan jihadnya. Mengerjakan hal yang sama berulang kali, membersihkan dan membereskan rumah, mencuci baju, belanja, masak dll memang bisa membuat stamina kita turun. To all mother in the world, i feel you...


Beda memang rasanya ketika kita lelah dalam rangka mengerjakan semua pekerjaan kantor atau bisnis. Ada variasi tertentu, interaksi dengan kolega, and yes at the end of the day you can expect a reasonable paycheck. Rasanya rewarding gitu. 


Rewarding, nah itu masalahnya. Kita demikian terbiasa mendefinisikan reward dari hal-hal yang bersifat materi. Sesuatu yang ada nominalnya, bisa dipegang piala atau piagamnya, atau bisa didengar tepuk tangan serta sekian pujian yang menyertai. 


Been there done that. Tapi seiring dengan rambut helai demi helai menjadi memutih. Saya mulai merasa justru reward yang tak terlihat (invisible rewards) itu yang justru dalem bener pengaruhnya. Hal-hal seperti rasa damai, ketentraman, kebersyukuran, bisa memaafkan, bisa let go, tidak ngoyo, pokoknya bahagia saja apapun keadaannya. Itu justru "barang-barang" yang mahal yang tak dijual di amazon, ali baba, tokopedia, lazada, atau toko manapun you name it. Kenapa ga ada yang bisa jual? Karena hal-hal seperti itu murni pemberian Tuhan. Tak ada campur tangan nabi, malaikat, ustadz, emak, mang ojek dll. It's simply given.


Pertanyaannya, kalau itu diberikan, kenapa banyak orang yang tak bisa mensyukuri hari ininya? Mengapa tak bisa menerima keadaannya? Mengapa mengeluhkan pembagian rezekinya dan mendengki yang lain atas kenikmatan yang diterimanya? Why it's not easy to be happy?


Well i know why. In my own experience it's the ego that blocked me from my own happiness. Ego yang berkata, "Kamu kan mestinya begini...mestinya kamu punya ini...mestinya kamu jadi itu...mestinya...harusnya...kerennya..."  Seribu satu mantra dan alasan yang dihembuskan oleh si ego yang membuat kita menjadi memandang rendah pasangan kita, menganggap kecil rezeki yang ada, melihat keburukan di semua hal, selalu meronta dari koordinat takdirnya di setiap ruang dan setiap saat. Si ego itu hawa nafsu kita sendiri, musuh terbesar manusia yang peperangan menundukkannya itu dikatakan oleh baginda Rasulullah saw sebagai sebuah peperangan yang jauh lebih besar dari perang fisik. Hal itu beliau katakan sepulang dari Perang Badar, salah satu perang paling menegangkan dalam sejarah dan menelan banyak korban jiwa.


Jadi, kembali ke lelah dan bosan. Sambutlah keduanya dengan tersenyum. Itu adalah tamu-tamu Allah yang Dia kirimkan sebagai bagian dari kurikulum untuk melatih jiwa. Agar bertumbuh sifat-sifat baik seperti tangguh, sabar, tawakal dll. And yes, if you feel it's a bit too much. Just take a pause. Manjakan diri dengan apapun yang bisa menyegarkan jiwa, karena memang natur jiwa akan bosan manakala mengerjakan sesuatu yang berulang. Maka sesekali lakukanlah hal yang di luar rutinitas. Be spontaneous. Don't underestimate the power of taking a coffee break and a conversation with yourself☕


Yes you can mama!

Tuesday, October 26, 2021

 Orang ini unik. 


Ditawari promosi menjadi kepala cabang malah ogah-ogahan dengan alasan posisi yang ada sudah cukup buat dirinya. 


Ditawari tinggal di rumah dinas yang luas dengan fasilitas satpam pribadi ditolaknya dengan alasan terlalu besar. Dia pun kontrak kost-kostan kecil tapi nyaman.


Ditawari fasilitas supir kantor pun tak dimanfaatkannya, dia lebih suka naik ojek atau nyetir sendiri. 


Saya geleng-geleng kepala mendengarnya. Tapi di saat yang bersamaan hal ini membawa kesejukan tersendiri di tengah fenomena kelakuan pejabat yang tak sedikit petentengan dan bahkan menyalahgunakan fasilitas kerja yang ada.  

Semoga berkah hidupmu Mas HB. 


Salam hormat, 

Dari keponakanmušŸ™

 Bagi orang tua yang hendak melepas anaknya untuk menuntut ilmu di tempat yang jauh, jangan khawatir. Jika semua sudah dipertimbangkan matang-matang apalagi anaknya juga terlihat semangat, maka dukunglah dia dan lepaskan. Berilah kepercayaan kepadanya bahwa dia akan bisa menjalani penggal kehidupan tersebut dalam keadaan jauh dari orang tua. Yang penting buka terus komunikasi dan sematkan namanya dalam doa-doa harian kita. Sebaik-baik bekal adalah taqwa, bukan kartu ATM yang penuh isinya, bukan kartu kredit, bukan perlindungan saudara atau ini dan itu. Yang terbaik melindungi anak kita adalah Dia Yang menciptakannya. Maka jangan salah menyandarkan tawakal kita kepada selain Dia. Itu yang biasanya menjadi sumber malapetaka. 


Hari ini saya sempat berdiskusi dengan salah seorang sahabat yang lepas SMA sudah merantau menuntut ilmu dari Sumatera ke Pulau Jawa. Walaupun orang tuanya termasuk orang yang berada dia dididik tidak manja, hanya boleh minta uang saku di awal bulan. Selebihnya atur-atur sendiri pengeluaran yang ada. Jadi kalau dia hendak ada kegiatan ekstra ke luar kota misalkan ke Bandung, maka perencanaan keuangannya harus cermat, dia akan memilih jalur perjalanan yang paling murah dan hanya makan seporsi soto di tempat tertentu yang rasanya enak, harganya seribu lima ratus rupiah saja saat itu dan porsinya cukup banyak hingga bisa membuat perut kenyang dalam waktu cukup lama plus tidak bisa jajan-jajan. Keprihatinan itu nampak tidak membuatnya berkecil hati, sebaliknya dia menikmatinya, karena hal itu membuatnya banyak berpikir dan menjadi bijak dalam membelanjakan rezeki yang Allah berikan melalui kedua orang tuanya. 


Bicara tentang rezeki, perjalanan merantau itu ternyata mengantarkan dia menemui salah satu rezeki terbaiknya dalam kehidupan, yaitu dipertemukan dengan guru ngaji dan pasangan jiwanya. Sesuatu yang tidak akan pernah terjadi jika ia memutuskan tinggal di zona nyaman bersama orang tuanya saat itu.


So, dear mamas and papas. Don't be hesitate to let our children go in time. Karena "Anakmu bukanlah milikmu,

mereka adalah putra putri sang Hidup,

yang rindu akan dirinya sendiri." - Kahlil Gibran


Terinspirasi dari diskusi di forum An Nisaa hari ini bersama Bu Guru Sentari Achmad <3

Friday, October 15, 2021

 Ibu, masa depan anak-anak itu salah satunya tengah dibentuk oleh tangan kita, ibunya.


