Wednesday, January 31, 2018

It's The Message, Not The Man

Saya termasuk yang tidak mudah percaya kepada orang lain. Entahlah, bawaan sejak kecil, i always question everything. Saya ingat saat ujian di sekolah dasar ada pertanyaan begini,

Kalau lampu merah menunjukkan warna merah sedangkan polisi menyuruh tetap maju maka :
A. Tetap berhenti
B. Maju mengikuti pak polisi

Dan saya memilih B, karena berpikir 'ah pak polisi mungkin salah!' Demikian salah satu gambaran betapa skeptisnya saya kepada manusia. Tapi kalau ditelusuri lagi, buat saya pribadi sikap skeptis saya ini yang membuat saya menemukan seorang guru yang membantu banyak memandu arah hidup dalam jalan taubat (kembali) kepada-Nya. Setelah bertemu beliau, saya mengamati bahwa saya bisa juga percaya bahkan tunduk kepada seseorang yang membantu membaca dan memahami kitab Al Quran, kitab diri dan kitab kehidupan.

Demikian besar keyakinan saya kepada kebenaran yang dibawa oleh beliau sampai-sampai seorang sahabat bertanya langsung kepada saya beberapa waktu yang lalu dalam kunjungan ke Jakarta, "Kok teteh bisa percaya begitu sama beliau?" Saya bilang, "Sulit untuk menjawab pertanyaan ini, karena kata-kata hanya akan mereduksi rasa yang ada di hati. Memang bahasa punya keterbatasan untuk mengekspresikan rasa, seperti sulitnya membahasakan beda manis madu dan manis gula, seseorang hanya bisa mencicipinya."

Tapi kemudian kalau saya telaah, kepercayaan saya yang demikian tinggi kepada sang guru bukan hanya berasal dari kekaguman terhadap akhlak, kesederhanaan, ketekunan, kepintaran, ketenangan dan kadang kejenakaan beliau yang kerap mengundang gelak tawa. I think most of all it's the message, not the man, which is important for the seekers...

Bait Suci dan Perpecahan Kerajaan Sulaiman as

Setelah Sulaiman as wafat pada 931 SM, kerajaan besar itu terpecah, sepuluh suku di utara menolak menerima Rehabeam -anak Sulaiman as - sebagai raja mereka, dan sebagai gantinya memilih Yerobeam, yang bukan dari garis Daud as, sebagai raja mereka. Maka terbentuklah kerajaan utara yang dikenal sebagai kerajaan Israel dan kerajaan selatan yang disebut dengan kerajaan Yehuda, dari nama suku Yehuda yang pertama kali menerima keluarga Daud as.

Dalam perkembangan sejarah berikutnya kerajaan Israel utara terlebih dulu hancur karena mereka tidak memiliki bait suci, akibatnya orang menjadi tidak patokan Allah. Kita bersyukur memiliki baitullah di Mekkah, itu yang menyatukan umat Islam, karena kalau tidak ada patokan arah manusia akan cenderung lari kemana-mana. Allah tentu Maha Mengetahui keliaran dan keganasan hati manusia.

Istilah 'Baitullah'sendiri bukan rumah Allah dalam makna yang sebenarnya, di dalam ka'bah juga kosong tidak ada apa-apa, itu sebuah simbol bahwa pernah ada kehadiran Ilahiyah di situ, terkait dengan para pembangunnya yaitu para nabi dan rasul sebelumnya. Karena kalau rumah Allah yang sebenarnya tidak akan mungkin dihancurkan.

Akhirnya kerajaan selatan pun hancur dan diambil oleh kerajaan Babilonia setelah raja mereka mulai sesat dan meninggalkan kitabnya.

(Sumber: Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Mursyid Zamzam AJ Tanuwijaya, 9 September 2006 & 'Kerajaan Yehuda'. Wikipedia)

Monday, January 29, 2018

Setiap manusia terlahir ke dunia dibekali dengan cahaya di dalam hatinya. Cahaya itu adalah bekal untuk menempuh perjalanan kehidupan di dunia, agar bisa membaca petunjuk-petunjukNya hingga tak tersesat jalannya, bisa mengerti ihwal nasib yang menimpa dirinya dan mengenal lebih baik Sang Pencipta.

