Sunday, December 26, 2021

 Mengubah Diet


Kabarnya salah satu faktor yang membuat timnas sepakbola Indonesia mulai menggeliat ketika bertanding adalah kebijakan Lee Jae Hong, pelatih fisik mereka yang mengubah drastis pola diet mereka hingga yang tadinya biasanya timnas kita fisiknya kedodoran di babak kedua lalu dengan perubahan diet itu maka kekuatan dan endurance atau daya tahannya mulai meningkat. Dan memang bangsa Indonesia bisa ikut menjadi saksi atas perubahan yang dramatis tersebut.


Memerhatikan makanan yang masuk ke dalam tubuh kita sebenarnya merupakan perintah Allah Ta'ala dalam Al Qur'an karena makanan itu bisa berefek besar kepada kesehatan tidak hanya ragawi tapi akan berdampak kepada agama seseorang.


Jangankan memasukkan sesuatu yang haram yang bisa mengakibatkan shalat kita tak diterima 40 hari lamanya, mengkonsumsi sesuatu yang tidak thayyib saja akan sudah memberikan dampak yang tidak baik bagi jiwa dan raga kita.


Seperti halnya perubahan stamina pada timnas yang demikian kentara setelah diterapkan perubahan diet, jangan-jangan penyebab kita selama ini malas, kurang gairah dalam berkarya, miskin ide, seret motivasi, mudah lelah, dan tak punya daya tahan tinggi gara-gara kita mengkonsumsi hal-hal yang tidak thayyib bahkan haram melalui segenap panca indera kita. 


Coba telaah lagi buku-buku yang dibaca, lagu-lagu yang didengarkan, film-film yang ditonton, berapa lama kita menghabiskan waktu bersosial media yang tidak perlu, atau merenda pertemanan dengan mereka yang tidak memberikan manfaat baik terhadap perkembangan jiwa. Semua itu adalah "diet"nya jiwa yang akan mewarnai shadr atau ruang dada kita masing-masing.


Memang tidak mudah mengubah kebiasaan mengkonsumsi hal tertentu, si syahwat pasti sudah sedemikian terbiasa dengannya dan meraung-raung saat tidak mendapatkannya. Maka langkah awal yang paling penting adalah bersujud dan memohon kepada Allah Ta'ala agar Dia yang menuntun perubahan itu, setahap demi setahap. Agar kita makin cergas dalam kehidupan, makin peka menangkap segenap petunjuk-Nya dan meraih apa-apa yang terbaik yang sebenarnya Allah Ta'ala sudah siapkan untuk kita masing-masing. Supaya kita tidak berpulang ke hadirat-Nya nanti dalam keadaan menyesal. Menyesal tidak memberikan yang terbaik dalam hidup yang sangat singkat ini []

Friday, December 24, 2021

 Kurang Angin


Kalau naik sepeda yang bannya kurang angin itu tidak nyaman. Berat membosehnya. Kita sudah ngos-ngosan tapi tak jauh berjalan, tidak seperti kalau bannya terisi penuh dengan angin.


Angin itu tak nampak tapi dayanya besar. Demikian juga dengan ruh, ia berasal dari kata "ar-riyaah" yang artinya angin. Sesuatu yang tak terlihat tapi memberi energi.


Kalau manusia sedang dalam kondisi "kurang angin" itu bagai tak ada ruh yang menggerakkannya. Bawaannya jadi males, berat melakukan ini dan itu, tidak cergas dan kurang energi kehidupan. Dalam kondisi yang lebih parah ia bahkan tak memiliki lagi energi untuk melakukan sesuatu, tak menyala motivasinya dan suram memandang kehidupan.


So how to bring that spirit back?

Hanya dengan berdoa kepada Sang Pemilik Ruh agar Dia berkenan meniupkan kesegaran, membangkitkan semangat, membangunkan inspirasi dan menumbuhkan sekian kebaikan dalam diri kita. Berdoa dalam lisan dan juga perbuatan, mulai dengan mengerjakan kebaikan dari yang dekat, dari yang dimudahkan, dari apa yang ada. Insya Allah.


- Renungan setelah memompa ban sepeda


Sunday, December 19, 2021

 Sejak SMP entah kenapa kalau dengar lagu-lagu natal seperti "White Christmas" atau "Have Yourself A Merry Little Christmas" itu senang sekali, rasanya "feels at home". Aneh, padahal saya tidak dibesarkan di lingkungan yang memperdengarkan lagu-lagu natal seperti itu, tapi begitu sekali mendengarnya hati langsung terpaut kepada semacam realita tertentu yang pada saat itu belum terjadi. Ah, sulit menggambarkannya dengan kata-kata.