Ketika Allah Ta'ala berketetapan mengamanahkan mereka dalam pangkuan sang ibu, sungguh itu bukan hal yang main-main. Sebuah kontrak kerja seumur hidup yang balasannya surga. Tak kurang baginda Rasulullah saw demikian mengagungkan peran seorang ibu dengan mengatakan,


"Surga ada di bawah telapak kaki para ibu"

(HR Anas bin Malik ra)


Ketika seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ 

Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” 

(HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)


Bahkan Rasulullah saw dalam membandingkan kasih sayang Allah kepada semua hamba-Nya itu disandingkan dengan kasih sayang ibu kepada anaknya. Hal itu tertuang dalam sebuah hadis riwayat Umar Bin Khattab. Suatu ketika sebuah rombongan perang mendatangi Rasulullah. Terlihat seorang ibu yang kelabakan mencari bayinya. Seketika bayinya ketemu, ibu tersebut lantas memeluk dan memberikan asi kepada bayinya. Melihat hal tersebut Rasulullah bertanya “Apakah ibu tersebut akan tega melempar bayinya dalam sebuah kobaran api yang menyala?”. Kami menjawab, “Tak akan mungkin, Demi Allah, bahkan ibu itu mampu untuk mencegah bayinya terlempar ke dalam kobaran api.” Atas jawaban tersebut, Rasulullah bersabda,”Sungguh Allah lebih sayang kepada semua hamba-Nya daripada seorang ibu ini kepada anaknya.”


Anak-anak kita itulah tangga menuju Allah Ta'ala yang kita cari-cari.  Maka pahamilah bahwa kehadiran mereka bukan menjadikan ibadah kita terganggu, justru malah menjadikan semua ibadah seharusnya menjadi lebih bermakna. 


Menjadi ibu itu tak terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sahabat ditakdirkan harus keluar rumah dan bekerja, bukan berarti sedang tak berfungsi menjadi ibu. Dari manapun kita berada, entah itu di angkutan umum, di mushalla kantor atau di ruang kerja kita, luangkan waktu barang satu menit saja untuk mengirimkan Al Fatihah untuk anak-anak kita yang sedang bersekolah. Ingat, doa ibu itu powerful. Bukankah itu jauh lebih indah, memiliki keterpautan hati kepada Sang Pencipta ihwal anak-anak kita dibanding lalai hati walaupun sedang berada di sekitar sekolah anak-anak tapi malah hati lalai dan terjatuh dalam medan gosip beserta ibu-ibu lainnya?


Ayo bu. Inilah medan jihad kita. Menempuh lelah dan kadang jemu, mengerjakan hal yang itu-itu lagi. Membersihkan yang lagi-lagi kotor. Merapikan yang selalu berantakan. Udah gitu ga ada duitnya. Eits, tapi jangan salah. Upah terbesar itu memang sesuatu yang bersifat gaib, karena balasannya langsung dari Allah Ta'ala Yang Maha Gaib.


Inilah peran kita, para perempuan, para ibu, pilar-pilar rumah tangga dan negara. Jika pilarnya rapuh, tidak serius mengerjakan amanahnya, tidak kokoh menghadapi takdir dan tidak dalam mensyukuri kehidupan maka semua kehidupan di sekitarnya akan goyah. Saya curiga dengan bermunculannya sekian banyak penyakit sosial di masyarakat, jangan-jangan ini adalah konsekuensi dari tercerabutnya para perempuan dari tugas sucinya masing-masing dan menjadikan peran di rumah tangga dan mendidik anak sebagai sampingan. Sudah saatnya kita kembali kepada peran yang Allah sematkan kepada diri kita, menjalankan peran secara serius menjadi ibu. Jadikan itu sebagai peran utama, yang lainnya ya sampingan saja. Bukan sebaliknya.

Tuesday, October 12, 2021

 I have a confession to make.

Waktu kecil dulu pernah curi-curi makan satu bungkus coklat Beng-Beng saat lapar-laparnya puasa di siang hari di bulan Ramadhan. I'm not proud of it. Tapi begitulah anak-anak, masih belum mampu berpikir jauh. Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni.


Saya kemudian belajar bahwa salah satu arti untuk menjadi dewasa adalah memiliki kemampuan untuk melihat jauh, menyadari apa konsekuensi dari sebuah tindakan dan sekaligus melihat jauh makna sebuah pemberian adalah bukan hanya sesuatu yang bersifat fisik.


Contohnya kembali ke puasa tadi. Hanya anak kecil yang masih harus diawasi puasanya. Hanya anak kecil yang curi-curi minum atau makan dan berpura-pura masih berpuasa. Dan hanya anak kecil yang menerobos batas-batas syariah hanya untuk kenikmatan sesaat. Maklum anak kecil masih pendek sumbu kesabarannya. Masih lemah akalnya dan masih goyah keimanannya. Maka hanya anak kecil yang masih harus dipuji-puji untuk membesarkan hati dan menguatkan semangatnya. 


Atau, mungkin ada juga orang yang raganya sudah besar tapi jiwanya masih seperti anak kecil. Masih tidak sabaran, masih sembunyi-sembunyi melakukan hal yang melanggar hati nuraninya sendiri -itupun kalau hati nuraninya masih bisa berkata-kata- karena ada orang-orang yang didinding hatinya sedemikian rupa hingga suara hati nuraninya sendiripun tak lagi terdengar. Na'udzubillahimindzaalik. 


Saya juga belajar makna lain dari menjadi seorang dewasa adalah untuk meraih kemampuan untuk berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Untuk mulai merasakan kehadiran-Nya tanpa perlu bukti-bukti yang bombastis. Untuk memenuhi keinginan-Nya walaupun itu bertentangan dengan keinginan diri sendiri. Untuk tetap mengerjakan syariat yang merupakan jalan untuk mendekati-Nya walaupun akal belum sepenuhnya memahami dan bahkan dunia sekitar bisa jadi mencerca pilihan tersebut. Juga untuk mendengar kehadiran dan respon Dia dari segenap ufuk, karena Dia Maha Mendengar dan sangat cepat dalam merespon. Dia yang bisa mendengar bisikan hati yang terdalam yang para malaikat kiri dan kanan kita pun luput menangkapnya. Apalagi hanya sekadar suara bungkus kemasan Beng-Beng yang dibuka di siang hari sepi yang saya pikir tak ada ada yang mengetahui...I was wrong. Dead wrong...

Thursday, October 7, 2021

 "Why do we have to face Mecca during shalat?"


Pertanyaan Elia yang polos itu memancing sekian banyak perenungan di dalam diri. Saya rasanya dulu tidak banyak bertanya-tanya ini dan itu. Apa yang diperintahkan ya pokoknya kerjakan saja. Ada sisi positifnya dan ada kekurangannya memiliki perilaku selalu menurut seperti itu. Probably it's also cultural thing. 


Kenapa menghadap Mekkah? Saya jawab karena disitu ada Baitullah. House of God. Tapi kemudian logika si kecil akan teraktivasi kembali.


