Monday, December 18, 2023

 Mama, Papa, jangan bertengkar di depan anak.

Itu menyakitkan buatnya,

Menyaksikan orang yang ia cintai saling menyakiti

Karena setiap kali yang satu menyerang yang lain, si anak tersakiti bagaimanapun juga. Darah ayah dan ibu mengalir di dirinya. Dia tidak bisa memilih dan tak seharusnya dibiarkan memilih.


Ayah, Bunda, cari tempat dan waktu yang terpisah dari kehadiran anak untuk menyelesaikan konflik di antara kalian. Biarkan si anak menumbuhkan dirinya dengan dunia yang penuh kasih sayang dan merasa aman. Rantingnya masih terlalu lemah untuk dibebani permasalahan konflik orang tuanya. Dia bisa patah. Dan kalau patah bisa bertahun-tahun menyembuhkan lukanya.


Mami, Papi, berhenti menarik anak-anak dalam pusaran konflik pribadi kalian. Biarkan jiwa mereka bertumbuh dalam suasana kasih sayang. Telan kemarahan dan kekesalan pada satu sama lain jika berhadapan dengan anak. Karena mereka tak layak disakiti oleh kekecewaan kalian masing-masing. 


Kehidupan dunia kadang berat dan menyakitkan bagi mereka, anak-anak kita. Kadang mereka menghadapi bullying di sekolah, kadang teman yang menyebalkan, kadang guru yang galak, kadang kelelahan menghadapi segenap aktivitas kesehariannya.

Maka biarkan anak-anak kita pulang dengan nyaman. Agar rumah dirasa menjadi surga buat mereka. Tempat mereka bernaung lahir dan batinnya.


Ingat bahwa anak-anak adalah amanah dari Allah.

Setiap jiwa membawa benih yang harus ditumbuhkan agar dia bisa mengenal kembali Sang Pencipta.

Jangan patahkan pertumbuhan mereka karena ego pribadi.

Kalaupun memang tak ada jalan lain buat kalian kecuali untuk berpisah. Maka berpisahlah dengan cara yang baik.


Karena buat anak, bukan masalah berpisah yang menjadikan dia berat, tapi ketika satu sama lain saling melempar kata-kata kebencian yang menyakiti satu sama lain. Di setiap sabetan kata-kata itu hati si anak terluka. Dalam sekali. Dan butuh waktu berdekade tahun untuk sekadar menyadari, apalagi untuk menyembuhkannya. 


Maka tolong, bicara yang baik atau diam saja. Itu lebih aman.


Trust me, i know how it feels…

Friday, December 15, 2023

 Terkadang kita lebih mengandalkan upaya berkomunikasi untuk menyelesaikan segenap persoalan hidup kita. 

Kurang uang, langsung responnya telepon sana-sini, hubungi ini dan itu. 

Sedang dilanda krisis, lalu langsung reaksinya minta tolong sama ini dan itu, konsultasi sana-sini. 

Kita lupa bahwa "tidak ada musibah terjadi kecuali dengan izin Allah" (QS At Thagabuun [64]:11). Bahwa apapun yang datang ke semesta kita adalah bukan sebuah kebetulan atau sekadar aksi dari satu atau dua orang. Tak ada satu atompun mewujud dan bergerak di semesta ini kecuali dalam izin dan kendali-Nya. Ingat, Allah tak pernah kehilangan kendali atas apapun. Adalah ilusi kita yang mengatakan seolah-olah tak memiliki kendali atas kehidupan dan dibuat bingung serta resah karenanya. Pantas saja, karena kita semata-mata adalah manusia yang tak berdaya dan sangat membutuhkan persoalannya. 

Berbekal kesadaran bahwa semua yang terjadi adalah dalam izin Allah maka pantaslah bagi seorang hamba untuk terlebih dahulu menghadapkan segenap diri ke hadapan Allah Yang Maha Kuasa setiap kali berhadapan dengan dunia. Tak perlu selalu saat minta tolong dan dalam keadaan membutuhkan, tapi juga saat mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Agar kita tidak terlena dan selalu dalam keadaan mengingat-Nya. 

Amsterdam, 15 Desember 2023 / 2 Jumadil Akhir 1445 H

Musim gugur yang mulai menghangat, 9 C . Selepas renang rutin setiap Jum'at, ikhtiar menjaga kebugaran raga - sang kendaraan si jiwa. :)

Thursday, November 16, 2023


 Kadang kita lupa

Kalau kita hidup di samudera keajaiban

Seiring dengan bertumbuh dewasa.

Kita jadi tak mudah lagi terpesona oleh banyak hal.

Sudah makin penuh pikiran kita dijejali oleh waham,

pandangan yang salah tentang kehidupan.

 

Kita kehilangan kepolosan anak kecil yang selalu terpana dengan segala sesuatu di sekitarnya.

Semakin dewasa kita menjadi terikat dengan waham sebab-akibat.

Lupa kalau Allah kuasanya melampaui hukum sebab-akibat.


Akibatnya kita terpuruk sendiri

Menghinakan diri, bersimpuh di depan dunia

Lupa bahwa dunia pun makhluk-Nya yang tunduk pada perintah-Nya semata.


Karenanya kita jarang melihat keajaiban

Padahal dia ada di mana-mana

Di senyuman manis anak kita,

Di sentuhan sayang orang yang mengasihi kita

Di tetes-tetes air hujan yang jatuh dari langit


Dan ya, di balik segala ujian dan musibah sekalipun ada sebuah keajaiban yang harus kita gali untuk melihatnya.

Agar kita jadi hamba-Nya yang bersyukur.

Dan betapa tidak mudahnya jadi orang yanh bersyukur.

Iblis sudah berjanji akan mendatangi manusia dari arah depan-belakang-kiri dan kanan dan berhasil membuat sebagian besar manusia tidak bersyukur.

Kita dalam sebuah keterkepungan dari empat arah.

Seakan tak berkutik menghadapinya.

Kita lupa bahwa ada arah lain yang bisa kita ambil untuk keluar dari keterkepungan itu.

Itulah arah vertikal

Agar terhubung dengan Allah Ta’ala.

Ketika pintu langit itu terbuka, pancaran sinar-Nya akan mencahayai kehidupan kita

Di setiap langkah dan koordinatnya

Dan kita mulai terpana

Karena bisa lagi menyaksikan keajaiban itu…


Amsterdam, 17 November 2023 / 3 Jumadil Awwal 1445 H


Foto: pantulan cahaya lampu di malam hari pada sebuah musim gugur di Reigerbos

Monday, November 13, 2023


 Semua ada saatnya

Saat anak-anak harus diganti popok

Saat anak-anak masih harus disuapi

Saat anak-anak masih harus diantar jemput ke sekolah

Saat mereka selalu membuntuti kemana kita pergi dan bisa menangis ketika ibunya tak ada di sekitar.


Semua ada saatnya

Ketika waktu kita demikian tersita dalam mengurus keperluan anak-anak secara fisik

Ketika dunia kita sedemikian rupa berputar dengan mereka sebagai penjuru

Ketika kita harus menahan diri terhadap banyak hal dan menerima fakta bahwa perempuan itu dibuat pendek langkahnya


Semua ada saatnya

Ketika si anak riang gelendotan bahkan saat kita shalat kemudian seiring dengan mereka bertumbuh besar mereka mulai menjauh dan membutuhkan ruangnya sendiri


Karena semua ada saatnya

Hal yang terbaik adalah mengalir mengikuti aliran takdir yang telah Dia tetapkan 

Karena pengaturan-Nya pasti yang terbaik

Bukankah Dia Sang Maha Pencipta?

Yang mengetahui aspek luar dan dalam dari setiap ciptaan


Work with the flow

Bertasbih

Berselancar dalam ketetapan-Nya

Dari tahap ke tahap, hari per hari, waktu ke waktu

Dalam suka cita bersama-Nya

Tuesday, November 7, 2023

 Kembali ke Belanda.

Disambut cuaca dingin musim gugur.

Hujan dan angin adalah warna keseharian negeri ini

Tak heran, menikmati hangatnya terpaan sinar matahari adalah hal yang mewah disini.


Kembali ke negeri dimana suara adzan tak terdengar.

Waktu shalat berubah-ubah drastis seiring dengan perubahan sumbu perputaran bumi terhadap matahari.


Keadaan alam yang berbeda dengan setelan waktu shalat yang relatif konstan sepanjang tahun di Indonesia.

Masjid tersebar dimana-mana yang mengumandangkan panggilan “shalat lebih baik daripada tidur” di pagi buta.

Musholla mudah didapatkan sehingga berbagai aktivitas kita di luar terwarnai oleh saat-saat tertentu ketika seseorang meninggalkan apapun yang dia lakukan untuk bersimpuh dan bersujud di hadapan Sang Pencipta.


Di negeri ini memang segala hal tampak demikian rapi. Jalanan yang tak berlubang. Relatif tak ada kemacetan. Lingkungan yang bersih dan tertata rapi. Sistem sosial ekonomi yang melindungi warganya. Sebuah tatanan kenyamanan duniawi yang nyata.

Tapi…

Saya merasakan sebuah kerapuhan.

Ada kekosongan yang coba diisi oleh sekian ragam kesibukan kehidupan.


Disini orang mulai meninggalkan Tuhan.

Membicarakan Dia adalah hal yang seperti dianggap memalukan kalau tidak tabu.

Dan kehidupan akhirat? Oh, itu seperti sesuatu yang aneh. Tidak nyata.

Carpe diem. Kata mereka.

Nikmati kehidupan yang hanya sekali ini.

Tapi…

Mereka lupa bahwa hidup di dunia ini bukan kehidupan satu-satunya.


Pandemi yang disebabkan Coronavirus kemarin sempat menjadi pengingat.

Betapa rentannya kehidupan.

Bahwa kematian adalah sesuatu yang sangat dekat, terlalu dekat.

Tapi lepas dari wabah itu. Manusia sudah lupa lagi. Demikian mudahnya terseret dalam sekian rentetan kesibukan yang tak bertepi.

Mengejar kenyamanan, memastikan keturunan hidup baik, mengamankan semua aset dunianya. Semua hal dikerahkan untuk hal-hal yang dia akan tinggalkan saat kematian datang menjemput.


Di situ saya menjadi miris.

Duh Gusti, seandainya mereka tahu betapa berharganya hidup dan beramal shalih untuk bekal mereka di alam berikutnya.

Ya Allah, seandainya mereka tahu nilai sebuah sujud dalam shalat.


I have nothing but love for them ❤️ 

Mendoakan wajah-wajah asing yang saya temui di jalanan, di pasar, di tempat-tempat umum.

Menyelipkan shalawat di pesanan makanan mereka.

Apapun yang mudah untuk saya lakukan.

