Waktu kecil saya pernah dijuluki "si tukang kabur". Kalau saya bertengkar sama adik saya kabur. Kalau dimarahi orang tua, saya kabur. Kalau merasa tidak betah di rumah, saya kabur. Punya guru les piano yang galak, langsung berhenti les. Dan pola itu ternyata banyak berulang di kemudian hari. Kalau suasana pekerjaan terasa tidak betah lalu resign dan cari pekerjaan lain. It's a never ending solution...indeed.
Sampai akhirnya saya ditempatkan dalam situasi yang diikat dengan sebuah perjanjian yang kokoh, yaitu akad dalam pernikahan. Sebuah akad yang digambarkan dalam Al Quran sebagai perjanjian kedua terkuat setelah perjanjian para nabi dengan Allah Ta'ala. Sedemikian sulitnya kehidupan dalam pernikahan ini sampai harus diikat dengan perjanjian yang kuat di awal waktu. A promise that we won't give up when things get tough. Di arena ini saya tidak bisa melarikan diri lagi. Harga yang dibayar terlalu mahal, karena sudah melibatkan orang lain dan dihadirkannya anak-anak - amanah dari Allah.
Saya kemudian belajar menerima. Belajar bangkit dari ilusi keterpurukan. Belajar tidak lari dari kenyataan. Dan menerima kehidupan apa adanya. Just the way it is. Karena saya jadi sadar bahwa melarikan diri dari permasalahan tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada. Kita pikir masalahnya selesai, padahal masalah itu adanya di dalam diri kita yang kita bawa kemanapun walaupun berganti pasangan atau pekerjaan sesering apapun. I have learned that running away from our problems is a silly race that we can never win. And yes, anyone can run away, it's super easy. But to stay, confronting our challenges and deal with them. That what's finally makes us strong.
Amsterdam, 1 Februari 2021 / 19 Jumadil Akhir 1442 H
20.54
No comments:
Post a Comment