Rumah Tuhan? Kok kecil?

Dia pikir Tuhan Yang Maha Kuasa dan Yang Punya segalanya pastilah rumahnya megah melebihi rumah artis-artis Hollywood atau pengusaha papan atas dunia.


Lantas, apa makna Baitullah? Apakah Tuhan ada di dalamnya? Jika Tuhan sedang ada di dalamnya, apakah berarti Dia tengah tidak berada di tempat lainnya? Apa mungkin ada satu titik di semesta ini yang Dia tidak menjejak disana?


Dan mengapa orang berthawaf mengitari Ka'bah? Mengapa tidak duduk tenang saja sambil berdzikir? Mengapa pula putarannya harus berlawanan arah dengan jarum jam serta memakai pakaian tertentu dengan warna tertentu?


Ini salah satu hal yang penting untuk dipahami, mengapa shalat menghadap ka'bah beserta seluruh ritual yang terkait. Karena tidak sedikit orang di luar Islam disana yang mengira kita menyembah ka'bah.


- Catatan mendidik anak. Amsterdam, di awal musim gugur 2021

Thursday, September 23, 2021

 "Sometimes you have to challenge God!" kata ibu yang satu ini dalam pembicaraan hari ini selepas mengantar anak-anak piknik dengan rombongan sekolah ke Dinopark.


"Kamu tahu, dua tahun lalu pas sebelum wabah Corona saya sedang letih-letihnya." Imbuh ibu empat anak yang berasal dari Ghana ini.


"Saat itu saya benar-benar merasa down sekali. Satu-satunya hal yang saya ingin lakukan adalah untuk sejenak pulang ke Afrika dan berkumpul dengan orang tua saya disana. Tapi saya tidak punya uang untuk pergi ke sana. Butuh setidaknya 1000 euro. Uang dari mana? Ah, tapi saya kan punya Tuhan. Saya lalu berdoa sama Tuhan. Begini doa saya,


'Tuhan, kalau kau benar-benar sayang aku, tolong tunjukkan sekarang juga. Sekarang juga'


Perhatikan ya, saya tidak meminta uang kepada Tuhan saat itu. Saya cuma meminta Dia untuk menunjukkan bahwa Dia sayang saya. 


Lalu, kamu tahu apa yang terjadi? Beberapa hari kemudian sepulang saya mengantar anak saya les renang, saya menemukan bungkusan di jalanan berisi uang 1600 euro! Saya merasa itu jawaban dari doa saya. Dengan uang itu saya bisa pergi ke Afrika dan bahkan mengajak anak-anak saya makan di restoran."


Ketika saya tanya kepada ibu itu kenapa tidak melaporkan uang penemuannya itu ke polisi terlebih dahulu, dia jawab dengan enteng "Ngga dong, nanti uangnya malah diambil mereka!"šŸ˜…


What a story šŸ„°

Wednesday, September 15, 2021

 Generasi muda perlahan-lahan mulai meninggalkan agama. Setidaknya itu fenomena yang saya amati di Belanda berdasarkan bacaan berbagai berita di surat kabar juga di Amerika berdasarkan paparan Prof. Jeffrey Lang dalam bukunya "Losing My Religion". Empat dari sepuluh generasi milenial sudah menyatakan tidak ada hubungannya dengan agama apapun, demikian hasil survei dari Pew Research Center.


Agama menjadi topik yang tabu dibicarakan. Seiring dengan itu untuk mengucap kata "Tuhan" saja orang akan dibuat mengernyitkan dahi. Itu setidaknya di Eropa, khususnya di negara yang pernah saya amati seperti di Belanda, Belgia dan Perancis.


Mata saya baru terbuka melihat fenomena ini. Karena selama ini saya tumbuh di keluarga yang termasuk religius, begitupun lingkungan sekitar saya. Rasanya untuk hidup menjadi seorang muslim di Indonesia demikian kondusif. It's a comfort zone. Saya sudah demikian lama terbuai dalam keadaan beragama yang sedemikian rupa. Sampai ketika Allah memindahkan saya ke benua Eropa, berinteraksi dengan muslim dari berbagai negara seperti dari Turki, Maroko, Afrika, dll yang masing-masing memiliki karakteristiknya sendiri.


"Losing My Religion" pada awalnya adalah nama folder yang dimiliki Jeffrey. Setelah ia menerbitkan bukunya "Even Angels Ask" ia mulai kebanjiran email dari berbagai penjuru dunia. Banyak dari email itu berasal dari generasi muda yang orang tuanya Muslim tapi mereka pontang-panting mengikuti syariat agama di era modern ini dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat yang ada. Jeffrey sendiri melihat bahwa ini adalah sebuah isu besar yang sayangnya cenderung dihindari, banyak orang tua malu untuk mengakui bahwa anaknya tidak lagi religius. Mereka tutup mata dengan kenyataan seperti itu. Para ulama pun imbuhnya, kebanyakan menyampaikan materi yang tidak "up to date" dengan kenyataan dan permasalahan yang para generasi muda hadapi di saat ini. Banyak fatwa yang keluar hanya bernada hitam putih berdasarkan interpretasi hadits yang sangat sempit. Dan itu membuat generasi muda yang mulai berpikir kritis tentang agama beranjak menjauh. Walaupun pada saat yang sama mereka masih terikat oleh sebuah kedekatan tertentu kepada agama melalui tradisi yang diwariskan oleh orang tuanya masing-masing.


Seorang pendeta di Amsterdam dalam sebuah wawancara di surat kabar ternama juga mengakui bahwa gereja harus mengubah narasi dalam menyampaikan ajaran kitab suci kepada generasi muda. Metode zaman dulu seperti menakuti-nakuti seseorang jika tidak melakukan syariat dengan neraka sudah tidak mempan lagi. Itu hanya akan membuat anak muda berlari menjauh dari khazanah agama yang sebenarnya sangat luas dan indah. 


Para ulama Islam pun harus melakukan hal yang sama. Agar memperkenalkan agama dengan lebih elegan dan mengayomi. Jangan sampai kejadian seperti ketika seorang muda yang demikian bersemangat belajar Islam dan datang ke sebuah masjid kemudian berubah menjadi alergi terhadap agama dan ulama karena dalam sesi perkenalan si ulama bertanya "Kerjanya apa?" si pemuda menjawab, "Saya kerja di asuransi" Dan si ulama langsung tampak tak berkenan dan berkata "Itu haram!" Dan itulah kali terakhir si pemuda terlihat ada di dalam masjid.