Karena saya percaya pada kekuatan doa.

Itu adalah ruang dan sumbu yang menghubungkan antara bumi dan langit. Antara kehidupan yang fana dengan Kuasa-Nya yang tak terbatas.


Mungkin ada alasannya kenapa saya dilahirkan di negeri timur dan sempat dicelup oleh warna ketuhanan. Untuk kemudian berkelana dan bertugas di barat yang kering spiritualitas. Tak lain hanya menyisakan remah-remah. Dan jiwa-jiwa manusia yang kelaparan.


Setidaknya saya harus menjadi mercusuar bagi keluarga kecilku, anak-anak yang terlahir dengan fitrah dan mesti dijaga sebaik mungkin.

Setidaknya saya menyentuh orang-orang sekitar, tetangga, rekan kerja, komunitas tertentu yang Allah mudahkan untuk menjangkaunya. Mengingatkan kembali tentang Tuhan.

Agar manusia tidak kelu lidahnya untuk sekadar menyebut nama-Nya.

Karena manusia fitrahnya mencari Tuhan.

Ada yang sadar itu, ada yang pura-pura tak tahu, ada yang takut, dan banyak yang tenggelam oleh alam ilusi dunia.


Jalaluddin Rumi berkata, “Dimanapun kau berada, jadikah cahaya di tempat itu”


Cahaya yang menyibakkan kegelapan.

Cahaya yang menuntun manusia kembali pada Sang Sumber Cahaya.

Cahaya yang mengingatkan bahwa setiap kita terlahir dengan membawa modal cahaya itu.


Membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Dengan izin dan pertolongan-Nya.

Insya Allah.


Amsterdam, 8 november 2023/24 Rabi’ul Akhir 1445 H

3.55 dini hari

Sunday, October 29, 2023

 Banyak yang bertanya pada saya,

Bagaimana caranya mengendalikan hawa nafsu?

Bagaimana caranya tetap istiqomah?

Bagaimana caranya menemukan amal shalih?

Bagaimana caranya agar persoalan dunia tidak mengganggu suluk kita?

Bagaimana caranya menyelesaikan konflik dengan pasangan, mertua, teman?

Bagaimana caranya keluar dari lilitan utang?

Bagaimana ini…

Bagaimana itu…

Seribu satu masalah yang melingkupi kita tak ada habisnya. 


Jawaban saya selalu sama. Mungkin terdengar cliché. Tapi itu solusi yang sudah terbukti karena saya mengalami sendiri.

Caranya ya mendekat dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Hadits Rasulullah saw pun berkata demikian, “Barangsiapa yang memperbaiki hubungan antara dirinya dengan Allah. Allah akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia”.  Itu kuncinya.


Jadi tak perlu pusing-pusing dulu dengan teori ini dan itu atau segenap solusi ini dan itu. Fokus dulu memperbaiki hubungan dengan Allah. Dengan memperbaiki shalat, memperbaiki wudhu, lebih sering dzikir, lebih sering munajat, lebih menyertakan Allah di segala hal. Nanti saksikan bagaimana satu per satu masalah kita beres dan dilapangkan dengan sendirinya. Betul-betul menakjubkan cara Dia mengatur semesta. Kita akan takjub dibuatnya.


Jadi saya pikir, kebanyakan manusia terbelit dengan masalah yang seolah tanpa akhir bisa jadi karena semata-mata kurang meminta kepada Allah dengan sungguh-sungguh saja. Karena esensi dari sebuah permintaan adalah doa adalah terjalin sebuah kedekatan antara kita sebagai ciptaan dengan Sang Pencipta. Wallahu’alam


Bandung, 30 Oktober 2023

Setelah menemani Ashley makan sahur

Thursday, October 19, 2023

 Kita gemar membaca sekian banyak buku

Itu bagus 👍

Kadang sampai ditarget satu bulan sekian buku

Semangatnya baik👏


Tapi jangan lupa

Ada buku penting yang juga harus dibaca

Yaitu kitab kehidupan kita

Yang harus ditelaah dan direnungkan

Kenapa kita diperjalankan sedemikian rupa

Bahkan masa lalu yang kelam sekalipun

Demikian gelap hingga kita tak mau mengingatkya lagi

Terlalu menyakitkan untuk dipandang dekat-dekat

Tapi semua takdir hitam, putih dan abu-abunya adalah goresan tangan Sang Maha Pencipta.

Yang kalau itu Dia kehendaki terjadi pasti ada hikmah yang tersimpan di dalamnya.


Agar suatu waktu setiap keping hidup kita menjadi bermakna. Hingga kita bisa bersaksi,

“Rabbana maa khalaqta haadza baathila”

Wahai Tuhanku tidak ada yang sia-sia dalam apapun yang Engkau ciptakan.


Schiphol Airport, jelang lepas landas dalam perjalanan ke Turki

19 Okt 2023/ 4 Rabi’ul Akhir 1445 H

Wednesday, September 27, 2023

 Manusia sangat serius mempersiapkan masa depan kehidupannya.

Tentang rencana kuliah

Tentang rencana karir

Tentang rencana menikah

Tentang rencana punya anak

Tentang rencana pendidikan anak

Tentang rencana keluar negeri

Tentang rencana lamaran anaknya

Tentang rencana menyambut cucu


And so on and so forth

And endless loop of desire


Tapi, jarang sekali yang sungguh-sungguh merencanakan hal yang paling dekat dengannya, yaitu kematian.

Apa yang sudah dipersiapkan untuk menjelang kehidupan setelah mati?


Amsterdam, 27 Sept 2023

16.07 sore hari menunggu Rumi main sepakbola

Tuesday, September 26, 2023

 Allah Ta'ala berjanji "Berdoalah kepadaKu, niscaya akan kuperkenankan bagimu." (QS. Al-Mukmin:60)


Ayatnya jelas dan lugas. Tapi kenapa saya kerap merasa meminta sesuatu kok tidak kontan diberikan? 

Saya mohon ingin menikah dengan si A tidak kesampaian.

Saya meminta agar kerja di perusahaan B yang kelihatannya keren itu tapi tidak dibukakan juga jalannya.

Saya meratap ingin dibebaskan dari utang, tapi bertahun-tahun sepertinya masih berkubang di lubang yang sama.


Kenapa? Apakah Allah tidak menepati janji?

Ah tidak mungkin. Hati berkata.

Tapi kenapa permintaanku tidak dikabulkan saja?


Begitulah, kita kemudian merasakan konflik batin bahkan tak jarang keraguan mulai menyeruak. Benarkah Dia Dzat Yang Maha segalanya? Kok minta uang sepuluh juga saja susah. Seolah Tuhan tidak lagi bisa praktis menjawab persoalan keseharian kita.


Apa yang salah?


Jelas bukan salah Tuhan. tapi kita yang belum tepat dalam memandang dan membaca kehidupan.


Untuk memahami apa yang terjadi kita mesti ingat bahwa Allah itu Ar Rahman dan Ar Rahim. Cinta kasih kepada semesta ciptaan-Nya mewarnai kehidupan. Karenanya suatu permintaan akan dikabulkan jika itu membawa kebaikan dunia dan akhirat bagi si hamba. Dan yang paling tahu hanya Allah Ta'ala. 

Oleh karenanya panduan Al Quran jelas tatkala menghadapi hal yang kita sukai atau hal yang tidak kita sukai,


"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).


Dan konteks ayat ini didahului dengan kewajiban berperang. Diantaranya peperangan di dalam diri tentang persepsi baik dan buruk, serta hal yang dibenci atau yang disukai. Lalu ayat itu ditutup dengan pernyataan yang tegas, "Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui". Maka terkait sebuah permohonan dan doa yang sepertinya tidak terkabul atau tertunda. Percayalah bahwa semua dalam pengaturan Allah Ta'ala yang terbaik. Tinggal kuatkan kesabaran menjalaninya dan mensyukuri apa yang ada. Karena kebersyukuran akan membuka pintu rezeki di depan kita. Sebab bisa jadi sesuatu pemberian itu dihalangi oleh hijab hati atau ketidaksiapan kita dalam menerimanya. 


Tetaplah berdoa. Tapi jangan semata-mata ukur kesuksesan doa itu hanya dengan terkabulnya keinginan kita dengan kehilangan pandangan hati kepada Sang Pemberi. Jadilah seperti Nabi Zakariya yang walaupun berdoa konon hingga 60 tahun lamanya menunggu terkabulnya doa dan tetap berkata dengan penuh keyakinan "Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku" QS Maryam: 4 []


