Saya termasuk yang tidak mudah percaya kepada orang lain. Entahlah, bawaan sejak kecil, i always question everything. Saya ingat saat ujian di sekolah dasar ada pertanyaan begini,
Kalau lampu merah menunjukkan warna merah sedangkan polisi menyuruh tetap maju maka :
A. Tetap berhenti
B. Maju mengikuti pak polisi
Dan saya memilih B, karena berpikir 'ah pak polisi mungkin salah!' Demikian salah satu gambaran betapa skeptisnya saya kepada manusia. Tapi kalau ditelusuri lagi, buat saya pribadi sikap skeptis saya ini yang membuat saya menemukan seorang guru yang membantu banyak memandu arah hidup dalam jalan taubat (kembali) kepada-Nya. Setelah bertemu beliau, saya mengamati bahwa saya bisa juga percaya bahkan tunduk kepada seseorang yang membantu membaca dan memahami kitab Al Quran, kitab diri dan kitab kehidupan.
Demikian besar keyakinan saya kepada kebenaran yang dibawa oleh beliau sampai-sampai seorang sahabat bertanya langsung kepada saya beberapa waktu yang lalu dalam kunjungan ke Jakarta, "Kok teteh bisa percaya begitu sama beliau?" Saya bilang, "Sulit untuk menjawab pertanyaan ini, karena kata-kata hanya akan mereduksi rasa yang ada di hati. Memang bahasa punya keterbatasan untuk mengekspresikan rasa, seperti sulitnya membahasakan beda manis madu dan manis gula, seseorang hanya bisa mencicipinya."
Tapi kemudian kalau saya telaah, kepercayaan saya yang demikian tinggi kepada sang guru bukan hanya berasal dari kekaguman terhadap akhlak, kesederhanaan, ketekunan, kepintaran, ketenangan dan kadang kejenakaan beliau yang kerap mengundang gelak tawa. I think most of all it's the message, not the man, which is important for the seekers...
No comments:
Post a Comment