Tuesday, December 29, 2020

 Kenapa kita tidak bisa melihat Allah?

Kenapa Dia seakan bersembunyi dari penglihatan kita di alam ini? Bukankah Dia rindu untuk dikenal?


Untuk sekian lama pertanyaan ini saya endapkan karena belum bisa meraba jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun,  saat menelaah makna "washiyyah" dalam kajian hikmah Al Quran surat Al Baqarah yang diampu oleh Mursyid  kemudian saya merasa menemukan titik terang dalam pergulatan batin ini. Slowly but sure keping-keping puzzle Dia hadirkan dalam momen-momen tertentu dalam hidup. Yang dengan kehadiran keping-keping tambahan itu saya makin bisa menebak gambaran besar apa yang Allah hendak sampaikan dalam diri dan kehidupan ini.


Ssbagaiman washiyyah atau wasiat itu disampaikan oleh seseorang yang hendak menghadapi kematian atau kepergian dari alam ini, Allah Ta'ala juga ternyata pernah berwasiat kepada para nabi, mereka para insan dengan level spiritual tertinggi yang juga memiliki peran menyampaikan berita langit kepada umat manusia. Wasiat yang Allah berikan adalah tentang diin (agama), bahwa kita harus menegakkan agama dan jangan berpecah belah di dalamnya.


Kemudian setelah semesta alam mulkiyah ini tercipta seiring dengan itu hijab pun terbentang antara manusia dengan Allah Ta'ala. Sebiah tiga lapis kegelapan yang disebutkan dalam Al Quran. Seperti benih yang dibenamkan ke dalam kegelapan tanah dan ia harus pecah kecambah dan tumbuh ke atas dan merentang langit. 


Kita semua sedang menumbuhkan benih-benih yang Dia tanam di dalam hati. Benih itu Dia tebarkan di tanah yang terbaik untuk dia bertumbuh. Artinya segenap kehidupan dan takdir yang melingkupi adalah yang terbaik untuk diri kita. Semua dikadar dengan sangat presisi demi tumbuhnya pohon akal dalam diri kita. Yang hanya dengan akal yang bertumbuh itu kita sekali lagi bisa mengenal dan menatap wajah-Nya. Sang Cinta pertama kita...

Otw from Groningen to Amsterdam

29 Desember 2020

13.07

Friday, December 25, 2020

 

Kehidupan itu bagai sungai yang mengalir. Dimulai dari mata air di pegunungan, turun melalui lembah-lembah mengikuti hukum gravitasi. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika air menemui hambatan berupa bebatuan ia akan berbelok mencari jalan lain. Air tidak ngoyo memaksakan dirinya menembus sesuatu yang terlalu keras untuk ia tembus. Maka aliran sungai meliuk-liuk indah jika kita pandang dari angkasa. Hingga akhirnya air yang sama yang muncul dari mata air akan berakhir di lautan luas.

Hidup kita itu “work with the flow”, seperti air yang mengalir dari mata air, torehan jalur sungainya sudah Dia desain bahkan jauh hari sebelum kita diberi wujud. Lalu, jika hidup sudah ditakdirkan, apa gunanya kerja keras kita? Apa gunanya beramal shalih? Ini pertanyaan manusia yang sudah muncul sejak dulu kala. Wajar, kita memang butuh untuk memahami kehidupan.

Tak ada satu jawaban universal yang bisa memuaskan pertanyaan ini. Karena yang jauh lebih penting dari jawaban itu sendiri adalah untuk tetap mempertanyakan segenap aspek kehidupan kita sendiri. Agar kita tidak terlena dengan kemapanan hidup dan senantiasa mencari kesejatian diri.

Tapi memang hidup bukan tentang kisah perjuangan, usaha dan sekian bentuk pencapaian. Karena jika itu yang menjadi tolok ukur, betapa tidak adilnya perlombaan kehidupan ini. Banyak orang yang memang ditakdirkan memiliki modal yang lebih banyak, apakah itu modal uang, ilmu, koneksi, fasilitas dsb. Bagi mereka, pencapaian kesuksesan bukan sebuah keajaiban, itu adalah keniscayaan jika mau bekerja keras untuk itu. Lalu bagaimana dengan mereka yang tampak “kurang sukses” atau bahkan dipandang “gagal” dalam kehidupan? Karena jika parameter kesuksesan hanya sekadar pencapaian lahiriyah tidak terelakkan akan tercipta kasta-kasta dalam masyarakat, tentang kaum yang sukses, agak sukses, kurang sukses dan tidak sukses berdasarkan gaji, kekayaan, jumlah buku best seller yang ditulis, jumlah pengikut dsb. Ini adalah parameter kesuksesan yang memilukan. Yang akan cenderung menafikan sekian banyak nikmat hidup yang Sang Pencipta berikan.

Kembali ke gambaran sungai tadi. Bahwa setiap orang punya aliran sungai kehidupannya masing-masing. Yang hanya di aliran sungai itulah setiap diri punya kesempatan yang paling optimal untuk mengenal Sang Pencipta sejak dari alam dunia ini. Gamblangnya begini, jika jiwa kita ditukar kehidupannya ke dalam kehidupan orang lain, you name it, orang yang kehidupannya di mata kita tampak sangat keren dan sukses, dengan seratus persen keyakinan saya katakan Anda tidak akan bahagia bertukar kehidupan dengan sang orang pujaan itu. Karena benih hanya akan tumbuh subur di tanah yang tepat. Demikian pula benih dalam jiwa kita yang harus tumbuh menjadi pohon akal yang akan mengenal-Nya hanya akan tumbuh subur di kehidupan yang Allah buatkan dan pilihkan untuk kita. Lahir dari orang tua yang itu, di negeri yang itu, dengan latar belakang keluarga seperti itu, dengan keadaan rumah tangga demikian, diberi pasangan yang itu, anak-anak yang itu, rumah yang itu, pekerjaan yang itu, keadaan tubuh yang itu dsb.

Kebahagiaan yang kita cari sungguh tidak jauh. Dia tidak memerlukan sebab-sebab lahiriyah sebenarnya. Yang ia butuhkan adalah sebuah hati yang bersyukur. Seperti air yang mengalir, work with the flow. Mengalirlah dengan aliran kehidupan. Aliran takdir yang terbaik yang Dia ciptakan dengan kedua tangan-Nya sendiri. []

Thursday, December 17, 2020

 Inginnya sih semua yang berkekurangan saya bantu semua. Inginnya memberi modal bagi semua yang butuh modal usaha. Inginnya menanggung biaya pengobatan yang tengah berada dalam kesulitan ekonomi. Banyak keinginan untuk membantu sesama, tapi apa daya kemampuan terbatas. Jadi harus selektif memilih dengan landasan keadilan sebisa mungkin.


Tapi, kadang walaupun kita memang mampu menolong seseorang, namun ada kalanya tindakan kita menolong dia secara langsung itu malah tidak membawa kebaikan bagi yang bersangkutan. Dia malah jadi terlalu mengandalkan bantuan kita dibanding tawakal kepada Allah. Maka ada saatnya ketika kita harus tega memberikan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan sambil diiringi doa. Dan dalam pengalaman saya, justru pemberian kita berupa doa yang tulus malah bisa mengubah hidupnya jauh lebih efektif dan melalui cara-cara yang mencengangkan yang tak terjangkau oleh skema bantuan kita sebaik apapun itu. 


Bagaimanapun setiap manusia dalam genggaman Tuhan Penguasa semesta alam. Dia yang mustahil menelantarkan ciptaan-Nya. Kalaupun sesekali kita diizinkan untuk menjadi perpanjangan tangan Dia untuk mengalirkan rezekinya, itu sebuah keberuntungan semata. Adapun perkara hajat hidup orang lain, kita tak punya kuasa pada hakikatnya, tak perlu merasa terlalu bertanggung jawab hingga dipenuhi perasaan bersalah saat tak kuasa memenuhi apa yang dibutuhkan. Justru disitu kita tengah disadarkan bahwa posisi kita sebagai hamba yang meminta kepada Dia Yang Maha Kuasa.