- Amsterdam, Rabu 27 September 2023

00.32 malam

Tuesday, September 19, 2023

 Ada hukum dan aturan dalam kehidupan yang sangat kokoh

Demikian kokohnya sampai sekuat apapun keinginan dan upaya kita untuk menerobos bahkan menembusnya sekalipun tidak akan pernah berhasil jika apa yang kita inginkan itu tidak tertulis di Lauh Mahfudz, it was not meant to be.
Tentang hal ini ada seorang pemuda yang datang kepada Rasulullah saw meminta agar didoakan oleh sang Nabi saw agar dirinya bisa berjodoh dengan seorang perempuan dambaan hatinya. Bukankah doa nabi adalah makbul? Mungkin begitu pikir si pemuda itu. Yang tidak disangka, Rasulullah tidak langsung mendoakan, malah memberi nasihat bahwa kalaupun beliau beserta seluruh penghuni langit mendoakan - dengan kata lain doa yang kuat sekalipun dan all out - tapi kalau ihwal perjodohan dengan si perempuan itu tidak ada tulisannya di Lauh Mahfudz maka tak akan pernah terjadi.
Jadi ada hal lain dalam kehidupan yang mesti kita telaah. Makanya hidup itu tidak bisa ngoyo, kita akan sakit sendiri dan patah karena terlalu memaksakan kehendak diri tanpa pernah mencoba membaca apa kehendak-Nya.
Itulah pentingnya belajar agama. Pentingnya mempelajari Al Quran. Pentingnya membuka khazanah keilmuan dasar tentang apa kehidupan ini dan bagaimana aturan mainnya. Agar kita tidak pontang-panting mencari-cari jalankeluar sendiri tapi hanya sekadar berputar-putar di dalam labirin yang seolah tak bertepi. Seumur hidup terlalu mengandalkan kemampuan diri, kemampuan pasangan, kekayaan, tabungan, karir yang menjanjikan, posisi yang mentereng, popularitas yang sedang bersinar, bantuan keluarga, warisan orang tua dll. Tapi Tuhan. Dia jadi nomor sekian, sekadar jeda shalat diantara kesibukan mencari dunia - pun sekadar menggugurkan kewajiban. Bebas dari rasa bersalah atau takut sama mertua atau apa kata orang kalau dilihat tidak shalat.
Di alam mulkiyah ini kita tinggal menjalani apa yang telah Dia tetapkan. Pilihannya hanya bersuka cita (tau'an) atau terpaksa (karhan) melakukannya (QS Fushshilat:11). Kesukacitaan itu yang membuat khazanah jiwa mengembang menjadi tujuh langit.
Suka cita menerima takdir hari ini, walaupun masih terasa pedih dikhianati orang dekat. Sakitnya tuh disini. Tapi keyakinan bahwa di balik segala yang terjadi pasti ada hikmahnya membuat dia bisa menelan pil pahit itu, semoga berkhasiat menjadi pensuci jiwa.
Suka cita menerima kenyataan keadaan hari ini. Walaupun berat rasanya, tapi dia tetap ber-husnodzon bahwa Tuhannya menyimpan berlimpah kebaikan jika dia bersabar melalui ini semua. Semua akan indah pada saatnya.
Sukacita menjalani kondisi fisik yang sakit. Walaupun sakitnya kadang tak tertahankan sambil meringis pedih, tapi keyakinannya kepada keadilan Sang Pencipta dan kehidupan yang lebih baik di alam berikutnya memompa semangatnya untuk terus menjalani episode ini dengan sebuah kesukacitaan di hatinya.
Hidup itu ada arah dan orientasinya. Keberadaan kita dalam penggal waktu yang singkat ini pun demikian. Ada tujuan dan misi sucinya. Kita bukan sekadar makhluk yang sekadar numpang lewat, hidup, bernafas, berkembang biak, meraih kenyamanan hidup dan selesai. Setiap manusia punya fitrah mengejar makna hidup. Tapi hidup baru bisa dimaknai jika kita memahami apa maksud semua ini, kenapa aku dilahirkan di orang tua yang itu? Kenapa dalam raga yang ini? Kenapa pernah mengalami ini dan itu? Kenapa ini? Kenapa itu? Semua pengetahuan kita tentang diri sendiri dan seluruh takdir yang melingkupinya adalah anak tangganya untuk mengenal siapa Sang Rabb, yang mendesain itu semua. Hanya dengan perspektif itu maka kita mulai bisa melihat pola yang tertampilkan dengan berbagai warna kehidupan yang telah terjadi. Dengannya episode gelap sekalipun membentuk keping puzzle tertentu yang melengkapi sebuah gambaran yang utuh. Yang tanpa keping itu kita tidak pernah menjadi orang yang utuh. Yang terjadi sudah berlalu. It's done. Keburukannya kita istighfar, kebaikannya kita syukuri. And we move on. Baca terus kitab kehidupan kita. Itu cara bersyukur. Karena tak ada yang bisa mengagungkan kehidupan kita kecuali diri kita sendiri.
Hidup itu ada arahnya. Yaitu untuk mengenal Sang Pencipta dari mulai level asma-asma, sifat dan perbuatan-Nya. Di alam ini, kita belajar membaca siapa Dia dari semua ciptaan-Nya yang diorkestrasi demikian teliti dan detil sejak zaman azali.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemehakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur” (QS Luqmaan: 31).

Tuesday, September 12, 2023

 Mudahnya Hidup Bersama Tuhan

Dua tahun ini saya berkecimpung di dunia life coaching dengan menghadapi berbagai klien baik dari Indonesia ataupun sekitar Eropa. Di saat yang bersamaan saya pun mengampu komunitas mengkaji Al Quran dan melayani sahabat-sahabat dengan berbagai pertanyaannya sejak tahun 2016. Kalau saya bandingkan dua model life coaching yang mengandalkan ilmu-ilmu berbasis psikologi, sosiologi, neurologi sebagai pendekatan untuk membaca suatu persoalan dengan pendekatan mentoring agama adalah dua hal yang berbeda. Jauh berbeda. Di pendekatan yang berbasis ilmu dunia kita tidak bicara tentang Tuhan. Bahkan dalam mata kuliah yang berkaitan dengan hal-hal yang metafisika sekalipun akademi coaching tempat saya mendapatkan sertifikat menghindarkan menyebut "Tuhan" dan menggantinya dengan "Spiritual Being", "Consciousness", "Awareness", "Universe" dsb. Pokoknya seperti mengakui ada kekuatan dahsyat di luar jangkauan nalar manusia tapi malu-malu atau takut menyebut itu Tuhan.
Memang Allah Ta'ala sedang menempatkan saya di salah satu negara yang paling sekular di dunia dimana 70% penduduknya tidak lagi percaya kepada Tuhan. Tapi yang namanya fitrah manusia itu adalah mengenal bahkan mencintai Tuhan. Maka dalam pengembaraannya mencari setitik kebahagiaan dia berlari dari satu fatamorgana ke fatamorgana yang lain yang dia pikir bisa memberi ketenangan dan kedamaian. Akan tetapi selama dia belum membuka hatinya kepada Tuhan, maka ia hanya terantuk di satu kebahagiaan semu dan berbatas waktu ke kebahagiaan palsu lainnya yang pasti musnah dan berakhir. Karena manusia tidak akan pernah bahagia tanpa mengenal Sang Pencipta.
Kembali ke pengalaman melakukan coaching dengan modal ilmu coaching konvensional yang saya pelajari dengan berbagai metodologi untuk mendekati dan membaca sebuah permasalahan. Saya merasakan lebih pontang-panting dan lelah sekali ketika hanya mengandalkan ilmu-ilmu analisa dunia. Pendekatannya selalu tidak menyeluruh dan hanya menyentuh puncak dari gunung es. Berbeda ketika memberikan mentoring kepada sekelompok orang yang memang dari awal sudah menegaskan ingin mencari Tuhan, ingin mencari kebenaran. Berbagai solusi kehidupan sudah banyak tertulis di kitab-kitab suci yang Allah Ta'ala turunkan beserta keterangan hadits dan atsar. Sesimpel "Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat" (QS Al Baqarah). Dan bersabar dalam menjalani prosesnya. Disitu banyak hal yang mencengangkan yang terjadi dan sering di luar nalar dan perhitungan akal manusia yang terbatas. Alih-alih mencoba berbagai metodologi ini dan itu untuk meredam stress atau depresi sambil sama sekali tidak meminta pertolongan Allah Ta'ala Yang Maha Kuasa. Kita jadi seperti mencoba meraup air di lautan dengan jari-jari tangan yang terbuka. Tak ada air yang tersisa kecuali yang membasahi telapak tangan. Akibatnya dahaganya tak pernah hilang. Orang kemudian dibuat menjadi tergantung kepada berbagai solusi sesaat. Bagaikan menambal luka yang dalam dengan perdarahan organ dalam hanya dengan mengandalkan perban dan plester. Tak akan pernah selesai, bahkan bisa membahayakan nyawanya.
Manusia memang cenderung lupa akan dirinya. Lupa bahwa dia hanya sesosok ciptaan yang membutuhkan pertolongan-Nya di setiap nafas dan detak jantung. Lupa bahwa Sang Rabbul 'alamiin yang telah mengaturkan dan meminjamkan seluruh potensi kehidupannya sejak dulu sampai sekarang dan yang akan datang. Lupa bahwa dirinya tak punya pengetahuan yang mumpuni dalam mengarungi dunia ini tanpa pengajaran dari-Nya.
Lupa bahwa dirinya hamba yang mestinya berserah diri alih-alih mendikte Tuhan dengan segenap agenda hidupnya.
Lupa bahwa semua permasalahan hidup yang Allah sampaikan kepada dirinya dalah sebuah undangan untuk kembali mendekat kepada-Nya.
Saya lahir dan dibesarkan di Indonesia. Negeri dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Alhamdulillah Allah Ta'ala memberikan bekal beragama dari orang tua saya. Bukan hanya sebatas syariat yang dilakukan tapi kasih sayang mereka, kesabaran, ketabahan, kesantunan, kemurah hatian dll adalah aspek-aspek akhlak dari agama yang sering kurang disorot. Di negeri ini, menyebut nama "Allah" sudah menjadi hal yang indah terucap di keseharian. Seperti "Insya Allah", "Alhamdulillah", "Ya Allah..." "Subhanallah". Juga panggilan adzan untuk shalat yang saya rindukan menjadi pengingat kita dalam keseharian agar tidak dilalaikan oleh kesibukan dunia dan kehilangan orientasi akhirat. Kemudian memasuki usia 30 tahunan dalam hidup saya mulai dipaparkan dengan dunia internasional sampai akhirnya pindah ke Belanda dimana saya berhadapan dengan umat yang sangat berbeda. Bukan saja bahasa verbal yang berbeda tapi juga bahasa non verbal yang asing.
Satu dekade sudah saya lewati berbaur dan mempelajari kebiasaan, alam pikiran dan kebiasaan orang-orang di Belanda dan Eropa. Dan saya perhatikan walaupun secara statistik trennya orang lebih cenderung meninggalkan agama tapi rasa pencarian itu masih ada. Mereka mengais-ngais itu di dunia psikologi, life coaching, spirituality, meditation, mindfulness, dll. Sesuatu yang menawarkan solusi lain sekadar analisa psikologi asal tidak membawa-bawa agama dan tidak menyebut Tuhan, karena Tuhan berkaitan dengan agama.
Itulah salah satu tantangan berdakwah di negeri sekuler. Bagaimana bisa mendekati mereka yang masih terpengaruh oleh waham bahwa agama itu merusak dan takut oleh doktrin-doktrin yang terlampau keras disampaikan tanpa membuat mereka lari. Salah satu yang sedang dicoba diterapkan adalah dengan pendekatan desensitisasi. Karena latar belakang ilmu saya di bidang kedokteran, saya teringat bahwa dalam menterapi pasien dengan kecenderungan hipersensitif terhadap zat tertentu yang dilakukan justru adalah dengan memaparkan dia dengan zat tersebut secara bertahap dalam dosis kecil secara berkala. Katakanlah seseorang alergi berat unsur kacang, kalau dia makan kacang dia bisa bengkak-bengkak mukanya bahkan sampai susah bernafas dan bisa mengakibatkan kematian. Cara mengobatinya adalah berikan bubuk kacang sedikit demi sedikit, jangan langsung disuapi selai kacang satu sendok, dia bisa pingsan bahkan mati.
Maka itulah yang saya coba terapkan dalam teknik coaching saya. Terhadap klien yang atheis atau agnostik saya tidak akan langsung bicara Tuhan atau mengutip dari kitab suci. Bisa kabur mereka. Tapi saya perkenalkan dulu khazanah dan inti ajarannya. Lama kelamaan jika mereka ingin tahu, itu asalnya dari mana? Saya jawab "Itu dari Al Quran". Baru mereka mengangguk-angguk dan mulai berpikir dalam. Tidak sedikit yang kemudian berubah pikiran. Ternyata Tuhan tidak seseram yang dia duga selama ini. Ternyata agama bukan sesuatu yang mengekang malah membebaskan. Ternyata hidup dan segenap takdir yang menimpa dia ada maknanya.
Di dunia yang tengah saya pijak disini, saya belajar untuk berempati, tidak menghakimi apalagi menghukumi. Who am i to judge? Belum tentu hati kita lebih selamat dibanding orang yang kita anggap bejat dan kafir itu. Siapa tahu di akhir hayatnya dia yang taubat dan kita yang malah tersesat. Na'udzubillahimindzaalik.
Tapi memang melelahkan melayani klien yang belum siap hatinya untuk menerima Tuhan. Kita hanya lompat dari satu metodologi coaching ke metodologi yang lain. Berputar di satu sumbu dan tidak kemana-mana. Disitu kita menyaksikan pentingnya sebuah hidayah. Karena kalau tidak Allah bukakan hati seseorang mau diceramahi sampai berbusa-busa pun tak akan bergeming. Dan kalau itupun yang terjadi saya selalu percaya dengan kekuatan doa. Jadi saya selalu menyelipkan doa untuk klien-klien saya. Dengan sebuah kesadaran bahwa hanya Allah Ta'ala yang bisa menolongnya, kita hanya pion semata dalam papan catur kehidupan milik-Nya.
Amsterdam, 12 September 2023

Friday, September 8, 2023

 Benarkah aku mencari Tuhan?

