Friday, July 30, 2021

 Tantangan membesarkan anak di  masa ketika agama tengah mencapai titik nadirnya. Mereka pontang-panting untuk melihat contoh nyata sosok manusia yang akhlaknya baik karena ditempa oleh agama. Apalagi jika anak tumbuh di tengah masyarakat yang cenderung agnostik atau menyandang jargon "spirituality yes, religion no".


Ketika suguhan di dunia luar menampilkan orang-orang yang memakai atribut agama malah berperang, berperilaku kasar, mencuri, menganiaya bahkan membunuh orang alangkah wajarnya anak kemudian ciut nyalinya dan berpikir ulang apakah mempelajari agama merupakan pilihan yang baik untuknya.


Anak saya yang umur 9 tahun saja sudah mulai berpikir kritis tentang ini. Hati nuraninya masih murni mengatakan bahwa menyakiti dan menzalimi orang lain is a big no-no. Maka ketika melihat ada sebuah perbuatan menzalimi orang lain walaupun dengan dalih dan justifikasi agama, si anak langsung mengernyitkan dahi dan berkata, "Is it okay if i am less religious?" Karena dia menyalahartikan "being religious" adalah harus berangasan seperti itu. 


Disitulah fungsi kita sebagai orang tua memberikan penjelasan yang baik. Tapi sebaik-baik penjelasan ya memang dengan perilaku yang kita tampilkan sendiri. Omong kosong jika kita berkoar-koar mengatakan "Nak, Islam itu rahmatan lil 'alamin ya, camkan!" Tapi uang rakyat dikorupsi, kerja ga becus, bicara menyakitkan, kata-kata kotor dan sumpah serapah mudah sekali meluncur dari lisan, buang sampah sembarangan, tetangga disakiti, bahkan kerabat dan keluarga sendiri dizalimi, suami dan istri ribut terus, salah sedikit langsung meledak, lantas di mana letak rahmatnya?


Celetukan anak saya kemarin itu bagaikan a wake up call untuk saya. Agar saya benar-benar bercermin ke dalam diri sendiri dan bertanya, apakah saya sudah menegakkan diin (agama) saya sendiri? ...

Wednesday, July 28, 2021

 Hidup ini sebenarnya untuk apa?


Jangan-jangan sudah setua ini kita menjalani setiap episode kehidupan tanpa kita pahami maknanya. Kenapa kita dilahirkan di orang tua yang itu dengan segala dinamika yang ada. Apa makna di balik pola pengasuhan kita waktu kecil. Kenapa pernah dibuat khilaf melakukan ini dan itu. Kenapa pernah menikah dan bercerai -misalkan. Kenapa pernah bisnis lalu ditipu orang. Kenapa pernah seolah salah ambil jurusan. Kenapa...kenapa...


Kalau boleh jujur banyak hal dalam keping-keping kehidupan kita sendiri pun yang kita belum pahami dimana letaknya dalam konstelasi besar hidup kita yang singkat ini. Agar berharap pada saatnya bisa berkata seperti Ulil Albab dalam Al Quran "sungguh tak ada yang sia-sia" setiap keping kejadian menyimpang sebuah informasi tertentu. Di titik itu kita baru bisa mencapai kedamaian yang sebenarnya. Yaitu saat kita bisa berdamai dengan semua ketetapan yang Allah Ta'ala takdirkan.


Agar jangan kita tersibukkan mengumpulkan harta benda saja di dunia, membangun ini dan itu dan semua tidak akan dibawa mati. Pada akhirnya kita kembali dengan selembar kain kafan. Tapi semoga ada amal-amal shalih, amal jariyah dan doa yang masih terus mengalir walaupun tubuh kita sudah menyatu dengan tanah.

Tuesday, July 27, 2021

 Mengenali keinginan terdalam seorang manusia itu tidak mudah. Itu yang saya pelajari selama 5 tahun lebih pernah berkecimpung di dunia marketing. 


Masalahnya kadang yang bersangkutan pun tak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan dan sering bingung memisahkan mana yang merupakan keinginan yang datang karena kebutuhan (needs), keinginan yang timbul karena diprovokasi oleh lingkungan (wants) atau keinginan yang paling dalam dari hati (desires).


Banyak hubungan (relationship) berantakan karena ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan atau mengidentifikasi apa keinginan seseorang yang sebenarnya.


Bicara tentang keinginan. Tuhan pun punya karsa atau keinginan yang agung. Itu semua ditemukan dalam mutiara hakikat kehidupan. And here is the catch...Tidak akan bisa hakikat kehidupan itu terbongkar sebelum kita lulus melampaui ujian yang telah Dia tuliskan.


Jadi, di balik semua hal yang kita anggap kurang, gagal, terlambat, atau kacau ini sungguh tersimpan mutiara hakikat yang berlimpah yang disediakan untuk kita semua. Hanya jika kita tidak mengeluhkan takdir hidup ini dan menghadapinya dengan ksatria sambil berkata "labbaik allahumma labbaik"

Aku datang ya Allah...here i am...

 Jujur, saya punya kecenderungan untuk menjadi seorang 'biarawati'. Seumur hidup ibadah, menyepi ke tempat ibadah dan tak perlu menikah dan mengurus anak dengan segenap kerepotannya.


Seorang sahabat saya yang seorang ustadz pernah berkata, "Kamu itu seperti elang, senangnya menyendiri di angkasa...."


Allah Maha Tahu, kecenderungan saya itu bisa menyesatkan. Tampaknya seperti bernuansa spiritualitas, tapi sebenarnya hawa nafsu. Karena hawa nafsu itu ada dua macam, yaitu hawa nafsu yang mencari duniawi betul dan hawa nafsu yang berbalut hal yang nampaknya agamis dan bernuansa spiritualitas, dua-duanya menjauh dari Allah menuju ke dua kutub yang berbeda.