Sunday, December 6, 2020

 Banyak orang mengira kalau hidup di luar negeri itu asyik. Tapi ketahuilah bahwa berwisata dan tinggal lama di tempat yang asing adalah dua hal yang berbeda. Kebanyakan orang Indonesia yang saya pernah temui disini justru berpendapat hidup di Indonesia lebih baik, maka tak sedikit yang memutuskan pulang kampung. Tapi yah, yang namanya manusia memang begitu, dikasih A pengen B, dikasih B pengen C. Betapa sulitnya ternyata kita untuk sekadar mensyukuri apa yang ada.


Buat saya pribadi pun jujur saja tidak mudah beradaptasi dengan peran baru, berkeluarga, meninggalkan karir, comfort zone, sahabat- sahabat dan keluarga yang dikasihi di tanah air. Butuh waktu 3 tahun untuk akhirnya bisa bilang "i feel at home". Tidak sedikit perempuan seperti saya yang sudah punya karir bagus di tanah air lalu pergi meninggalkan semuanya kemudian harus mengurus keluarga yang kelabakan menerima episode barunya disini. Beberapa dari mereka bahkan harus dibantu dengan pil penenang yang diresepkan oleh dokter untuk bisa berfungsi dalam keseharian.


Kalau dilihat ke belakang saya pikir "obat penenang" saya adalah Al Quran. Begitu saya mencoba mendalaminya entah kenapa seperti ada kesadaran yang bertumbuh dari dalam diri. Oleh karenanya saya berupaya disiplin mempelajari Al Quran, bukan sekadar tilawah atau membaca artinya tapi mencoba membumikannya dalam keseharian. Cara belajar yang saya paling sukai adalah dengan mengajar. Maka sejak tahun 2016 (empat tahun lalu) saya mulai buka kelas kajian suluk online dimana setiap minggu kita berdiskusi tentang satu atau dua ayat dalam Al Quran kemudian dicoba direnungkan bersama-sama.


Saya perhatikan  memang itu langkah yang banyak mengubah hidup saya. Ketika kita tak kuasa mengubah sekitar kita, maka ubahlah dalam diri kita dengan Al quran maka tiba-tiba kita jadi paham kenapa kita diperjalankan dalam sebuah episode yang tadinya membuat pening kepala kita. Merenungkan Al Quran memang berdaya guna ajaib dalam meningkatkan ketahanan diri saya dalam kehidupan. Saya jadi tidak mudah mengeluh, tidak mudah patah oleh kenyataan yang berlawanan jauh dengan keinginan, atau tidak mudah terbawa arus sesaat pergantian pasang surut kehidupan. Dan selain itu ketika kita mulai paham bagaimana Allah menggerakkan roda kehidupan dan mulai mengendus hikmahnya, maka kita bisa lebih ridho menjalaninya.


Maka izinkan kiranya saya bersaksi bahwa Al Quran adalah obat (syifa) dan penawar bagi hati yang gelisah. Karena dalam Al Quran semua rambu-rambu kehidupan tercakup di dalamnya. Bagaimana menghadapi konflik rumah tangga, bagaimana menghadapi rezeki yang disempitkan, bagaimana menghadapi anak yang berulah, bagaimana menghadapi terjangan hawa nafsu dalam diri yang sering merepotkan. Pun dalam Al Quran tersebar banyak janji Sang Rabbul 'Alamiin dalam kehidupan. Bahwa Dia tak mungkin menimpakan sesuatu di luar kapasitas kita, bahwa rezeki itu dijamin, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan, bahwa ada kehidupan yang lebih baik yang menanti kita jika kita kecewa dengan apa yang ada di dunia ini, bahwa jangan dibuat susah oleh anak-anak kita, bahwa apa yang kita baik belum tentu baik begitupun apa yang kita anggap buruk belum tentu buruk. Dan banyak lagi rambu-rambu kehidupan yang membuat kita kokoh dalam menjalani takdir-Nya. Terutama dalam takdir yang kita tidak pahami dan kita kepayahan dalam menjalaninya. And more over, tak ada di ujung lain dari Al Quran kecuali Dia. Apalagi yang lebih indah dan patut dicari selain dari itu?❤

Wednesday, November 25, 2020

Usaha saya tutup terkena imbas pandemi ini. Sudah hampir setahun saya kerja serabutan. Tapi ya rezekinya ada saja. Pas butuh, pas ada. Aneh bin ajaib.


Ketika bisnis saya terpaksa ditutup saya pikir masa depan saya dan keluarga akan suram. Karena saya menggantungkan betul penghidupan saya dan anak-anak kepadanya. Tapi saya salah. Allah yang selama ini memberi rezeki bukan usaha saya itu, caranya bisa lewat mana saja. Buktinya hampir setahun ini kami sekeluarga baik-baik saja, masih hidup, bisa makan, ada tempat berteduh. Malah saya jadi rajin ke mesjid dan bisa shalat tepat waktu. Sesuatu yang saya sering luput melakukannya saat saya tersibukkan oleh usaha saya. Selain itu, hati saya terasa lebih tenang jika tawakal sama Allah. Dulu, kalau kurang uang sedikit sudah gelisah. Sekarang lebih tenang, menyadari hidup kita ada dalam genggaman Yang Maha Kuasa dan Maha Kasih.


Alhamdulillah bu, ternyata pandemi ini membawa berkah.


- Adaptasi dari pengalaman nyata yang dituturkan kepada penulis pagi ini.

Wednesday, November 18, 2020

 Siapa orang yang paling merugi?


Apakah yang tertipu usahanya?


Atau yang hilang uang pensiunnya karena dikelabui orang?


Atau yang dikecewakan oleh pasangannya?


Al Quran surat Al Kahfi [18]:103-104 memberikan panduan bahwa orang yang tertipu itu justru mereka yang merasa telah berbuat baik tapi di mata Allah semua kekaryaan dan amal itu tidak ada artinya alias sia-sia. Kenapa? Karena tidak ikhlas melakukannya. 


Barangkali saat mengerjakannya tercampur keinginan dipuji dan ingin mendapat kedudukan di mata orang.

Barangkali tercampur motivasu dunia di dalamnya berupa harta, tahta dan jabatan.

Barangkali ya memang dilakukan karena demi memenuhi ego. Takut dianggap gagal, takut dianggap miskin, takut dianggap rendah dll.


Ada hal lain yang lebih halus. Kalaupun yang dilakukan itu tampaknya baik, tapi amalan itu ternyata di mata Allah tidak pas untuknya. Seperti pedang kerajaan yang biasa dipakai untuk berperang kemudian malah digunakan untuk mencacah daging dan sayur mayur di dapur. Memang berfungsi, tapi bukan peruntukannya.


Nah, itulah amal shalih. Amal yang presisi yang Dia ridhoi. Bukan kekaryaan karangan kita sendiri.

Dalam surat Thahaa [20]:82 tahapan untuk sampai ke mengerjakan amal shalih harus melewati taubat dan iman. Pertama wajah hati mencari-Nya bukan yang lain, lalu percayakan segenap keamanan hidup bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Setelah itu dunia kita akan dituntun luar dan dalam utk mengerjakan amal shalih itu. Agar kita tidak menjadi orang yang merugi...Aamiin

Tuesday, November 10, 2020

 Sebutlah namanya Mae, ibu dua anak yang sudah beranjak usia 18 dan 14 tahun ini datang ke negeri Belanda sekitar 4 tahun lalu meninggalkan kampung halamannya di Ghana.


Disini ia mengadu nasib, mengais rezeki apapun yang dia bisa lakukan sebagai buruh. Ia bekerja siang dan malam. Menyewa kamar kecil di pinggiran kota Amsterdam. Kelebihan uang yang dia peroleh setiap bulannya ia kirim kepada orang tua yang mengurus anak-anaknya jauh di benua Afrika.


Saat saya tanya, "Ada rencana pulang menjenguk anak-anak dan keluarga?" Dia jawab sambil tersenyum,"Iya, ada. Mungkin tiga tahun lagi." Tatapan matanya seolah sudah membayangkan momen pertemuan dengan orang-orang yang dia kasihi. Saya paham, pendapatannya sebagai tenaga kerja serabutan apalagi tinggal di kota besar seperti Amsterdam dengan biaya hidup yang tidak murah adalah sangat menantang. Kita harus menghitung setiap pengeluaran dengan cermat. 


