"Nak, sesungguhnya aku menerima kabar bahwa usiamu di dunia tinggal beberapa minggu saja..." ujar seorang guru kepada muridnya.
Sang murid tecekat, terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Dirinya masih tergolong muda, anak masih remaja, tengah sibuk mendaki gunung karir, sehat, makmur. Hidup tampaknya baik-baik saja. Maka mendengar kabar ihwal kematian dirinya- sesuatu yang memutuskannya dengan semua itu adalah bagaikan mendengar petir di siang bolong.
"Apa yang akan kau lakukan dalam minggu-minggu terakhirmu sebagai persiapan ke alam berikutnya?" Lanjut sang guru.
"Aku...aku...tidak tahu guru..." jawab sang murid dengan suara lirih. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Aku mengerti keterkejutanmu. Coba ambil nafas dalam-dalam, berdzikir, tenangkan diri. Lalu tangkap jawaban-jawaban yang muncul dalam hatimu." bimbing sang guru dengan lembut.
Setelah beberapa saat, sang murid mulai angkat bicara.
"Rasanya aku akan mulai memperbaiki ibadahku, shalatku yang sering terlambat dan tidak khusyu itu. Memperbanyak shalat malam dan ibadah sunnah. Mengkaji Al Quran dengan lebih serius. Lalu, anak-anak dan istriku..." suaranya makin parau dan ia menghentikan kata-katanya lalu menangis terisak-isak.
"Aku ingin meminta maaf kepada mereka atas perilaku kasarku, atas banyaknya waktu keluarga yang hilang digerus kegiatan mengejar karir. Aku ingin meluangkan waktu lebih banyak bersama mereka. Juga orang tuaku yang aku jenguk hanya setiap lebaran, dan adik kakakku yang kerap aku acuhkan ajakan untuk meluangkan waktu bersama." Sang murid kembali menangis tersedu-sedu menyadari betapa ia sangat mencintai keluarganya itu.
"Rasanya aku akan mulai memperbaiki ibadahku, shalatku yang sering terlambat dan tidak khusyu itu. Memperbanyak shalat malam dan ibadah sunnah. Mengkaji Al Quran dengan lebih serius. Lalu, anak-anak dan istriku..." suaranya makin parau dan ia menghentikan kata-katanya lalu menangis terisak-isak.
"Aku ingin meminta maaf kepada mereka atas perilaku kasarku, atas banyaknya waktu keluarga yang hilang digerus kegiatan mengejar karir. Aku ingin meluangkan waktu lebih banyak bersama mereka. Juga orang tuaku yang aku jenguk hanya setiap lebaran, dan adik kakakku yang kerap aku acuhkan ajakan untuk meluangkan waktu bersama." Sang murid kembali menangis tersedu-sedu menyadari betapa ia sangat mencintai keluarganya itu.
Sang guru mengangguk lalu berkata, "Itu hal yang sangat baik, ada lagi hal yang ingin kau lakukan?"
"Iya.." sahut sang murid sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Aku ingin menginfakkan lebih banyak harta simpananku dan menyisakan secukupkan untuk keluarga. Aku ingin meluangkan waktu untuk membuat aplikasi komputer yang yayasan butuhkan dan sebenarnya guru sudah tugaskan kepadaku bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi kesibukan kerjaku telah menyita demikian banyak waktu. Di saat-saat terakhir hidupku, aku hanya ingin fokus mengerjakan apa yang penting dan berguna bagi jiwa dan keluargaku yang merupakan amanah bagiku wahai guru..."
Sang guru tersenyum. "Alhamdulillah...engkau telah dengan sadar menemukan kembali jalanmu. Menjalani waktu untuk mengerjakan kewajiban-kewajibanmu. Sesungguhnya aku hanya mengujimu karena telah sekian lama aku perhatikan orientasi hidupmu begitu sarat dengan kesibukan dunia dan menelantarkan pencarian bekal untuk masa depanmu yang pasti akan datang. Anakku, jika engkau tahu kematian bisa datang kapanpun menjemputmu lalu apa yang menghalangimu untuk melaksanakan semua yang engkau baru saja katakan?"
Jakarta, 7 Januari 2018
1.08 dini hari
No comments:
Post a Comment