Saya makin bisa paham kenapa saya dipasangkan dengan suami yang cenderung skeptis terhadap agama. Beliau jadi rem buat saya di tahapan ini. Tanpanya mungkin saya sudah hilang di gunung yang mana, menyendiri dan tentunya tak akan bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang inspirasinya hanya bisa didapat dari pengalaman keseharian ketika berenang di samudera dunia ini. Memang kadang merasa lelah. But this is the right way. Saya jadi bisa paham karenanya hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa kematian itu adalah istirahatnya kaum mukminin...semoga jadi mukmin yang sejati. Aamiin🙏


On the way with the train to Den Haag

 "Kenapa mama ngga shalat kalau sedang mens?" tanya Elia, anak saya yang berusia 9 tahun.


Saya punya pertanyaan yang sama. Awalnya merasa didiskriminasikan, kenapa perempuan seakan banyak larangan ini dan itu dibandingkan kaum laki-laki? Hampir seumur hidup saya mencari jawaban itu dari sekian banyak pertanyaan yang menggelantung dalam benak saya. Jawaban keras ala "pokoknya ya itu hukumnya" hanya semakin membuat saya bergidik. Tidak puas.


Alhamdulillah sedikit demi sedikit saya mulai memahami fenomena itu dan nyaman dengan paparan yang diberikan oleh seorang sufi bernama Ibnu Arabi. Uraian beliau dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah sungguh mencengangkan. It all started to make sense to me...


Bahwa semua syariat yang kadang akal kita sulit mencerna yang berkaitan tentang posisi laki-laki terhadap perempuan adalah bayangan dari sebuah konstelasi agung di alam yang sesungguhnya. Dan ketika kita di alam bayangan ini bisa mengharmonisasikan diri dengan realitas itu maka kita bisa meraup banyak pengetahuan baru yang mengalir setiap saat. Ya, setiap saat ada pengetahuan baru yang tak pernah terulang. 


Bahwa Islam demikian mengagungkan perempuan. Hingga meletakkan salah satu asma-Nya dalam salah satu organ yang hanya dimiliki perempuan yaitu "rahim" dan memberikan perempuan hak waris dan hak lainnya.


Bahwa menstruasi pada hakikatnya adalah sebuah keberjarakan. Artinya seorang laki-laki sekalipun kalau hatinya lalai dari berdzikir kepada Allah itu sama dengan sedang mens pada hakikatnya. Akan tetapi perempuan yang sedang datang bulan namun hatinya senantiasa dzikir walau secara syariat terhalang dari mengerjakan shalat, maka ia tetap terhubung dengan-Nya.


Ada aspek lain di balik semua syariat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Bahwa syariat itu hanya sebagai jalan untuk mencapai mata air pengetahuan hakiki tersebut. Yang dengannya kita menjadi bersuka cita menjalani semua syariat yang ditetapkan. Tidak berberat hati apalagi berburuk sangka kepadanya.


Kembali kepada pertanyaan anak saya tadi, tentang kenapa perempuan tidak boleh shalat ketika datang bulan. Saya sungguh harus mohon bimbingan kepada Allah sambil memeras otak saya untuk memikirkan cara yang pas untuk menjelaskan kepada anak berusia 9 tahun yang selalu bertanya "but, why?" pada setiap jawaban yang saya berikan...

Saturday, July 24, 2021

 Awan yang gelap membawa air

sementara awan yang cerah tidak.


Kadang dalam gelapnya episode kehidupan itulah terkandung banyak hikmah, sesuatu yang tak ada saat semua baik-baik saja...


 


Batal menikah.
Tak jadi memulai bisnis.
Tidak diterima di jurusan tertentu.
Kadang hidup diwarnai oleh sekian banyak fenomena yang wujudnya seperti sebuah kegagalan. Padahal itu cara Tuhan mengarahkan kita pada pilihan yang jauh lebih baik. Sabar dulu, kadang hanya waktu uang bisa mengungkap segalanya.
Tetap semangat dan berprasangka baik😊👌

Tuesday, July 20, 2021

 "Semoga kurban kita diterima ya..."


"Aduh, tahun ini aku ngga bisa kurban. Banyak pengeluaran..."


"Makanya nabung dong dari tahun lalu, biar menunjukkan sama Allah sekuat apa tekadmu. Buktinya ganti kulkas aja bisa bela-belain dicicil. Masa ibadah dan pengurbanan untuk Allah ga diplanning serius?"


"Iya sih, tapi aku benar-benar banyak pengeluaran beberapa bulan ini. Ibu sakit, mesti cek ini-itu takut kena Corona."


"Iya dimengerti. Semoga kebaktianmu pada ibunda jadi sarana mendekat sama Allah ya. Tapi bytheway, kurbankan saja hartamu berapapun yang kau punya. Jika hanya ada 50 ribu sekalipun keluarkanlah untuk infaq fii sabilillah. Allah kan Maha Tahu keadaanmu. Yang akan Dia lihat adalah upayamu untuk tetap mendekatkan diri kepadanya. Karena makna "qurban" adalah agar menjadi muqarrabuun, mereka yang didekatkan..."


- Idul Adha 2021 masih di tengah suasana pandemi

Monday, July 19, 2021

 Kunci perubahan hidup


Ini salah satu ayat yang Mursyid saya ajarkan agar hidup kita berubah jadi lebih baik. Terutama kalau kita merasa berkubang dalam permasalahan yang itu saja selama bertahun-tahun lamanya, coba perhatikan panduan dari Allah Ta'ala yang tertuang dalam surat Huud ayat 3 ini:


Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan...


"Waktu yang telah ditentukan" ini merujuk kepada saat kematian di alam dunia ini. Jadi kunci terbukanya rezeki, lapangnya kesempitan, lepasnya kita dari hal yang rumit dan lain-laindi dunia ini adalah dengan menelaah kembali dan memperbaiki istighfar dan taubat kita.


Rasulullah saw bersabda bahwa banyak istighfar itu membuka pintu rezeki. Jadi mungkin selama ini kita lalai istighfar serta tidak banyak istighfarnya, tenggelam dalam kesibukan dunia dan terbenam dalam permasalahan yang ada bagai tersedot dalam pusaran pasir isap yang dapat mematikan jiwa. Akhirnya kita hidup hanya jadi bulan-bulanan hawa nafsu dan syahwat kita yang tak pernah menemukan titik kepuasannya kecuali ketika mulut sudah penuh dengan tanah...