Jangan-jangan sekadar mencari legitimasi dan kenyamanan hidup dibalut dengan hiasan agama.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Jangan-jangan sekadar meraup kepuasan dari sebuah pengembaraan intelektualitas yang tak bertepi.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Jangan-jangan hanya tertawan dengan pemberiannya baik bersifat materi atau non materi. Hal yang nampaknya duniawi atau bahkan tampaknya bernuansa agama sekalipun tapi bersumber dari syahwat spiritual semata.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Kalau memang iya, kenapa masih mempertanyakan kebijakan-Nya bahkan tidak menerima dan marah kepada-Nya hingga tak mau lagi menyebut namanya dan enggan lagi mensujudkan diri di hadapan-Nya.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Kalau iya, kenapa shalatku masih terasa hambar dan bukan jadi cerminan sebuah pertemuan antara dua kekasih. Yang merindui dan dirindui.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Jika iya, kenapa aku lebih betah berlama-lama scroll down sosial media dibanding membaca kalam-Nya.

Benarkah aku mencari Tuhan?
Jangan-jangan ucapanku baru sekadar lip service.
Aku yang mengatakan berkali-kali "Allahu Akbar" dalam shalat, tapi pada kenyataannya, permasalahan hidup dan himpitan kesulitan ekonomi yang lebih besar dampaknya kepada-Ku dibandingkan janji-Nya sebagai Sang Pemberi Rezeki.

Jangan-jangan ikrarku baru pernyataan di bibir ketika berkata lantang "Laa ilaaha ilallah" sementara sekian berhala dan tuhan-tuhan lain masih mendominasi dalam hatiku. tuhan kecil bernama ego, bangga diri, takut dipandang gagal, takut dipandang hina di masyarakat. Itu yang ternyata lebih menguasai dan mendikte diriku dibanding Tuhan Yang Maha Esa.

Aku meragukan pencarianku kepada Tuhan.
Rasanya selama ini masih berupa klaim di bibir.
Aku telah terjebak dalam sebuah waham keshalihan.
Memandang diri baik dan shalih padahal hati masih penuh dengan berhala dan kegelapan. Astaghfirullah.

Benarlah tanpa rahmat-Nya aku tidak akan pernah keluar dari kenistaan ini agar bisa menjadi cahaya-Nya.
Astaghfirullah...

Monday, September 4, 2023

 Saya tidak diajarkan agama tertentu oleh kedua orang tua. Mereka orang-orang agnostik dan saya pun tak terelakkan tumbuh menjadi memiliki keyakinan seperti mereka. Orang tua saya cukup keras dalam mendidik anaknya. Kami selalu ditanamkan untuk memiliki tanggung jawab sejak kecil. Mengerjakan banyak pekerjaan rumah tangga,  belajar dengan baik agar sukses dalam hidup dengan standar sukses kebanyakan orang, punya karir cemerlang, memiliki properti dan kekayaan yang melebihi rata-rata. Itu yang selalu ditekankan. Bahwa hidup adalah tanggung jawab diri sendiri. Gagal atau berhasilnya kita yang menentukan.


Selama berdekade lamanya saya menerapkan strategi yang mereka ajarkan. Saya unggul di pelajaran dan kuliah sampai meraih gelar doktor di salah satu perguruan ternama di dunia. Saya pikir semua pencapaian itu bisa membuat mereka bangga, tapi selalu ada tuntutah lainnya.  Tentang status, pasangan, keturunan, dll. It’s an endless pressure.


Di tengah itu semua, sebuah tragedi kehidupan terjadi menimpa saya. Sesuatu yang membuat pondasi dan kepercayaan runtuh dan hancur berkeping-keping. Saya tak tahu lagi apa yang harus saya percayai. Saya merasa limbung, tak tahu harus kemana dan apa yang harus dilakukan. Saya lelah selalu merasa bertanggung jawab atas hidup saya dan memikul beban berupa berbagai konsekuenai dari pilihan-pilihan jalan hidup. Selalu ada yang tidak beres. Akhirnya saya menyerah. Saya tidak mau hidup jadi orang bebas. Saya tidak mau dipaparkan dengan ribuan kesempatan dan lelah memilihnya. Saya hanya ingin diarahkan. Apa yang harus saya lakukan dalam hidup?


Di tengah kegalauan itu saya mulai mencari-cari jawaban melalui agama. Saya telusuri berbagai agama dan kepercayaan. Saya bertanya kepada para ulamanya tentang satu pertanyaan esensial dalam hidup saya. Saya ingin mengerti kenapa hal itu terjadi? Sesuatu yang logika pikiran saya tak sanggup untuk menjangkaunya. Kegelisahan saya kemudian membawa saya berkenalan sebuah komunitas muslim di Inggris. Where everybody is welcome. Ada mentor yang siap menjawab semua pertanyaan saya dengan sabar. And i asked a lot. Barangkali ribuan pertanyaan sudah saya ajukan hingga akhirnya saya menyerah. I give up. 


Saya memilih untuk surrender. Berserah diri. Biar Tuhan yang mengatur. Saya lelah mengatur hidup saya sendiri. Saya ingin hidup saya diaturkan. Saya penat harus menyaring dan menguji diantara sekian banyak kemungkinan yang ada. Saya ingin Tuhan menyaringnya untuk saya. Saya hanya butuh kepastian. Dan saya mulai merasa bahwa satu-satunya kepastian adalah mendekat dengan Dzat Yang selalu ada. Yang menciptakan alam ini dengan ilmunya. Tentu Dia Yang lebih tahu. Akhirnya setelah melalui berbagai proses pasang sururt, saya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimah syahadah dan menjadi seorang muslim. Orang tua saya khawatir dengan keputusan saya tersebut. Dalam bayangannya menjadi seorang muslim membuat kebebasan hidup kita jadi terbatasi. Padahal sebaliknya. Apa yang saya rasakan sebagai kebebasan memilih jalan hidup sebelumnya adalah sebuah kebebasan semu karena akhirnya saya terjebak pada lingkaran setan yang tak berujung berupa sebuah upaya mencari kebahagiaan. A pursuit of happiness. Tanpa pernah memahami apa makna dari kebahagiaan itu sendiri. Justru dengan menjadi muslim dan menjalanian semua syariat-Nya saya merasakan kebebasan yang lebih dalam. Ada kedamaian yang mulai menetes dalam batin. Ada sebuah cahaya terang yang mulai berpendar dalam kegelapan hidup. Sebuah keterbukaan yang mencengangkan. Sesuatu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Seperti bayi yang baru terlahir ke alam baru, saya masih merasa lemah tapi saya tahu there is no way back. Alam yang baru adalah lebih menggairahkan dan lebih menjanjikan dari alam kehidupan saya sebelumnya. Tidak juga berarti bahwa semuanya menyenangkan or a walk in a park. Ada juga rasa sedih, lelah, kadang marah. Tapi kali ini semuanya menjadi memiliki makna. Dan saya pikir, itu yang orang butuhkan dalam hidup. Agar dia bisa memaknai sungai takdir kehidupannya.


- Based on true story

Terinspirasi dari obrolan sore yang menginspirasi, Amsterdam 4 September 2023 / 19 Safar 1445 H

Wednesday, August 30, 2023

 "Orang-orang yang beriman dan beramal saleh pasti akan Kami masukkan mereka dalam (golongan) ash shalihiin" QS Al Ankabuut [29]:9


Siapa itu golongan yang disebut ash shalihiin?
Mereka adalah orang-orang yang ada di shiraathal mustaqiim.

Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, ash shiddiqiin, asy syuhada, dan ash shalihiin. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An Nisaa' [4]:69)

Kemudian di banyak ayat dalam Al Quran amal shalih itu disandingkan setelah iman. Jadi iman adalah landasan seseorang beramal shalih. Dengan kata lain beramal shalih tidak sesederhana berbuat kebaikan, tapi mengerjakan apa yang Allah tugaskan. Si hamba paham apa yang Allah tugaskan karena di dalam hatinya sudah menyala cahaya iman yang dengannya ia mulai memahami petunjuk Allah Ta'ala. Orang yang terbiasa mengerjakan amal shalih itulah yang diharapkan masuk ke golongan ash shalihiin. Ada di shiraathal mustaqiim. Doa yang kita panjatkan setiap shalat dalam untaian surat Al Fatihah, "ihdina shiraathal mustaqiim".

Amal shalih ini sebenarnya investasi utama kita. Tidak setiap orang punya uang berlebih, tidak semua orang punya orang tua yang kaya, tidak semua orang punya pekerjaan bergaji tinggi, tidak semua orang sukses besar bisnisnya. Tapi Allah itu adil, yang namanya kedamaian dan kebahagiaan itu tak ada sangkut pautnya dengan uang, properti yang berderet, kesuksesan dunia, popularitas dll. Bisa jadi tambah uang, tambah jabatan malah tambah pusing. Keluarga berantakan, shalat awut-awutan, boro-boro menikmati munajat dengan Allah. Di akhir hidupnya, dia hanya dibuat lelah dengan berlari-lari di fatamorgana hingga ajal menjemput dia tidak siap dengan bekal untuk menjelang alam berikutnya.