Memang sudah saatnya jelang era kebangkitan agama. Dimana agama dikenal secara menyeluruh, aspek lahir dan batinnya. Tapi memang action speaks louder than words. Seseorang bisa berbusa-busa menjelaskan keagungan dan keindahan sebuah agama, namun pada akhirnya yang orang lihat adalah bagaimana sikap orang itu dalam keseharian. []


15 September 2021 / 8 Safar 1443 H

Wednesday, September 8, 2021

 Takdir dan Simpul Gordian


Sekitar abad ke-4 SM Aleksander Agung (Iskandar Dzulqarnain) memasuki provinsi Phyrgia. Di daerah itu terletak sebuah kereta sapi yang melegenda. Kereta itu diikat ke sebuah tempat dengan sebuah simpul mati yang sulit dibuka oleh siapapun. Peramal setempat menyebutkan bahwa siapapun yang dapat mengurai simpul itu akan dapat menguasai seluruh wilayah Asia. Akhirnya adalah seorang Aleksander yang dapat mengurai simpul itu dan memenuhi ramalan menjadi penguasa seluruh Asia hingga daerah Indus dan Oksus.


Apa hubungannya mengurai simpul dan menjadi penguasa?


Konon takdir kehidupan itu seperti benang kusut. Ia sangat kompleks maka harus diurai perlahan-lahan. Oleh karenanya istilah "Simpul Gordian" pun sebuah istilah untuk menyatakan sebuah permasalahan yang rasanya tak mungkin dipecahkan. 


Bukankah begitu juga dengan kehidupan? Betapa sering kita dihadapkan oleh sebuah permasalahan atau situasi yang tak terbayangkan jalan keluarnya. Sesuatu yang seringkali hanya waktu yang bisa mengurai kekusutan yang ada. Menghadapi hidup pun begitu, harus sabar dan butuh waktu untuk melihat sebuah hasil yang baik. Seringkali orang tidak sabar menghadapi kekusutan masalah yang ada lalu memotong kompas dengan cara mengguntingnya atau menarik-narik secara sporadis benang yang ada tapi malah makin merusak hal yang ada dan simpul itu menjadi semakin mengikat lebih kuat. 


Ihwal mengurai simpul dan kekuasaan ini sebuah pelajaran penting dalam kehidupan. Bahwa jika kita ingin menjadi penguasa kehidupan kita sendiri, agar tidak didominasi oleh hawa nafsu, syahwat, waham diri sendiri, maka harus bersabar mengurai satu persatu helai-helai benang kehidupan yang ada dan tidak membuang satu pun darinya karena itu sama dengan membuang bagian dari kita sendiri. 


Kuncinya sabar dan mencoba melihat kehidupan sebagai sebuah gambaran besar (big picture) agar kita tak selalu terjebak dalam satu titik persoalan lokal ke persoalan lokal yang lain. Belajarlah beranjak dari melihat sesuatu sebagai sebuah titik, kemudian hubungkan semua titik yang ada menjadi garis, dan terus demikian hingga melihat semua titik yang ada membentuk sebuah gambaran tertentu yang menceritakan tentang kita dan tentang Dia, yang mendesain itu semua.


Referensi:

Andrews, E. "What was the gordian knot?" https://www.history.com/news/what-was-the-gordian-knot

Tuesday, September 7, 2021

 Jebakan Betmen


Salah satu ilusi yang sering berhasil menjebak banyak manusia adalah angan-angan akan masa depan. Sesuatu seperti,


"Kalau saya sudah menikah, pasti lebih afdhol ibadahnya"

"Kalau saya punya gaji sekian pasti akan lebih nyaman ibadahnya"

"Kalau sudah pensiun, akan lebih tenang beribadah"


Lucunya, sambil berangan-angan bisa beribadah lebih baik di masa yang belum tentu akan terjangkau oleh usia itu, pada saat yang bersamaan kita tengah mencampakkan kesempatan untuk beribadah sebaik-baiknya tepat di momen itu. Karena saat pikiran kita liar berangan-angan kita luput untuk mensyukuri nikmat yang ada di depan mata.


Ibadah bukan sekadar ritual yang kita lakukan di sepetak sajadah atau saat di dalam masjid. Ibadah bukan hanya kebaikan yang kita lakukan di tengah orang banyak. Pun Ibadah bukan hanya saat kita bisa memberi berbagi harta karena dalam keadaan keluangan.


Ibadah adalah seluruh nafas dan detak jantung kita, karenanya kita disebut sebagai abdi (orang yang beribadah). Bukankah itu ikrar yang kita sebutkan dalam doa iftitah di awal shalat? 


Kita katakan, "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam, yang tidak ada sekutu bagi-Nya."


Coba renungkan, seluruh hidup dan mati kita hanya untuk Tuhan semesta alam. Mempersembahkan kehidupan mungkin agak lebih terbayang. Tapi mempersembahkan kematian bagaimana caranya? Salah satunya dengan mematikan potensi ilusi-ilusi kita tadi. 


Buang jauh-jauh pemikiran bahwa kalau belum ketemu jodohnya kita jadi kurang bahagia. That's nonsense. Kalau seseorang tidak bisa berbahagia dan merasa cukup dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa mengandalkan orang lain dan bahkan menjadikan orang itu sebagai sumber kebahagiaan? Betapa banyak contoh setelah menikah malah orang menjadi tambah ruwet hidupnya. Karena seharusnya niat menikah itu untuk ibadah, dan yang namanya ibadah itu jalan yang penuh pengorbanan. Bukan juga berarti yang menikah tidak bahagia, itu tergantung penyikapan hati setiap orang terhadap apapun yang Allah hadirkan dalam ruang hidupnya masing-masing.


Matikan juga pikiran bahwa agar dapat ibadah dengan optimal itu membutuh uang yang banyak. Tidak pernah ada sejarahnya begitu. Karena menahan diri dan bersabar dalam kesempitan itu juga ibadah. Bahkan dikisahkan dalam riwayat bahwa orang yang paling banyak hartanya yaitu Abdurrahman Auf masuk surga lebih lama dibandingkan sahabat Rasulullah lainnya, hingga Rasulullah saw berkata memberikan jalan keselamatan dengan berinfaq banyak-banyak, 


"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya engkau adalah kelompok orang-orang kaya dan engkau akan masuk surga dengan merangkak. Karena itu berilah pinjaman kepada Allah niscaya dia lepaskan kedua kakimu,"


Jadi, pikiran bahwa dengan punya uang lebih dan penghasilan lebih hidup makin bahagia, ibadah makin mudah itu jebakan betmen lain. Sebuah ilusi yang menyebabkan banyak orang terjebak disana. TIdak sedikit yang tergoda mengikuti pemikirannya kemudian memang berhasil dan mendapat uang banyak, tapi kemudian menjadi lupa diri, keluarga berantakan dan ibadah yang dia angankan hanya sebatas bayang-bayang.


Ini kiranya salah satu  kunci ibadah, untuk berdamai dengan apa yang ada. Terima apa adanya, tanpa dibumbui oleh prasangka pikiran dan emosi kita. Baik dan buruk itu perkara persepsi atas apa yang ada. Berjuanglah untuk memaafkan. Let it go. Dan pahami bahwa semua yang Allah izinkan terjadi dan sampai ke hari kita per hari ini adalah yang terbaik untuk kita semua. Iya, kita semua, artinya juga terbaik untuk anak-anak, orang tua, bumi, dan semesta alam. Walaupun kadang butuh waktu dan  kesabaran untuk memahami dimana letak kebaikan di balik sebuah fenomena. Tapi setidaknya pelihara terus keimanan kepada-Nya. Apalagi di saat ketika kita rasanya kurang sepakat dengan pengaturan-Nya dalam hidup. Disitu justru kekuatan iman kita tengah diuji.