 Treat the cause not symptom


Dalam sebuah presentasinya, seorang dokter dari Inggris mengatakan bahwa dia mengubah cara dia memberikan terapi kepada pasien-pasien dengan tidak lagi berfokus menjejalkan sekian banyak obat-obatan tapi memberi banyak perhatian kepada diet dan stress management pasiennya. Dalam pengalamannya, ketika dua hal tersebut ditata, yaitu pola makan dan pola pikir maka kesembuhan pasien-pasien meningkat pesat. Terutama pasien-pasien berpenyakit kronik seperti tekanan darah tinggi atau gula darah yang menahun sampa bisa terbebas dari obat-obatan begitu dua hal itu dipantau dan dimanage dengan baik.


Ilmu kedokteran zaman Hippocrates, sang Bapak Kedokteran yang hidup di zaman 400an tahun sebelum Masehi pun sebenarnya sudah mulai memahami pentingnya menelusuri akar permasalahan dari penyakit. Observasi beliau yang luas biasa bisa menangkap bahwa ada hubungan antara air yang biasa seseorang minum, udara yang biasa seseorang hirup, perubahan cuaca dan tanah tempat dia tinggal dengan pola-pola penyakit yang muncul.


Cara berpikir mengakar ini penting diterapkan di semua lini kehidupan, agar kita tidak habis waktu dan tenaga mengatasi gejala yang muncul yang hanya merupakan puncak dari gunung es akan fenomena yang sebenarnya ada.


Begitupun dalam kita menyikapi kehidupan. Banyak yang cenderung terjebak dalam pola pikir pendek dalam mengatasi segenap persoalannya dengan pontang-panting menghabiskan waktu, tenaga, dan korban perasaan yang hanya meredakan gejala yang timbul tanpa menyentuh inti permasalahannya.


Tujuan Allah memberi ujian kehidupan itu agar kita menjadi lebih mengenali-Nya dan dekat kepada-Nya. Maka jika respon kita menghadapi ujian yang datang dari arah anak, pasangan, pekerjaan, mertua dll hanya disibukkan dengan upaya-upaya horizontal dengan lalai mendongak dan menghadapkan wajah hati kita kepada-Nya, dijamin sulit menyembuhkan gejala yang timbul. Kalaupun Allah beri sembuh, malah jadi lupa diri. Maka jangan aneh kalau kadang hal-hal yang bisa membuat kehidupan kita berubah drastis justru ketika kita melakukan apapun yang ada di tangan kita dengan ikhlas lillahi ta'ala, tanpa mengharapkan balasan atau pujian orang lain. Hal-hal yang kita kerjakan dalam sepi itu yang bisa jadi melambungkan kita dalam pandangan-Nya dan membuat-Nya ridho. Kemudian bumi kehidupan kita pun Dia putar dengan ajaib. "Kun fa ya kun".


Inilah kunci perubahan peruntungan kehidupan kita sebenarnya. Mengerjakan dan menyikapi apapun yang Dia hadirkan di saat ini dengan ikhlas, sambil tersenyum dan dengan hati yang bernyanyi. This is heaven on earth ❤

 Gara-gara ada satu pohon mawar peninggalan pemilik rumah sebelumnya, saya jadi mulai baca-baca cara merawat pohon mawar ini. Mengagumkan mengetahui bahwa ada mekanisme perawatan pohon yang disebut dengan "pruning". Yaitu memotong sebagian cabang pohon yang lemah atau bahkan mati, agar semua nutrisi pohon terpusat di cabang-cabang tertentu saja. Dengannya bunga akan tumbuh bermekaran semakin indah dan banyak. Bahkan lokasi pemotongan cabang di setiap musim pun bisa berbeda.


Hidup pun begitu. Cabang-cabang kehidupan kita yang akan cenderung melemahkan dan melalaikan akan Dia pangkas. Pemangkasan ini di awal waktu akan terasa menyakitkan: rumah tangga dibuat pecah, bisnis dibuat kolaps, teman dibuat jauh, keluarga dibuat sakit, pernikahan menjadi batal dll. Tapi seiring dengan waktu, jika sabar dan ikhlas menjalaninya. Kita akan mulai merasakan ada hal lain yang bertumbuh yang pada akhirnya akan menghasilkan bunga atau buah-buahan yang akan membuat senang Sang Perawat pohon. Dan apa yang lebih berharga selain ridho-Nya?❤

 Intensive Care


Di rumah sakit petugas di bagian Intensive Care Unit memiliki beban dan tanggung jawab yang lebih, karena yang dirawat adalah pasien-pasien dalam keadaan kritis. Karenanya desain working station mereka ditempatkan di sekitar tempat tidur pasien yang tubuhnya terpasang oleh berbagai selang dan kabel yang terhubung ke macam-macam patient support and monitoring devices.


Selama 24 jam perawatannya tak henti-hentinya. Memastikan keadaan pasien tidak bertambah buruk dan bahkan membaik hingga bisa keluar ke ruang perawatan biasa tanpa pengawasan intensif.


Bicara tentang intensive care. Kita sebenarnya dalam sebuah ruang intensive care raksasa. Yang dirawat adalah jiwa kita dan Sang Perawat adalah Allah Rabbul 'alamiin. Begitu terlintas setitik kerinduan di hati seorang hamba yang membuatnya mencari kebenaran, maka dimulailah segenap aspek perawatan dari-Nya. Sebuah treatment Ilahiyah yang ditujukan kepada pemurnian dan pertumbuhan jiwa. 


Pertama, jiwa akan dibangkitkan dari tidur lamanya selama berdekade lamanya. Lalu perlahan tapi pasti jiwa akan diajari secara seksama tentang untuk apa dia dicipta. Bahwa setiap orang memiliki kemampuan bawaan yang sangat unik yang membuat setiap manusia menjadi begitu berharga kehadirannya dan tak ada manusia kelas dua di dunia ini. Semua unggul di bidangnya masing-masing.


