Friday, March 29, 2019

Kulihat engkau disana
Tergeletak di atas jalan
Bersama barang bekas lain yang dijajakan.

“Hoeveel kost dit Meneer?” Kutanya sang penjual berapa dia membandrolmu.
“Sepuluh euro” jawabnya. “Karpet ini bagus untuk alas kaki atau keset di pintu.” Lanjut sang penjual.

“Oh, bukan meneer. Ini bukan karpet biasa. Ini karpet untuk shalat.” Sambil aku peragakan gerakan sujud di atasnya.

“Oh maaf, saya tidak bermaksud menghina.”

“Het is oke, saya percaya Meneer tidak bermaksud demikian.”

Kubawa kau pulang.
Agar tak ada yang membelimu untuk alas kaki atau keset pintu.
Karena engkau diciptakan bukan untuk itu.

Semoga suatu saat nanti kau bisa menjadi saksi yang baik akan percakapan-percakapan intim dengan-Nya dalam sujudku bersamamu, juga bersama anak-anak dan mungkin cucu dan cicitku. Wallahu’alam

Welcome to the family, sajadah baruku.
PHAGOCYTOSIS
Tubuh kita memiliki mekanisme canggih untuk mengeluarkan kuman dan zat yang berbahaya di tingkat sel, namanya "Phagocytosis" (fagositosis). Proses ini yang menjadi dasar mekanisme pertahanan tubuh (imunitas), agar seseorang tidak sakit.
Prinsip bekerjanya sangat sederhana. Sel pertahanan yang beragam itu harus terlebih dulu mengidentifikasi kemudian melakukan kontak dengan kuman dan racun. Kemudian sel pertahanan tubuh itu akan melumatnya untuk kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh. Demikianlah Allah mencipta tubuh kita demikian canggih hingga ia bisa mempertahankan dan membersihkan dirinya sendiri di tingkat seluler.
Dalam hidup pun proses "Phagocytosis" ini ada. Ia berupa mekanisme Ilahiyah yang berfungsi meruntuhkan waham, membersihkan penyakit hati dan membebaskan hati dari berbagai ikatan dan dominasi yang tidak haq.
Proses pembersihan ini terjadi kadang dalam bentuk dibuat usahanya bangkrut, ditipu orang, barang dicuri dsb untuk membersihkan kelebihan harta yang tidak haq. Barangkali pernah kurang zakatnya, barangkali pernah sedikit curang dalam bisnis atau di pekerjaan, barangkali ada saudara atau tetangga yang pernah butuh pertolongan tapi tidak kita perhatikan dsb. Apapun itu proses pengambilan sesuatu dari diri seseorang biasanya berupa sebuah proses pembersihan yang menyehatkan bagi jiwanya.
Proses pembersihan bisa datang berupa sulit mencari kerja, sulit mendapatkan jodoh, sulit mendapatkan keturunan, karena barangkali ada sesuatu hal yang dilakukan di masa lampau yang melahirkan konsekuensi penundaan dikabulkannya doa atau keinginan tersebut.
Apapun fenomenanya - yang biasanya berupa hal yang tidak mengenakkan- ia merupakan mekanisme peruntuhan hal-hal yang tidak haq dalam diri. Barangkali ada pemikiran yang kurang lurus, perasaan yang menyimpang, logika yang kurang ajeg, kecintaan yang berlebihan kepada ciptaan-Nya dll.
Demikianlah "phahocytosis" di level kehidupan berfungsi membersihkan diri sang insan agar ia semakin mendekati fitrah diri, mata air kebahagiaannya yang sejati.
Seorang muslim adalah ia yang berserah diri, percaya penuh kepada Allah saat sedang diberikan terapi kehidupan. Dijalaninya dengan hati yang yakin bahwa sesakit apapun mekanismenya, selama apapun masa penantiannya, sepedih apapun hati menghadapinya, Allah Ta'ala sedang menyembuhkan dirinya dan menjadikannya manusia yang lebih baik lagi.
Wallahu'alam

"Mama, look at my muscle!" the four year-old boy posing as one of his superhero character.
"That's awesome sweetheart. But do you know that being strong is not always about how strong your muscle is. The most important thing is about acceptance."
"What is acceptance?"
"It's the ability to be okay with what is..."
*morning conversation

Agar Menjadi Insan Yang Berbuah


“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.” (QS Huud : 7)

Enam masa penciptaan meliputi empat masa pembentukan bumi, gunung-gunung serta rezeki di dalamnya (QS Fushshilat: 9-12) dan dua hari terakhir adalam mengembangkan langit menjadi tujuh buah langit. Jika direnungkan, untuk apa Allah Yang Maha Kuasa, yang bisa menciptakan seluruh alam dalam sekejap mata harus ‘repot-repot’ membentangkan masa penciptaan menjadi enam masa?