Fast forward, 30 tahun kemudian saya mulai paham kenapa fenomena itu terjadi. Karena di saat musim dingin dan mendekati natal seperti ini radio-radio di Belanda memainkan lagu-lagu natal. Ketika saya mendengarnya, saya entah tengah berada di mobil mengantarkan anak-anak les, atau sedang di rumah dengan keluarga. And yes, that feeling again, i recognize that. I feel at home...


Hidup itu seperti mimpi memang. Dalam dunia mimpi kita bisa terbang dari satu fase kehidupan ke fase kehidupan yang lain. Dalam dunia mimpi, anything is possible. Tapi mimpi adalah mimpi. Dia bukan dunia nyata. Mimpi adalah dunia yang tengah dibentangkan perlahan-demi perlahan untuk pada saatnya digulung kembali. Gone, vanish...


Dan saya ingin mengenal dunia nyata. Sebuah kehidupan yang tak mengenal akhir. Karena akhir itu menyakitkan. Seperti ketika saya mengalami akhir perjumpaan dengan ayah saya yang pergi ke alam lain melewati gerbang kematian. Makanya dalam agama saya menemukan ketenangan, karena khazanah agama adalah satu-satunya yang memberi keterangan dengan kehidupan setelah kematian. Hingga saya punya harapan untuk bertemu ayah saya lagi, tidak hanya itu. Saya meyakini jiwa ayah saya masih ada, dia menjalani kehidupan di alam barzakh, alam antara sebelum alam lain yang jauh lebih panjang usianya. Agama memberikan saya harapan itu.


Kembali tentang pengalaman masa kecil dan realitanya di masa depan. Saya percaya Allah Sang Pencipta dan Designer semesta kehidupan ini menyimpan hal-hal di masa lalu kita sebagai petunjuk atau hints akan apa yang akan kita hadapi dan kita lakoni di masa depan. Maka penting untuk membaca masa lalu dan masa kecil kita untuk memahami diri dan fungsi kita sendiri. Keping-keping puzzlenya berserakan di sana. Kita tinggal kumpulkan dan rangkaikan satu persatu dengan bismillah dan telaten. Dengannya kita bisa mulai melihat gambaran diri kita secara utuh, termasuk kenapa dibuat melampaui sekian takdir kehidupan dengan segala suka-duka, hitam-putih, tangis-tawa. It all come in one package. Hingga kita bisa bersaksi dengan sebenar-benar persaksian bahwa apapun yang Allah takdirkan itu tidak sia-sia. Apapun itu...

Tuesday, December 14, 2021

 

Pernah ngga kita niat belanja ke supermarket untuk beli pisang dan beras aja sebenarnya tapi pulang-pulang malah beli camilan, roti, dan lain-lain. Sementara pisang dan berasnya lupa dibelišŸ¤¦‍♀️

So what? Ya mesti balik lagi ya ngga. Lha wong berasnya butuh untuk dimasak untuk makan hari ini.

Hidup tuh begitu. Ada misi tertentu yang harus setiap orang lakukan dalam penggal waktu yang sangat singkat di bumi ini. Masalahnya kalau begitu berpulang ke rahmatullah kita bahkan tidak ngeh apa yang sebetulnya harus dikerjakan dulu di dunia, atau sudah mulai terendus sih tapi ya tidak tuntas juga dikerjakan - pretty much like pisangnya sih kebeli tapi berasnya lupa- ya bakal repot. Pasalnya kehidupan di dunia ini hanya sekali. One single shot. Either we're gonna make it or break it. Ini sepertinya yang membuat para Nabi dan para sahabatnya lebih banyak menangis daripada tertawa. Menyadari gentingnya situasi yang dihadapi. Make it or break it tadi. Hanya ada satu kesempatan. And we cannot afford to lose it...

Makanya Allah Ta'ala senantiasa mengirim juru pengingat, ya untuk mengingatkan ihwal "belanjaan" tadi. Tentang apa yang harus dilakukan oleh setiap orang. Karenanya takdir setiap orang itu unik, bahkan kembar siam yang wajahnya mirip plek-plek saja beda takdirnya. Karena dalam takdir itu ada fungsi pengingat, tentang persaksian dan perjaniian kita dulu di alam alastu (QS Al A'raaf [7]:172) tentang menjadi saksi Allah (syuhada) dalam kehidupannya masing-masing, dalam bidang dan misi hidupnya masing-masing. Tinggal kita yang hatus membuka hati agar semua peringatan dan petunjuk-Nya itu terbaca. Agar kita berpulang dengan jiwa yang tenang dan diridhoi. Aamiin.