Lalu saya tanya lebih jauh, dalam perjalanan pulang berdua di dalam mobil sambil mengantarkan dia ke tempat tinggalnya selepas shift kerja malam. 

" Mae, bagaimana kami mengatasi rasa rindu kepada anak-anakmu?"


Dengan pasti dia menjawab, "When you have God, you have everything"


Kami berdua lalu terdiam. Sambil meresapi makna kekuatan kata itu dalam-dalam. Entah kenapa lampu-lampu jalanan menjadi tampak bersinar dengan indah. Rintik hujan yang menerpa kaca mobil jadi terasa menambah hangat suasana. Sebuah senyuman lebar mengembang di wajah saya. Something is telling me that she say the right thing...

Thursday, November 5, 2020

 "Saya pernah dipenjara lima kali." Kata perempuan paruh baya itu dengan santai. Dia tampak tidak sungkan mengatakannya, sebuah episode kehidupan yang mungkin oleh sebagian besar orang dianggap aib atau masa lalu yang kelam.


Saat saya tanya kenapa kok sampai bisa dipenjara, meluncurlah kata-kata deras dari mulutnya. Ia cerita bahwa pernah menyelundupkan narkoba dan ditangkap berkali-kali di bandara. Sekali dia melakukannya kemudian ketagihan. Bagaimana tidak, uang ratusan juta rupiah diraihnya per satu kali perjalanan menyekundupkan barang haram itu dengan cara mengikatkan kantung-kantung berisi narkoba di badannya. Sebuah perjalanan yang berisiko tinggi. Dia bilang, sekali merasakan kenikmatan bermandikan uang sebanyak itu sulit untuk melepaskannya. Makanya dia lagi-lagi melakukannya. 


Dia bercerita tentang kehidupannya yang super glamor. Tidur di hotel bintang lima, mengendarai kendaraan mewah, membuatkan ibunya dua rumah mewah di kampung halamannya, Suriname. Tidak hanya itu kalau orang Jawa bilang "hawa duit", itu selalu membuat dia ingin melakukan hal yang mendatangkan sensasi tersendiri. Dia cerita blak-blakkan bahwa dirinya sempat ketergantungan seks. Dengan uang sebanyak itu dia bisa melakukan pesta-pesta seks di presidential room  sebuah hotel mewah yang biasa disewanya. Dia bisa mendatangkan pria-pria dan perempuan-perempuan bak supermodel dan berpesta semalam suntuk.


Saya bilang sama dia, "Wow, my life seems boring compares to yours!"

Dia tertawa lepas. Lalu kemudian berhenti dan pandangannya terlempar jauh ke sebuah tempat yang tampak tak bertepi. Saya lihat bias kesedihan di wajahnya yang mulai menunjukkan garis-garis keriput dengan rambut-rambut yang memutih menjuntai diantaranya.


"It was my past. I am getting old now." Ternyata dia bilang semua uang yang berlimpah itu tidak mendatangkan kebahagiaan. Pleasure yes, but not happiness. Sayangnya banyak orang terjebak mengira pleasure atau kesenangan adalah sama dengan kebahagiaan. Padahal itu dua hal yang jauh berbeda. Dia bilang uang sebanyak itu entah hilang kemana. Sampai sekarang tak punya tabungan. Bahkan tubuhnya kerap sakit-sakitan karena gaya hidup yang pernah dijalaninya. Yang membuat lebih sedih lagi, uang yang dia berikan untuk ibunya hingga membelikan rumah dan barang-barang mewah pun katanya entah kenapa tidak membuat ibunya bahagia, hingga sampai ibunya meninggal dia masih merasa gagal membahagiakan ibunya. Dan yang tak kalah menyakitkan dia sadar dia merasa telah menghancurkan anak perempuan semata wayangnya. Anaknya pernah menyaksikan ibunya ditangkap oleh polisi di bandara. Lalu tahun-tahun yang hilang saat sang ibu di penjara tidak bisa diulang.


Saat ini dia menjalani hidup sederhana. Tinggal di kamar kontrakan yang cukup nyaman dengan gaji yang dia terima dengan bekerja di restoran cepat saji. Kabarnya anak perempuannya secara teratur mengunjunginya. Dia pun mulai aktif melakukan konseling kepada generasi muda - agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama yang telah dia perbuat. Usianya tidak muda lagi, sudah lima puluhan tahun. Keadaan fisiknya pun tak sekuat dulu dan mulai sakit-sakitan. Tapi saya masih merasakan getar semangat dalam dirinya, keinginan untuk menebus tahun-tahun kelam yang telah berlalu.


 Mendengarkan penuturan dia, saya jadi teringat kisah tentang seorang pelacur perempuan yang menjalani kehidupan dalam kenistaan tapi ada satu titik dalam kehidupannya dimana ia bertaubat. Dalam perjalanan taubat melintas padang pasir terik, ia dilanda oleh kehausan yang sangat. Rasa haus yang mematikan. Hingga akhirnya ia menjumpai sebuah sumur dan menemukan air di dalam sumur itu. Saat ia gembira menyiduk air dari dalam sumur itu dengan alas kakinya dan hendak meminumnya, dia baru menyadari bahwa di sebelahnya ada seekor anjing kurus yang tampak kehausan. Rupanya si anjing tidak bisa mengambil air dari kedalaman sumur. Lalu alih-alih dia lebih dulu menenggak air yang sudah ada di tangannya, ia biarkan sang anjing itu minum. Dan pada saat menunggu anjing itu selesai minum malaikat maut datang mencabut ruhnya. Sang perempuan diriwayatkan diganjar dalam taman surganya. 


Benarlah kiranya bahwa kualitas seseorang itu akan ditentukan di akhir hayatnya. Rasulullah saw telah bersabda, – dan beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan – “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 hal: rezeki, ajal, amal dan celaka/bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Ilah selain-Nya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja, kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari)


Monday, October 19, 2020

 Allah tidak akan pernah kehabisan bank soal. Hidup selalu penuh dengan tantangan. Terutama untuk orang-orang beriman, mereka yang dituntun dalam sebuah proses pemurnian dalam kehidupan. Ujian kehidupan itu sebuah hal niscaya. Dibuat repot mengurus anak, orang tua dibuat sakit, tiba-tiba konflik dengan keluarga, dihadirkan orang ketiga dalam pernikahan, ribut dengan mertua, bisnis dibuat rugi, ditipu oleh orang dsb.


Pusing? Iya. Mumet? Pasti. Berat menjalaninya? Itu tergantung. Kalau kita hanya mengandalkan kekuatan diri dan bantuan kiri-kanan pasti rapuh. Satu-satunya tiang pancang yang kokoh itu saat kita mendongak “ke atas, memohon dan tawakal kepada-Nya. Itu sebenarnya satu-satunya cara. Karena Dia yang mengirim semua hal itu dan hanya Dia yang bisa mencabutnya.

Coba renungkan, Dia yang bisa mengubah segala sesuatu dalam sesaat, “kun fayakun” Masa iya tidak berdaya hanya sekadar menyembuhkan kanker, membayar utang, mendamaikan yang berseteru bahkan mengubah hati orang sekalipun. Jadi, ketika Dia belum berkenan untuk mengubah situasi itu, pasti ada pelajaran yang belum tuntas kita raih. Ada intan hikmah yang masih harus kita gali di dalam kedalaman tanah ujian itu. Dan itu yang akan menjadi harta sejati kita, sesuatu yang akan menjadi berat di timbangan al-haq nanti dan menjadi penerang saat menapaki kehidupan sejak sekarang.

Maka Syaikhul Akbar Ibnu Arabi berpesan, “Utamakanlah tidak diberi.” Karena terkabulnya sebuah permintaan belum tentu sebuah kebaikan. Bisa jadi seseorang diberi apapun yang dia minta tapi justru sebuah kejatuhan baginya, karena ia tidak bersabar dengan pengkadaran dan situasi yang tengah Allah hadirkan kepadanya. Karena apa artinya sebuah pengabulan doa dan tercapainya segenap keinginan jika membuat hati menjadi takabur, membuat jadi ujub, membuat hati menjadi lalai dan menjauh dari-Nya? Na’udzubillahimindzaliik.