Amal shalih itu kunci kebahagiaan hidup kita dan itu dijamin oleh Allah Ta'ala dalam Al Quran, surat An Nahl ayat 97,

"Barangsiapa beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Dan siapa yang lebih baik dalam menunaikan janji selain dari Allah Ta'ala. Maka buktikanlah, cari amal shalih kita dengan bismillah.[]

Saturday, August 26, 2023

 “It’s only a matter of time before doctors become replaced by artificial intelligence (AI)” kata Yuval Noah Harari ketika diwawancara oleh BBC dalam rangka peluncuran bukunya “21 lessons for the 21st century”. Saya tidak setuju dengan dia. Sama halnya saya tidak setuju dengan pendapatnya di buku Sapiens bahwa kita manusia adalah Homo Sapiens.


Kalaupun AI bisa mengolah semua data mengenai kondisi tubuh manusia seperti tanda-tanda vital, bioritme dll, itu masih puncak dari gunung es dari keadaan yang sebenarnya, karena manusia adalah makhluk yang bukan sekadar raga yang terdiri dari sekumpulan organ dan sistem. Manusia punya jiwa dan ruh. Manusia punya pikiran dan emosi dan perasaan. Semuanya mempengaruhi state of well-being seorang manusia.


Mungkin kalau sekadar mengatasi gejala penyakit yang ada, AI masih bisa diandalkan. Sakit kepala? Ini obatnya. Sakit perut? Minum ini. Sakit pinggang? Ambil ini. Tapi memori saya masih kuat menjejak saat mendengar kuliah umum etika kedokteran untuk para mahasiswa kedokteran baru yang disampaikan oleh almarhum Prof. Rully Roesly dulu , beliau mengatakan bahwa kemampuan menjadi dokter terutama ditentukan oleh anamnesa yang baik. Lebih dari 70% akurasi diagnosis itu dari anamnesa yang baik. Anamnesa adalah sesimpel wawancara dokter kepada pasien. Dia membutuhkan kemampuan komunikasi, kemampuan mendengarkan dan empati yang baik. Lebih dari itu seorang dokter yang memiliki hati yang hidup akan bisa menangkap  hal-hal yang jauh lebih dalam. Sesuatu yang tak akan mungkin dijangkau oleh AI karena mereka tak punya hati.


Saya jadi ingat pengalaman pernah kerja di sebuah klinik di daerah Cicalengka di sekitar tahun 2002-2003 dulu. Klinik itu selalu ramai oleh pasien yang jumlahnya ratusan di pagi dan sore sampai malam hari. Maklum dengan anya merogoh kocek 12ribu rupiah saja pasien sudah bisa konsultasi dengan dokter plus mendapat paket obat. Memang senang bisa banyak menolong orang, tapi saya sering tidak puas dalam melakukan anamnesa. Karena bagaimanapun proses anamnesa membutuhkan waktu, dan setiap kali saya mencoba menggali lebih jauh riwayat penyakitnya si petugas administrasi sedikit-sedikit memberi sinyal “jangan kelamaan dok, pasien masih banyak yang antri”. Nah, serba salah. Akhirnya diagnosa langsung ditegakkan berdasarkan data yang terbatas. Mungkin si pasien akan merasa sembuh dengan berbagai pereda sakit atau obat-obat simtomatik. Tapi hanya masalah waktu keluhannya berulang jika akar penyakit itu tidak kita temukan.


Kondisi itu juga yang memutuskan saya pindah ke klinik yang lebih sepi di Purwakarta. Di sana saya bisa leluasa menganamnesa pasien. Saya jadi tahu bahwa di balik sering kambuhnya eksim seorang nenek tua ada hubungannya dengan konflik dengan mantunya. Saya jadi memerhatikan bahwa di balik serangan maag yang berulang pada seorang ibu ternyata bersumber pada ricuh di rumah tangganya. Saya jadi paham bahwa di balik sakit panu yang berulang ternyata bapak ini punya kecenderungan diabetes dan beliau susah mengontrol makanan karena makan makanan yang enak adalah media pelampiasan dia dari ketegangan yang ada di rumah tangganya.


Manusia itu memang kompleks. Tidak seperti memperbaiki robot. Begitu banyak dinamika yang terjadi di dalam semesta diri manusia. Ada tiga alam yang membentuk seorang manusia. Raga dalam alam mulk, jiwa dari alam malakut, ruh dari alam jabarut. Dan itu saya yakin sampai kapanpun tak akan pernah bisa terjangkau oleh AI. It is not that intelligent afterall…

Wednesday, August 9, 2023

 Renungkanlah ini.

Berpikir baik itu ibadah kepada Tuhan.

Berbuat baik itu ibadah kepada Tuhan.

Memancarkan sifat-sifat kebaikan-Nya seperti memaafkan, membukakan jalan, menafkahkan sesuatu, memberi kelapangan, membersihkan, merapikan, menyembuhkan, bersabar dll  adalah sebuah ibadah kepada Tuhan.

Mengingat-Nya di pagi hari, memohon ampunan-Nya, meminta perlindungan-Nya, meminta petunjuk-Nya bahkan dalam perkara meminta garam, memilih menu masakan, memilih rumah, memilih jodoh, memilih proyek, memilih pekerjaan dll adalah ibadah kepada Tuhan.


Kita beribadah kepada Tuhan untuk mendapatkan curahan sifat-sifat baik-Nya. Maka tanda seseorang semakin dekat kepada Allah pasti akhlaknya semakin mulia karena sifat-sifat Allah makin terpantul dari qalbnya dan mewarnai tindakannya sehari-hari.


Kita beribadah kepada Allah agar penglihatan kita disinari oleh daya penglihatan-Nya. Agar kita jadi lebih bisa melihat kebenaran, lebih bisa meraup ilmu dan pelajaran di balik setiap takdir yang Dia tetapkan sehari-hari. Maka tanda ibadah seseorang benar pastilah dia makin mensyukuri kehidupannya. Dan orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang ada di shiraathal mustaqiim. Sesuatu yang kita minta setiap shalat.


Kita beribadah adalah untuk meraih hikmah. Kebijaksanaan yang didasarkan atas ilmu yang benar tentang Tuhan, Sang Pencipta. Karena pada akhirnya yang kita tuju dari semua ibadah kita adalah sebuah kedekatan dengan Sang Pencipta. Sang cinta pertama jiwa kita yang sudah terukir kuat sejak perjanjian di saat Tuhan bertanya “alastu birabbikum” - bukankah Aku Rabb-mu? Masih bersaksikaj kita bahwa adalah Dia yang selalu ada, adalah Dia yang selama ini memeberi rezeki, adalah Dia yang mengurus orang tua dan anak-anak kita, adalah Dia yang mengaturkan jasad, adalah Dia yang mengaturkan segenap takdir kehiduoan kita hingga tak ada satu keping pun yang sia-sia.

Simpan jawabannya saat nanti berpindah ke alam barzakh untuk menjawab pertanyaan para malaikat yang menyambut kita dengan “Man Rabbuka?”

- terinspirasi dengan tausiyah dari Muhammad Raheem Bawa Muhaiyyaddeen

Friday, July 28, 2023


 Kalau yang namanya kesibukan itu tidak akan ada habisnya. Setiap hari kita selalu didera oleh sekian “to do list”. Tapi manusia itu kalau lupa Allah akan terlunta-lunta dalam ranah kesibukan yang tak bermakna. Seperti sudah mengerjakan banyak hal tapi ngga kemana-mana. Lebih tragis lagi, seperti sudah berbuat banyak kekaryaan dan kebaikan tapi di mata Allah itu tidak ada apa-apanya bahkan sebuah kerusakan. Na’udzubillahimindzaalik.


Kuncinya memohon Allah tuntun setiap saat. Agar kita tidak terseret pada pusaran ilusi yang tak berujung. Masalahnya di setiap saat ada amal-amal utama yang Allah kehendaki untuk kita lakukan. Maka harus terus waspada.


Misalkan, sebagai emak-emak, kalau menunggu waktu luang tersedia untuk mengerjakan tugas penerjemahan dijamin susah. Kalaupun ada, itupun tidak banyak, 1-2 jam dan butu pengkondisian hati dan pikiran untuk mengerjakannya. Belum tentu banyak waktu luang paralel dengan bisa lebih produktif. Ini bicara dari pengalaman sendiri. Mestinya jangan andalkan waktu luang apalagi sekadar kemampuan diri yang pas-pasan, harus minta Allah aturkan dan bukakan jalannya, nanti waktu-waktu yang ada akan terbuka, hanya kita mesti sigap dalam menangkapnya. Buat saya artinya bawa laptop kemanapun sebisanya, begitu ada waktu yg tersedia 5 menit pun ambil. Memang pegal sih, bawa jinjingan kemana-mana, tak jarang harus melawan lelah dan kantuk. Tapi itu bagian dari jihad, bersungguh-sungguh berusaha mensyukuri setiap penggal hidup yang Dia berikan. Semoga Allah ridho🙏🏻

Thursday, July 27, 2023

 Dulu saya salah strategi dalam menghadapi kehidupan. Terlalu berfokus pada ambisi pribadi, sementara takdir menggiring kita ke arah yang berlawanan. Tentu pontang-panting menghadapinya. Mau sekuat apapun mencoba mengoyak tirai takdir dan pindah ke takdir lain selaly gagal. Berakhir dalam kekecewaan dan kemarahan. Jadinya saya kurang menikmati kehidupan, sama suami banyak mengeluh, jadi galak sama anak-anak. It was really tough… My first three years in the Netherlands.


Lama-lama saya berkata kepada diri sendiri, “Kamu mau hidup seperti ini terus? Menggadaikan kebahagiaan pada obyek-obyek di luar dirimu”. Tapi memang tidak mudah, tarikan-tarikan ambisi, obsesi dan waham itu demikian mencengkeram. Maka langkah pertama saya adalah dengan memperbaiki shalat dan menambah ibadah shalat sunnah saya sebagai sebuah ikhtiar memperkuat jiwa ditambah dengan banyak dzikir dan istighfar. Dan saya bersaksi sampai sekarang itulah cara yang paling ampuh, “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat” (QS 2:45). Demi Allah, it works everytime.


Itulah titik balik saya dalam belajar mensyukuri peran baru sebagai istri dan ibu di negeri seberang. Dunia saya di awal waktu seperti dijungkirbalikkan dan saya betul-betul kewalahan menghadapinya. Padahal sebenarnya kalau tawakalnya bagus sama Allah ya tenang saja mau dibolak-balik bagaimanapun toh tetap dalam genggaman Allah. Dia tak pernah menelantarkan hamba-Nya. Itu yang kurang saya imani sebelumnya. 