- Renungan emak-emak selepas pulang belanja


 Sepetak Sajadah


Dunia di luar sepetak sajadah ini boleh berguncang segila apapun.

Tapi di dalam ruang sepetak ini aku menemukan ketenangan.


Kehidupan di luar sepetak sajadah ini bisa membingungkan sejadi-jadinya.

Tapi di dalam ruang sepetak ini aku menemukan keteguhan.


Perpisahan orang tua, menghadapi kesulitan ekonomi, menerjang ujian dalam hidup, menghadapi kebingungan dalam pekerjaan, mendera kebosanan, menyisir kesepian, menghela desah panjang, bersabar disakiti dan difitnah, semua bagaikan api dalam kehidupan. Yang membakar sesuatu yang tidak haq. Sakit, lelah, kecil hati saat menjalaninya. Tapi ketika kembali di ruang kecilku ini. Hanya ada aku dan Dia. Bahkan semua persoalan yang mengitar tak kuizinkan memasuki. Because this place, is my sanctuary. 


Kemanapun aku pergi ‘sepetak sajadah’ ini senantiasa ada. Dia tak terbatas oleh situasi dan keadaan. Saat di kendaraan, saat di terminal, saat di rumah sakit, saat di kantor dll. Dalam keadaan sehat atau sakit. Berdiri atau berbaring. Ruang itu selalu ada. Karena kita membutuhkan-Nya. In every single step of our way.


Bukankah setiap kita punya medan perjuangannya masing-masing? Sebuah kesulitan dan tantangan yang tak banyak orang ketahui. Kadang bahkan orang-orang terdekat kita pun tak menyadarinya. Tapi adalah kesulitan itu sendiri yang membuat kita bertumbuh dan memberikan makna pada ruang sepetak sajadah ini. Sebuah ruang teduh di tengah terik kehidupan yang terasa menyengat. Sebagai ruang hangat saat kehidupan menggigit beku. 


Been through a lot in life. Rasanya saya bisa sampai pada satu kesimpulan bahwa ruang inilah yang menyelamatkan saya. Dan saya boleh kehilangan apapun kecuali sepetak ruang sajadah ini…

 Setiap orang pada akhirnya akan menghadapi kematian. Tak ada harta dan kekuatan apapun di dunia ini yang bisa menolaknya jika itu telah datang. Tapi siapkah kita untuk menyongsong hal yang pasti itu? 


Siang malam kita sibuk mencari nafkah, mengejar cita, membangun sesuatu untuk hal yang pada saatnya akan kita tinggalkan. Tapi kadang kita lupa untuk mempersiapkan diri menjelang hal yang lebih pasti. Yaitu akhir dari perjalanan jasad di bumi ini dan awal perjalanan jiwa di alam lain.


Ketika beralih ke alam barzakh, maka jiwa akan ditanya oleh malaikat, "Man Rabbuka?" Siapa Tuhanmu? Sepertinya pertanyaan yang simpel dan kita merasa bisa menjawabnya dengan mudah. Tapi yang berpikir bahwa jawabannya mudah adalah memori dalam sel-sel saraf otak kita yang tak akan lagi berfungsi di alam barzakh nanti. Dia nanti akan menjadi santapan cacing-cacing tanah. Lantas, siapa yang akan menjawab? Akal jiwa kita. Tapi akal jiwa itu tak akan pernah bisa menjawab bahwa Sang Rabb atau Sang Pemelihara adalah Allah jika dalam kehidupan ia tak pernah mengalaminya. Karena yang dia lihat yang memelihara adalah gaji tetap itu, warisan itu, pasangan yang menjamin, keluarga yang senantiasa membantu. Jika ia tak pernah merasakan dan melihat bahwa Allah yang mendatangkan itu semua maka ia akan gagap menjawab pertanyaan dasar itu.


Disini kemudian kita paham bahwa kesempitan dalam hidup, ujian, sakit dan musibah itu perlu untuk mengoyak tirai-tirai kebergantungan kita pada hal-hal selain Allah. Sesuatu yang kita tawakali dengan tidak sadar. Agar kita melihat bagaimana kuasa Allah yang menyembuhkan walaupun dunia medis sudah angkat tangan. Bahwa kasih sayang Allah yang mengurus anak-anak walaupun berdasarkan hitungan tak akan cukup pendapatan bisa menjamin masa depan mereka. Bahwa keajaiban Allah yang membukakan jalan yang kita anggap tak akan bisa terbuka selamanya. 