Semakin ia dewasa kegelapan diri, orang tua dan dunia menyelubunginya hingga cahaya yang ia miliki saat lahir meredup. Untuk mengembalikan cahaya ini ia harus meminta bantuan seorang insan kamil, seseorang yang telah ditunjuki-Nya jalan dan cara untuk melahirkan kembali potensi suci setiap manusia.

Pertama ia harus memiliki keyakinan dan berbaik sangka kepada Allah lalu percaya sepenuhnya kepada sang guru sejati, seorang insan kamil yang memiliki tugas membimbing manusia untuk kembali kepada-Nya. Saat berguru kepada seorang insan kamil, Bawa Muhaiyyaddeen berkata bahwa seseorang harus menanggalkan semua yang ia genggam - gelarnya, pikiran-pikiran liarnya, keinginannya yang menggebu-gebu, serta syahwat yang menggelora- ia harus menyerahkan semuanya agar dirinya dapat ditata dengan baik. Hanya dengan cara ini maka sang guru sejati akan dapat membantu menyalakan kembali cahaya di dalam diri dan menjadikannya terlahir kembali.

"Ya, engkau harus lahir dua kali, sekali dari ibumu, Yang kedua, dari dirimu sendiri." Nabi Isa as.

Sunday, January 14, 2018

The Bio-Dome Experiment

Ada sebuah eksperimen besar bernama "The Bio-Dome" yang dilakukan pada awal tahun 1980-an di Amerika. Sebuah kubah kaca raksasa dibangun di tengah padang pasir dan di dalamnya ditanam berbagai pepohonan dengan kondisi lingkungan yang dibuat seideal mungkin. Para peneliti membangun sebuah sistem dimana udara, kadar oksigen, jumlah air, unsur hara tanah, kelembaban dan lainnya untuk menunjang kehidupan vegetasi di dalam kubah tersebut, idenya adalah membuat sistem yang ideal agar tanaman bisa tumbuh walaupun berada di tengah-tengah padang pasir yang kering.

Setelah beberapa bulan berjalan ada hal yang tak terduga terjadi dimana pepohonan banyak yang tumbang dan tercerabut dari akarnya ketika mencapai ketinggian tertentu. Setelah dievaluasi oleh para ahli ditemukan penyebabnya adalah akibat akar-akar pohon yang lemah sehingga tidak kuat menahan pertumbuhan pohon yang semakin mengangkasa. Ternyata kekuatan akar banyak disumbang dari kekuatan angin tertentu yang harus menempa sebuah pohon.

Pohon iman seseorang akan semakin kuat ketika datangnya angin ujian diterima dengan baik hingga akar iman semakin bertumbuh dan menguat di dalam bumi diri. Sebagaimana pohon mendapatkan makanannya dari berbagai unsur hara yang terdapat dalam tanah tempat ia tumbuh, maka pohon iman manusia akan semakin tumbuh dengan sehat jika ia menerima kondisi dan takdirnya setiap saat dengan ikhlas, sesuatu yang Allah sudah desain dan ukur dalam timbangan ilmu dan keadilanNya.


Friday, January 12, 2018

"(Waktu) menjamu tamu adalah tiga hari"
- Rasulullah Saw.

Tamu yang datang dalam kehidupan kita bisa berupa sesuatu yang mewujud bisa juga sesuatu yang halus seperti deru perasaan dan keinginan yang bergejolak di dalam diri. Maka jika ingin mengambil sebuah keputusan penting yang melibatkan nasib bangsa, keluarga, perusahaan atau pilihan pribadi, tunggu waktu setidaknya tiga hari jika memungkinkan untuk melihat siapa yang benar-benar masih tinggal di relung kalbu. Karena badai emosi biasanya hanya datang sesaat dan dia akan mereda jika tidak dibangkitkan lagi. Tarikan keinginan yang tidak haq pun akan meredup setelah waktu berkunjung habis. Tujuh puluh dua jam saja, redakan amarahmu, kendalikan keinginan membaramu, basuh lukamu dan lihat kuasa-Nya dan kasih sayang-Nya yang akan tetap bertahan di akhir hari ketiga dan selanjutnya...