Perawatan Ilahiyah ini kadang berupa hal yang menyakitkan, seperti ketika perawat menjejalkan selang panjang (nasogastric tube) ke dalam hidung pasien hingga masuk jauh ke lambungnya. Menyakitkan. Tapi tanpa itu tubuh tak bisa mendapatkan energi untuk pulih.


Pengetahuan akan hikmah dari sebuah takdir maka akan membuat si hamba bernafas lega, dia mulai bisa berkata "tak ada yang Kau ciptakan sia-sia", tidak pada tragedi ini, tidak pada kematian ini, tidak pada perceraian ini, tidak pada pengkhianatan ini, tidak pada kegagalan ini, tidak pada episode penantian panjang ini. 


Kemudian, jiwa yang mulai tumbuh akalnya akan mulai bisa membaca kebaikan allah di balik semua takdir yang dia hadirkan. Semakin jiwa tumbuh maka ia akan semakin dikenali, makin berjarak dengan hawa nafsu dan syahwat bawaan raganya. 


Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mengenal jiwanya maka akan mengenal Rabbnya" Jiwa yang tak tumbuh tak akan pernah bisa dikenali. Maka dia harus bangkit dan tumbuh dengan segenap pengaturan dalam nikmat hidup yang Sang Rabb aturkan. Karenanya kita menjadi lebih mengenal siapa Dia, Rabb. Agar besok lusa kalau kita dipanggil berpulang, maka kita bisa menjawab dengan luas pertanyaan para malaikat di alam kubur, "Man Rabbuka?" Siapa Rabbmu? Kenalkah dengan-Nya?

Sunday, July 18, 2021

 Beberapa hari lalu kami mengundang guru les bahasa Elia ke rumah. Orang Belanda berambut coklat usia 20 tahunan, sedang ambil program studi magister, tidak tanggung-tanggung sekalian 2 program master dia ambil. Anak perempuan ini memang pintar, santun dan bagus pendekatannya saat mengajar kepada anak. Karenanya sebagai bentuk terima kasih, kami undang dia untuk makan malam bersama. Di Eropa khususnya, dimana orang sangat menjungjung tinggi nilai privacy, jika ada yang mengundang kita ke rumahnya itu berarti orang itu benar-benar menyukai kita sampai mau membuka pintu rumahnya.


Setelah makan, seperti biasa obrolan mengalir ke masalah agama dan filosofi. Diskusi favorit keluarga kami jika mengundang tamu. Seperti kebanyakan orang Belanda, dia adalah seorang agnostik, bukan ateis ya. Dia masih menyimpan reasonable of doubt tentang keberadaan Tuhan. Tapi umumnya ide tentang alam barzakh dan hari akhirat atau life after death adalah sesuatu yang mereka tepis jauh-jauh. Alasannya umumnya sederhana, tidak ada yang bisa membuktikannya. Tapi gadis ini berkata, "Walaupun demikian, saya juga tidak bisa membuktikan  bahwa itu tidak ada." 


Keyakinan tentang hidup setelah mati, surga dan alam jiwa memang diperkenalkan oleh khazanah agama. Saya sempat merenung, jika saya dilahirkan di keluarga yang agnostik maka saya akan jadi seperti dia. It could have been me. Yang menganggap jika seseorang meninggal ya sudah begitu saja. Game over. We cease to exist. Maka wajar jika dengan cara pandang yang demikian semua dipertaruhkan di kehidupan dunia ini. Padahal ada sekat-sekat takdir di alam ini yang demikian kuat, yang membuat kita harus menyadari keberadaan qadha dan qadar-Nya serta mengimaninya.


Obrolan pun berlanjut seru. Tentang kitab suci, apa fungsinya, siapa yang menulis. Dan bicara tentang kitab suci, anak ini suatu hari pernah membaca Al Quran. Kok bisa? Dia tak sengaja menemukan kitab itu tergeletak di rak buku temannya. Dia buka dan baca versi terjemahan dalam Bahasa Belanda. Ingin tahu katanya apa isinya yang membuat milyaran orang di dunia demikian patuh kepadanya. 


Saya tersenyum mendengarnya. Dalam hati somehow ada sebuah kabar gembira untuk anak ini. Bahwa Tuhan yang menurunkan kitab suci itu tak akan mengizinkan seseorang menyentuh apalagi membacanya dengan tanpa tujuan. Semoga suatu saat dirinya diberi hidayah. Aamiin...

Wednesday, July 14, 2021

 Warna pemikiran seseorang itu bergantung dari kondisi hatinya.

Kalau hati seseorang masih dijangkiti penyakit dengki, apapun kebaikan yang orang lain lakukan jelek saja dalam pandangannya. Dia akan mengeluarkan komentar-komentar yang tidak positif seperti,


"Ah, itu kan gara-gara orang tuanya begini-begitu..."

"Yah, itu sih kebetulan saja..."

"Beruntung dia kali ini, lain kali belum tentu..."


Sambil dibumbui nyinyir dan tersenyum kecut. 

Terasa asap kemarahan dalam dialog berama orang seperti ini. Definetely not inspiring. 


Jika berhadapan dengan orang yang bergejala seperti ini hindari debat kusir, Anda hanya akan diperkuda oleh penyakit hati yang sedang menguasainya. Kalau pikiran seseorang error diskusi apapun tak akan menghasilkan suatu hal yang positif. Yang ada kita cape hati dan korban perasaan. Waktu pun terkuras sia-sia mikirin yang ga penting. Padahal usia kita tak lama lagi. So learn to choose your battlefield👌

 Ini pengalaman pribadi. Solusi dari segenap permasalahan hidup kita ya tidak jauh, ada di bumi yang kita pijak, di kehidupan yang kita jalani dan pada apapun yang Dia hadirkan dalam semesta kita masing-masing.


Alih-alih panik menggedor-gedor pintu mencari jalan keluar sampai jumpalitan pun tak akan pernah ketemu. Yang ada malah cape, keluarga terbengkalai, jiwa merana. Anehnya begitu saya menerima kehidupan ini apa adanya, eh kok pintu-pintu terbuka sendiri. Otomatis.