Monday, September 6, 2021

 Apa hubungannya permasalahan di tempat kerja, dengan bisnis yang mandeg, anak-anak yang berulah,  orang tua yang ngambek,  mertua yang cerewet, tetangga sebelah yang berisik dan menyebalkan dengan perilaku pasangan kita yang membuat kesal?


Apa benang merah yang menghubungkan itu semua?


Jawabnya jelas. Yang menyambungkan semua itu adalah kita sendiri. Karena semua itu adalah sesuatu yang Allah izinkan hadir di dalam semesta kehidupan kita. 


Agar tidak dipusingkan oleh semua itu, mulailah melihat semua sebagai satu kesatuan. Melihat semua sebagai sesuatu yang Dia hadirkan, alih-alih sebagai sebuah persoalan yang berdiri sendiri. Sebaiknya jangan menyelesaikan persoalan secara sporadis, karena jika itu caranya maka kita akan menghabiskan seluruh hidup kita hanya terlunta-lunta dari satu permasalahan ke permasalahan yang lain tanpa ada habisnya. 


Always look beyond what you can see. Disitulah peran kekuatan tafakur. Agar kita tidak tenggelam di dalam fenomena yang ada. Agar tidak habis tenaga dan usia hanya berkutat di upaya penyembuhan secara superfisial. Hanya berputar di puncak gunung es tanpa melihat inti persoalannya apa.


Puncak gunung es bisa berupa apapun, mulai dari perilaku pasangan yang dianggap tidak pas, tingkah anak-anak yang membuat kita mengurut dada, respon orang tua yang tidak pada tempatnya. Tapi itu semua hanya sebuah umpan. Di ujung kail ada Sang Pemancing yang berkehendak agar kita mendekat kepada-Nya. Artinya masalah yang ada bagaikan sebuah jembatan yang dibentangkan agar kita berjalan melintasinya, tidak bersibuk diri di atas jembatan tapi terus bergerak mendekati Sang Kuasa. 


Para ahli fiqh saling berpesan di antara mereka :

“Barang siapa yang beramal untuk akhiratnya, Allah akan memberi kecukupan bagi kehidupan dunianya.

Barang siapa yang memperbaiki urusan pribadinya dengan Allah, Allah akan memperbaiki apa yang tampak darinya.

Barang siapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia.”

Thursday, September 2, 2021

 Perjalanan Dinas


Jadi ingat dulu waktu kerja di sebuah perusahaan multinasional, kalau mau melakukan perjalanan dinas harus membuat rancangan anggaran dulu, jenis hotel dan budget lainnya harus di-acc bagian keuangan. Karena kita menggunakan uang perusahaan. Tidak bisa seenaknya. Setelah itu harus buat laporan dengan melampirkan semua bon dan  bukti pembayaran. 


Uang kita juga bukan uang kita. Itu milik Allah. Kita semua disini sedang melakukan 'perjalanan dinas'. Jadi sebelum seenaknya belanja ini-itu, tanya dan minta izin dulu kepada Sang Pemilik Rezeki. Boleh atau tidak? Dia ridho atau tidak? Karena kalau kita belanjakan tanpa aturan repot nanti laporan pertanggungjawabannya. Na'udzubillahimindzaalik.

Wednesday, September 1, 2021

 Anak-anak itu a constant reminder buat saya agar menjalani hidup dengan bersuka cita. Karena natur anak-anak itu penuh keceriaan. Mau itu menempuh perjalanan jauh, kepanasan, kehujanan semua dibawa asyik saja. Sangat menyenangkan.


Nanti jelang masuk usia puber sudah agak berbeda biasanya. Anak-anak yang tadinya ceria jadi agak berulah. Lebih sering ngambek, emosional dan bawa perasaan. Memang demikian Al Quran juga memberi arahan, ihwal kisah Bani Israil yang diperintahkan menyembelih sapi yang tidak tua dan tidak muda. Itulah usia puber dan pertengahan, dimana gejolak hormon pun mulai  menggelora. Harus 'dipotong' kekuatan hawa nafsu dan syahwatnya dengan mengikuti syariat agama. Otherwise, here is the period where lot's of young people took a wrong decision and do stupid things. Something that they will regret later. I know cause i've been there. I wish i could turn back the time and fix it. But it's done. Tinggal bisa istighfar banyak-banyak dan mengambil hikmah dari episode itu.


Menjalani hidup dengan ceria dan bersuka cita itu ternyata fitrah manusia. Itu terpancar dalam perilaku anak-anak, karena jiwa mereka masih demikian dekat dengan fitrahnya. Pantas saja Nabi Isa a.s. mengatakan bahwa tidak bisa seseorang memasuki kerajaan langit hingga ia menjadi seperti anak kecil. Tentu bukan untuk menjustifikasi perilaku yang kekanak-kanakan. Tapi lebih kepada sebuah mentalitas menatap dan menjalani dunia dengan segenap takdir yang melingkupi dengan sebuah keceriaan dan suka cita. Wallahu'alam

 Doubt


Menarik menelisik asal kata "doubt" atau ragu-ragu berasal dari kata dalam Bahasa Perancis kuno "redoubtable" yang artinya menjadi takut. Jadi ada kaitan antara ragu dan takut.


That make sense. Kalau orang ragu tentang kelangsungan masa depannya karena bersumber dari ketakutan apakah dia bisa survive atau tidak. Kalau seseorang kemudian ragu apakah bisa menikah tahun ini atau tidak karena sudah takut sebelumnya bagaimana kalau tidak ketemu jodohnya.


Juga kita secara tak sadar jadi meragukan kekuasaan Tuhan ketika lebih takut kepada boss dan majikan kita. Takut dipecat. Takut kehilangan pekerjaan. Kenapa? Karena itu dilandasi rasa takut lain yaitu jika tak punya pekerjaan seolah makan dan rezeki anak istri jadi tak terjamin. Ada sedikit menyelinap keraguan bahwa Allah menjamin itu semua. Tapi bagaimana caranya tanya pikiran kita? Itu memang merupakan misteri kehidupan yang dengannya tak jarang kita dihadapkan oleh situasi yang serba sempit seolah tak ada jalan leluar lagi, tapi toh entah bagaimana semuanya berakhir baik-baik saja.


Artinya, meragukan Tuhan itu sebuah keniscayaan bagi kita manusia yang fakir ini. Itu adalah sebuah tahapan perjalanan di awal waktu. Tapi kita harus terus melangkah sampai meraih al-yaqin. Hingga tiada lagi sebiji atom pun keraguan dalam hati kita kepada-Nya. Pada kepemurahan-Nya, pada kasih sayang-Nya dan segenap rahmat-Nya. Sampai tak ada lagi yang kita takutkan selain Dia.


Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (QS. Al-Maidah: 44)

 Logical Error


Dalam dunia computer programming, logical error adalah sebuah keadaan dimana ada sebuah 'bug' - sebuah kesalahan atau kelemahan yang mengakibatkan program tidak berjalan dengan baik. Si program jadi mengeluarkan output atau behaviour yang tidak tepat bahkan bisa membuat komputer mengalami crash.


Manusia juga bisa mengalami "logical error" gara-gara 'bug' berupa rasa dengki, amarah dan penyakit-penyakit hati yang masih bercokol di dalam hatinya. 


Contohnya, orang yang dalam hatinya ada rasa dengki, lihat kebaikan atau prestasi orang lain sebagus apapun akan dia pandang sebagai sebuah keburukan, itu adalah "error output" atau dia akan malah menyindir dan merendahkan hal itu sambil selalu mencari kesalahan dari yang bersangkutan, itu adalah "behavioural error". 


Makanya jangan heran, kalau orang hatinya masih dihinggapi penyakit pasti pikirannya error. Itu otomatis.

 Akhir-akhir ini saya dibuat merenungi kata "Allahu Akbar" yang setidaknya lima kali dalam setiap rakaat saya ikrarkan. Allah Maha Besar. Betulkah saya meyakini bahwa Allah Maha Besar? Do i really mean what i've said?


Jangan-jangan ucapan itu hanya lip service semata ketika kenyataannya dalam kehidupan saya lebih cenderung takut kepada masa depan, kehilangan orang yang saya kasihi, takut akan masa depan anak dsb. Seakan itu ketakutan itu semua lebih besar kuasanya daripada Allah. 


Tapi katanya Allah Maha Besar. Lantas dimana kebesarannya ketika secara realitas kita masih terombang-ambing oleh isu dan dinamika dunia yang selalu berubah dan senantiasa pasang surut. 


Satu hal saya sadari bahwa mengakui dan menyadari kebesaran-Nya tidak akan pernah terjadi selama kita belum menyadari kelemahan dan keterbatasan diri sendiri. Jika masih merasa serba bisa, masih merasa paling pintar, masih memandang "i am in control of my life", masih punya waham "wow i'm really good". Maka rasanya shalat dan takbir saya hambar rasanya.


Ikrar "Allahu Akbar" juga mempersyaratkan bahwa kita memandang hal-hal selain-Nya sebenarnya sama sekali tidak bisa diandalkan. Bahwa itu semua hanya merupakan sarana pembantu, bukan hal yang utama. Serta tak akan bisa mendatangkan manfaat jika Allah tidak mengizinkan. Maka mulai belajar melepaskan kebergantungan kepada skema gaji atau pendapatan tetap, kebiasaan dibantu oleh ini dan itu, belajar tak mengandalkan kemampuan dan kepintara diri sendiri,  bahkan kebergantungan secara spiritual terhadap figur-figur tertentu mulai disapih agar mutlak bergantung dan mengandalkan Allah Ta'ala semata. Karena Dia Maha Bisa.


Jika dalam shalat kalimat takbir "Allahu Akbar"menjadi gerbang yang membuka sebuah momen pertemuan. Dimana dalam setiap bacaan yang diucapkan di dalam shalat Dia pun kontan menjawabnya dan kita merasakan kehadiran-Nya. Maka jangan-jangan yang menghalangi kita dari merasakan kuasa-Nya selama ini adalah masih bercokolnya entitas-entitas lain yang kita anggap lebih besar di hati kita. Yang kita anggap lebih berkuasa, lebih memelihara, lebih menjamin hari ini dan masa depan kita dibanding Allah Ta'ala. 


Saatnya mengevaluasi ulang pemaknaan akan kalimat takbir "Allahu Akbar"

Tuesday, August 31, 2021

 Ada film romantic comedy yang dirilis tahun 1999an. Zaman ketika Julia Roberts dan Richard Gere sedang ngetop-ngetopnya setelah duet mereka dalam film Pretty Woman. Runaway bride berkisah tentang salah satu fenomena sosial dimana calon mempelai wanita membatalkan pernikahan di menit-menit terakhir.


Hal ini rupanya pernah menjadi tren, sampai-sampai ada komentar begini dari Groucho Marx, seorang komedian Amerika - yang saya rasa tidak ada hubungannya dengan Richard Marx apalagi Karl Marx, 


 "In Hollywood, brides keep the bouquets and throw away the groom." 


Speaking of Runaway Bride. Setiap ingat film ini saya selalu ingat komentar salah satu sahabat saya yang seorang psikolog. Ia berkata saat kita diskusi tentang film itu dengan sebuah pernyataan yang makjleb, masuk ke hati saya sampai sekarang terasa. Katanya, "Kamu itu runaway bride"


Oh no. No-no-no-no. That's definetely not me. Begitu pembelaan saya dulu. Sampai sekian tahun kemudian saya mengakui apa yang dia katakan benar adanya. I see that most of my live i tended to run away from problems. Saat keadaan rumah tangga orang tua saya nampak tidak harmonis saya pindah untuk tinggal di rumah lain milik orang tua. Saat merasa tidak betah di pekerjaan, saya langsung pindah tanpa memberi solusi bagaiman bisa menciptakan suasana kerja yang lebih baik lagi. This was my way of coping with difficult challenges. Dan kebiasaan itu bertumbuh seakan menjadi bagian dari diri sendiri. Tanpa sadar hal  itu mengepung hati saya sendiri.


Orang pertama yang menunjukkan saya dengan gamblang akan hal itu adalah almarhum Mursyid saya. Beliau dengan wajah yang sangat luar biasa ramah, dengan senyum mengembang dan tatapan mata yang teduh mengatakan berkali-kali, "Nak Tessa ini takut nikah" Dan berkali-kali pula hati saya menolaknya. Sampai akhirnya saya dibuat bertekuk lutut oleh aliran takdir-Nya. I started to surrender...


I did have problem of having commitment. Itu adalah hal yang menakutkan buat saya. Harus bersabar menjalani yang tidak menyenangkan ketika kita bisa pergi saja menjauh. I was young and stupid. Belum paham bahwa kita tidak bisa terus menerus melarikan diri dari permasalahan. Dan belajar menerima bahwa kesempurnaan hidup bukan diukur dari apa-apa yang kita raih dan miliki. Tapi semua menjadi sempurna ketika kita memiliki hati yang bersyukur. Karena tanpa hati yang syukur apapun akan nampak kurang.


Jadi teringat pesan sepasang kakek dan nenek yang sudah menikah selama 65 tahun lamanya ketika ditanya apa kiatnya bisa bertahan menikah sekian lama. Mereka menjawab, "Jika ada yang tidak pas dan tidak sesuai dalam pernikahan jangan cepat-cepat mengambil keputusan untuk mengakhirinya." Just because something is broken, doesn't mean you have to throw it right away.

 Hawa nafsu dan syahwat manusia itu cenderung tak mau susah. Inginnya hidup mudah, tanpa tantangan, nyaman dan meraup kenikmatan selama mungkin. 


