Thursday, November 16, 2023


 Kadang kita lupa

Kalau kita hidup di samudera keajaiban

Seiring dengan bertumbuh dewasa.

Kita jadi tak mudah lagi terpesona oleh banyak hal.

Sudah makin penuh pikiran kita dijejali oleh waham,

pandangan yang salah tentang kehidupan.

 

Kita kehilangan kepolosan anak kecil yang selalu terpana dengan segala sesuatu di sekitarnya.

Semakin dewasa kita menjadi terikat dengan waham sebab-akibat.

Lupa kalau Allah kuasanya melampaui hukum sebab-akibat.


Akibatnya kita terpuruk sendiri

Menghinakan diri, bersimpuh di depan dunia

Lupa bahwa dunia pun makhluk-Nya yang tunduk pada perintah-Nya semata.


Karenanya kita jarang melihat keajaiban

Padahal dia ada di mana-mana

Di senyuman manis anak kita,

Di sentuhan sayang orang yang mengasihi kita

Di tetes-tetes air hujan yang jatuh dari langit


Dan ya, di balik segala ujian dan musibah sekalipun ada sebuah keajaiban yang harus kita gali untuk melihatnya.

Agar kita jadi hamba-Nya yang bersyukur.

Dan betapa tidak mudahnya jadi orang yanh bersyukur.

Iblis sudah berjanji akan mendatangi manusia dari arah depan-belakang-kiri dan kanan dan berhasil membuat sebagian besar manusia tidak bersyukur.

Kita dalam sebuah keterkepungan dari empat arah.

Seakan tak berkutik menghadapinya.

Kita lupa bahwa ada arah lain yang bisa kita ambil untuk keluar dari keterkepungan itu.

Itulah arah vertikal

Agar terhubung dengan Allah Ta’ala.

Ketika pintu langit itu terbuka, pancaran sinar-Nya akan mencahayai kehidupan kita

Di setiap langkah dan koordinatnya

Dan kita mulai terpana

Karena bisa lagi menyaksikan keajaiban itu…


Amsterdam, 17 November 2023 / 3 Jumadil Awwal 1445 H


Foto: pantulan cahaya lampu di malam hari pada sebuah musim gugur di Reigerbos

Monday, November 13, 2023


 Semua ada saatnya

Saat anak-anak harus diganti popok

Saat anak-anak masih harus disuapi

Saat anak-anak masih harus diantar jemput ke sekolah

Saat mereka selalu membuntuti kemana kita pergi dan bisa menangis ketika ibunya tak ada di sekitar.


Semua ada saatnya

Ketika waktu kita demikian tersita dalam mengurus keperluan anak-anak secara fisik

Ketika dunia kita sedemikian rupa berputar dengan mereka sebagai penjuru

Ketika kita harus menahan diri terhadap banyak hal dan menerima fakta bahwa perempuan itu dibuat pendek langkahnya


Semua ada saatnya

Ketika si anak riang gelendotan bahkan saat kita shalat kemudian seiring dengan mereka bertumbuh besar mereka mulai menjauh dan membutuhkan ruangnya sendiri


Karena semua ada saatnya

Hal yang terbaik adalah mengalir mengikuti aliran takdir yang telah Dia tetapkan 

Karena pengaturan-Nya pasti yang terbaik

Bukankah Dia Sang Maha Pencipta?

Yang mengetahui aspek luar dan dalam dari setiap ciptaan


Work with the flow

Bertasbih

Berselancar dalam ketetapan-Nya

Dari tahap ke tahap, hari per hari, waktu ke waktu

Dalam suka cita bersama-Nya

Tuesday, November 7, 2023

 Kembali ke Belanda.

Disambut cuaca dingin musim gugur.

Hujan dan angin adalah warna keseharian negeri ini

Tak heran, menikmati hangatnya terpaan sinar matahari adalah hal yang mewah disini.


Kembali ke negeri dimana suara adzan tak terdengar.

Waktu shalat berubah-ubah drastis seiring dengan perubahan sumbu perputaran bumi terhadap matahari.


Keadaan alam yang berbeda dengan setelan waktu shalat yang relatif konstan sepanjang tahun di Indonesia.