Yang saya saksikan, seiring dengan saya mengubah cara pandang dan penyikapan terhadap kehidupan, kok orang-orang sekitar kita juga jadi berubah lebih anis, kooperatif, memudahkan dan bahkan rezeki mengetuk pintu dengan sendirinya, padahal sebelunya dikejar-kejar pun susah. Itu ajaib. Saya jadi semakin yakin bahwa medan yang sebenarnya dalam kehidupan itu pertarungannya di dalam diri sendiri. Karena suluk adalah sebuah perjalanan untuk menaklukkan diri. Menundukkan si ego yang selalu ingin eksis dan tidak mau kalah. Membuat bertekuk lutut kebanggaan dalam diri yang selalu ingin dipuji dan merasa benar. Mensujudkan si pikiran yang selalu punya agenda dan keinginannya sendiri dan lupa bahwa hidup ini Dia yang punya.


Kita sering lupa bahwa hidup ini adalah papan catur-Nya. Ada aturan main yang harus diikuti. Ada tirai-tirai takdir yang tak tertembus. Dan ada harta-harta hikmah yang terpendam di setiap kotak langkahnya. Tinggal terserah kita mau hanya menjalani kehidupan yang fisik dan terlinta-lunta di alam sebab akibat atau mau menggali hakikat lain and see beyond. Seperti perkataan Morpheus kepada Neo dalam film The Matrix,

 "You take the blue pill... the story ends, you wake up in your bed and believe whatever you want to believe. You take the red pill... you stay in Wonderland, and I show you how deep the rabbit hole goes."

Wednesday, July 26, 2023

 "Kesedihan adalah kawan karibku..." sabda Kanjeng Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wassalam.

Kok sedih jadi kawan karib? Bukankah kita inginnya bahagia? Begitu mungkin akal yang masih diwarnai dengan hawa nafsu bertanya-tanya. Karena hawa nafsu itu yang inginnya semua serba enak, semua serba mudah, kalau perlu tidak ada masalah sedikit pun dalam hidup ini, inginnya senang-senang saja. Tapi apakah itu realistis? Pada kenyataannya kepedihan, tangisan, kehilangan dan kesengsaraan adalah bagian dari hidup.
Ketika Aristoteles, guru dari Aleksander Agung mendengar tentang kematian yang mendatangi Aleksander, maka ia pun menuliskan hal berikut kepada Olympias, ibunda Aleksander,
"...Tidakkah kau tahu bahwa ketika Tuhan Yang Mahaagung, Yang Mahakusa dan Mahatinggi menciptakan dunia ini dan menyelesaikannya, ia berkata kepadanya, “Wahai tempat kesengsaraan, wahai ibu dari kematian, wahai penghalang kebahagiaan dan kesenangan, wahai penghancur kenikmatan, wahai pencerai berai kawan-kawan, wahai kau yang membuat harapan palsu, wahai kau yang mengambil jauh hati, wahai kau yang menarik pemberian-pemberian, saksikanlah bahwa kau akan menangis, kau akan menangis dan kau akan menangis..."
Kesedihan dengan demikian bukan hal yang terkutuk. Dia justru adalah penghias hati mereka yang mencari kebenaran, mencari yang sejati, mencari yang hakiki, mencari-Nya.
Ada keutamaan-keutamaan yang hanya bisa dicecap dengan merasakan kesedihan. Bukankah Tuhan hadir di hati hamba-Nya yang hancur? Bukankah Rasulullah diangkat ke langit ketujuh setelah melalui tahun duka cita, kehilangan orang-orang yang beliau sayangi? Bukankah lautan terbelah ketika Musa dan kaumnya menjerit meminta pertolongan di saat-saat terakhir ketika dihimpit oleh lautan dan pasukan Fir'aun yang bermaksud membantai mereka?
Kesedihan adalah sebuah air yang membasuh kekotoran hati. Yang dengannya semua bongkahan-bongkahan yang memenuhi shadr perlahan-lahan hilang.
Kesedihan membuat kita menjadi melihat hal yang lebih utama dibanding senantiasa tergerus oleh beragam kesibukan sesaat yang tidak ada habisnya.
Kesedihan membuat kita menjadi rendah hati, menyadari posisi diri sebagai makhluk-Nya yang fakir, yang senantiasa membutuhkan pertolongan-Nya, kapanpun dan dimanapun.
Kesedihan bukan berarti menghalangi kebahagiaan. Justru ia berfungsi menyibakkan kebahagiaan-kebahagiaan palsu untuk mulai mengenali kebahagiaan yang sejati.
Kesedihan yang menjadi kawan karib tidak sama dengan menjadi depresif. Karena akar dari kesedihan yang baik itu yang bersumber kepada pencarian kepada-Nya. Dia menjadi sedih tatkala berjauhan dengan-Nya. Menjadi sedih menyadari sekian jauh jarak terbentang antara dirinya dan Sang Pencipta, Dzat Yang Maha Pengasih Maha Penyayang - Ar Rahman Ar Rahiim. Dan hati hanya terpaut kepada-Nya, sudah terlanjur jatuh cinta pada-Nya di pandangan pertama di Alam Alastu, ketika persaksian diangkat "Alastu birabbikum?" - qala "bala syahidna" (QS 7:172). Sejak saat itu tak ada yang bisa memenuhi hati kecuali Dia. Dan manusia terkatung-katung mencari obyek-obyek kecintaan dari satu ke yang lainnya sambil tak pernah merasa terpuasakan sebelum cinta yang hakiki didapatkan.
Kesedihan dengan demikian adalah keniscayaan dalam pencarian kepada yang dirindukan. Dengannya ia sama sekali bukan sebuah keburukan melainkan sesuatu yang indah karena itu menunjukkan sebuah rasa cinta yang telah ada dan selalu ada.
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, “Bacalah Al Qur’an dengan kesedihan, karena Al Qur’an diturunkan dengan kesedihan.” Tentu bukan bermaksud membuat umatnya bermuram durja. Akan tetapi maksudnya Al Quran adalah sebuah berita peringatan dari Allah yang justru berisi kabar gembira. Bahwa hidup di dunia ini bukan satu-satunya kehidupan. Kalau kita belum mendapat apa yang Dia janjikan disini, nanti pasti disana akan didapatkan. Bahwa semua amal akan dibalas setimpal dan Dia Maha Adil. Bahwa tak ada satupun makhluknya yang dizalimi. Bahwa tak ada satupun yang ditimpakan melebihi kapasitas pikul seseorang. Bahwa jangan pusing dengan rezeki, karena bagi yang beriman dan beramal shalih maka rezeki akan diturunkan dari langit dan dari bumi yang dipijak. Dan banyak kabar gembira dan peringatan dari Allah di dalamnya, tapi sedikit dari manusia yang kemudian memerhatikan dan mengikuti apa yang Allah serukan. Sehingga mereka terjebak oleh ilusi kesenangan hidup di dunia akan tetapi hatinya merana. Na'udzubillahimindzaalik.[]

Thursday, July 13, 2023


 Yogyakarta selalu punya tempat di hati saya.

Kakek dari Mama saya konon berasal dari sana. Leluhurnya adalah seorang abdi dalem keraton yang hidup sangat bersahaja. Gaji seorang abdi dalem itu 500 perak sebulan. Tapi kok bisa cukup ya, menafkahi anak dan istri? Itulah rahasia berkah Allah dalam hidup. Bukti bahwa rezeki itu tidak sesimpel pendapatan dari gaji karena Allah Ta’ala punya 1001 cara untuk mengalirkan rezeki kepada hamba-Nya. Bahkan tidak hanya rezeki lahir tapi yang sering luput kita pandang juga adalah rezeki batinnya.


Konon para abdi dalem memang mendedikasikan kehidupannya untuk mengabdi ke kerajaan. Fokus kepada pekerjaannya, kalau tukang sapu ya nyapu saja setiap hari, kalau tukang menggosok kereta kencana ya itu saja yang dilakukan setiap hari, tak neko-neko ingin ini-itu. Hidupnya sederhana, banyak tirakatan, sering laparnya dibanding kenyangnya. Sering menunduknya dibanding mendongaknya. To some, it’s probably a boring life. But for them its a life purposeful life. Sesuatu yang tak akan terjangkau dengan orang yang hanya heboh mencari dunia.

Wednesday, July 12, 2023


 Elia, anak laki-laki saya yang usianya 11 tahun sedang berduka. Black-eye, hewan peliharaannya yang dia dapatkan sebagai hadiah ulang tahun 6 tahun lalu mati. Selama dua hari dia terlihat banyak diam dan sesekali menitikkan air mata. Saya memeluknya sesering mungkin. Dan berdoa bersama. Kadang, dalam keadaan duka yang bisa kita lakukan hanya memberikan perhatian yang hangat. No words needed.


Elia mulai belajar menelan pil pahit kehidupan. Sesuatu yang tidak enak, tapi itu menumbuhkan sebuah kualitas baik dalam dirinya kalau ia bersabar melaluinya. 


Jadi teringat kata-kata bijak dari William Martin terkait hal ini. Dia bilang begini,


Jangan menuntut kepada anak-anakmu

untuk menjalani kehidupan yang luar biasa.

Upaya seperti itu bisa tampak mengagumkan,

tapi itu jalan kebodohan.

Justru bantu mereka untuk menemukan keajaiban

dan ketakjuban dalam kehidupan yang nampaknya biasa-biasa saja.

Ajarkan kepada mereka bagaimana suka citanya

ketika mencicipi tomat, apel dan buah pir.

Ajarkan kepada mereka bagaimana caranya berduka ketika hewan peliharaan mereka mati atau orang yang dicintai tiada.

Ajarkan kepada mereka kehangatan dalam sebuah sentuhan tangan.

Dan buatlah hal-hal yang biasa menjadi hidup bagi mereka.

Maka hal-hal yang luar biasa akan datang dengan sendirinya.

Tuesday, July 11, 2023


 Connecting the dots


Hidup adalah rangkaian perjalanan dari satu titik ke titik lain.

Titik-titik itu jika dihubungkan satu sama lain akan membentuk sebuah gambaran tentang siapa diri kita.


Perentangan titik demi titik dimulai sejak lahir hingga seseorang berusia 40 tahun, dimana di usia itu seseorang harus mulai bertafakur, menghubungkan titik demi titik usianya dan mencoba melihat apa gambaran dirinya. Itu adalah fungsi dan tugas hidupnya di bumi. Sesuatu yang diminta dalam doa usia 40 tahun yang tercantum dalam QS Al Ahqaaf:15, yang meminta arahan bagaimana mensyukuri nikmat - pengaturan Allah - dalam hiduonya dan yang terkait dengan nikmat yang diberikan kepada kedua orang tua, yang dari mereka kita berasal secara jasadiyah. Kemudian meminta amal sholih yang Allah ridhoi, sebuah pekerjaan, kegiatan, tugas yang spesifik yang harus dilakukan selama hidup di dunia. Yang jika kita melakukan itu maka Kita meraih ridho Allah.