Wednesday, January 10, 2018

If you are that powerful how come you cannot avoid death?
- Paraphrasing 5 yo Elia

Amsterdam, 10 Januari
6.50 pagi
Telan kesedihanmu dengan baik, sesungguhnya ia adalah obat yang dapat menguatkan sang jiwa.

Amsterdam, 10 Januari 2018
3.38 dini hari
Setiap pencari Tuhan harus berani menghadapi rasa takutnya masing-masing dan berserah diri kepada jalan keluar yang baik yang telah Dia sediakan pada saat yang tepat. Sehingga sang hamba tidak terburu-buru mencari penyelesaian horizontal dengan dorongan ketergesaan yang membuat potensi jiwa mati.
Kepedihan, kesakitan, dan penantian panjang adalah sebuah keniscayaan dalam jalan ini. Demi menyapih sang ego (hawa nafsu) yang demikian menggurita dan tergantung pada alam dunia dimana ia dilahirkan. Karena selama sang ego belum melebur dalam kendali jiwanya, manusia hanya akan terombang-ambing dalam pusaran keinginannya sendiri yang menyesatkan. Sampai kapan? Sampai dunianya kiamat, yaitu saat kematian datang menjelang. Bagaikan ombak yang menyapu istana pasir di tepi pantai.
Tak ada kelahiran yang bebas dari rasa sakit.
Tak ada proses pengasuhan tanpa rasa lelah yang kadang terasa meremukkan tulang dan membuatmu lemah bahkan hanya untuk sekadar berdiri.
Tapi inilah jalannya.
Jalan untuk meraih kebahagiaan sejati yang abadi.
"Manusia harus dilahirkan dua kali untuk mencapai alam malakut" pesan Nabi Isa as.
Kelahiran kedua adalah kelahiran sang jiwa dari cangkang raganya. Sebagaimana Musa as yang membebaskan Bani Israil dari penjajahan Fir'aun.
Fir'aun dalam diri, itulah sang ego, sang hawa nafsu. Sesuatu yang dikatakan Nabi Isa sebagai "Penghalang terbesar antara seorang hamba dan Tuhannya."
Maka rasa takut, tidak puas dan keluhan manusia yang panjang itu berasal dari hawa nafsunya sendiri, adapun jiwa naturnya selalu bersuka cita memakan kehendakNya. Karena apapun yang Dia takdirkan mengandung kebaikan yang banyak. Jiwa yakin betul akan hal ini, adalah sang ego yang belum paham bagaimana pengaturanNya berjalan. Maka kewajiban kita masing-masing untuk berjalan ke dalam diri, mendekati ego dan mengajarinya dengan lemah lembut.
Jangan kaget, engkau akan menghadapi hardikan dan caciannya pada tahap awal, karena sang ego tidak mau kehilangan kendali hidupnya. Lalu di tahap lain sang ego akan mengemukakan berbagai argumen yang tampaknya tak terpatahkan. Kemudian di tahap lanjut sang ego akan seolah-olah mengikuti keinginanmu akan tetapi engkaulah yang sedang ia kendalikan. Maka jangan anggap remeh kemampuan egomu karena ia adalah jihad terbesarmu. Hadapi terus dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Lebih baik remuk diri di jalan kembali kepadaNya dibanding bersuka cita dalam jalan yang menjauhiNya. Yakinlah akan pertolonganNya, Dia yang berjanji “Janganlah kamu takut, sesungguhnya Aku ada bersama-sama kamu Aku Mendengar dan Melihat segala-galanya." (QS Thahaa: .46)