Sekali lagi, ujian dan kesulitan hidup adalah sebuah kewajiban bagi orang-orang yang benar-benar mencari Allah. Itu adalah jalan pemurnian diri, sebuah proses pendewasaan jiwa ketika ia dibuat bersabar menelan pil pahit kehidupan. Tapi jangan gentar, coba tengok sejarah orang-orang shalih dan beriman di sekitar kita, apakah mereka binasa? Jauh dari itu, walaupun raganya bersimbah peluh, air mata dan bahkan darah jiwanya melambung tinggi di langit kemuliaan. Dan karunia yang besar menanti mereka semua di kehidupan berikutnya.

Jadi, jangan takut dan gontai menghadapi badai tsunami kehidupan sebesar apapun itu. Buktikan ucapan kita setiap shalat “Allahu Akbar” dengan mengatakan ke wajah ujian itu “Tuhanku lebih Kuasa darimu!” Percayalah, bersama-Nya semua akan selamat, beres dan jadi ringan menjalaninya.
Seperti seruan Allah Ta’ala kepada Imam An Niffari:
Jika engkau melihat-Ku di dalam hatimu, engkau akan sanggup menanggung bersama-Ku.

With God all things are possible.

 Tuhan,

Aku terpana oleh lirikan-Mu

Sejak saat itu semua hal terasa berbeda

Hal yang manis menjadi hambar

Tak ada lagi yang bisa memenuhi ruang-ruang hatiku selain Diri-Mu

Keterpisahan ini terasa mengoyak hati

Tapi rela menjalaninya wahai Tuhanku

Demi mendapatkan secercah senyum dan tatapan-Mu kembali

It's all really worthed...


Amsterdam, 19 Oktober 2020 

10.01 pagi

Di tengah penerjemahan Kitab Al Mawaqifnya Imam An Niffari

tercekat pada Mawqif ke-24, 

4. Ketika Aku memandang hatimu, tak ada hal lain yang dapat memasukinya.


Wednesday, October 14, 2020

 BELAJAR BERTASBIH


Sejak kecil saya sudah diajarkan melafalkan tasbih subhanallah. Otomatis saya pun bertumbuh dengan menjalankan ritual ini dengan mengucapkan dzikir setelah shalat. Tapi kalau boleh jujur saya baru benar-benar belajar bertasbih dan mulai menghayatinya jelang usia 40-an tahun.


Saya baru paham bahwa tasbih bukan sekadar bermakna "Maha Suci Allah", tapi bagaimana agar dzikir itu juga berdampak pada keseharian saya. Dalam Al Qur'an dikatakan burung-burung bertasbih dengan mengembangkan sayapnya. Hebat sekali ya saya pikir. Hal yang nampaknya biasa bagi kita namun toh dinilai sebagai bertasbih di mata-Nya. Sedang saya? Kerja saya Usaha saya? Segenap kesibukan saya apakah patut dibilang bertasbih? Jangan-jangan penghambaan saya kalah dibanding seekor burung.


Saya mulai mengevaluasi ulang pemaknaan tasbih saya terutama setelah diamanahi mengurus dua bocah cilik yang sempat berkali-kali dibuat pontang-panting dan bertekuk lutut karenanya. Hal yang saya pahami  dengan mengurua anak adalah bahwa dunia saya menjadi berputar di sekitar mereka. Saya menunda rencana kuliah S2 demi mereka. Saya memilah pekerjaan demi mereka. Saya tak segan-segan membatalkan semua kegiatan demi merawat anak-anak yang sakit. 


Pokoknya saya dilatih untuk lebih fleksibel dan work with the flow melalui mengurus anak-anak. Berjalan kaki yang biasa ditempuh dalam waktu 10 menit ke supermarket terdekat bisa  sampai 30 menit kalau bawa anak-anak. Liburan yang biasanya ngepak apa adanya untuk diri sendiri berubah jadi serasa packing untuk bedol desa kalau bawa anak-anak. Dan sekali lagi kalau bikin agenda siap-siap last minute dibatalkan apalagi kalau anak-anak masih usia balita, biasanya masih sering sakit.


Work with the flow itu saya pahami sebagai bertasbih (dari kata sabaha yang artinya mengalir). Alih-alih memaksakan diri ngoyo memenuhi agenda pribadi. Kita harus mengalir dengan liukan semesta yang kadang di luar dugaan. 


Awalnya kesal dan banyak mengeluh bahwa mengurus anak dan rumah tangga itu demikian menyita waktu. Maklum ada unsur syahwat spiritual yang ingin shalat lama-lama, ngaji lama-lama, mengkaji Al Qur'an lama-lama, diskusi agama berjam-jam atau pengajian tak terinterupsi dst. Sekilas berbau agamis dan baik ya, tapi saya kemudian paham jika keinginan itu tidak sejalan dengan aliran sang waktu maka itu adalah sebuah syahwat yang berbalut kebaikan. Seolah nampak indah tapi sebenarnya salah untuk berpikir demikian. Kenapa? Karena saya merasa jadi tidak bisa penuh menikmati kekinian saya, bahkan lebih parah lagi bawaannya kesal sama anak-anak yang terasa selalu demanding. Padahal Mursyid saya senantiasa mengingatkan bahwa di setiap saat itu. Ya, setiap saat. Ada nikmat Allah tertingginya yang kebanyakan manusia lalai meraihnya karena panjang angan-angan dan kurang bersyukur akan apa yang Allah hadirkan di saat ini.


All in all, butuh waktu sekitar dua windu sejak saya belajar konsep berserah diri dan tasbih ini sampai saya mulai paham dan menghayati dalam keseharian. Saya menuliskan refleksi ini agar sahabat-sahabat bisa mengambil pelajarannya. Agar tak perlu mengulang kesalahan saya yang butuh memutar untuk memahami dan menghayati makna bertasbih dan berserah diri, hingga harus melalui sekian banyak benturan dalam kehidupan baru dibuat tak berdaya, menyerah dan tersadarkan. Intinya sekali kita bertasbih, menyatakan diri Islam - berserah diri (aslama) kepada-Nya, ya sudah percaya saja bahwa segenap pengaturan takdir-Nya adalah yang terbaik. Because the more you resist the flow of life, the more you will suffer.[]

Tuesday, October 6, 2020

 QS Al-An'ām : 31


قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَاءَتْهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوا يَا حَسْرَتَنَا عَلَىٰ مَا فَرَّطْنَا فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ عَلَىٰ ظُهُورِهِمْ ۚ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ


Sungguh rugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah; sehingga apabila Kiamat datang kepada mereka secara tiba-tiba, mereka berkata, "Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang Kiamat itu" sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Alangkah buruknya apa yang mereka pikul itu.


Kiamat itu bisa berupa kiamat kecil yaitu kematian dan kiamat besar yaitu kematian alam semesta dan segala isinya suatu saat nanti.


Wabah Covid-19 ini sebuah dzikrul maut buat kita semua. A shock therapy bagi yang terlalaikan dengan persiapan untuk kehidupan akhirat. Bahwa nafas kita hanya tinggal hitungan bulir-bulir pasir di dalam jam pasir yang terbatas. Adapun hawa nafsu, kebodohan dan syaithan selaly membawa kita berangan-angan panjang. Seakan hidup masih lama. "Toh, kita masih muda" demikian kita berseloroh. Atau kalaupun sudah paruh baya, kita ada dalam denial mode. Tidak sadar juga bahwa kematian tetangga sebelah, kepergian keluarga dan handai taulan kita itu sungguh sebuah petunjuk yang nyata. Yang kalau kita dengarkan baik-baik ia berkata, "Hey, siap-siap ya. Kamu giliran berikutnya..."





 

Sedang mendampingi anak-anak bermain game adventure online "zombie vs plants". Gemes lihat si kecil yang belum paham taktik bermain game itu maka si emak pun berujar, "Rumi, you should follow the lead for the mission, otherwise you are going nowhere and spend time for nothing." Setelah itu emak terdiam and think, "Wait a minute, this message is also relevant for me..."🤔

Jangan-jangan itu gambaran saya yang belum fokus sama misi saya sendiri dan sibuk mengerjakan ini-itu merasa banyak karya tapi sebenarnya ngga kemana-mana. Na'udzubillahimindzaalik.