Inilah luar biasanya Allah Dzat Yang Maha Kasih. Kita tengah berhadapan dengan Dzat yang hanya ingin memberi yang terbaik. Kalau manusia biasanya mengejar sesuatu karena ada hal yang diinginkan darinya. Tapi tidak bagi Allah, Dia menarik manusia agar Dia bisa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya. Oleh karenanya kepentingan digelarnya waktu penciptaan menjadi enam masa sungguh untuk kepentingan si hamba sendiri. Dalam kalimat Albert Einstein kira-kira beliau berkata bahwa alasan diciptakannya dimensi waktu adalah agar semua hal tidak terjadi pada saat yang bersamaan. Bayangkan semua peristiwa terjadi bersamaan sejak lahir hingga dewasa, tentu banyak hal yang akan kita luputkan pesan yang disampaikan karena semua terjadi terlalu cepat.

Maka empat masa pembentukan bumi adalah sejalan dengan empat puluh tahun kehidupan manusia di muka bumi sejak ia dilahirkan dari rahim ibu hingga ia sampai ke usia “life begins at forty. Lima windu lamanya setiap orang ditempa oleh takdir hidup yang beragam. Silakan sediakan waktu bertafakur sejenak sambil mengingat kembali penggal waktu kehidupan yang telah dijalani pada kurun usia 0-8 tahun, 8-16 tahun, 16-32 tahun, dan 32-40 tahun. Pasti ada sekian banyak kejadian yang membentuk takdir hidup kita yang meninggalkan jejak ke jiwa kita. Itulah pada dasarnya pembelajaran yang Allah turunkan, sangat spesifik dan khas diturunkan untuk setiap jiwa. Sebagaimana Rasulullah saw sabdakan, “Jalan menuju Allah sebanyak nafs (jiwa) hamba-Nya”. Artinya setiap kita – bahkan bagi orang yang kembar siam sekalipun pasti menjalani sungai takdir kehidupan yang berbeda.

Apa target dari sebuah pembelajaran selama 40 tahun itu? Agar memasuki usia 40 tahunan, seseorang sudah matang jiwanya untuk dikembangkan menjadi tujuh lapis langit. Sebagaimana raga bertumbuh dari bayi hingga bertubuh dewasa, maka jiwa pun harus tumbuh. Hanya pertumbuhan jiwa berbeda dengan pertumbuhan badan. Yang tumbuh di dalam jiwa adalah akalnya. Tujuh lapis langit juga menggambarkan tujuh tingkatan akal mulai dari fu’ad hingga lubb. Istilah dalam Al Quran bagi orang yang sudah memiliki “lubb” disebut dengan ulil albaab.

Jika akal jiwa mulai tumbuh, seseorang akan semakin bijak, semakin matang, semakin tidak emosi, semakin tidak mudah dibuat ruwet oleh fenomena dunia, ia akan semakin bisa berdamai dengan takdir kehidupan. Hari demi hari ia jalani dalam sabar dengan ujian-Nya, syukur dengan pemberian-Nya, serta ridho dengan ketetapan-Nya. Hingga kemudian jika ia mencapai usia 60-70 tahunan itulah usia yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai usia panen umatnya.

Jika kita bicara panen, maka biasanya yang dipanen adalah hasil dari suatu tumbuhan. Ini menarik, karena hadits lain Rasulullah yang dikutip oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani dalamkitab Sirrur Asrar menggambarkan sebuah pohon sebagai berikut:

Syariat sebagai pohon, thariqah sebagai cabang pohon atau ranting-rantingnya, dedaunan pohon sebagai ma’rifat dan buah pohon sebagai haqiqat.

Haqiqat adalah buah yang bisa dipetik dari setiap insan yang bertumbuh, jika ia berserah diri menjalani setiap takdir kehidupan dengan suka cita. Haqiqat inilah kesejatian yang ingin diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kita mengenal istilah “kebahagiaan hakiki” – dari kata haqiqat, artinya kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan semu yang bersifat sementara dan mudah pudar. Berdasarkan skema hadits tentang gambaran pohon di atas, maka haqiqat itu harus dicapai dengan ma’rifatullah. Sedangkan hadits lain menerangkan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” Barangsiapa mengenal dirinya akan mengenal Rabbnya. Jadi syarat untuk mengenal Rabb adalah mengenal diri sendiri dulu. Untuk mengenal diri inilah jalan suluk mesti ditempuh dalam jalan thariqah. Agar setiap kita menjadi hamba yang dibanggakan Allah dan Rasul-Nya, membuat senang Sang Penanam benih, karena kita bisa mengeluarkan buah pribadinya masing-masing. Wallahu’alam.

Tuesday, March 26, 2019

“Guru, doakan proyekku yang bernilai milyaran ini berhasil. Dengannya aku bisa berderma lebih banyak dan lebih bahagia.” 

“Anakku, kalau kau tidak bisa bahagia dengan rezeki yang ada, lantas bagaimana pula kau bisa bahagia dengan rezeki yang melimpah itu?”

***
Wear gratitude like a cloak and it will feed every corner of your life.

  • Jalaluddin Rumi

Monday, March 25, 2019

Hati Yang Syukur Memancing Rezeki

Seorang ibu menceritakan pengalamannya naik angkot (angkutan umum) di kota Bandung. Siang itu beliau satu-satunya penumpang di dalam angkot tersebut, sepanjang jalan tak ada satu pun penumpang yang naik bahkan hingga angkot itu hampir tiba di pemberhentian terakhir.

“Hari ini sepi Mang?”tanya sang ibu yang duduk di sebelah bapak pengemudi angkot itu.

