Monday, February 8, 2021

 

INGAT OSHIN

Aktivitas rutin seperti berbelanja ke supermarket akibat badai salju jadinya lebih menantang karena saya harus menembus jalanan yang ditutupi salju tebal yang tingginya melebihi mata kaki dengan suhu udara -5°C. Mungkin mereka yang tinggal di bagian utara bola dunia sudan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tapi untuk ukuran Belanda, badai salju sebesar ini terakhir kali terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Alias fenomena ini tidak lazim akhir-akhir ini.

Untuk menjalaninya dengan relatif nyaman dan tidak kedinginan, maka sebelum keluar rumah pastikan kita memakai jaket musim dingin yang memadai, celana rangkap dengan bahan khusus yang menahan panas tubuh dan sepatu boots khusus untuk dipakai di medan yang dingin dan bersalju. Namun tetap saja, hitungan menit begitu berada di luar, saat udara dingin menerpa kulit kita langsung terasa kering dan lama-lama perih, terutama bagian-bagian ekstremitas yang akan pertama kali langsung terdampak regulasi tubuh untuk mempertahankan panas dengan mengalihkan distribusi panas tubuh ke organ-organ yang lain . Akibatnya ujung-ujung jari kita akan terasa baal dan bahkan terasa sakit. Ada alasannya kenapa banyak orang Barat pergi ke daerah hangat, salah satunya untuk menghindari repotnya menghadapi musim dingin yang bagi sebagian orang - apalagi orang tua dengan asam urat dan rematik akan terasa menyiksa. Sampai di Belanda ada istilah "overwinteren", yaitu pindah ke bagian bumi di selatan yang dirasa lebih hangat untuk menghindari musim dingin.

Awal-awal saya tinggal di Belanda pun merasa tidak nyaman kalau berhadapan dengan musim dingin. Tapi alhamdulillah kemudian saya belajar sesuatu, bahwa dengan menyetel pikiran saya maka respon tubuh saat menghadapi dingin ternyata bisa lebih baik.

Jadi begini, kalau saat kita merasakan dingin lalu mulut kita spontan berkata "hiii...dingiiin..." sambil diikuti hati yang mengeluh, menolak bahkan mengutuk situasi itu. Maka tubuh akan malah semakin menggigil tak karuan. Pikiran kita ternyata memberikan sugesti lebih kepada respon tubuh kepada situasi lingkungan yang ada. Tapi kalau saat kita merasa dingin bahkan ujung-ujung tangan mulai beku dan nyeri disertai senyuman di mulut, dzikir, hati yang riang dan sambil memikirkan sesuatu yang membangkitkan semangat. Maka rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh lingkungan menjadi tidak mengganggu kita lagi.

Buat saya misalkan, saat menempuh jalanan yang diliputi tumpukan salju disertai angin kencang yang membawa butiran-butiran salju yang kadang menghalangi pandangan, maka saya ingat sebuah adegan di film Oshin - film favorit saya waktu zaman SD dulu yang disiarkan di TVRI - saat itu Oshin kecil menempuh badai salju bersama ayahnya. Oshin itu anak yang baik dan kuat, tinggal di keluarga miskin di Jepang yang hanya bisa makan nasi tanpa lauk pauk untuk makan malam. Oshin is my hero to get through the snow storm, as cheesy as it sounds😉

Teknik berpikir seperti ini sering diajarkan orang-orang tua di Belanda. Mereka yang pernah mengalami zaman Perang Dunia Kedua dan kelaparan serta kedinginan di musim dingin yang membeku tanpa cukup sistem penghangat. Yet, they survived. Mereka selalu berpesan "Je moet relativeren!" Kita harus memandang sesuatu tragedi sekalipun dengan sudut pandang lain, bahwa selalu ada kemalangan yang lebih parah dibanding ini. Mirip dengan yang Rasulullah saw,  "Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu". Supaya kita tidak merasa nelongso dengan berpikir bahwa diri ini adalah orang termalang sedunia.

Jadi hati-hati dengan pikiran karena itu punya efek yang dahsyat kepada raga, juga bayangannya akan menjejak mewarnai relung hati di jiwa kita. Kebiasaan berpikir yang baik akan mengundang hal-hal yang baik. Sebaliknya jika kita memelihara pikiran-pikiran buruk maka jangan kaget, output perkataan, raut wajah, inspirasi pun akan sewarna dengan apa yang kita pikirkan. Dan Allah pun akan merespon sebagaimana prasangka kita.