Jadi ingat kisah yang Jalaluddin Rumi ceritakan   sebagai permisalan hal tersebut. Yaitu tentang seorang menteri yang diutus ke sebuah kota oleh Raja untuk membangun sebuah jembatan. Berangkatlah menteri yang dipercaya oleh sang Raja itu dengan membawa pasukan, para ahli dan berbagai perbekalan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan misinya dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi, ketika sampai di kota yang dituju, alih-alih langsung mengerjakan satu misi membangun jembatan sang menteri terlena oleh kesibukannya membangun sarana ini dan itu hingga waktu yang ditentukan habis dan saatnya ia pulang mempertanggungjawabkan semua itu.

Kira-kira apakah sang menteri bisa berkilah kepada Raja bahwa walaupun tidak selesai mengerjakan bangunan jembatan yang dimaksud tapi sudah membangun ini dan itu? I don't think so...

Kita semua punya tugas spesifik yang harus dikerjakan di penggal waktu yang singkat di bumi itu. Alih-alih berjuang menemukan kembali tugas suci itu kita tersibukkan oleh sekian banyak hal yang bukan kepentingan kita sebenarnya. Karenanya hati kita tidak akan pernah siap ketika akan dipanggil pulang melalui gerbang kematian. Seperti murid yang deg-degan saat bel sekolah berbunyi sementara pe-er yang seharusnya dia kerjakan belum tuntas.

Ah, Tuhan bisa saja menyindir saya sore ini lewat game yang tengah dimainkan oleh anak-anak. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah🙏

Sunday, October 4, 2020

 Awalnya sering dibuat kesal bahkan tak jarang marah sama anak setiap harus membersihkan entah pakaian atau sepatu mereka yang kotor. Kadang penuh pasir, hari lain penuh lumpur dan tak jarang bekas menginjak kotoran binatang😱  Saya paham bermain adalah bagian dari cara mereka belajar. Dan jangan takut kotor supaya anak berkembang baik. I get that really, tapi tetep aja berkeluh kesah di hati setiap membersihkannya. Allah tentu tahu itu.


Hari ini, saya diajari sesuatu yang baru. Sudut pandang lain yang lebih berdampak transformasi ke dalam hati saya dalam menyikapi keadaan yang serupa, yaitu saat membersihkan kotoran-kotoran pada pakaian atau sepatu mereka. Yaitu dengan beristighfar saat membersihkannya, setiap sapuan, setiap gosokan disertai istighfar karena itu gambaran kotoran di hati kita yang tidak sadar terproyeksikan dan diturunkan ke anak. 

Istighfar atas sifat emosian kita yang diserap oleh anak, istighfar atas ketidaksabaran kita yang ditiru anak, istighfar atas rasa takjub diri yang ditangkap anak hingga ia merasa lebih baik dari yang lain. Makanya Rasulullah Saw bersabda bahwa setiap anak terlahir fitrah. Dan siapa lagi yang bisa mengubah makhluk suci itu jika bukan orang tua sebagai caregiver-nya? Seperti sepatu baru yang putih dan bersih dikirim dari pabrik ke rumah kita dan kita cemari sepatu itu hingga kotor. Alih-alih berefleksi dan bertaubat atas andil kita mengotorinya, kita malah melempar sumpah serapah kepada sepatu yang tak bersalah itu. Crazy isn't it? Well, that crazy person was me. Astaghfirullah.



Tuesday, September 29, 2020

 Hidup itu harus mengalir, untuk bisa mengalir kita harus fleksibel. Open up for a change of plan. Saya belajar itu hari ini. Saat jemput anak-anak, biasanya kami bergegas pulang. Waktu antara bubaran sekolah jam 15.15 sore hingga makan malam jam 18.00 sore itu cepat sekali. Karena padat diisi dengan kegiatan membantu anak-anak mandi, merapikan cucian dan memasak. Jadi saya tidak pernah janjian sama seseorang diantara jam itu, karena kegiatannya sangat padat. Tapi hari ini berbeda, saya khusus menyediakan waktu untuk perempuan ini walaupun dengan konsekuensi acara memasak agak terlambat. 


Sebutlah namanya Evy, seorang single mother dengan satu anak laki-laki. Saat bubaran sekolah tadi saya tak sengaja mendengar dialog antara dia dengan anaknya. 


“Where are we going now mom?”

“I don’t know sweetie, we still have two hours before your swimming lesson.”


Rumah mereka terbilang jauh, jadi biasanya jika ada waktu luang sebelum melakukan kegiatan ekstrakurikuler mereka suka keliling entah ke toko atau bermain di taman sekitar.


Saat Evy melihat kiri dan kanan masih mencoba mencari jawaban untuk anaknya, ia melihat saya. Dan saya paham saat itu bahwa dia ingin mengajak Rumi, anak saya yang sekelas dengan anaknya itu ikut main bersama. Tapi kan budaya orang Belanda sungkan kalau ngajak sesuatu dadakan. Dan sebenarnya saya terbilang tidak punya waktu untuk menemani mereka bermain, tapi entah kenapa saat itu saya rasa dia betul-betul butuh teman. Akhirnya saya kabari suami bahwa saya dan anak-anak akan terlambat, juga makan malam akan terhidang agak terlambat hari ini. 


Di luar dugaan Evy sangat terbuka bicara tentang kesulitan yang dihadapinya, tentang pekerjaannya yang tak menentu karena terkena dampak pandemi, tentang ayah dari anaknya yang tidak mau sama sekali menemui bahkan kontak dengan anak lelakinya, dan tentang pergulatan yang dialami anak lelakinya itu merasa diabaikan (abandoned) oleh ayahnya. Anak ini jadi banyak berulah, kadang masih ngompol, lonjakan emosinya kerap tak terkendali. Evy sudah berupaya membawa anaknya dalam penanganan psikiater anak. Tapi tidak ada yang menggantikan kehadiran seorang ayah dalam hidup anaknya. Evy kerap menitikkan air mata jika anaknya yang baru berusia enam tahun itu menangis dan berkata, “My father doesn’t want me.” It’s painful to hear your child say that. Saya pun menunduk dalam-dalam. Tidak tahu harus bilang apa. 


Dalam keadaan yang sangat menyakitkan seperti itu kadang tidak pada tempatnya kita memberikan wejangan-wejangan dan ceramah motivasional. Sometimes all the other want to hear is “It’s tough”, yaitu kita akui itu berat. Dan pengakuan itu somehow magically put  the other person into a recognition spot. Dia merasa dilihat, diakui. Selebihnya semesta akan punya jalan untuk memompakan kembali semangat kepada dia, sometimes even effortlessly.


Kami berpisah tak lama kemudian. Tampak Evy lebih ringan hatinya setelah bisa curhat. Dia bilang “Thank you”, tapi tampaknya saya yang seharusnya mengatakan terima kasih kepadanya. Untuk mengingatkan bahwa kita semua punya medan perjuangannya masing-masing dan bersyukurlah dengan apa yang ada. My – what so called – struggle as a mom tampak menjadi tak ada apa-apanya dibanding perjuangan dia mengurus anak sendirian dengan keluarga jauh di negara lain. Terima kasih Evy, semoga Tuhan melapangkan jalan kebahagiaanmu.

Saturday, September 26, 2020

 Dalam kajian suluk online pertemuan keenam kemarin, salah seorang peserta berbagi sebuah kesaksian hidup bagaimana ketika kita meniatkan sesuatu untuk Allah Ta'ala walaupun jalan yang ditempuh dirasa berat pada awalnya, ternyata Allah akan selalu menolong dengan cara-Nya yang misterius dan luar biasa. Dalam kasus beliau adalah ketika dihadapkan dengan menikah dengan seseorang yang sebenarnya bukan seleranya, kalau boleh dikatakan tidak ada cinta di awal perkenalan sekalipun. Dengan berbekal niat untuk mendapat ridho Allah Ta'ala maka pernikahan pun dilangsungkan.


Satu tahun pertama guncangan mulai terasa intens. Sempat beberapa kali berpikir untuk mengakhiri pernikahan, akan tetapi keluarga tetap menahan agar jangan sampai pecah. Terseok-seok beliau mencoba melanjutkan bertahan di dalam bahtera pernikahan hingga akhirnya kesabaran beliau mulai menuai hasil. Saat ini pernikahan sudah menginjak tahun ke-14 (please correct me if i'm wrong) dan sudah dikarunai 3 orang anak plus satu anak lagi yang insya Allah akan hadir di bumi.