“Iya bu, hampir setiap hari begini. Nanti kalau waktunya anak sekolah bubaran baru rame.”

“Tapi kalau Mang hanya bawa satu penumpang begini rugi dong?”kejar sang ibu lagi.

“Iya sih, satu rit modal bensinnya saja dua puluh ribu bu, tapi ya namanya usaha dijalani saja.” Jawab pak pengemudi angkot dengan tenang.

Ketika sang ibu turun dari angkot ia menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan.

“Tak perlu kembali Mang, hitung-hitung ganti bensin.”
“Eh bu, jangan…” tolak sang bapak.

Tapi sang ibu sudah terlanjur berjalan menjauh.

***
Di hari yang berbeda ibu yang sama mengalami pengalaman yang serupa. Beliau naik angkot sebagai satu-satunya penumpang dari terminal awal hingga akhir. Namun sepanjang perjalanan sang abang angkot tak henti-hentinya mengeluh, ugal-ugalan bahkan berkata kasar kepada penumpang yang menolak naik ke dalam angkotnya.
Kata ibu itu, “Tadinya saya sudah siapkan uang lebih untuknya. Tapi melihat kelakuannya yang ugal-ugalan dan kasar saya urungkan niat itu dan hanya memberi dia uang enam ribu rupiah sesuai dengan tarif yang berlaku.”
***
Hati yang bersyukur akan memancing rezeki lahir dan batin.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”(QS Ibrahim [14]: 7)

Friday, March 22, 2019


“Lihatlah kepada orang-orang yang lebih rendah daripada kalian, dan janganlah kalian melihat kepada orang-orang yang berada di atas kalian, karena yang demikian itu lebih patut bagi kalian, supaya kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.”


(HR Bukhari dan Muslim)



Hidup itu harus pintar-pintar menyetel sudut pandang. Kalau gaji Anda Rp 5.000.000 sebulan lalu membandingkan dengan yang bergaji sepuluh atau dua puluh juta, maka angka lima juta itu jadi kerdil rasanya. Sama halnya yang sudah bergaji dua puluh juta lalu memaksakan diri dengan gaya hidup orang yang penghasilannya lima puluh juta, maka ia akan selalu merasa kekurangan.

Namun coba bandingkan dengan ia yang harus mengukur jalanan seharian demi mendapatkan seratus ribu rupiah dengan menembus hujan dan berpeluh keringat bahkan tak jarang harus menggendong anak yang masih balita di pangkuannya.

Jika ingin diberikan hati yang bersyukur maka hati-hati dalam memalingkan pandangan dalam kehidupan. Sesimpel yang diajarkan oleh seorang mursyid, “Jika kamu tidak punya uang, jangan jalan-jalan ke mall”. Kenapa? Karena saat kita ke mall itu membuka berbagai informasi masuk ke indera kita. Tadinya tidak ingin tas itu jadi timbul keinginan membelinya. Tadinya tidak butuh handphone yang itu jadi tiba-tiba merasa butuh meng-upgrade handphone yang masih berfungsi itu. Pasar dunia akan selalu mencari cara untuk membangkitkan keinginan dan hasrat manusia untuk mengejarnya. Sesuatu yang harus diukur dengan cermat dengan jurus 3 K:

1.      Keinginan. Jika memang ada keinginan, harus disesuaikan dengan 2 K lainnya, yaitu.

2.      Kemampuan. Apakah ada uangnya? Dan ini tidak boleh mengganggu pos pengeluaran wajib dan yang telah direncanakan.

3.      Kesempatan. Apakah memang waktunya tepat? Barangnya ada? Apakah dapat ditunda?

Sebenarnya dalam setiap rupiah pendapatan kita, baik itu berupa gaji bulanan atau keuntungan berdagang, maka Allah sudah menentukan peruntukannya dengan presisi. Maka etika yang terbaik saat kita baru gajian atau mendapat untung dalam berbisnis adalah berucap syukur alhamdulillah lalu sempatkan sesaat berdoa kepada-Nya agar dibimbing dalam penyaluran hartanya agar mudah hisab di hari akhir nanti.

Demikianlah salah satu kunci menikmati kehidupan. Mensyukuri apa yang Allah hadirkan ke dalam diri kita per hari ini. Mensyukuri pekerjaan yang ada. Mensyukuri usaha yang dimudahkan. Hanya dengan bersyukur maka pintu nikmat yang berikutnya akan terbuka, insya Allah.

“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”(QS Ibrahim [14]:7)



Thursday, March 21, 2019


“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya” (QS Al Baqarah [2]: 257)

Kegelapan adalah lawan dari cahaya. Ia hadir dalam ketiadaan cahaya. Dunia yang kita tinggali saat ini pada dasarnya adalah alam kegelapan, walaupun sinar matahari menyinari dunia dan membuat manusia hidup dan beraktivitas di dalamnya. Akan tetapi yang dimaksud adalah dalam kegelapan hakikat cahaya yang sesungguhnya. Karena dunia adalah ujung jubah ciptaan Sang Maha Pencipta. Di alam mulk inilah wajahnya Dzahir-Nya Allah Ta’ala dibentangkan hingga ke ufuk yang terjauh. Dimana cahaya berkelindan dengan kegelapan. A twilight zone.