Amsterdam, 10 Januari 2018
3.33 dini hari
"Nak, sesungguhnya aku menerima kabar bahwa usiamu di dunia tinggal beberapa minggu saja..." ujar seorang guru kepada muridnya.
Sang murid tecekat, terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Dirinya masih tergolong muda, anak masih remaja, tengah sibuk mendaki gunung karir, sehat, makmur. Hidup tampaknya baik-baik saja. Maka mendengar kabar ihwal kematian dirinya- sesuatu yang memutuskannya dengan semua itu adalah bagaikan mendengar petir di siang bolong.
"Apa yang akan kau lakukan dalam minggu-minggu terakhirmu sebagai persiapan ke alam berikutnya?" Lanjut sang guru.
"Aku...aku...tidak tahu guru..." jawab sang murid dengan suara lirih. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Aku mengerti keterkejutanmu. Coba ambil nafas dalam-dalam, berdzikir, tenangkan diri. Lalu tangkap jawaban-jawaban yang muncul dalam hatimu." bimbing sang guru dengan lembut.
Setelah beberapa saat, sang murid mulai angkat bicara.
"Rasanya aku akan mulai memperbaiki ibadahku, shalatku yang sering terlambat dan tidak khusyu itu. Memperbanyak shalat malam dan ibadah sunnah. Mengkaji Al Quran dengan lebih serius. Lalu, anak-anak dan istriku..." suaranya makin parau dan ia menghentikan kata-katanya lalu menangis terisak-isak.
"Aku ingin meminta maaf kepada mereka atas perilaku kasarku, atas banyaknya waktu keluarga yang hilang digerus kegiatan mengejar karir. Aku ingin meluangkan waktu lebih banyak bersama mereka. Juga orang tuaku yang aku jenguk hanya setiap lebaran, dan adik kakakku yang kerap aku acuhkan ajakan untuk meluangkan waktu bersama." Sang murid kembali menangis tersedu-sedu menyadari betapa ia sangat mencintai keluarganya itu.
Sang guru mengangguk lalu berkata, "Itu hal yang sangat baik, ada lagi hal yang ingin kau lakukan?"
"Iya.." sahut sang murid sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Aku ingin menginfakkan lebih banyak harta simpananku dan menyisakan secukupkan untuk keluarga. Aku ingin meluangkan waktu untuk membuat aplikasi komputer yang yayasan butuhkan dan sebenarnya guru sudah tugaskan kepadaku bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi kesibukan kerjaku telah menyita demikian banyak waktu. Di saat-saat terakhir hidupku, aku hanya ingin fokus mengerjakan apa yang penting dan berguna bagi jiwa dan keluargaku yang merupakan amanah bagiku wahai guru..."
Sang guru tersenyum. "Alhamdulillah...engkau telah dengan sadar menemukan kembali jalanmu. Menjalani waktu untuk mengerjakan kewajiban-kewajibanmu. Sesungguhnya aku hanya mengujimu karena telah sekian lama aku perhatikan orientasi hidupmu begitu sarat dengan kesibukan dunia dan menelantarkan pencarian bekal untuk masa depanmu yang pasti akan datang. Anakku, jika engkau tahu kematian bisa datang kapanpun menjemputmu lalu apa yang menghalangimu untuk melaksanakan semua yang engkau baru saja katakan?"

Jakarta, 7 Januari 2018
1.08 dini hari
"Camkan ya nak, tidak ada hal sekecil apapun yang mewujud dalam kehidupan ini yang tidak mengandung hikmah dan kebaikan di dalamnya." pesan sang guru.
"Termasuk perkara perceraian saya wahai guru?" tanya sang murid dengan wajah kebingungan.
"Termasuk perceraianmu."
"Bagaimana dengan boss saya yang menyebalkan itu."
"Termasuk dia."
"Lalu si copet yang mencuri dompetku beserta segala isinya minggu lalu?"
"Itupun sama."
"Juga kemiskinan, peperangan dan kejahatan yang ada di muka bumi?"
"Semua terjadi dalam ilmuNya dan timbangan keadilanNya," jawab sang guru sambil mengangguk.
"Lantas, bagaimana cara kita membaca itu semua hingga dapat menguak hikmahNya?" tanya sang murid penuh rasa penasaran.
"Bagaimana menurutmu cara seseorang mendapatkan intan yang terpendam di dalam perut bumi atau mutiara yang tersimpan di dasar lautan? Ia harus menembus kerasnya lapisan bumi dan menyelami kedalaman lautan. Ada ruang shadr yang melingkupi qalbmu yang harus engkau bongkar habis lapis demi lapis si kerak yang memenuhinya. Sebuah perjalanan ke dalam diri yang paralel dengan gerak menyelami alam kehidupan yang tersaji di hadapanmu hari demi hari. Namun bahkan untuk memulai perjalanan itu engkau membutuhkan pertolonganNya, karena hikmah hanya bisa dibaca oleh akal hatimu dan Dia yang menggerakkan hati manusia di ujung jariNya. Berjuanglah menghidupkan hatimu dengan menghidupkan sabar, syukur, tawakal dan ikhlas dalam keseharian. Hanya dengan cara ini semua kejadian dalam hidupmu; ihwal perceraianmu, perilaku tetanggamu dan kondisi kerjamu akan dibaca sebagai satu kesatuan yang tunggal yang mendatangkan seribu satu manfaat bagi jiwamu."