Saat ditanya, "Mbak, sekarang bisa melihat pasangan ini adalah yang terbaik dari Allah."

Tanpa ragu ia bisa menjawab, "Iya."


Masya Allah. Tidak akan dibiarkan mereka yang mempersembahkan sesuatu sekecil apapun untuk-Nya. Kita yang hanya berjalan sedangkan Dia datang berlari, sebuah simbol bahwa apa-apa yang kita persembahkan sebaik apapun itu kelihatannya sebenarnya tak sebanding dengan semua anugerah, karunia dan pertolongan yang Dia berikan. Dia sungguh Maha Penyantun.


Al-Baqarah : 207


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ


Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.



Monday, September 21, 2020

 

Bapak tua itu datang lagi malam ini. Tampaknya memang setiap akhir pekan dia biasa beli makanan di luar. Setiap kali selalu dengan nadanya yang ketus dan sama sekali tak bersahabat dan suara parau seperti suara seorang perokok berat.

Para crew restoran sudah mafhum dengan tabiatnya. Beliau bisa naik pitam hanya gara-gara hal sepele. Yah sudah terima saja, hitung-hitung latihan sabar.

Tapi malam ini sebuah keajaiban terjadi. Sayalah yang kebagian menyerahkan pesanan kepada beliau. Terus terang agak deg-degan dan sudah pasang kuda-kuda kalau disemprot dengan energi negatifnya😅.

Dengan senyuman dan berusaha sesopan mungkin saya berikan pesanan beliau sambil tak lupa menyapa beliau "Goedenavond" alias selamat malam. Dan diduga beliau membalas dengan anggukan dan senyuman. Iya, senyuman! It was really a slow motion moment for me and also jaw dropping experience. Kolega saya yang ikut menyaksikan hal ini sampai geleng-geleng kepala sambil bilang, "He never smile! EVER!"

Saya jawab dengan lagu, "There can be miracle when you believe..." 🧚‍♀️Maklum, hobi menyanyi sejak kecil masih terbawa sampai sekarang.

Saya belajar melalui pengalaman hidup beberapa kali menemukan individu-individu unik seperti ini. Orang yang galak, ketus, masam muka, mudah marah dan bentak-bentak di depan umum itu biasanya terjadi karena mereka punya isu-isu dalam kehidupan mereka yang belum tuntas, ia masih mengganjal. Seperti kerikil-kerikil yang mengisi sepatu dan membuat langkah kita tidak nyaman. Saat orang tidak merasa nyaman dengan dirinya  lantas bagaimana mungkin dia bisa menampilkan wajah yang cerah? Apalagi baik terhadap orang lain.

Maka kemarahan, kekesalan, sifat galak yang muncul bahkan marah-marah sama orang itu sebenarnya hanya proyeksi dari kemarahan dia kepada dirinya sendiri atau kekesalannya pada situasi kehidupan yang belum dia terima dengan ikhlas. Hal ini bisa terjadi kepada siapa saja dan kerap tanpa disadari.

Saya percaya orang pada dasarnya baik. Tapi kemudian apa yang muncul ke permukaan sebagai sikap, raut wajah dan akhlak adalah hasil dari bagaimana ia memproses dan merespon alamnya masing-masing.

Maka, hal terbaik menghadapi "toxic individual" seperti itu adalah dengan memberi penawarnya yaitu berupa sifat kasih sayang. It's the only way. Karena kalau kita ikut muring-muring, ikut terpancing emosi bahkan kemarahan. Itu seperti kita membuka diri kita teracuni oleh polutan yang dia bawa. Jadinya sebelas dua belas. Tidak ada kebaikan yang dapat dituai dari sebuah pertikaian dan memendam kekesalan apalagi dendam kepada orang. Itu hanya meracuni diri kita sendiri. Penyakit yang daya tularnya jauh lebih tinggi dibanding Covid-19, karena tanpa ada di satu ruangan bahkan di dua benua yang berbeda pun kita bisa tertular penyakit negatifnya.

I have learned another lesson last night to always try to bring out the best in you. Especially when dealing with difficult person. Just like Platon said, "Be kind. Everyone you meet is fighting a hard battle."

Friday, September 18, 2020

 GENGSI


Keinginan liar itu yang seringkali menjadi sumber kesengsaraan kita. Disebut liar karena tidak berpijak pada keadaan dan kenyataan yang ada. Karena ingin dihormati, ingin dipandang sukses, ingin dianggap suci, ingin terkenal, ingin dihargai, dsb sambil diraih dengan memoles sedemikian banyak bedak dan kosmetik ke dalam wajah kehidupan kita sedemikian rupa untuk kepentingan “show” agar mengagumkan dalam pandangan orang. Demikian tebalnya kosmetik itu hingga dirinya tidak mengenali wajahnya sendiri. Ia melarutkan diri di dalam ramuan apa kata orang, apa kata dunia.

Seiring dengan itu kita mulai meracuni diri sendiri dengan berbagai pikiran:
“Gengsi dong, masa dokter mobilnya itu!”
“Gengsi dong, masa anaknya orang sukses ngga bisa mengimbangi orang tuanya!”
“Gengsi dong, masa direktur rumahnya disitu!”
“Gengsi dong, masa lulusan perguruan tinggi terkenal hanya kerja begitu!”

Rasa gengsi yang dituruti ini yang biasanya membawa malapetaka dalam hidup. Seperti kisah miris yang dituliskan oleh Guy de Maupassant, seorang penulis Perancis yang hidup pada tahun 1850 hingga 1893. Ceritanya tentang seorang perempuan bernama Matilda yang berasal dari keluarga menengah. Sudah sekian lama ia bergulat dengan dirinya sendiri, dengan perasaan rendah diri dan malu karena melihat dirinya tidak sesukses teman-temannya yang lain. Sungguh sebuah perasaan yang merusak hari-harinya, sedemikian rupa ia pupuk perasaan itu hingga menimbulkan kemarahan yang membara, yang membuatnya semakin sulit untuk menerima keadaan kehidupannya sendiri.

Suatu hari Matilda menerima undangan untuk menghadiri sebuah pesta yang biasanya dihadiri oleh orang-orang yang kaya dan terpandang di kota itu. Matilda selalu ingin menjadi bagian dari orang-orang itu, yang ia anggap sebagai sebuah pencapaian kesuksesan. Matilda tentu ingin sekali menghadiri pesta tersebut, tapi ia tidak memiliki perhiasan untuk dikenakan sebagai simbol sebuah status tertentu.

Berhari-hari Matilda menangis meratapi nasibnya, sang suami pun tak berdaya memenuhi keinginannya untuk membeli perhiasan karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan. Matilda sempat berpikir untuk tidak menghadiri pesta itu. Ia mutung.
Akhirnya tercetus sebuah ide untuk meminjam perhiasan intan dari teman dekatnya. “Semalam saja, nanti dikembalikan.” Demikian ujar Matilda penuh harap. Sang teman yang baik hati tak sampai hati menolak permintaan itu. Akhirnya malam itu Matilda menghadiri pesta dengan dagu diangkat tinggi-tinggi untuk memerlihatkan kepada dunia bahwa ia mengenakan perhiasan berbalut intan permata. Untuk beberapa lama Matilda demikian tenggelam dalam dunia yang ia selama ini impikan, untuk sekian lama ia menjadi bagian dari “warga kelas atas”.

Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Malam itu, tiba-tiba Matilda menyadari bahwa kalung perhiasan pinjaman dari temannya itu hilang, tak lagi menempel di lehernya! Rasa panik menyelimuti Matilda di penggal terakhir pesta, upayanya mencari kalung tak membuahkan hasil. Ia seperti lenyap ditelan bumi.

Matilda pulang menangis tersedu-sedu. Untuk memberitakan kepada temannya bahwa kalung itu telah hilang bukan pilihan baginya, rasa gengsi sekali lagi menyelubungi pikirannya untuk mengatakan apa adanya. Lalu apa yang Matilda dan suaminya lakukan? Mereka membeli kalung yang serupa dari toko perhiasan yang terkemuka seharga 40.000 franc. Jumlah uang yang sangat fantastis bagi mereka hingga mereka harus menguras tabungannya dan meminjam uang yang dikembalikan dalam jangka waktu 10 tahun. Selama satu dekade itu Matilda dan suaminya habis-habisan bekerja untuk mengembalikan utang dan tidak bisa menikmati gaya hidup yang sebelumnya mereka miliki.