Cahaya adalah bagian dari wajah-Nya, juga salah satu asma-Nya. Dia adalah pembawa kebaikan, kebahagiaan, kesejahteraan, kelimpahan, kehangatan dan kedamaian. Sebaliknya, aspek kejahatan diwakili oleh simbol kegelapan, darinya semua fenomena anti-cahaya berasal. Kebengisan, dendam, pembunuhan, keserakahan, semua hal yang merusak tatanan harmoni dunia dan kehidupan pernah kita saksikan, dan barangkali sedang kita alami dan rasakan.

Kenapa Allah Yang Maha Kuasa membiarkan kejahatan merajalela di muka bumi? Kenapa Dia mengizinkan sebuah pembantaian di dunia? Bagaimana juga dengan anak-anak kecil yang mati kelaparan di sebuah belahan dunia? Atau nasib para saudara kita yang terenggut nyawanya dengan zalim dalam sebuah tindakan aniaya?

Dunia dengan segala fenomena di dalamnya bisa membuat seseorang dibuat bingung bahkan putus harapan kepada Allah. Karena memang membaca dunia tidak bisa mengandalkan akal lahiriah saja. Kebingungan dan ketidaktahuan itu justru sebuah ajakan dari Allah agar manusia mulai mengaktivasi komponen akal batinnya yang memiliki daya nalar yang dahsyat. Hanya manusia dengan akal hati yang hidup, yang disebut dengan “ulil albaab”  yang akan memahami seluruh dinamika kehidupan dalam rentang kehidupannya sendiri dan fenomena yang ada di sekitarnya. Sang “ulil albaab”-lah yang bisa bersaksi “Rabbanaa maa khalaqta haadza baathilaa” , wahai Tuhanku sungguh tidak ada sesuatupun yang Engkau ciptakan sia-sia.

Sebelum seseorang dihidupkan “lubb” (akal hati)nya, maka ia akan senantiasa dalam kebingungan, kecemasan, ketakutan, dan mudah diombang-ambing oleh arus dunia yang akan selalu menguji iman seseorang.

Suluk diantaranya adalah perjalanan untuk menghidupkan akal hati (lubb) tersebut.

Lantas dimulai dari mana?

Dimulai dari mensyukuri hari ini, mensyukuri apapun yang Allah hadirkan dalam genggaman kehidupan kita. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Tangga langit kita ada di atas bumi kehidupan yang tengah kita pijak saat ini juga. Bukan di esok hari. Bukan di bumi yang lain.

Dimulai dari memperbaiki shalat kita. Dimulai dari menertibkan waktu shalat, mengejar shalat di awal waktu, mendisiplinkan diri terutama menjaga waktu shalat shubuh dan shalat maghrib – dua waktu shalat saat pergantian hari malam menuju siang dan sebaliknya yang menjadi kunci turunnya rezeki lahir batin di waktu itu. Kemudian menertibkan wudhu, gerakan shalat, mempelajari kembali bagaimana Rasulullah saw menlakukan wudhu dan shalat. Jadikan shalat sebagai sebuah momen yang sangat dinantikan. Hingga adzan menjadi suatu panggilan kerinduan yang menerangi hati kita. Jika kita memperbaiki sikap terhadap pertemuan khusus antara seorang  hamba dengan Allah, maka yakinlah bahwa Allah Ta’ala akan membalas dengan sebuah kemuliaan yang lebih jauh lagi, karena itulah akhlak-Nya, Dia akan selalu memberi balasan yang terbaik!


Tuesday, March 19, 2019

MIMPI INDAH

Semalam saya bermimpi berjumpa almarhum ayah, namun dalam rupanya yang muda, seperti yang pernah saya lihat dalam kumpulan foto beliau saat masih lajang.


Saya bertanya kepada beliau, hal apa yang paling penting saya lakukan sebagai manusia yang masih menempuh perjalanan di bumi ini. Beliau menjawab, “Shalat neng, jaga shalat!”

Thursday, March 14, 2019

“Kau mau mendatangkan air dari angin nak?”

“Iya, baba”

“Bagaimana caranya?”

Penggalan dialog dalam film “The Boy Who Harnessed The Wind” yang dibuat berdasarkan kisah nyata William Kamkwamba, seorang anak cerdas di negara Malawi, yang terletak di bagian tenggara benua Afrika. Dia membangun kincir angin yang berfungsi sebagai pembangkit listrik dari barang-barang bekas dan bagian sepeda milik ayahnya.

Banjir bandang dan kekeringan yang melanda Malawi mengakibatkan wabah kelaparan di area itu pada tahun 2002 yang merenggut 300 hingga 3000 nyawa. William dan keluarganya adalah keluarga petani yang miskin dan hanya mengandalkan hasil panen untuk hidup, seperti halnya 85% penduduk Malawi yang bertumpu pada hasil panen untuk menyambung hari.