Itulah kehidupan, wahana untuk mengenal Allah Sang Rabb melalui semua asma dan perbuatan-Nya.

Monday, December 6, 2021

 Jika sebuah bencana atau keburukan menimpa kita, biasanya respon kita adalah mencari kambing hitam. Yang dengannya serta merta kita mudah melempar kesalahan,


"Gara-gara dia rumah tanggaku hancur!"

"Gara-gara si penipu itu usahaku bangkrut!"

"Gata-gara si pencuri itu laptopku hilang!"


Mudah memang. Salahkan saja orang lain, toh memang mereka yang berbuat.

Tapi tunggu dulu. Kalau orang beriman, ia akan senantiasa berupaya melihat keterlibatan-Nya di balik segala sesuatu. Baik itu hal yang menyenangkan ataupun yang menyakitkan sekalipun. Karenanya dia tidak akan sekadar berhenti menyalahkan yang lain. Imannya akan melihat bahwa bagaimanapun Allah Yang Maha Kuasa mengizinkan hal itu terjadi. "Kenapa ya Engkau izinkan ini terjadi?" Batinnya akan terus bertanya sambil memohon bimbingan-Nya. Karena di balik semua takdir-Nya pasti tersimpan hikmah dan kebaikan yang banyak.


 Lantas apa hikmah di balik rumah tangga yang hancur? Bisnis yang kolaps? Keuangan yang menipis karena diminta terus dari kiri-kanan dsb? Barangkali itulah obat mujarab dari Allah Ta'ala bagi kecintaan dan kemelekatan kita kepada dunia yang bisa membawa petaka dunia dan akhirat. Sesuatu yang kita tidak sadari bahayanya. Dan Allah adalah Maha Pengasih apalagi kepada mereka yang betul-betul mencari-Nya. Agar kita tak terjebak pada kebiasaan menyalahkan orang lain atau situasi dan kehilangan kesempatan untuk tafakur dan meraih hikmah dan segenap kebaikan yang ada.[]

Wednesday, December 1, 2021

 Hantu bernama "si mantan"


Berinteraksi dengan mantan istri suami itu gampang-gampang susah. Bagaikan melangkah di atas medan beranjau kita harus hati-hati jangan sampai salah memberikan respon dan berdampak mencederai hati orang.


Butuh 3 tahun bagi saya sendiri untuk menemukan the right move, so we're not stepped into each other's toe. Awalnya ganjil karena bagaimanapun kalau menikah dengan duda atau janda itu secara tidak langsung si mantan akan ada selalu dalam perhitungan khususnya jika ada anak dari pernikahan sebelumnya. Lama-lama kegerahan itu memudar dengan sendirinya seiring dengan interaksi yang semakin dalam dengan si mantan. Dalam pengalaman saya, adalah kita sebagai istri yang harus membuka jalan duluan, karena si mantan pasti banyak sungkannya, merasa diri sudah tidak memiliki hak dan bagian di rumah tangga. Maka saya raih dia dengan berlibur bersama, tinggal di rumah kami selama beberapa malam atau menyewa bungalow libiran bersama. Sesuatu yang buat ukuran orang Belanda yang cenderung bebas pun sudah dianggap "wow!". At least i got that comment a lot.


Tapi saya percaya hidup ini adalah untuk berbagi. Masa saya tega berbahagia sendiri saat liburan sementara M, mantan suami saya tinggal sendirian di apartemennya- karena keluarganya di luar negeri. Dan juga saya pertimbangkan anak tiri saya pasti senang melihat papa dan mamanya kumpul bersama di saat-saat liburan. Jadi saya belajar untuk mengesampingkan suara-suara egois dan nyinyir dari kiri-kanan yang berkata "awas lho, ntar suami balik lagi" dsb. Ah tawakal saja sama Allah. Kalau memang itu jalannya, apapun yang dari Dia pasti yang terbaik. As simple as that. I'm not afraid.


Sekarang setelah 10 tahun saya berinteraksi dengan M jujur makin tumbuh rasa sayang sama dia. Saya mengerti perjuangannya saat bercerai dan membesarkan anak sendiri secara praktis. Saya suka melibatkan dia dalam foto-foto keluarga, karena saya bilang sama dia "you are part of the family". Kadang kalau lama tak ketemu malah suka kangen. Bukti bahwa perasaan tidak enak dan negatif yang bermunculan di awal waktu tak lain hanya hantu-hantu yang tak nyata, ia hanya kepulan asap dari ketakutan kita sendiri yang tak beralasan. And there is a remedy for that, which is love and openness. Bagaimanapun keadaannya berjuang untuk menjadi orang yang menebarkan kasih. ❤