Sepuluh tahun telah berlalu, selama kurun waktu itu Matilda selalu punya alasan untuk tidak bertemu temannya yang telah meminjami ia kalung. Rasa malu, bersalah, kesal dll tidak bisa ia tutupi. Maka Matilda memilih untuk tidak bertemu saja. Padahal mereka pernah menjadi teman baik. Akhirnya, setelah utangnya lunas Matilda mulai berani untuk mengunjungi kembali teman lamanya ini.

“Akhirnya, kamu berkunjung juga. Lama sekali kita tidak bersua. Penampilanmu sekarang berbeda Matilda.” Kata temannya mengungkapkan rasa senang bercampur aneh dan sedikit kegetiran melihat penampilan Matilda.

“Ya, gara-gara kamu aku jadi sempat sengsara selama 10 tahun.” Sahut Matilda.

“Lho, kok gara-gara aku? Memangnya apa yang terjadi?”

Matilda pun menceritakan kejadian kalung yang hilang 10 tahun lalu dan bahwa sebenarnya ia dan suami membeli kalung baru yang serupa dengan kalung pnnjaman itu tapi karenanya harus bekerja keras banting tulang 10 tahun lamanya.

Mendengar penututan Matilda, meledaklah tawa sang teman, “Ya ampun, Matilda. Jadi, kamu membelikan kalung intan asli untukku? Tahu ngga, kalau kalung yang kamu hilangkan itu sebenarnya imitasi dan harganya tidak lebih dari 500 franc!”

Matilda melongo. Membayangkan 10 tahun yang ia jalani dalam sebuah penderitaan yang sia-sia. Sebuah harga yang mahal untuk membayar sebuah rasa gengsi.[]


Friday, September 11, 2020

'Surviving' Corona


Dua hari setelah sekolah mengumumkan ada orang tua murid teman sekelas anak saya yang terkena Corona di malam hari dia muntah sekali. Tidak ada demam atau diare yang menyertai. Awalnya saya pikir masuk angin biasa karena perubahan suhu yang tiba-tiba dingin dan berangin kencang walaupun masih terhitung musim panas. Tapi, atas pertimbangan ada kemungkinan kontak dengan anak yang bisa jadi tertular Covid-19 maka kami putuskan untuk membawanya tes. Caranya mudah, tinggal telp, menyebutkan nomor penduduk, identitas diri dan boleh memilih tempat tesnya dimana, juga gratis. Jika kita naik mobil kesana bahkan tak perlu turun dari mobil (drive thru).  Dalam waktu 48 jam hasil tes akan diberitahu lewat telepon apakah negatif atau positif. Jika positif, akan mendapat email berisi instruksi lanjutan prosedur karantina. Dan setiap beberapa hari ada orang dari GGD - lembaga yang mengawasi penyakit menular - menelepon untuk memeriksa riwayat kontak dan perkembangan kondisi ybs serta orang yang serumah. 


Di luar dugaan hasil tes anak saya positif. Tadinya saya pede akan negatif, karena anak konon cenderung tidak menularkan. Tapi ya, it is what it is. Tiba-tiba kami sekeluarga harus melakukan swakarantina, tak boleh keluar rumah selama 18 hari sejak anaknya menunjukkan gejala.


Dua hari pertama adalah yang paling berat. Karena setiap kami bersin atau batuk saja pikiran langsung melayang, "Aku kena Corona barangkali?" It's a beginner's paranoia. Belum lagi ditambah anaknya yang nangis tersedu-sedu di hari pertama menjalani isolasi. Merasa kesepian, karena selama 7 hari dia harus berdiam dan melakukan semua aktivitas di kamarnya. Hanya boleh keluar kamar jika perlu ke wc.


Banyak hal terjadi dalam dinamika karantina. I will save that for another chapter😉 to make the story short, saat ini alhamdulillah kami baik-baik saja. Anak saya sudah kembali bersekolah, walau sempat ditunda tiga hari karena tidak berani ke sekolah sendiri. Maklum kebiasaan diantar mamanya. Sedangkan saya tidak bisa antar karena masih harus dikarantina. Untungnya Allah mendatangkan lagi pertolongan tak terduga. Ibu dari sahabat anak saya menawarkan bantuan untuk antar jemput. Alhamdulillah. Benar kiranya, dimana ada masalah pasti jalan keluarnya sudah Allah sediakan tinggal sabar dan cermat mencari jalannya.


Aside from that, saya mau berbagi fenomena-fenomena mengharukan lain. Saat dalam keadaan disempitkan begini dan tidak boleh keluar bahkan untuk belanja. Tiba-tiba tawaran untuk dibantu belanja datang dari tetangga dan teman-teman. Sama sekali tak terduga. Bahkan ada yang menawarkan bakso ala GM dikirim langsung dari pusat kota Amsterdam! 


Terharu sekali melihat teman-teman bersepeda bahkan ada yang berjalan jauh demi mengantarkan beberapa kantung belanja kebutuhan sehari-hari kami. 


Terharu melihat kartu-kartu ucapan yang dikirim oleh teman-teman sekelas kedua anak saya. Juga dari teman-teman kami.


Terharu mendapat dukungan dari tetangga sebelah rumah yang jika saya keluar rumah sebentar untuk membuang sampah, dia selalu menyemangati , "Komt goed hoor!" Alias it will be okay. Dengan senyum khasnya yang manis menyeruak diantara keriput kulit yang menampakkan kewibawaan.


Sekali lagi Allah menampilkan kuasa-Nya lewat segenap ciptaan-Nya. Sebuah pelajaran berharga untuk keluarga yang sedang mengembara jauh dari sanak saudara, entah itu ke kota yang lain, ke pulau yang berbeda atau ke negeri seberang. Kita tuh sebenarnya tak perlu merasa kesepian. Memang keluarga kita jauh. Tapi Tuhan yang sama yang menciptakan keluarga kita di kampung halaman punya kuasa untuk menciptakan keluarga-keluarga lain untuk kita di bumi-Nya yang manapun.


Toh keluarga bukan sekadar didefinisikan oleh sebuah hubungan darah. Siapapun yang tulus membantu kita otomatis jadi keluarga. Cause it's not blood that makes you family, it's love. ❤

 

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Q.S. At-Thalaq : 2-3).

Mendapat rezeki tak terduga itu tanda seseorang yang bertaqwa. Jika selama ini hidup terduga terus, aman terus, lancar terus. Otomatis sesungguhnya tidak terbukti ketaqwaannya.

Dengan kata lain sebenarnya kita mesti mengalami sebuah episode kehidupan ketika jalan keluar dari permasalahan itu tidak terbayangkan. Tabungan sudah habis, orang yang biasanya bisa diandalkan tak mampu menolong, seluruh upaya yang dikerahkan sepertinya tak membuahkan hasil. Itulah “hari Tuhan”. Hari ketika Allah memperkenalkan kuasa-Nya secara personal kepada kita.

Ada yang sakit dan divonis tidak bisa sembuh. Dia berdoa dan dalam beribadah. Lalu tiba-tiba Allah angkat penyakitnya. Dokternya pun sampai geleng-geleng kepala menyaksikannya.

Ada yang sudah hampir drop-out kuliah karena kehabisan biaya. Tiba-tiba last minute ada pertolongan tak terduga dari kerabat jauh.

Ada yang anaknya bermasalah, sudah coba terapi sana-sini, tampaknya tidak ada perkembangan. Si ibu bersimpuh dalam shalat tahajjud khusus mendoakan anaknya. Tiba-tiba didatangkan terapis yang paham betul cara mengatasi kondisi anak seperti itu.

Sahabat. Kehidupan ini papan caturnya Allah. Jangan hanya terpaku mengandalkan solusi horizontal dalam menghadapi tantangan kehidupan dengan tanpa melibatkan Dia dalam setiap langkah. Karena tanpa kehadiran-Nya kita hanya akan tenggelam dalam samudera kesibukan dunia yang mematikan potensi jiwa untuk bisa mengenal-Nya dan meraup kebahagiaan yang hakiki.