Musim kering yang panjang dan panas membuat panen tak bisa diharapkan. Satu persatu penduduk desa di tempat William dan keluarganya berada mulai meninggalkan tempat itu menuju tempat yang mereka pikir mendatangkan penghidupan yang lebih baik. Satu-satunya sekolah di desa itu pun akan ditutup karena jumlah murid terus berkurang sementara murid yang ada tidak mampu membayar uang sekolah karena orang tua mereka yang kebanyakan para petani mengalami gagal panen, sehingga guru-guru pun tidak mendapat gaji.

William adalah salah satu dari sekian anak didik yang terpaksa putus sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah. Akan tetapi minatnya yang besar kepada ilmu teknik sangat besar. Saat menemukan buku berjudul “Using Energy”  dengan bantuan guru di sekolahnya, matanya berbinar-binar. Di dalam buku itu diterangkan bagaimana cara membuat energi angin menjadi energi listrik. Listrik yang ada dapat digunakan untuk menyalakan lampu untuk belajar serta penerangan di malam hari, menghidupkan radio untuk mendengar berita dan hiburan lagu-lagu reggae khas Afrika, dan yang lebih penting arus listrik bisa mengaktifkan pompa air yang dapat menghisap air sumur untuk dialirkan ke kebun milik mereka.

Dengan dibantu orang tua dan teman-temannya, William membangun kincir angin pembangkit listrik yang kemudian menyelamatkan desa itu dari kelaparan. Karena dengan sistem irigasi dari pompa yang dijalankan oleh kincir angin itu maka para penduduk desa masih bisa menumbuhkan tanaman di musim kering. Saat itu William berusia 14 tahun.

“Saya sedih menyaksikan kesulitan yang melanda desa kami. Saat duduk di padang terbuka saya rasakan tiupan angin kencang menerpa wajah. Lalu saya berkata kepada diri saya sendiri ‘Hei, kita punya banyak angin!’ Dan saat menemukan buku yang mengajarkan bagaimana mengubah energi angin menjadi energi listrik di perpustakaan sekolahku, saat itu aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Kabar penemuan William si anak desa ini cepat menyebar. Dimulai dari sang guru perpustakaan yang mengundang wartawan sekitar untuk menyaksikan karya muridnya ini. Lalu satu persatu wartawan dari dalam dan luar negeri datang ingin melihat secara langsung kincir angin buatan William. Kemudian tawaran beasiswa pun mengalir untuk William, anak cerdas yang putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah ini. Hingga akhirnya ia lulus pada tahun 2007 dari salah satu perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat.

Sepulang dari Amerika, William yang juga pernah dijuluki sebagai “MacGyver” di salah satu wawancara radio di Amerika lebih bersemangat mengembangkan desanya dengan mengajarkan penduduk desa memperbaiki pompa airnya sendiri - hal yang penting bagi petani yang mengandalkan air sumur untuk menyirami ladangnya di musim kering. Ia juga mengajari membuat instalasi lampu tenaga matahari di rumah para penduduk sehingga anak-anak yang kebanyakan membantu orang tua di ladang sepulang sekolah dapat belajar di bawah penerangan cahaya lampu di malam hari. Selain itu ia mengembangkan teknologi biogas yang mengubah kotoran sapi menjadi energi panas yang dapat digunakan untuk memasak yang biasanya menggunakan kayu bakar. Tidak berhenti disana, William juga memperkenalkan penggunaan laptop bagi setiap anak dan membuatkan “egranary”, sebuah kotak yang berfungsi sebagai jaringan lokal yang menyimpan semua informasi akademik, yaitu semacam perpustakaan digital yang dapat diakses offline.

This is a story about how one child, one book and one inspiring teacher can change the world around them.
WINDTHROW

Pohon besar yang rindang dengan dahan yang kokoh bisa tumbang dengan sebuah fenomena bernama "windthrow", yaitu tercerabut dari akar saat terpapar angin kencang. Biasanya karena akar yang kurang kuat. Bisa karena terkena penyakit hingga akar menjadi rapuh, atau karena akar yang tidak menghunjam dalam ke tanah karena sistem pengairan yang kurang baik.

Pohon di dalam Al Quran kerap dijadikan simbol orang yang bertaqwa. Akan tetapi alam mengajarkan bahwa bahkan jika jiwa seseorang bagaikan sudah rimbun daun amal shalihnya dan tinggi besar pohonnya jika tidak ditunjang dengan akar yang baik dan kuat maka konstruksi pohon yang besar itu justru yang akan membuatnya jatuh tertiup angin, terkena fenomena "windthrow".

Akar adalah lambang dari iman. Ia tak nampak di permukaan, menjalar di kegelapan tanah. Seperti halnya tidak bisa kita menilai keimanan seseorang hanya berdasarkan perilaku sekilasnya yang nampak.
Akar akan semakin menghunjam jika tanah di atasnya diberi air dalam jumlah yang pas dalam waktu lama. Air adalah lambang ilmu. Jika seseorang tidak mendapat air ilmu pengetahuan yang haq dalam kadar yang tepat dan berkala maka akar pohon taqwa tak akan menghunjam dalam. Ia hanya menunggu waktu diterpa oleh angin kencang yang akan menumbangkan dirinya, hingga ia tercerabut dari jati dirinya.