Dalam hidup kita akan selalu berhadapan dengan berbagai "badai salju" yang tak terduga yang membuat kita sulit. Itulah ujiannya, yang hanya dengan itu sifat-sifat sabar, syukur dan tawakal bertumbuh di diri kita. Ingat mekanisme tubuh menghadapi dingin dengan mengalihkan panas tubuhnya ke organ-organ vital tadi? Hidup pun sama, ditutupnya satu pintu misalkan rezeki yang berkurang, diberi ujian dll di satu sisi adalah untuk mengembangkan potensi lain di dalam diri, yang tidak akan tumbuh kecuali mengalami "episode pengeringan" dalam hidup.

Kemudian bekali diri dengan "pakaian hangat" untuk menempuh musim dingin kehidupan yang berupa ilmu-ilmu agama yang akan memandu dan menerangi jalan. Karena ilmu itu syarat agar kita bersabar, seperti pesan Nabi Khidir a.s. kepada Musa a.s.  yang diabadikan dalam surat Al Kahfi , "Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

Sekali lagi ingatlah untuk belajar mengendalikan pikiran kita dengan cara mengusir jauh-jauh pikiran-pikiran yang negatif dan tak produktif serta hanya akan menambah beban hidup itu. Halau dengan dzikir dan ganti dengan pikiran yang lebih menginspirasi dan membangkitkan semangat khususnya dalam menghadapi ujian hidup. Di dalam pengalaman saya hari ini, ingatan saya akan Oshin entah kenapa membuat saya lebih menikmati setiap langkah kaki menembus salju dan bungkukan badan ketika menghadapi badai salju. Domo arigatou, Oshin-san!

Monday, February 1, 2021

 "Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami segera memberikan kebaikan (khairat) kepada mereka? (Tidak) tetapi mereka tidak menyadarinya.

Sungguh orang-orang yang takut Tuhannya, mereka akan sangat berhati-hati."

QS Al Mukminuun [23]:55-57


Hati-hati dengan ujian keberlimpahan. Berlimpah harta, waktu, kesempatan, kemampuan, pertemanan, kepopuleran, kemudahan, kelancaran, kepintaran, dll. Semua itu berpotensi menggelincirkan kita dan membuat kita lupa akan siapa yang mengirimkan semua itu.


Kadang ada karakter sesungguhnya dari seseorang yang hanya ternampakkan ketika ia diberi sebuah peluang lebih. Maka kita sering melihat contohnya ketika orang diberi amanah jabatan malah menjadi menyalahgunakannya. Seseorang diberi kekuasaan yang lebih malah jadi sewenang-wenang. Seseorang diberi kemuliaan sedikit saja lalu jadi melunjak. Sebuah pemberian bisa berfungsi sebagai alat pemancing sifat-sifat buruk yang bersembunyi dan mengendap di sudut-sudut hati, sesuatu yang sebelumnya tak nampak dan menjadi nyata manakala peluangnya ada.


Takutlah selalu akan ujian dan makar Allah. Belum tentu sebuah keberlimpahan adalah sebuah kebaikan (khairat) jika itu malah menjadikan kita menyekutukan-Nya. Na'udzubillahimindzaalik.


(Kajian Suluk Online)

 Waktu kecil saya pernah dijuluki "si tukang kabur". Kalau saya bertengkar sama adik saya kabur. Kalau dimarahi orang tua, saya kabur. Kalau merasa tidak betah di rumah, saya kabur. Punya guru les piano yang galak, langsung berhenti les. Dan pola itu ternyata banyak berulang di kemudian hari. Kalau suasana pekerjaan terasa tidak betah lalu resign dan cari pekerjaan lain. It's a never ending solution...indeed.

Sampai akhirnya saya ditempatkan dalam situasi yang diikat dengan sebuah perjanjian yang kokoh, yaitu akad dalam pernikahan. Sebuah akad yang digambarkan dalam Al Quran sebagai perjanjian kedua terkuat setelah perjanjian para nabi dengan Allah Ta'ala. Sedemikian sulitnya kehidupan dalam pernikahan ini sampai harus diikat dengan perjanjian yang kuat di awal waktu. A promise that we won't give up when things get tough. Di arena ini saya tidak bisa melarikan diri lagi. Harga yang dibayar terlalu mahal, karena sudah melibatkan orang lain dan dihadirkannya anak-anak - amanah dari Allah.
Saya kemudian belajar menerima. Belajar bangkit dari ilusi keterpurukan. Belajar tidak lari dari kenyataan. Dan menerima kehidupan apa adanya. Just the way it is. Karena saya jadi sadar bahwa melarikan diri dari permasalahan tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada. Kita pikir masalahnya selesai, padahal masalah itu adanya di dalam diri kita yang kita bawa kemanapun walaupun berganti pasangan atau pekerjaan sesering apapun. I have learned that running away from our problems is a silly race that we can never win. And yes, anyone can run away, it's super easy. But to stay, confronting our challenges and deal with them. That what's finally makes us strong.

Amsterdam, 1 Februari 2021 / 19 Jumadil Akhir 1442 H
20.54