Memang benar bahwa kita harus belajar tidak hanya menerima tapi ridho dan tersenyum dengan apa yang Dia berikan. Sungguh ini adalah kuncinya. Terima dan syukuri apa yang ada...


Tuesday, July 13, 2021

 Kalau kita bicara takdir dengan orang-orang Barat, kebanyakan akan mengernyitkan dahi. Mereka pikir takdir itu hal yang non-sense, omong kosong. Karena banyak yang berpendapat bahwa kehidupan itu kendalinya ada di tangan kita. Diskusi tentang ini sudah berabad-abad berlangsung. Dalam kalangan yang mengaku beragama pun wacana tentang ini menyebabkan orang terbagi dalam dua paham, yaitu Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan Allah dan manusia terikat dengan takdir Allah dan paham Qadariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri.


Kalau bagi saya, dua-duanya benar adanya maka tak perlu diadu mana yang paling benar. But let's not dwell into that.


Saya sebatas mengamati gerak masyarakat Barat yang katanya sangat menjunjung tinggi hak asasi dan free will. Mereka ingin hidup bebas, bahkan bebas dari aturan Sang Pemilik Kehidupan. Di satu sisi kebebasan itu menstimulasi banyak inovasi, karena sky is the limit. Kau boleh menciptakan apapun - selama itu tidak merugikan orang lain. Tapi di sisi lain, tatanan masyarakat tampak mulai morat-marit tidak karuan. 


Yang bosan dan tidak nyaman dengan jenis kelamin yang merupakan desain raga pemberian Tuhan saat ia dilahirkan diberi ruang bebas untuk melakukan operasi ganti kelamin, lengkap dengan semua perangkat yang melindunginya. Pernah suatu saat saya berbincang dengan seorang 'pria', rambutnya cepak pirang, badannya atletis, sangat baik orangnya sampai suatu saat suami saya berbisik, "Itu mantan istri si A" Saya langsung bingung, "Mantan istri? Berarti si A itu gay?" Suami menjelaskan, "Bukan, dia seorang transgender" Ya Allah...


Berkaitan dengan itu, pernah muncul sebuah isu hangat di Belanda, tentang seorang anak laki-laki usia SD yang ingin memakai rok ke sekolah dan ditertawai anak-anak lainnya. Si ibu posting hal ini ke sosial media dan langsung di viral. Banyak dukungan dari kaum ibu yang mengklaim sebagai ibu yang berpendidikan menyarankan agar sekolah melindungi anak itu dan membiarkan dia untuk menjadi apapun yang dia mau. Bahkan menjuluki si anak sebagai "a cool boy".


Inilah tantangan zaman yang kita sebagai orang tua hadapi sekarang. Bahkan sesimpel menerima takdir dilahirkan sebagai perempuan atau laki-lakipun mulai diacak-acak tatanannya di masyarakat. Lantas, bagaimana orang bisa menemukan kodrat dirinya, jika hal yang dasar seperti bentuk fisiknya saja dia sudah tolak?


Nah, zaman pandemi ini sungguh sebuah momen yang luar biasa. Banyak orang jadi merenungkan ulang kehidupan dan tak sedikit yang mulai ngintip-ngintip lagi kitab suci dan agama. 


Here is the ultimate challenge for those who really believe that they are in control of their life, please try to dodge death.

Monday, July 12, 2021

 Tersindir


Hampir tiap hari teman sekelas anak-anak datang ke rumah. Sebagaimana layaknya anak laki-laki seusia mereka, mereka lagi pada senang makan. Sedikit-sedikit buka kulkas, sedikit-sedikit buka lemari makanan. Jadi persediaan makanan ringan terutama cepat sekali menipis. Saya sudah mafhum akan hal itu. Tapi kebetulan hari itu kebetulan persediaan pisang yang biasanya dipakai untuk sarapan pagi dalam menu bercampur roti atau sereal sudah menipis. Sementara saya mendengar teman anak-anak saya itu meminta izin boleh tidak makan pisang yang ada, dalam hati saya "Duh, habis deh pisangnya" karena mereka makan pisangnya bagaikan balapan sama Gorilla. Tapi ya kalau bilang ngga boleh juga ngga tega. Akhirnya saya persilakan anak-anak itu makan pisang yang ada. Tentang besok biar saja dihadapi pada saatnya.


Jujur, ada sedikit perasaan berat hati karena itu persediaan pisang sudah dihitung pas untuk sarapan esok hari. Gerak hati ini sungguh tak ada yang tahu. Ini pertama kalinya saya ungkapkan agar diambil pelajarannya oleh kita semua bahwa yang namanya rezeki itu yakin ngga akan tertukar. Semua orang punya channel rezekinya masing-masing yang terhubung langsung ke Sang Maha Pemberi Rezeki. Adapun yang lain itu sekadar peran figuran sebagai sarana agar rezeki itu cantik sampai ke tangan kita, ngga blek-blekan dari langit gitu seperti digambarkan dalam film kartun "Cloudy with a chance of Meatballs" dimana berbagai jenis makanan bisa langsung turun dari langit dan membuat seisi pulau berantakan.


Nah, Allah Yang Maha Tahu gerak yang paling halus dari hati kita tentu membaca ada sedikit rasa pelit saat kita memberi. Tak lama kemudian, tak sampai satu jam berselang setelah anak-anak makan pisang dengan lahap itu bel rumah berbunyi. Ternyata tetangga sebelah saya tumben-tumben datang, dan di tangannya terdapat satu tandan besar pisang saudara-saudara! Katanya dia dan adiknya beli pisang terlalu banyak jadi sebagian dibagi-bagi. 