Iman memang bukan perkara ringan. Ia adalah pemberian dari-Nya semata bagi hati sang hamba yang mencari dan merindu-Nya. Iman bisa hilang sekejap, kata Rasulullah semudah helai rambut yang dicabut dari tepung. Jika kita lalai mensyukurinya.

"Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sungguh hanya Engkaulah Yang Maha Pemberi karunia." (QS Ali Imran : 8)

Wednesday, March 13, 2019

“Akhirnya aku bertekad untuk memakai jilbab setelah melalui masa perenungan yang cukup lama. Saat aku kemukakan niat itu kepada kedua orang tuaku, ibu menentang dengan keras bahkan aku disuruh memilih antara tetap tinggal bersama mereka atau mempertahankan jilbab dan keyakinanku itu. Sedangkan ayah, seperti biasa lebih terbuka menerimanya, akan tetapi beliau tak berdaya menghadapi ibu yang memang keras kepala.

Keyakinanku sudah demikian kuat. Jika aku menurut apa kata ibuku saat itu aku merasa ada bagian dari diriku yang dikorbankan dan aku tahu aku akan menyesalinya seumur hidupku. Lalu dengan tetap bersikap santun aku coba menjelaskan sudut pandangku. Hingga pada titik dimana aku tahu aku harus mengambil langkah yang pahit dan berat. Mengemas pakaianku dan meninggalkan semua fasilitas yang orang tuaku berikan.

Pada saat itu aku masih kuliah di tingkat pertama. Semua biaya kuliah, kendaraan yang aku bawa setiap hari ke kampus, ongkos dan uang jajan sehari-hari adalah dari orang tua. Satu hal yang aku yakini adalah Allah-lah Sang Maha Pemberi Rezeki. Itulah saat dalam hidup dimana aku belajar melakukan ‘leap of fate’, terjun bebas dan berharap Dia menyelamatkanku. Aku keluar rumah dengan membawa sekantung besar pakaian dan semua kebutuhan kuliah. Tak tahu harus kemana. Air mata tak hentinya mengalir dari pipiku. Perasaan sedih, marah, takut semua menjadi satu. Sedih karena aku harus berpisah dari orang tua yang aku cintai, marah karena aku tidak mengerti mengapa mereka tidak bisa menerima aku apa adanya, dan takut akan nasib studi dan masa depanku.

Untuk beberapa minggu lamanya aku tinggal berpindah-pindah dari tempat kost teman yang satu ke teman yang lain. Hingga akhirnya aku menemukan tempat sewa kamar yang cocok dengan sisa uang di dalam tabunganku. Aktivitas kuliah kembali kutapaki. Alhamdulillah banyak mendapat banyak bantuan dari teman-teman yang mengetahui keadaanku. Hingga akhirnya aku tahu harus melakukan sesuatu untuk menopang kebutuhan hidupku sendiri. Tapi apa pekerjaan yang bisa kulakukan di sela waktu kuliah? Aku berdoa dan berdoa setiap hari. Memohon petunjuk-Nya. Hingga pada suatu malam aku tertidur di atas sajadah setelah berdoa dan bermimpi diriku berada di sebuah sekolah Nasrani ternama di kota tempat aku menuntut ilmu dan aku sedang mengajar disana. Mimpi itu sangat jelas hingga aku masih ingat setiap detilnya bahkan saat terbangun.

Gadis berjilbab mengajar di sekolah Nasrani? Aku bertanya-tanya sendiri akan makna mimpi itu. Walaupun akhirnya timbul ide untuk mengajar Bahasa Inggris, bidang yang sangat aku sukai dan bukan kebetulan kiranya aku memiliki nilai TOEFL yang tinggi. Walau logikaku berkata tidak mungkin, akan tetapi entah kenapa ada dorongan dari dalam hati untuk melaksanakan ide itu. Lalu aku membuat surat lamaran untuk bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di sekolah itu.

Keesokan harinya aku berdiri di depan gerbang sekolah Nasrani ternama itu, tepat di depan papan besar sekolah yang berada di sebelah gerbang masuk. Di tangan kananku tergenggam sebuah map berisi riwayat hidup dan berbagai berkas yang menunjukkan kompetensiku dalam Bahasa Inggris. Hatiku berdegup kencang. Bayangan, ‘worst case scenario’ berkelebat bergantian. Bagaimana kalau aku ditertawakan? Bagaimana kalau aku dihardik? Bagaimana…bagaimana…Hingga tiba-tiba semua bayangan itu buyar oleh sebuah tepukan di pundak kananku.

“De, mau masuk ke dalam sekolah ini?”kata sebuah suara yang datang dari seorang perempuan paruh baya keturunan Tiongkok dengan ramah. Auranya begitu hangat hingga dalam sekejap entah kenapa aku bercerita singkat tentang keadaanku yang butuh biaya untuk melanjutkan kuliah dan mendapat mimpi mengajar di sekolah ini.

“Oh, Ade bisa mengajar Bahasa Inggris? Kebetulan dua anak saya yang sekolah disini butuh les Bahasa Inggris. Apakah Ade mau memberikan les untuk mereka?”