Oleh karenanya penting untuk berserah diri kepada pengaturan-Nya, agar posisi titik-titik itu menjadi tidak samar atau bahkan bergeser yang kemudian membuat sulit bagi kita untuk membaca bentuk yang ada tentang siapa diri kita. 


Syukuri apa yang ada. Nikmati kehidupan masing-masing apa adanya. Dan tidak mudah untuk bersyukur itu, perlu rahmat Allah. Karena kekuatan Iblis akan senantiasa menggeser manusia dari titik koordinatnya dari saat ke saat hingga merusak pola dari gambaran yang semestinya,


“…kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” QS Al A’raaf 17

Amsterdam, 12 Juli 2023

8.00 am

Monday, July 3, 2023

 TUHAN YANG KITA CARI...


Wahai yang merasa dirinya sebagai pencari Tuhan.
Lihat dalam-dalam, karena yang kau cari mungkin sekadar Latta dan Uzza.

Wahai yang dirinya merasa shalat menghadap kepada-Nya
Lihat baik-baik, barangkali yang kau hadapi adalah dirimu sendiri. Karena jika saat shalat kau tidak khusyu, artinya wajah hatimu sedang tidak menghadap-Nya. Kau hanya berbincang-bincang dengan sekian elemen yang ada di dalam dirimu yang berupa ketakutan yang mengemuka, angan-angan yang membuncah, dan segenap kesibukan dunia yang tak ada habisnya.

Wahai yang merasa dirinya telah berbuat kebaikan. Pandang dekat-dekat, karena barangkali kau termasuk golongan yang disebut dalam Al Quran :

"Apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah berbuat kerusakan di bumi," mereka menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan."

Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. (QS Al Baqarah [2]:11-12)

Dalam pencarian kita untuk menemukan Tuhan, betapa kita terantuk berkali-kali oleh tuhan-tuhan palsu yang berupa nama baik, kesuksesan material, pamor di mata orang, waham keshalihan, prestasi dunia, atau segenap ketakutan yang demikian menguasai kita hingga kita rela diperbudak olehnya. Takut dibilang miskin, takut dibilang tidak keren, takut dibilang tidak sukses, takut tidak dicintai, takut ditinggalkan, takut ini, takut itu.

Rasanya memang hidup adalah rangkaian perjalanan panjang untuk memaknai "laa ilaaha". Harus melalui berbagai episode dikecewakan oleh ilah-ilah palsu itu. Hingga akhirnya kita dengan segenap kesadaran bisa mengikrarkan "ilallah...ilallah...ilallah...Allah...Allah...Allah...Hu...Hu...Hu"

Amsterdam, 3 Juli 2023 / 15 Dzulhijjah 1444 H

Saturday, July 1, 2023

 Tiga tahun awal tinggal di Belanda (2013-2015) adalah masa terberat yang pernah saya alami selama hidup.  Pindah ke negeri yang jauh dari keluarga besar, meninggalkan comfort zone dan karir yang menjanjikan, berjibaku menyesuaikan diri dalam pernikahan, being part of extended family, menjalani peran sebagai istri dan ibu serta segala keadaan baru sambil mengasuh Elia yang masih berusia 6 bulan saat kami pindah ke Amsterdam. Luar biasa tekanannya. Belum lagi di tahun 2014 secara tak terduga kami mendapat momongan baru dengan hadirnya Rumi Isaiah. Kerjaan sebagai ibu rumah tangga makin naik tingkat kesulitannya. Rasanya hampir tak punya waktu untuk diri sendiri. Mendera kelelahan dan kesepian adalah harga yang harus saya bayar. Kalau saya lihat ke belakang, hanya berkat rahmat Allah saya bisa melalui itu semua dengan lancar.


Tapi sejak tahun 2015 seperti ada angin sejuk yang datang. Sebuah kesegaran baru yang memompakan semangat si jiwa. Gerbangnya adalah dengan mulai lagi mengerjakan tugas saya menerjemah Kitab Nabi Idris. Waktu itu saya kerjakan dari nol lagi seakan saya belum pernah mengerjakan terjemahan kitab itu sebelumnya yang sebetulnya sudah rampung saya terjemahkan di fase peetama di tahun 2007. Satu windu lamanya naskah itu sempat mengendap. Saya seperti diajari selama kurun waktu itu di dalam kawah candradimuka yang bernama kehidupan. Menempuh satu persatu takdir yang Allah Ta’ala gelar mulai dari kepergian almarhum Papa yang mendadak terkena stroke, pindah ke Jakarta meninggalkan Purwakarta kota yang saya tadinya sudah betah sekali tinggal disana. Kemudian menikah dan Allah pindahkan ke kota Amsterdam. Semua rangkaian kehidupan itu tampaknya membekali saya untuk melakukan penerjemahan tahap kedua yang berselang 8 tahun lamanya.


Proses penerjemahan tahap kedua secara logika tidak mungkin dilakukan di tengah tumpukan pekerjaan keseharian mengurus dua balita dan rumah tangga. Naskah Kitab Nabi Idris itu tergolong bahasa kitab suci yang tidak semudah menerjemah novel atau karya berbahasa populer lain. Mencari terjemahan kata yang presisi adalah hal yang membuat kepala cukup pusing dibuatnya. Belum lagi review yang saya baca di jurnal-jurnal ilmiah bahwa kajian naskah Laut Mati itu biasanya menjadi pekerjaan para peneliti selevel Doktor. Lha saya ini secara akademik seolah ngga mumpuni mengerjakan itu, emak-emak tanpa latar belakang menerjemahkan manuskrip lama. Tapi kok bisa? Lagi-lagi karena Allah tolong saja. Titik. Karena kalau mengandalkan kemampuan saya pasti tidak sanggup. Jelas tidak akan pernah selesai.


Tapi begini, saya bersaksi bahwa ketika saya berusaha memberikan sikap yang terbaik terhadap apa-apa yang Dia berikan, mau itu berupa anak rewel, lantai yang kotor, cucian yang menumpuk, melayani keluarga dll, ternyata itu menjadi kunci agar Allah menurunkan pertolongan-Nya di hal-hal yang memang harus saya lakukan. Dalam hal ini, saya kemudian dimudahkan untuk menerjemah. Jari seperti menari saat mengetik di atas keyboard. Kata-kata yang harus ditulis kadang sepeti ada yang membisikkan. Pokoknya ajaib! Masya Allah.


Setelah itu, di tahun 2016 Allah memberikan pintu beramal lain dengan lahirnya kelas Kajian Suluk Online. Diawali dengan permintaan dari 2-3 orang, sekarang anggotanya sekitar 207 orang tersebar di 33 kota dari seluruh dunia. Setiap Kamis kami bertemu dalam ruang maya untuk sama-sama mengaji Al Quran, kitab diri dan kitab kehidupan. Dari situ saya perhatikan satu persatu rezeki dunianya pun dibukakan. Kami tiba-tiba dimudahkan membeli rumah dengan lima kamar tidur di Amsterdam, beli mobil untuk pertama kalinya karena pertimbangan bawa anak dua suka ribet apalagi kalau hujan (foto terlampir kenangan membawa anak dengan strollernya masing-masing lengkap dengan tas berisi keperluan mereka sambil menunggu kereta), lalu saya dimudahkan dapat SIM Belanda yang terkenal susah dan mahal mendapatkannya. Kemudian tahun 2017 Kitab Nabi Idris alhamdulillah diterbitkan oleh Pustaka Prabajati, suami dapat kerja ke tempat yang baru dengan kenaikan gaji yang signifikan, saya pun dapat tempat dimana saya bisa kerja paruh waktu agar tidak mengganggu jadwal saya mengasuh anak-anak. Tahun 2019 pertama kalinya bisa keluar negeri meninggalkan krucil tiga hari saja karena mengikuti simposium Ibnu Arabi di Oxford. Tahun 2021 pertama kalinya saya bisa ke Indonesia solo tanpa anak-anak. Dua kali pula! Masya Allah. Tidak terbayang sebelumnya. Dan yang penting anak-anak ada yang menangani dengan baik. Bagaimanapun mereka adalah prioritas utama pekerjaan saya. Artinya kalau pekerjaan yang lain berprestasi tapi kepentingan dan pendidikan anak-anak terbengkalai jadi seakan tak ada nilainya. What’s the point? Itu prinsip saya. I have to set my priorities in the right order dengan basmallah.


Sepuluh tahun berselang, sekarang alhamdulillah saya rasakan Allah Ta’ala makin menempatkan saya di koordinat yang semakin pas. Terasa pijakannya teguh. Seperti nama suami saya😉 Itu pentingnya menemukan bidang atau kesibukan yang “gue banget”. Karena kalau belum menemukan itu biasanya kita akan cenderung labil, gampang murang-maring, esmosi jiwa mulu (ini pengalaman pribadi😜). Cape kan hidup seperti itu. Sementara Allah ingin kita bahagia kok. Jadi apa yang menghalangi kita untuk berbahagia dengan takdir dan ketetaoan-Nya? Ya tak lain karena kita sendiri yang belum move-on, yang tidak menerima kehariiniannya, yang kurang mahir dalam memanage apa-apa yang Dia hadirkan. Kita yang menginginkan seribu satu hal selain apa yang tengah Dia sajikan saat demi saat. We are the one who don’t allow ourselves to be happy. It’s on us. It’s our choice.


Belajar dari pengalaman hidup saya. Kunci bahagia itu sederhana sekali. Nikmati apapun yang Dia berikan di hari ini. Itulah gerbang kebersyukuran. Sesimpel tersenyum kepada si kecil yang tiba-tiba menyerbu masuk ruang kerja sementara kita tengah melakukan meeting online. Sesederhana geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat kaos kaki yang berserakan. Don’t sweat small stuff. Just pick it up. Tak perlu mendramatisasi keadaan dengan melabel “kamu ngga pernah perhatian tentang hal ini”. Jadinya darting (darah tinggi) terus. Kasihan badan kita bisa rusak karenanya.


Kalau kita biasa menyikapi “hal-hal yang kecil” dengan sukacita dan hati yang bersyukur maka itu adalah anak-anak tangga untuk mensyukuri hal-hal lain yang lebih besar. 