Tasikmalaya, 2 Januari 2018
6. 37 sore
Ketika sangkakala ditiupkan untuk kedua kalinya, maka seketika itu setiap manusia keluar dari kuburnya menuju kepada Tuhannya. Mereka berkata, "Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari kubur kami?"
Inilah yang dijanjikan Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul dan segenap utusanNya.
Sesungguhnya bunyi yang nyaring itu hanya sekali saja, lalu dalam sekejap mereka semua dihadapkan kepada Dia untuk dihisab.
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan ia tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang ia kerjakan.
Di hari itu mereka yang berlambat-lambat dalam kebaikan akan menyesal, sementara mereka yang berlomba-lomba mengerjakan kebaikan akan menuai hasil kerja kerasnya.
Di hari itu mereka yang dicaci di dunia, dilecehkan bahkan difitnah atas kebaikan yang dilakukannya akan ditampakkan kebenarannya lalu mendapatkan ganjaran yang setimpal dan keadilan dariNya.
Di hari itu mereka yang bekerja dalam sepi, tanpa sepengetahuan orang lain, yang upayanya jauh dari pujian manusia; para ibu yang mengurus anak dan keluarganya dengan ikhlas, ayah yang memeras keringat dan bekerja keras untuk memenuhi tanggung jawabnya, anak yang mengurus orang tuanya yang telah uzur, mereka yang mengurus kerabatnya dengan tulus. Masing-masing akan mendapatkan balasan yang baik.
Inilah visi akhirat. Yang dengannya kita tidak sekadar mengukur hasil pekerjaan dan amal shalih kita semata-mata dari apa yang didapatkan di dunia dan tidak berkecil hati atas fenomena yang terjadi. Yakin bahwa Dia Maha Menyaksikan dan Dia akan memberi balasan pada kebaikan seseorang dengan takaran yang sangat presisi. Pantaslah Rasulullah saw mengajarkan jika di tangan kita ada benih dan sekalipun kita tahu besok akan kiamat maka tanamlah benih itu. Kiamat yang paling dekat dengan masing-masing adalah kiamat kecil yang berupa kematian yang tidak ada seorang pun tahu kapan waktu pastinya. Dengan kata lain, tanamlah kebaikan setiap saat. Lewat kata-kata kita, perilaku kita, sedekah kita, atau bahkan sekadar berwajah manis kepada sekitar. Tanamlah dan tak perlu mengharap imbalan, pujian atau terima kasih dari orang lain. Cukuplah Dia Yang Menyaksikan dan Yang Maha Membalas dengan adil.
(Referensi: QS Yaasiin [36]:51-54)