Respon pertamaku hanya tertegun untuk beberapa saat. Tak tahu harus berkata apa. Ini masih bagaikan mimpi buatku.
Singkat cerita, Allah memberiku jalan menyelesaikan kuliah melalui mengajar Bahasa Inggris. Ternyata ibu itu adalah pemilik sebuah pabrik makanan di kota itu. Kadang ia memberi lebih dari apa yang aku butuhkan. Alhamdulillah, kebutuhan kuliah dan sehari-hari Allah cukupkan melalui mengajar Bahasa Inggris di luar waktu kuliah.

Aku masih memikirkan kedua orang tuaku tentunya. Setiap hari. Bagaimanapun sebagai anak mereka semata wayang, hatiku terpaut demikian erat. Pernah suatu hari aku mencoba mengunjungi mereka, tetapi pembantuku mencegahku masuk dan menolak membukakan pagar rumah, katanya ibuku melarangku masuk rumah kecuali aku membuka jilbab. Masya Allah. Perasaan campur aduk itu muncul kembali. Lalu aku bertekad menyelesaikan kuliah dengan baik untuk menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa mandiri dan berprestasi. Dan alhamdulillah aku lulus lebih cepat dengan nilai terbaik hingga aku mendapat prestasi sebagai “mahasiswa terbaik” untuk angkatan kelulusan tahun tersebut.

Dengan bangga aku menelepon ayahku, untungnya beliau selalu membuka saluran komunikasi denganku, anak semata wayangnya. Namun ibu tetap bersikeras tidak mau menerimaku, bahkan menolak untuk menghadiri wisuda jika aku tidak melepas jilbab. Lagi-lagi aku terantuk di masalah yang sama. “

Sepuluh tahun kemudian.

“Itu kisah hidupku mbak, saat ketika aku diajari bahwa Allah yang Maha Memberi Rezeki, jalannya bisa lewat mana saja.”Tuturnya dengan suara yang penuh keyakinan. Sambil memperlihatkan foto wisuda bersama kedua orang tuanya dengan dirinya mengenakan pakaian daerah dan tutup kepala khas daerah – sebagai jalan tengah tetap menutupi aurat dan mengikuti tuntutan ibu yang tanpa kompromi itu-
Happy ending 😊

Tuesday, March 12, 2019

Pagi ini saat mengantar Rumi ke sekolah, sempat membacakan satu buku menarik di sekolahnya. Tentang seorang anak babi bernama Bertje Big (biggetje adalah julukan untuk anak babi) yang sedang mencari identitas. Dia tidak suka berendam di kubangan lumpur seperti anak-anak lainnya. “Ih, kotor!” Katanya sambil pergi dari keluarganya.

Saat bertemu sekawanan sapi di ladang sebelah ia meminta izin untuk jadi bagian keluarga sapi. “Oh tentu boleh, tapi kau harus makan rumput seperti kami lalu siap untuk diperas susunya,” kata induk sapi tersenyum.

Bertje Big mencoba menelan rumput yang tidak dia sukai itu. Rasanya aneh! Pikirnya. Tapi keinginannya yang membara untuk menjadi bagian dari keluarga sapi membuatnya menguatkan diri menelan bulat-bulat rumput basah itu. Sampai pada saat ketika hendak diperah susunya dia menyadari bahwa dirinya tidak punya puting susus seperti kawanan sapi lain. Akhirnya dia pergi meninggalkan identitasnya sebagai sapi.

Bertje Big kemudian menemui tuan kuda yang gagah di kandang sebelah. Aku mau jadi bagian dari keluarga kuda saja! Tekadnya dalam hati. Makanannya pun lebih enak dari sapi pikirnya sambil tersenyum.

“Tentu kau bisa saja menjadi bagian dari keluarga kami” kata Oom Kuda. “Tapi setiap hari kau harus berlari seperti aku berlari!” Dan ia melesat kencang meninggalkan jejak debu yang beterbangan diantara tubuh kecil Bertje Big yang kepayahan mengejarnya berlari.

Bertje Big pun tahu diri untuk tidak memaksakan diri menjadi bagian dari keluarga binatang yang dapat berlari kencang itu. Akhirnya ia menuju kandang terakhir di peternakan itu. Masih dengan nafas tersengal-sengal ia mencoba mendekati kawanan domba dan meminta izin untuk menjadi bagian dari keluarga mereka.

“Kau yakin ingin jadi bagian dari keluarga kami? Silakan saja jika kau bisa membiarkan seluruh bulu yang ada di sekujur badanmu untuk diberikan kepada manusia.” Kata sang domba sambil membawa Bertje Big ke dalam kandang tempat domba lain sedang dicukur bulunya oleh sang petani.

Bertje Big kaget sekali melihatnya. Ia juga sadar bahwa dirinya tidak punya bulu setebal kawanan domba untuk diberikan kepada tuannya.

Akhirnya Bertje Big pun kembali pulang dan berkumpul dengan kawanannya sendiri.

=====

Dalam sebuah pengajian mursyid saya memberikan perumpamaan sebuah gelas untuk menjelaskan sebuah fungsi hidup. Gelas dibuat oleh manusia dengan sebuah tujuan, sebagai wadah untuk minum. Gelas yang sama tentu bisa dibuat untuk menyiram tanaman, tempat pensil, atau bahkan untuk melempar. Tapi sang gelas hanya akan bahagia dan diperlakukan adil hanya kalau dia difungsikan sebagai gelas minum. Mirip yang dikisahkan oleh Rumi tentang sebuah pedang raja yang dipakai untuk memotong daging. Tentu memang sama-sama tajam, akan tetapi desain dan peruntukannya sudah berbeda.