Duh, malunya hatiku sempat meragukan pembagian rezeki-Nya. Kejadian itu bagaikan Dia menyindir, "Jangan takut rezeki pisangmu tak akan hilang karena dimakan anak-anak" Dan Dia malah memberi ganti jauh berlebih...Masya Allah

 Saya mulai melakukan shalat memang sejak usia taman kanak-kanak. Setelah itu, masa SD dan SMP memang kadang masih bolong-bolong shalatnya. Jelang SMA, seiring dengan gunjang-ganjing rumah tangga kedua orang tua, saya jadi mulai merasakan shalat sebagai tempat teduh saya. Maka saya shalat tak perlu lagi disuruh, bahkan mulai mengerjakan shalat-shalat sunnah. Terasa ada sebuah ketenangan yang tak tergambarkan dengan kata-kata setiap kali saya wudhu dan gelar sajadah serta sujud di atasnya. 


Tapi, kalau boleh jujur saya mulai betul-betul merasa membutuhkan shalat, mulai tidak merasakan shalat menjadi beban lagi, mulai tidak malas lagi untuk bergegas shalat begitu mendengar azan adalah setelah papa saya berpulang ke rahmatullah. Berpulangnya beliau sungguh adalah sebuah big wake-up call, tamparan keras dalam kehidupan, saya mulai merasa selama ini saya bekerja keras dalam "rat race of life" seperti tikus kecil yang berlari kencang dalam roda berputar. Saya merasa sudah jauh berlari tapi sebenarnya tak pernah kemana-mana. Kematian orang yang terkasih menjadi pengingat saya bahwa hidup itu harus punya fokus tertentu dan bukan kita yang menetapkan fokus hidup itu. Karena apapun yang kita kerjakan sehebat apapun toh akan ditinggalkan juga melewati gerbang kematian. Jadi saya mulai berpikir untuk melakukan sesuatu yang nilainya kekal dunia dan akhirat, dan untuk mengidentifikasi sesuatu itu tidak bisa semaunya melainkan harus didasarkan kepada penyerahan diri yang total kepada-Nya. Karena kalau setengah-setengah berserah diri kepada-Nya tapi masih juga berpegang kepada selain-Nya maka itulah yang akan mengundang malapetaka bagi kita sendiri. I have learned the hard way.


Setelah papa tiada semua mulai terasa hambar. Tapi, saya pikir itu dibutuhkan agar saya mau melompat hijrah ke negeri Belanda meninggalkan karir yang tengah melaju pesat dan sekian comfort zone. Tanpa dunia saya diguncangkan saya akan sulit untuk melangkah keluar dari zona nyaman yang cenderung mematikan jiwa itu. Luar biasa memang skenario Allah Ta'ala.


Maka, saya mulai menemukan oase saya di sepetak sajadah yang saya bawa kemana-mana. Di manapun saya berada saya akan shalat, di kereta, di stasiun kereta, di kendaraan, dan saya mulai mensinkronisasi segenap jadwal harian dengan jadwal shalat, karena ingin mengejar shalat di awal waktu. Sebuah hal yang sungguh sangat menantang apalagi setelah saya berumah tangga. Tapi Allah selalu membukakan jalannya.


Shalat adalah hiburan buat saya, pelepas dahaga, saat teduh dan istirahat saya. Jika hati sedang gundah gulana, adukan kepada Allah dalam shalat. Jika sedang bingung, curhat sama Allah dalam shalat. Jika sedang kehabisan ide dan inspirasi, datang kepada Allah meminta dalam shalat. Jika sedang lelah, terhuyung-huyung datang kepadanya dalam shalat. Shalat adalah oase saya. Saya membutuhkan itu, saat ketika merasakan Dia hadir, dekat sekali dalam sebuah ritual sakral yang diturunkan melalui Rasulullah Muhammad saw. Demikian eratnya saya dengan shalat sampai anak-anak saya langsung paham kalau memanggil-manggil saya di rumah dan saya tidak jawab, "Oh, mama is sholating" Karena itu satu-satunya alasan saya tidak menjawab seruan mereka adalah ketika saya sedang beraudiensi dengan Sang Maha Pencipta.


Hidup selalu punya cara untuk menguji kita, membuat kecewa, mematahkan angan dan impian dan bahkan menyeret kita dalam sebuah kesulitan yang panjang. Bagi mereka yang juga tengah menghadapi hal yang serupa, saya hanya punya satu resep menghadapi semuanya dengan selamat dan bahkan bahagia. Dirikan shalat. Perbaiki shalat. Jadikan shalat benar-benar sebagai tiang agama, tonggak keseharian kita, pilar gaya hidup kita. Dan saya bersaksi Dia yang kita hadapkan wajah kita pada saat shalat selalu merespon dan mengganjar dengan jauh melebihi sekadar apa yang kita angankan sehingga shalat betul-betul menyembuhkan saya baik secara lahir maupun batin.


"Hayya alash-shalah - Hayya alal-falah"

Thursday, July 8, 2021

 “Kau kurban tahun ini?”


“Insya Allah”


“Wow hebaat…”


Dalam hati: rasanya tak layak kata hebat itu disematkan pada diri ini. Lha wong harta yang dikurbankan itu dari-Nya semata. Iya memang syariatnya lewat kerja keras kita, masa mau jatuh dari langit? Cara Allah memberi di alam ini selalu melalui ciptaan-Nya yang lain. Itu adabnya.


Saya lantas merenung. Betapa tidak setaranya secuil pengorbanan yang kita persembahkan dengan semua ganjaran yang Dia berikan. Bahkan orang yang tidak berkurban pun tetap Dia rawat dengan baik. 


Apa sebenarnya hakikat kurban? Ketika kita memberikan sesuatu yang pada hakikatnya bukan milik kita, kok bisa disebut berkorban?


Saya hanya bisa membuat jembatan imajinasi lewat sebuah peristiwa dengan anak saya. Suatu hari dia membeli minuman kesayangannya dengan uang jajannya sendiri. Well, uang jajan yang saya berikan kepada dia tentunya. Jadi boleh dikata dia membeli minuman itu dengan uang pemberian orang tuanya. Saat menyeruput minuman di suatu hari yang panas, dia berhenti untuk berbagi minuman itu dengan saya. Padahal saya tidak meminta dan tidak suka juga dengan jenis minuman seperti itu. Tapi saya menangkap niat tulus dia, keinginan berbaginya dan cinta yang dia tampilkan dengan menahan diri tidak untuk menghabiskan minuman itu yang saya yakin dia sangat ingin melakukannya. Maka untuk menyambut niat baiknya itu saya terima tawarannya dan menyeruput sedikit saja untuk kemudia dikembalikan kepadanya. This is apparently the dance of the universe, to give and receive.