Libatkan Dia dalam setiap pengambilan keputusan. Seorang Sufi bahkan berkata, “Bahkan di perkara sebutir garam dalam hidupmu, mintalah kepada-Nya”. Itu adabnya. Dia ingin selalu dilibatkan, karena Dia siap dan yang paling layak untuk dilibatkan. Agar kita tidak jalan berjalan dengan percaya diri, tapi lebih percaya Dia. Itulah PD yang paling afdhal.

Wallahu’alam[]

 

Wednesday, September 9, 2020

Bencana & Spiritualitas


Ada penelitian yang meninjau literatur dari tahun 1978 sampai 2019. Literatur yang dibaca juga tidak main-main, berasal dari website yang bereputasi seperti PubMed, Medline, Springer, Elsevier, Science Direct,  dll baik dalam Bahasa Inggris dan bahasa lain. Mereka mencari artikel yang memiliki kata kunci "spirituality", "prayer" dan "some religious advice were assessed in times of crisis."


Kesimpulannya?


Sepertinya spiritualitas dapat membantu orang dalam melalui situasi krisis dan bahaya.

Dalam menghadapi wabah Covid-19 ini juga dianjurkan kepada para tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit untuk memerhatikan lebih aspek spiritualitas dan agama agar lebih tenang dalam menjalaninya.


Okay, let sink that in for a moment...


Orang lebih 'mudah' dibuat tunduk saat menghadapi bencana alam seperti wabah yang kita tengah hadapi sekarang, atau gunung meletus, atau tsunami, atau gempa. Mudah tunduk karena terlihat 'tangan Tuhan' yang menggerakkan itu semua. Rasanya musykil membayangkan manusia dengan ditempel teori konspirasi apapun mampu untuk menimbulkan bencana dengan skala sedemikian besar. 


Ya, kita akan dibuat bertekuk lutut ketika dihadapkan dengan fenomena alam yang dahsyat. Yang di saat itu bahkan seorang atheis pun akan mulai menjerit, "God, or whatever You are outthere... please help!" 


Akal kita mengatakan, fenomena sedahsyat itu pasti Dia yang mendatangkan. Tapi, apa iya Dia yang bisa menghadirkan kejadian spektakuler seperti itu tidak berkontribusi dalam menghadirkan sebuah fenomena keseharian?


Kita dengan mudah bisa mengaitkan sebuah bencana alam dengan kuasa Tuhan, tapi pada saat yang sama masih kesulitan untuk melihat bahwa Tuhan yang sama juga yang menghadirkan rekan kerja yang menyebalkan itu, resesi ekonomi, jualan yang ngga laku,  bisnis yang gagal, pasangan yang bikin makan ati, mantan pasangan yang bikin pusing kepala, pekerjaan yang orang anggap ngga keren, situasi rumah tangga yang bikin sesak nafas, kelakuan anak yang bikin pusing tujuh keliling, ada wanita idaman lain atau pria idaman lain, fitnah dan cacian orang yang tak ada habis-habisnya. Semua itu hadir, apa mungkin God has nothing to do with it?


Nah, kita mulai mengangguk...


Tapi pertanyaan berikutnya. Kalau memang Tuhan mengizinkan sebuah derita terjadi, mengizinkan sebuah kesulitan menghimpit, mengizinkan sebuah kepayahan menimpa. Lantas apa maksudnya?


And that is the one million dollar question. A question worth to ask.  Patut diberi ruang untuk direnungkan di sekat-sekat diri masing-masing. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun bahkan seumur hidup untuk mencernanya. But at least we start somewhere.


Agar kita bisa berdamai dengan episode hidup kita sekelam apapun itu. Agar kita bisa menjadi paham bagaimana Dia mengorkestrasikan segenap kehidupan kita sejak lahir hingga mati nanti. Karena hanya dengan pemahaman itu kita menjadi lebih bersuka cita dalam menjalaninya.


Saya tutup tulisan ini dengan sebuah pertanyaan lain. Jika Adam memang diciptakan untuk meraih kebahagiaan surga. Kenapa beliau harus diturunkan ke dunia, terpisah bertahun-tahun dengan kekasihnya di dunia benua yang berbeda. Mengalami kesulitan di dunia, disulitkan oleh kelakuan anak-anaknya dsb. Kenapa tidak berikan saja semua yang beliau inginkan di surga. And live happily ever after...


Why?


Saya tahu, pertanyaan itu membawa perasaan tidak nyaman. Tapi kadang jiwa perlu dibangunkan oleh sebuah rasa ketidaknyamanan agar ia bangkit dari tidur panjangnya.


"The unexamined life is not worth living" - Socrates

 

Kisah Nabi Ayyub as yang diuji Allah dengan kehilangan anak, istri, harta dan dibuat rusak tubuhnya bukan hal yang asing bagi kita. Kita bisa mengenal beliau adalah seorang nabi berdasarkan informasi dari kitab-kitab suci. Tapi jika kita hidup sezaman dengan beliau, apakah kita termasuk yang dapat beriman kepada kenabian beliau atau ikut yang lain untuk mencacinya? Bahkan para muridnya pun saat itu mempertanyakan beliau dengan berkomentar, “Barangkali ada dosa yang engkau belum istighfari.”

Sang Nabi tidak bergeming, beliau tahu ini bukan saatnya menyampaikan klarifikasi kepada siapapun. Karena beliau sadar bahwa ini adalah urusan Allah yang tengah dimanifestasikan di semestanya. Hal yang sebenarnya berawal dari pertanyaan Iblis kepada Allah, bahwa pantas saja seorang Ayyub bisa bersyukur kepada-Nya karena ia memiliki semuanya. Tapi Allah menolak persangkaan itu dengan berkata bahwa jika diambil apapun dari hamba-Nya Ayyub, tetap ia akan memuja-Nya dengan sepenuh hati. Maka mulailah makar itu, Ayyub diberitahu tentang hal tersebut, bahwa semua yang Allah berikan akan diambil. Saat itu hanya satu saja permohonan Ayyub sang Nabiyullah, “Tolong ya Allah sisakan hatiku dan lisanku. Agar dengannya aku masih bisa berdzikir kepadamu.” Beliau rela diambil apapun, asal disisakan hati dan lisan yang bisa berdzikir. Masya Allah.

Maka ketika ujian itu bergulir, satu persatu miliknya yang ia sayangi mulai hilang dari sisinya. Orang mulai mencemooh, mencaci, lari darinya dan memfitnah. Barangkali di benak mereka, nabi macam apa ini? Lebih mirip seperti orang yang terkena kutukan dibanding seorang nabi. Demikian besar fitnahnya, kalaupun kita ada di masa itu jangan-jangan kita termasuk yang melempar cacian kepadanya. Na’udzubillahimindzaalik.

Salah satu pelajaran penting dari kisah Nabi Ayyub as adalah. Bahwa dalam penggal hidu akan ada masanya kita menerima cacian, ejekan, dan fitnah. Ketika kita ada di saat itu, apapun yang kita lakukan akan dibaca salah saja. Bahkan sebuah pembelaan yang baik pun akan didengar sebagai sebuah suara yang sumbang. Jika ini terjadi maka saatnya sabar dan taqwa. Itu kunci agar semua cacian itu tidak mendatangkan madharat bagi kita. Karena justru yang menimbulkan keburukan sering kali justru karena respon kita akan hal itu yang terpancing emosi.

Jika episode fitnah itu datang, jalani dengan sabar. Pada saatnya Allah akan membuka pintu-pintu klarifikasi. Tapi sambil menunggu saat itu datang, yang lebih utama dibanding sekadar sebuah klarifikasi adalah justru bertumbuhnya pohon sabar dan taqwa di hati kita. Karena jika itu telah tumbuh maka seperti dalam peristiwa Ayyub, Allah akan mengalirkan mata air penyembuhan yang muncul dari bawah telapak kakinya sendiri. Artinya solusi semua permasalahan itu akan tidak jauh dari dunia kita. Hanya belum Allah bukakan saja. Dengan kata lain kita harus belajar menelan pil pahit dalam kehidupan agar jiwa kita menjadi dewasa. Wallahu’alam[]