Setiap orang dicipta untuk peruntukan yang berbeda-beda. Walaupun sama-sama berperan sebagai ibu, dokter, pebisnis, penulis, akuntan, pegawai negeri, seniman dsb tapi setiap orang punya ciri khas dan bidang spesifiknya masing-masing. Temukan itu, agar tidak pontang-panting mencari mata air kebahagiaan sejati seperti Bertje Big.


Monday, March 11, 2019

“Kadang petani suka menemukan tulang belulang atau emblem tentara saat mengolah tanah sekitar sini.” Tutur Teh Lien yang sudah hampir 20 tahun tinggal di daerah Perancis. Saat itu kami sedang mengunjungi pemakaman di Gauche Wood yang merupakan tempat dimana jenazah para tentara Inggris yang gugur di Perang Dunia Pertama dikuburkan. Pemakaman ini hanya satu dari sekian banyak pemakaman yang tersebar di daerah Villers-Guislain, Perancis Utara ini. Jika ada jenazah yang berupa tulang belulang ditemukan maka akan dilakukan tes DNA untuk menelusuri keluarga yang bersangkutan. Diperkirakan sekitar 600.000 prajurit Inggris gugur di medan perang dalam pertempuran Epehy yang terjadi pada 18 September 1918 sebagai gerakan melawan pasukan Jerman yang bergerak mendekati Perancis.

Pertempuran yang dimulai pada dini hari pukul 5.20 itu berlangsung sengit dengan dibantu oleh 6.800 pasukan dari divisi pertama dan keempat negara Australia. Walaupun hasil akhir pertempuran di Epehy ini bukan merupakan kesuksesan yang besar, akan tetapi sudah menandakan bahwa pasukan Jerman mulai melemah. Hal ini kemudian menjadi dasar dilakukan aksi militer selanjutnya dengan pertempuran di Kanal St. Quentin.

Satu abad kemudian.

Saya berhenti di sebelah pusara 43 prajurit Inggris yang dimakamkan di Gauche Wood dalam hening, hanya terdengar angin bertiup kencang. Andai mereka dapat bicara dan menceritakan apa yang terjadi pada saat itu. Bagaimana kerasnya dan kejamnya medan  perang. Bagaimana mereka kehilangan nyawa dalam sesaat tersabet oleh peluru kaliber besar yang didesain satu, untuk menghilangkan nyawa orang yang disasar. Bagaimana mereka tidak pernah bertemu kembali orang-orang yang mereka cintai, orang tua, istri, anak dan keluarga.

Di tengah kegilaan medan perang itu mereka bertahan. Tiarap menghindari terjangan peluru tajam. Lari tergopoh-gopoh menyelamatkan diri dari ledakan granat. Di saat genting seperti itu, dimana nyawa bisa hilang dalam hitungan detik adalah mudah untuk mundur ke belakang dan melarikan diri, seperti yang dilakukan oleh beberapa prajurit yang mangkir, jumlahnya ratusan. Yet, they stayed. Walaupun akhirnya harus kehilangan nyawanya.

Seratus tahun kemudian.

Dunia berubah. Tidak ada perang dunia. Setidaknya saat ini.
Namun kita kerap lupa, bahwa keadaan damai seperti ini bukan datang begitu saja. Sebuah perjuangan panjang harus ditempuh dan ditebus oleh nyawa para pendahulu kita. Lantas kita yang hidup di era damai, yang diberi banyak waktu, keluangan, demikian banyak sumber daya untuk menuntut ilmu malah sering terlalaikan  oleh hal-hal yang tidak penting. Menghabiskan waktu dalam sesuatu yang bukan urusannya. Mengerdilkan potensi dahsyat  yang ada dalam dirinya dengan hanya mengejar hal yang remeh-temeh.

Melihat jajaran pusara di pemakaman Gauche Wood.

Saya dibuat termenung. Oleh betapa nisbinya hiruk-pikuk kehidupan. Oleh betapa hidup kita terlalu singkat dalam rentang pagelaran manusia hingga akhir masa ini. Pertanyaannya adalah. Apa yang harus kita perbuat dalam penggal waktu yang sangat singkat ini? Berkutat di zona nyaman atau ‘berperang’ dengan kemalasan dan sekian rasa takut dalam diri dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam tangan Tuhan yang gaib.

Jajaran pusara itu tenggelam dalam sepi.

Namun gaung semangat yang mereka kobarkan masih terasa. Semangat tentang keberanian. Berani melawan arus kehidupan. Berani dikatakan gagal oleh masyarakat. Berani dibilang miskin. Berani keluar dari zona nyaman. Berani kalah. Berani tidak dianggap. Berani dilecehkan. Berani difitnah. Berani menjalani karsa-Nya untuk membuka gulungan kitab kehidupan diri sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, “Jangan merasa puas dengan kisah-kisah, bagaimana hidup berjalan bagi orang lain. Bentangkanlah kisah dirimu sendiri.”