 Peran museum ternyata kuat sekali dalam mengedukasi anak-anak. Itu saya perhatikan pada anak laki-laki saya, Elia yang Juni kemarin beranjak usia 9 tahun. Setelah mengunjungi dua museum perang dunia di Normandy (Perancis) dan Bastogne (Belgia) rasa ingin tahunya demikian membuncah. Berbagai film dokumenter dan buku-buku yang berkaitan dengan perang dunia dia lahap sendiri.


Minggu ini dia dan teman sekelompok harus memberikan presentasi dengan alat bantu cardboard yang dia dan teman-temannya desain sendiri. Isinya tentang perang dunia kedua, bagaimana perang dimulai, lantas pihak-pihak mana yang terlibat, termasuk menyisipkan kisah legendaris Anne Frank, seorang gadis Yahudi yang sempat bersembunyi di ruang rahasia di sebuah rumah yang sampai sekarang masih dijadikan museum di kota Amsterdam.


Saya bisa melihat ada perubahan cara pandang dia memandang kehidupan. Bahwa kematian itu hal yang sangat dekat. Apalagi di tengah pandemi seperti ini, isu kematian sudah menjadi pembicaraan sehari-hari. Dan saya senang ketika anak ini dengan akal seusia itu mulai berpikir, “Mama, apa yang terjadi kemudian setelah kematian?”

Semoga pertanyaan ini terus menggema di dalam dirinya, agar dia bisa mempersiapkan diri untuk menyongsong sebuah kehidupan yang pasti akan dijelang…

 Jangan sepelekan kekuatan berdzikir kepada Allah. Pernah ada suatu masa ketika saya sedang dalam sebuah kemelut yang terasa pelik lalu saat mendapatkan saran "anyak-banyak dzikir ya" hal itu dirasa klise. Tapi ternyata tidak sama sekali. Sekarang saya berterima kasih sekali atas saran itu karena sudah membuktikan berkali-kali manfaatnya saat rasanya tak terpikir jalan keluar dari sebuah masalah, saat diri merasa lelah dan tak tahu kemana hidup akan melangkah. Dengan dzikir hati menjadi lebih tenang dan tidak hanya itu, saat dzikir itu rasanya kita tengah menghubungkan diri dengan pusat kekuatan semesta yang luar biasa yang tidak hanya bisa mengubah diri tapi bisa mengubah semesta kita. Dan bumi serta kehidupan di sekitar saya bisa berubah dengan ajaib.


Kadang sering banyak yang curhat kepada saya tentang permasalahan rumah tangga, keluarga atau lain-lainnya. Dan saran yang terbaik yang saya bisa berikan akan bermuara kepada banyak-banyaklah dzikir dan taqwa. Saya tidak punya apa-apa lagi selain itu. Karena itu yang saya alami bisa mengubah hidup saya.


Ternyata dalam Al Quran, dzikir itu pun menjadi kunci yang Allah firmankan kepada Nabi Musa as dan Harun as saat mereka akan menghadapi Firaun yang sedang kuat-kuatnya dan di puncak kejayaan. Allah tidak berpesan, "latihan pidato yang banyak" atau "latihan fisik yang baik" atau mempelajari trik ini atau itu dalam berhadapan face to face dengan Firaun. Yang dipesankan adalah "Janganlah engkau lalai dalam berdzikir kepada-Ku"

Tuesday, July 6, 2021

 Tanah yang berada di seputar pohon akan berubah seiring dengan pertumbuhan pohon. Ia akan semakin besar kemampuannya untuk menyerap air.


Demikian juga jika benih dalam jiwa kita bertumbuh menjadi pohon yang subur dengan taubat nasuha. Maka bumi yang kita pijak menjadi makin makmur. Air pengetahuan makin mudah kita serap. Hal-hal keseharian yang sebelumnya nampak tak bermakna dan begitu-begitu saja tiba-tiba menjadi berbunyi dan kita menjadi bisa mendengar tasbih semesta. Bahwa tak ada sesuatu pun mewujud dan tercipta dengan sia-sia.

 Pemberian Allah


Seringkali kita berpikir bahwa pemberian Allah itu terbatas hal-hal yang bersifat materi. Padahal ketenangan itu pemberian Allah, kesabaran itu pemberian Allah, inspirasi itu pemberian Allah, hal-hal yang kita kerap sepelekan seperti bisa bernafas lega pun sebuah pemberian-Nya yang selama ini kita lalai mengucap terima kasih untuk itu.


Tapi, pemberian-Nya tidak terbatas hanya hal-hal yang kita terima. Ditundanya sebuah pengabulan doa pun sebuah pemberian, karena Dia memberikan sesuatu lain yang lebih pas di saat itu. Bahkan tidak dikabulkannya sebuah permohonan itu pun sebuah pemberian, karena jika hal itu dikabulkan Allah Maha Tahu hanya akan mendatangkan kecelakaan bagi si hamba. 


Karenanya, keterbatasan pun adalah sebuah pemberian, karena Dia Maha Tahu kalau hidup terlalu dilapangkan maka si hamba akan cenderung liar dan menghabiskan usianya dalam ketidakteraturan. Terkena wabah pun sebuah pemberian, yang dengannya beberapa orang ditarik ke jenjang syuhada dan sejahtera di alam barzakhnya dibanding berlama-lama hidup di dunia dalam kelalaian dan berakhir tragis di alam berikutnya.


Pada hakikatnya Dia selalu mengabulkan semua doa, keinginan dan permintaan. Karena kalau ditelusuri tidaklah semua hal itu muncul tak lain karena Dia juga yang menggerakkan di awal waktu. Jadi bisa berdoa, meminta dan menginginkan sesuatu pun adalah sebuah pemberian. 