Karenanya ngga perlu pusing menghadapi hidup. Tentang masa depan anak. Masa depan pernikahan. Masa depan bangsa apalagi jauh jangkauannya. Kan ada Allah. Gusti Allah ora sare kalau kata mbah saya. Kita serahkan saja kepada Dia. Pokoknya yang saya selalu coba lakukan adalah bagaimana memberikan respon yang terbaik di setiap takdir yang dibentangkan dari saat ke saat. And let Allah do the rest. Lebih ringan menjalaninya dan menyenangkan. Tak perlu memikul beban yang tak perlu kita pikul. Just travel light. Insya Allah☺️


Amsterdam, 7 menit awal di saat dini hari 

2 Juli 2023 / 14 Dzulhijjah 1444 H


Tuesday, June 27, 2023

 Apa kesamaannya antara mencuci piring dan menerjemahkan buku.

Atau antara mengasuh anak dan hening berdzikir di atas sajadah.

Atau antara mendengarkan curhatan orang dengan bermunajat kepada Allah.

Atau antara berjibaku mencari nafkah dengan duduk manis mendengarkan pengajian.

Atau antara melayani satu orang dan melayani 1000 orang.

Atau antara berbicara dengan pimpinan negara dengan bicara dengan tukang parkir.


Apa benang merahnya?

Apa hal yang menyatukan itu semua?

Apa causa prima dari semua fenomena dan kegiatan itu?


Buat saya, semua menyatu karena keluar dari sapuan tinta ciptaan Sang Pencipta yang mewujud menjadi takdir.


Ada Tuhan di balik sesuatu.

Ada Tuhan di balik anak yang rewel.

Ada Tuhan di balik kondisi fisik yang ada.

Ada Tuhan di balik setiap pasang surut kehidupan, siang-malam, terang-gelap, keberlimpahan dan kesempitannya.


Keberadaan-Nya membuat hidup menjadi bermakna. Karena tak ada sesuatu yang Dia izinkan kecuali pasti didasarkan ilmu dan timbangan kebenaran-Nya.


Kesadaran bahwa Dia ada di balik sesuatu membuat kita bisa lebih menerima takdir kehidupan kita dengan lebih suka cita. Menyadari bahwa semua sudah dikadar dan bahwa apa yang luput dari kita diganti dengan sesuatu yang lebih baik. It’s always a win-win solution. Tak ada kerugian dalam kacamata orang yang beriman. Perkara belum sampai pemahaman dan ilmunya tak masalah, orang beriman terbiasa berjalan dengan kegaiban dan ketidaktahuan, mereka baik-baik saja karena mengimani bahwa Allah yang akan menjamin semuanya. Bahwa Allah tak akan menelantarkan mereka. Bahwa Tuhan yang sama yang mengirimkan semua fenomena dan keadaan adalah Tuhan yang menjadi sumber utama dari semua hal. Yang menyatukan yang berserak.

Yang menyulam yang tercabik.

Yang merekatkan yang tercerai berai.


Dengannya dia sudah tak lagi membedakan berada di depan sajadah atau di depan laptop.

Work from home atau mengukur jalanan seharian.

Kondisi sehat atau sakit.

Dapat gaji atau untung kecil atau banyak.

Semua fenomena akan selalu datang silih berganti seperti pasang surut lautan. That’s life.


Apapun itu yang sang mukmin lihat adalah tangan Tuhan. Di balik senyuman atau muka masam seseorang. Di balik cacian atau pujian. Di balik saat bahagia atau saat berduka. Ada tangan Yang Kuasa yang mengirim itu semua.


Dan jika engkau betul-betul yang mencari Dia, akankah kau tertawan dengan semua pemberian itu sambil tak melihat Dia yang berada di balik itu semua?


“…agar menjadi jelas siapa yang telah mencintai-Ku dari kalangan umat manusia.”


- Kitab Nabi Idris II, pasal 30

Tuesday, June 13, 2023

 My father, my communication coach


Seumur hidup saya tidak pernah ikut kursus komunikasi atau public speaking. But somehow, kalau saya sudah bicara di depan audiens kata-kata itu mengalir mudah saja. I even get energy from that. Makanya dulu pernah menikmati sekali bekerja sebagai trainer. Jalan-jalan ke pelosok Indonesia sampai keluar negeri untuk presentasi dibayarin kantor hotel dll dan di akhir bulan dapat gaji besar. Wah heaven banget pokoknya. Tapi ternyata Allah Ta’ala memperjalankan saya ke tempat jalan hidup yang lebih presisi. I have to admit, dimanapun saya berada, dalam posisi apapun, communication skill yang Allah berikan membuat saya bisa lebih cepat menapaki karir dan diterima oleh sekitar.


I have to give this credit to my father. Dari beliau saya belajar berkomunikasi dengan orang. He was a chatter. Orang bisa dibuat betah bicara berjam-jam dengan beliau, apapun latar belakangnya. Saya ingat setiap minggu Papa selalu diskusi berjam-jam dengan seorang pendeta dari gereja pentakosta dekat rumah. Walaupun diskusi kerap berlangsung hangat, they agree to disagree. Sebuah kedewasaan dalam berdiskusi yang saya serap secara tak sadar - sambil mulut saya mengunyah sebungkus chiki rasa kaldu ayam kesukaan saya.


Saya lihat Papa begitu luwes menghadapi orang-orang yang dianggap aneh di masyarakat pada saat itu. Kaum transgender yang cenderung dimarginalisasi bisa diraih oleh Papa dan dibuatkan tulisan khusus yang membuat kita lebih memahami kisah hidup mereka.


Papa suka blusukan juga. Mencari informasi ke rumah di gang-gang seputar kota Bandung untuk mewawancarai dan memuat artikel tentang Pak Sariban, seorang petugas kebersihan di Bandung yang memiliki sepeda unik, stang sepedanya diganti dengan stang mobil dengan berbagai hiasan. Orangnya pun seunik sepedanya.


Spesialisasi almarhum Papa adalah mewawancara orang-orang yang memiliki pengalaman khusus dalam hidupnya, sebuah perubahan besar yang mengguncangkan. Mereka yang mungkin cenderung dikucilkan oleh masyarakat. Papa akan datang dan menghabiskan jam demi jam mencoba memahami latar belakang mereka dan menuliskan kisahnya. Sungguh tak mudah membuat orang yang baru ditemui untuk membuka diri dan menceritakan hal-hal pribadinya, apalagi mengetahui bahwa kisah itu akan dimuat di media massa. Papa biasanya punya cara untuk meraih kepercayaan orang itu. 


My father is a very fine storyteller. Dia bisa menceritakan kisah yang biasa didengar jadi demikian menarik lengkap dengan ekspresi dan intonasi yang disesuaikan. Dan saya belajar banyak dari beliau. So, when i friend of mine praise me how a wonderful storyteller and excellent speaker i am. Saya terdiam dan teringat almarhum Papa saya. It wasn’t me. It was him. Kemampuan saya berkomunikasi datang dari orang tua saya. Saya cuma menikmati apa yang ada dan mencoba memanfaatkannya sebaik mungkin agar bernilai akhirat. Agar pahalanya mengalir kepada kedua orang tua saya. Al fatihah❤️


Monday, June 12, 2023

 Ilusi Sebuah Kelapangan


Tadinya saya pikir, kalau saya punya waktu luang lebih banyak untuk diri sendiri, saya bisa lebih produktif untuk menulis. 

Ternyata, berkali-kali saya coba meraup waktu luang lebih banyak dengan menitipkan anak ke ibu, suami, atau memanfaatkan saat mereka sedang mengikuti program summer camp selama seminggu penuh. Ternyata keluangan itu hanya sebuah ilusi, karena entah kenapa saya termakan oleh satu kesibukan dari kesibukan lain sehingga apa yang saya rencanakan pun tak terwujud.


Tadinya, saya pikir kalau saya punya lebih banyak "me-time", saya bisa lebih bisa banyak mengerjakan banyak hal yang terkait passion sendiri. Tapi ternyata, entah kenapa, justru ketika waktu luang saya malah kehilangan arah dan mata air inspirasi seakan berhenti mengalir. Apa yang saya raih di akhir program "me-time" pun tak seperti yang saya bayangkan. 


Saya coba renungkan dimana salahnya. Rasanya secara logika bukan terletak di keluangan yang ada. It was simply an open door. A chance to do something right in front of your eyes. What's wrong then? Kenapa justru ketika saya berada di tengah keluangan seakan "flow" itu berhenti mengalir dan saya kehilangan arah karenanya.


Saya mengawali perenungan saya dengan berdzikir. Dengan kesadaran bahwa tanpa panduan-Nya renungan saya bisa jadi hanya akan menjadi sebuah renungan liar yang tanpa arah. Or even worse, merasa memiliki tujuan akan tetapi sebenarnya tengah didikte oleh si hawa nafsu.


Rasanya ini masalahnya. Perkara penyandaran hati atau tawakal. Bisa jadi saya lebih mengandalkan waktu-waktu luang luang itu dibanding kuasa-Nya. Memang tipis, tapi yang namanya terpeleset atau tersandung itu memang bukan oleh hal-hal yang besar. Bisa jadi saya begitu pede, "ah, asyik dapat waktu luang seharian nih, bisa kerjain banyak tulisan" sambil lupa mengucap "insya Allah" dengan sebuah kesadaran betul bahwa itu semua tak akan terwujud tanpa izin-Nya. 


Kadang, Tuhan bercanda dengan kita melalui hal-hal keseharian seperti itu. Dalam sebuah rencana yang meleset. Dalam sebuah keterlambatan yang tampaknya disebabkan orang lain atau sebuah kemacetan. Atau dalam sebuah kecelakaan kecil seperti terpeleset, teriris pisau, terjepit pintu dll yang mestinya membuat kita berpikir. Are those really only random things happening in my life? Ah, rasanya Tuhan terlalu tinggi daya intelektualitasnya untuk sekadar membuat useless random things.


Di dunia ini kita mengenal Tuhan melalui sifat-sifat-Nya, asma-asma-Nya dan segenap perbuatan-Nya. Sebuah pengenalan awal yang demikian menggairahkan. Sesuatu yang membuat hidup itu tak pernah membosankan.


Dan tentang ilusi sebuah kelapangan yang saya tengah belajar darinya itu. Rasanya memang Tuhan tak perlu sebuah precondition untuk menurunkan karunia-Nya yang bisa berupa ilham, inspirasi, ide, dll. Adalah pikiran kita yang sering membatasi jelajah kuasa-Nya dengan mendiktekan batasan syarat dan ketentuan sendiri. Seolah kalau aku punya itu akan jadi begini. Kalau aku dalam kondisi yang itu akan jadi begitu. Kalau aku bisa begitu akan begono. Ah ribet banget pikiran manusia memang. Padahal Gusti Allah itu lha ya simpel. Apa yang ada syukuri dan lakoni sebaik-baiknya. Agar kita tidak terjebak pada sebuah ilusi ingin berada dalam kondisi yang kata si hawa nafsu "lebih baik". Because this time, this moment, is the best we've got. Make the best out of it!