Masjid tersebar dimana-mana yang mengumandangkan panggilan “shalat lebih baik daripada tidur” di pagi buta.

Musholla mudah didapatkan sehingga berbagai aktivitas kita di luar terwarnai oleh saat-saat tertentu ketika seseorang meninggalkan apapun yang dia lakukan untuk bersimpuh dan bersujud di hadapan Sang Pencipta.


Di negeri ini memang segala hal tampak demikian rapi. Jalanan yang tak berlubang. Relatif tak ada kemacetan. Lingkungan yang bersih dan tertata rapi. Sistem sosial ekonomi yang melindungi warganya. Sebuah tatanan kenyamanan duniawi yang nyata.

Tapi…

Saya merasakan sebuah kerapuhan.

Ada kekosongan yang coba diisi oleh sekian ragam kesibukan kehidupan.


Disini orang mulai meninggalkan Tuhan.

Membicarakan Dia adalah hal yang seperti dianggap memalukan kalau tidak tabu.

Dan kehidupan akhirat? Oh, itu seperti sesuatu yang aneh. Tidak nyata.

Carpe diem. Kata mereka.

Nikmati kehidupan yang hanya sekali ini.

Tapi…

Mereka lupa bahwa hidup di dunia ini bukan kehidupan satu-satunya.


Pandemi yang disebabkan Coronavirus kemarin sempat menjadi pengingat.

Betapa rentannya kehidupan.

Bahwa kematian adalah sesuatu yang sangat dekat, terlalu dekat.

Tapi lepas dari wabah itu. Manusia sudah lupa lagi. Demikian mudahnya terseret dalam sekian rentetan kesibukan yang tak bertepi.

Mengejar kenyamanan, memastikan keturunan hidup baik, mengamankan semua aset dunianya. Semua hal dikerahkan untuk hal-hal yang dia akan tinggalkan saat kematian datang menjemput.


Di situ saya menjadi miris.

Duh Gusti, seandainya mereka tahu betapa berharganya hidup dan beramal shalih untuk bekal mereka di alam berikutnya.

Ya Allah, seandainya mereka tahu nilai sebuah sujud dalam shalat.


I have nothing but love for them ❤️ 

Mendoakan wajah-wajah asing yang saya temui di jalanan, di pasar, di tempat-tempat umum.

Menyelipkan shalawat di pesanan makanan mereka.

Apapun yang mudah untuk saya lakukan.

Karena saya percaya pada kekuatan doa.

Itu adalah ruang dan sumbu yang menghubungkan antara bumi dan langit. Antara kehidupan yang fana dengan Kuasa-Nya yang tak terbatas.


Mungkin ada alasannya kenapa saya dilahirkan di negeri timur dan sempat dicelup oleh warna ketuhanan. Untuk kemudian berkelana dan bertugas di barat yang kering spiritualitas. Tak lain hanya menyisakan remah-remah. Dan jiwa-jiwa manusia yang kelaparan.


Setidaknya saya harus menjadi mercusuar bagi keluarga kecilku, anak-anak yang terlahir dengan fitrah dan mesti dijaga sebaik mungkin.

Setidaknya saya menyentuh orang-orang sekitar, tetangga, rekan kerja, komunitas tertentu yang Allah mudahkan untuk menjangkaunya. Mengingatkan kembali tentang Tuhan.

Agar manusia tidak kelu lidahnya untuk sekadar menyebut nama-Nya.

Karena manusia fitrahnya mencari Tuhan.

Ada yang sadar itu, ada yang pura-pura tak tahu, ada yang takut, dan banyak yang tenggelam oleh alam ilusi dunia.


Jalaluddin Rumi berkata, “Dimanapun kau berada, jadikah cahaya di tempat itu”


Cahaya yang menyibakkan kegelapan.

Cahaya yang menuntun manusia kembali pada Sang Sumber Cahaya.

Cahaya yang mengingatkan bahwa setiap kita terlahir dengan membawa modal cahaya itu.


Membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Dengan izin dan pertolongan-Nya.

Insya Allah.


Amsterdam, 8 november 2023/24 Rabi’ul Akhir 1445 H

3.55 dini hari