Tapi istilah "selama mungkin" pun adalah sebuah ilusi. Karena kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa semua hal berbatas waktu di dunia ini. Situasi pandemi yang tengah mencengkeram dunia saat ini menyadarkan kita bahwa kematian itu nyata dan demikian dekat. Bahwa itu bukan sebuah skema di masa yang jauh dan membuat kita tenang saja dengan alasan "cease the day" lalu menjustifikasi syahwat sendiri untuk untuk meraih apa-apa yang dia inginkan. 


Ironinya adalah dalam upaya melindungi dirinya dari sakit dan derita, manusia malah menggali lubang sendiri dalam sebuah kubangan kesengsaraan yang tak berujung. 


We tried so hard to numb our pain. Sakit yang timbul dari kekecewaan kita, sakit yang diakibatkan oleh trauma, sakit hati karena perlakuan orang dekat. Kita coba mengatasinya dengan melarikan diri dari semua itu. Menyingkir jauh-jauh dari sumber sakit. Memutus komunikasi, pretend that it never happened, mengalihkan kepada kesibukan atau kesenangan lain yang berfungsi seperti obat anti nyeri yang hanya menghilangkan rasa sakit itu sesaat. And yet, it never worked, we still feel the pain somehow.


Sekarang saya mulai paham, bahwa upaya untuk keluar dari rasa sakit di alam dunia ini adalah bagaikan mengejar bayangan sendiri. Kita merasa sudah berlari jauh tapi ia tak akan pernah terjangkau.


Jalaluddin Rumi berkata , "Wahai jiwa, jangan melarikan diri dari rasa sakit, akan tetapi carilah obat di dalam sakit itu sendiri." 


Karena obat dari setiap sakit kita ada di dalam rasa sakit itu sendiri. Solusi dari permasalahan kita ada di masalah itu sendiri.

Jalan keluar dari kemumetan dunia kita ada di dalam labirin kehidupan itu sendiri.


Artinya rasa sakit yang kita rasakan adalah sebuah keniscayaan dari sebuah proses terbukanya sebuah khazanah baru dalam diri. Seperti halnya tak akan ada sebuah kelahiran tanpa sebuah kontraksi. Dan semua ibu yang pernah melahirkan tahu persis bagaimana rasanya meregang nyawa menahan sakit saat melahirkan.


Kita harus belajar menahan derita dalam kehidupan. Belajar sabar menghapi hal yang tidak masuk akal. Belajar tawakal kepada Dia dalam menapaki masa depan yang penuh misteri ini. That it's okay not to be okay.


Tanda kedewasaan adalah kemampuan untuk menelan pil pahit dalam kehidupan. Kita harus terbiasa menelan kedukaan. Itu satu-satunya cara untuk bertumbuh. Sebagaimana raga pun merasa sakit saat ia bertumbuh. A growing pains.


"...Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu..." firman Allah Ta'ala dalam QS Luqman: 17

 Menyalahkan orang lain atau situasi atas apa yang terjadi kepada kita itu adalah jalan yang paling mudah. Tapi jika modus kita begitu terus, maka selamanya kita tidak pernah akan belajar dalam hidup karena tidak pernah menjadikan episode itu menjadi sebuah cermin untuk melihat ke dalam diri.


Di dalam rumah tangga atau pekerjaan misalnya, adalah jauh lebih mudah melihat kesalahan dan kekurangan pasangan atau rekan kerja dibanding melihat kekurangan kita sendiri. Seperti kata pepatah, "Gajah di pelupuk mata tak nampak, kuman di seberang lautan tampak".


Memang tidak mudah untuk meneropong ke dalam diri. Butuh sebuah keberanian untuk melakukannya. Karena banyak orang takut untuk menghadapi kenyataan yang sesungguhnya dan cenderung ingin hidup dibuai oleh ilusi diri yang bukan kenyataan sebenarnya. Itu mengapa orang kemudian cenderung lebih suka dibelai oleh pujian dibanding berbesar hati menuai kritikan.


Di sisi lain, kebiasaan menyalahkan apa yang ada di sekitar kita itu membuat pandangan kita terkaburkan bahwa semua hal yang hadir di semesta hidup kita datang dari Allah Ta'ala. Memang datang melalui mekanisme sebab akibat, tapi tanpa kehendak dan izin-Nya tak ada satu atom pun bisa bergerak, tak ada satu pesan pun bisa sampai, tak ada satu ucapan pun terlontar, tak ada satu kejadian pun terjadi. 


Inilah fungsi dzikir, membaca jejak kehadiran-Nya dalam situasi dan kejadian apapun yang dibentangkan dalam ruang takdir hidup kita. Dengannya kita mulai introspeksi, mulai tenang dan tidak selalu reaktif merespon kehidupan, mulai mencoba membaca pesan-Nya yang dalam. Mulai bisa membaca pola semesta diri bahwa apapun yang mewujud tak lain merupakan amplifikasi dan proyeksi dari apa-apa yang ada dalam hati kita.[]

Monday, August 30, 2021

 Dzikir kepada Allah itu bukan sekadar dzikir menyebut asmaNya atau memujinya di lisan sebanyak ribuan kali. 


Dzikir lisan itu bagus dibanding tidak sama sekali. Tapi dzikir itu harus hingga menjejak di hati. Jangan sampai lisan dzikir menyebut nama-Nya tapi hati gemetar dicekam kekhawatiran. Takut uang kurang, takut suami atau istri diambil orang, takut tidak naik pangkat, takut dihina, takut mati, takut gagal bisnis dan berbagai ketakutan lain yang menghantui diri kita. 


Merasa takut itu bagian dari menjadi manusia. Tapi kalau sudah dikendalikan rasa takut, itu artinya ia sedang tidak berdzikir kepada Allah Ta'ala. Karena ia merasa seolah Allah jauh dan lambat dalam menjawab doa dan memenuhi segenap kebutuhannya.

 Siapa itu orang yang mulia?


Apakah yang punya jabatan tinggi?

Apakah yang memiliki harta banyak?

Apakah yang reputasinya terkenal?


Orang yang mulia sesungguhnya adalah yang paling dekat dengan Allah Ta'ala, karena Dia Yang Maha Mulia dan sumber kemuliaan sejati.


Adapun jabatan setinggi apapun ada akhirnya. Harta banyak bisa habis diperebutkan, pun yang tersisa tak akan dibawa ke alam barzakh jika tidak diinfaqkan. Reputasi apa lagi, sekejap bisa  jungkir balik didera skandal. Dan sayangnya banyak yang terjebak mengejar kemuliaan semu. Karena ingin dipandang hebat di mata orang, ingin dianggap sukses, malu kalau disebut miskin, gengsi kalau dikatakan gagal. 


Ah, manusia...ia kerap menyiksa dirinya sendiri dalam alam pikiran semunya. Jika saja ia mau membebaskan diri dari semua waham kebesaran seperti itu, pasti akan lebih ringan hidupnya. Tak perlu memasang topeng dan memaksakan diri menjalani kehidupan palsu hanya semata ingin menuai pujian atau menyenangkan hati orang. Tak usah diberatkan dengan post power syndrome, karena toh hidup memang akan terus mengalir. 