So you see, kita tengah berada di dalam lautan pemberian-Nya yang sangat luas. Setiap nafas dan detak jantung kita adalah pemberian-Nya. Tinggal Dia ingin melihat bagaimana kita merespon segenap pemberian-Nya itu.

Monday, July 5, 2021

 Ada sebuah kisah klasik tentang saudagar kaya yang berupaya menghindari kematian. Tentu kita sudah bisa menduga akhir kisahnya seperti apa. Tapi di tengah masa pandemi yang banyak manusia menjadi terbagi dalam dua kutub ekstrem dalam menyikapinya - satu kutub menjadi panik dan paranoid dan kutub lain cenderung menganggap remeh bahkan menyangkal keberadaan wabah yang sekarang tengah Allah hadirkan dengan dalih teori ini dan itu - maka kisah ini menjadi relevan jika saya adaptasi dan ceritakan ulang.


Kematian adalah hal yang niscaya. Kita sebagai orang beragama sudah tak asing dengan informasi dari Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa saat manusia berusia 120 hari dalam kandungan maka empat hal dituliskan kepadanya. Kematian adalah salah satunya. Kebetulan di masa pandemi ini, ternyata yang tertulis berpulang di rentang waktu 2020 dan 2021 ini lebih banyak.


Tapi memang kebanyakan manusia cenderung takut mati. Berpisah dengan orang-orang yang dia cintai dan bayangan yang tak jelas tentang apa yang ada setelah kematian membuat ide tentang kematian sendiri bagaikan sebuah horor yang cenderung ia abaikan atau lari darinya. Begitu pula seorang pengusaha kaya ini. Begitu pandemi datang, ia langsung mengisolasi diri dan keluarganya di rumah yang luasnya berhektar-hektar lengkap dengan kolam renang dan padang golf. Semua pegawai yang keluar masuk harus dites dulu. Seorang perawat selalu standby dibagi dalam 3 shift di rumahnya. Jika ia bosan. Ia hanya tinggal pindah dari satu negara ke negara lain terbang dengan pesawat jet pribadinya, karena ia punya rumah dimana-mana.


Suatu hari, penasihat spiritualnya mengabari bahwa ajalnya akan datang dalam beberapa hari ini dan bahwa ia akan meninggal di California, di dalam salah satu villa besarnya yang satu kompleks dengan artis-artis Hollywood papan atas. Merasa tak siap mati, masih ingin berkumpul dengan keluarga, anak-anak dan menyaksikan mereka tumbuh dewasa - maka si pengusaha kaya ini menyiasati untuk pergi dari California, ke sebuah pulau di sekitar kepulauan Hawaii. Berpikir siapa tahu dia bisa menghindari kematian.


Pada saat yang sama, terjadilah percakapan di antara para malaikat yang salah satunya bertugas untuk mencabut nyawa:

"Ada yang aneh dengan catatanku hari ini. Sebelumnya tertulis bahwa aku harus mengambil nyawa si fulan (sang pengusaha kaya) di rumahnya di California. Tapi last minute catatannya berubah menjadi di Hawaii. Apa yang harus kulakukan?"


"Laksanakan perintah yang terbaru." Kata malaikat lainnya.


Dan terjadilah pertemuan yang tak terelakkan antara malaikat maut dan pengusaha yang hendak menghindari kematian tersebut...

 Panggung Dunia


Di atas panggung dunia ini kita harus memainkan peran yang berbeda-beda. Setiap plot cerita sudah didesain oleh Sang Sutradara.


Kadang, naskah skenario yang kita harus mainkan bisa berubah setiap saat. Tak perlu kaget apalagi gusar. Tak ada gunanya. Hanya akan menghabiskan energi yang ada terlebih waktu di atas panggung yang terbatas.


Di satu waktu kadang kita memainkan peran sebagai seorang profesional di kantor, dengan setting ruang kantor yang terletak di lantai 17 menara tinggi. Lengkap dengan fasilitas kendaraan, gadget tercanggih dll. Waktu berlalu, lalu setting bisa berubah. Kadang kita ditempatkan di warung sempit yang kita andalkan pendapatannya untuk penghidupan.

Kadang setting panggung diubah menjadi mengurus anak-anak dan rumah, sebuah pekerjaan yang bahkan tak ada waktu liburnya.


Perhatikanlah, semua settingan panggung itu hanya backdrop yang bersifat sementara, bahkan pemain-pemain lain hanya didatangkan silih berganti. Yang tetap ada adalah diri kita dan Sang Sutradara yang senantiasa menyaksikan. Yang kita anggap hasil jerih payah dan prestasi kita pun sebenarnya sebuah settingan yang Sang Sutradara desain dengan canggih. Demikian halusnya sampai kita tak sadar malah terjebak menjadi kagum kepada diri sendiri.


Kita adalah pemain yang sedang melakukan audisi besar. Panggung pun hanya didirikan dalam tenggat waktu yang terbatas. Ketika saat ajal datang, itu bagaikan panggung yang ditutup. It's over. Saat beraksi sudah habis. Tinggal menunggu respon Sang Sutradara apakah Dia puas atau tidak dengan bagaimana kita merespon apa-apa yang Dia berikan.


Di atas panggung dunia ini, kita hanya memainkan peran. Tak ada istilah peran yang satu lebih keren daripada yang lain. Karena semua adalah desain-Nya.


Di atas panggung dunia ini, duka dan cita bisa merupakan ilusi. Oleh karenanya jangan terlalu bergembira dengan apa yang kita dapatkan dan jangan pula terlalu berduka dengan apa yang luput dari kita. Mainkan saja semuanya dengan suka cita, dengan hati yang ikhlas. Kelelahan dan kepayahan di panggung sementara ini pun hanya bersifat sementara. Keterpisahan dan kesepian yang dirasakan pun tidak nyata adanya sebenarnya. Semua dihadirkan untuk menumbuhkan elemen lain yang ada di dimensi yang berbeda. Sesuatu yang kita bisa petik hasilnya dan disingkapkan ketika semua pagelaran dunia ini usai.