Tasikmalaya, 1 Januari 2018
1. 23 dini hari
Sebenarnya pandangan akan adanya 'gaji tetap' atau pendapatan yang terukur dari adanya deposito, saham, usaha dan lain-lain adalah ilusi yang bisa mencederai tawakal seseorang kepada Allah. Memang natur hawa nafsu manusia selalu menginginkan 'yang pasti-pasti'. Padahal kepastian hanya ada di tanganNya. Sebaik apapun seseorang membentengi kehidupannya setidaknya ada tiga variabel kehidupan yang di luar jangkauannya. Pertama adalah sakit yang dengannya kekayaan sebanyak apapun tidak dapat dinikmati penuh, kedua adalah kondisi lingkungan jika terjadi bencana alam atau peperangan maka harta benda yang ada menjadi relatif tak bernilai, dan variabel yang bisa memutus seseorang dari semua kenikmatan hidup yaitu kematian.
Ada alasannya Rasulullah bersabda bahwa "Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perdagangan (tijaroh)". Karena mentalitas utama seorang pedagang sesungguhnya terletak pada rasa tawakalnya. Bayangkan kita sebagai penjual yang keluar di pagi hari berkeliling menjajakan dagangannya, atau membuka lapak di pasar. Tidak ada satu pun yang tahu pasti berapa pendapatan yang akan ia terima di hari itu. Kadang ia pulang dengan membawa hasil dagangan yang terjual habis, di lain waktu ia harus menutup hari dengan sisa dagangan yang menumpuk. Mentalitas seorang pedagang membuat lisannya berdoa setiap pagi "Ya Allah berikan kepadaku rezekiku di hari ini." Doa itu yang melambungkan keimanannya dan mengguncangkan langit hingga menurunkan hujannya berupa rezeki-rezeki batin. Karena kalau rezeki lahiriyah itu sudah dikadar, terbatas setiap orang akan diberi sesuai pembagian jatahnya yang telah dituliskan saat ia masuk ke rahim ibu pada usia janin 120 hari. Adapun rezeki batiniyah itu tak terbatas jumlahnya karena bersumber dari Sang Maha Ilmu. Rezeki batiniyah itu yang dapat membantu seseorang membaca kehidupan hingga berkurang kebingungannya, yang dapat meneguhkan seseorang manakala harus menghadapi musibah, yang menguak informasi perihal kejatidiriannya, dan yang memberikan visi bagi kehidupannya.
Inilah sesungguhnya kekayaan sejati yang patut diperjuangkan oleh setiap orang. Agar manusia tidak dibuat murung oleh pengkadaran Ilahiyah, tidak dibuat gelisah oleh dinamika kehidupan yang kerap tak mampu dicerna oleh akalnya. Kunci membuka khazanah itu diantaranya dengan tawakal. "Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (QD Ath-Thalaq : 3) Yaitu yang mencukupinya, Ar-Robi’ bin Khutsaim berkata : Dari segala sesuatu yang menyempitkan (menyusahkan) manusia. (HR Bukhari). Lebih yakin dengan apa yang di tangan Allah dibandingkan ikhtiar dirinya sendiri. Karena "Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya”. (QS Az-Zumar : 36)

Bandung, 26 Desember 2017
00.54 dini hari

Adab Terhadap Pembantu Rumah Tangga

"Bi, minum!"
"Bi, ambil sepatu!"
Itu gaya saya yang kurang sopan dalam berinteraksi dengan para asisten rumah tangga (ART) ketika usia 7 tahun. Malu mengingatnya.
Ibu selalu menegur saya dan menasihati kalau meminta sesuatu dari para ART harus sopan dan wajib membubuhkan kata "tolong..."
ART bukan budak, mereka datang bertransaksi untuk menyediakan jasanya membantu urusan domestik kita yang seolah tidak ada habisnya itu. Memperlakukan mereka dengan baik adalah sesuatu yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Abu Masud Al Badari RA, ia berkisah suatu saat ia pernah mencambuk pembantunya dengan cambuk. Ia mendengar seseorang berbicara dan menegurnya dari belakang.
Awalnya, ia tak mengerti apa yang dimaksud lelaki tersebut. Betapa kagetnya bahwa sosok tersebut ialah Rasulullah SAW yang lantas bersabda, ”Ketahuilah Abu Masud, Allah mencatat segala tindakanmu atas pembantu ini.” Sejak peristiwa itu, Abu Masud tidak pernah sekali pun memukul pembantunya.
Pantaslah bila Anas bin Malik RA mengaku, selama kurang lebih sepuluh tahun mengabdi, ia tidak pernah mendapati Rasulullah mengumpat, menyalah-nyalahkan pekerjaannya yang ia lakukan.
Dalam kurun waktu itu pula, yang ia dapati justru penghormatan dan perlakuan baik dari Nabi beserta keluarga. Rasulullah juga tidak pernah menjadikan profesi yang dilakoni Anas bin Malik sebagai status sosial lalu mendiskriminasi mereka berada di level sosial paling bawah. Allahummasholli 'ala sayyidina Muhammad...