Sibukkan saja diri mendekat kepada-Nya. Mulai memperbaiki wudhu dan shalat. Agar hati lebih bersinar dengan cahaya kemuliaan-Nya. Itulah kemuliaan sejati yang lebih menenteramkan.

 Seorang peneliti Rusia yang atheis suatu ketika terjebak dalam longsoran salju beberapa hari lamanya. Ketika dalam keadaan tubuh yang lemah dicekam oleh dingin dan pasokan oksigen yang makin menipis itu ia pun berkata dengan lirih, "Tuhan jika memang engkau ada tolong selamatkan aku dari sini..."


Sang peneliti kemudian dengan izin Allah Ta'ala selamat hingga bisa membagi pengalamannya itu.


Itulah indahnya ujian hidup, dia bisa mengeluarkan isi hati nurani seseorang berupa fitrah sebagai ciptaan yang memuja Sang Pencipta. 


Ujian bisa mengungkap isi hati seseorang. Melalui ujian dan kesulitan hidup itu pun seseorang menjadi dilatih untuk banyak kontak dengan Allah Yang Maha Kuasa. Dan momen dzikir ini, ketika hati terhubung kepada-Nya itu justru yang merupakan pemberian yang tak ternilai, bahkan jauh melebihi pemberian berupa solusi untuk keluar dari segenap permasalahan yang melingkupi seseorang. Karena kalau yang dikejar sebatas pengabulan doa atau pemberian-Nya, tak sedikit yang kemudian melupakan Sang Pemberi dan sibuk lagi dengan alam ciptaan.


Kemudian selanjutnya kita harus belajar membiasakan diri agar hati sesering mungkin kontak dengan-Nya. Agar jangan sampai dipaksa mendekat dan merasakan indahnya bermunajat hanya melalui kesulitan dan ujian.

Sunday, August 29, 2021

 Bagaimana caranya agar saya tidak malas?


Sejujurnya secara teori tak ada yang bisa menang melawan musuh bernama kemalasan. Kekuatan itu demikian kuat sampai dalam Alkitab dikatakan bahwa "Kemalasan adalah musuh nabi-nabi". Artinya setaraf para nabi pun dibuat kewalahan menghadapinya. Tapi para nabi dan para arif bisa kemudian menundukkan rasa malas. Apa kuncinya? Mereka minta pertolongan kepada Allah Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang bisa mengendalikan hawa malas. Hanya dengan kekuatan dari-Nya kita bisa bangkit dari keterpurukan akibat dominansi kemalasan setelah sekian lama.


Yang membuat kita lama pontang-panting menghadapinya adalah karena kita tidak menghadapkan wajah ke hadapan Allah Ta'ala dan mengakui kelemahan serta ketidakmampuan kita. Akhirnya kita terjebak dalam peperangan melawan diri sendiri yang berlangsung bertahun-tahun sambil mengandalkan kekuatan diri dan selain-Nya sambil tetap saja akhirnya dibuat bertekuk lutut olehnya.


Buktinya setelah bertahun-tahun tetap saja malas tahajjud, berat untuk bangun untuk shalat shubuh di awal waktu, tetap saja enggan beranjak dari gadget atau televisi ketika adzan telah berkumandang. Tetap saja berat untuk shaum dan zakat. Dan masih dibuat terpaksa untuk menuntut ilmu. Ada saja alasan bersifat ragawi, mulai dari ngantuk, lupa, badan lemas, pusing dll. Tanda kita pun belum memegang kendali atas raga kita sendiri.


Jangan kecil hati. Jadikan semua keadaan sebagai sarana bermunajat kepada-Nya. Karena tak ada yang Allah Ta'ala nantikan selain kembalinya hati si hamba kepada-Nya. ❤

Saturday, August 28, 2021

 Look Beyond


Kehidupan itu memiliki berbagai dimensi. Jika kita hanya disibukkan dengan dimensi fisik dalam hidup ini dijamin akan kelelahan, sering sedih dan kecewa sampai menderita. Karena banyak hal yang Allah izinkan terjadi dan itu tidak sesuai dengan keinginan kita.


Kalau hanya melihat kenyataan bahwa diri tidak "sesukses" orang lain. Kita menjadi kehilangan orientasi bahwa di titik dimana kita berada sekarang demikian banyak nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kita. Tapi kita hanya berkutat mengeluhkan hal yang belum kita raih alih-alih mensyukuri apa yang ada. Mungkin merasa belum membanggakan orang tua dengan peraihan kesuksesan dunia, merasa belum memiliki karir yang tinggi, merasa bisnisnya belum dianggap berhasil, merasakan "career stuck"- tak ada kemajuan dll.


Kalau kita merasa hidup bagai tergadai oleh mimpi-mimpi kita, maka kita akan menjalaninya seakan-akan selalu ada yang kurang dengan diri ini. Padahal apa-apa yang Allah Ta'ala telah sampaikan jauh lebih banyak dan lebih baik dari sekadar keinginan kita. Mungkin merasa jodohnya belum juga datang, merasa miskin, atau merasa diri kurang berharga dibanding saudara-saudara yang lain.


Kalau kita merasa diri hina dan berlumur dosa,serta ibadah kurang sekali sedemikian rupa hingga membuat kita berkecil hati dari mengharapkan ampunan dan rahmat-Nya maka kita seakan mengecilkan keluasan kasih sayang-Nya yang tak bertepi itu. 


Akan selalu ada hal yang membuat kita kecewa, sedih, rendah diri, dan berkecil hati dalam hidup. Tapi itu kalau kita hanya berhenti memandang fenomena lahiriyah yang ada. Coba pandang lebih jauh, look beyond. Pandang lebih dalam. Bentangkan imajinasi kita dan coba bayangkan bahwa semua yang mewujud di alam kehidupan ini sungguh tidak datang atau terjadi dengan sendirinya. Ini adalah tauhid dasar. Tak ada satupun ciptaan yang mewujud tanpa Dia Sang Maha Wujud izinkan hadir. Artinya dibalik semua fenomena ada Allah Ta'ala yang menggerakkan itu semua. Agar kita belajar untuk memandang jauh, bahwa semua yang hadir dihadirkan melalui tangan Sang Maha Kuasa. Jika itu bisa mulai kita lihat, maka hati akan merasa tenang. Karena iman membawa kita kepada sebuah keyakinan yang dalam bahwa jika sesuatu itu Allah izinkan maka pasti berlimpah kebaikan di dalamnya. Perkara akal pikiran belum mampu memahaminya per saat ini, sabar dulu dan mohonlah agar diberi pemahaman yang baik tentang hidup. Ini salah satu makna "ihdina shiraathal mustaqiim", petunjuk yang kita minta dalam setiap shalat. Karena untuk membaca petunjuk diperlukan kemampuan akal dalam yang baik. Agar kita bisa menangkap semua dimensi kehidupan yang Allah Ta'ala gelar di setiap saat, baik dimensi lahir maupun batinnya. Dengannya hati merasa tenang, karena dia terus tersambung dengan-Nya.


"Ingatlah hanya dengan dzikr kepada Allah hati menjadi tenteram" (QS Ar Ra'd 28)