“Kau mau mendatangkan air dari angin nak?”
“Iya, baba”
“Bagaimana caranya?”
Penggalan dialog dalam film “The Boy Who Harnessed The Wind” yang dibuat berdasarkan kisah nyata William Kamkwamba, seorang anak cerdas di negara Malawi, yang terletak di bagian tenggara benua Afrika. Dia membangun kincir angin yang berfungsi sebagai pembangkit listrik dari barang-barang bekas dan bagian sepeda milik ayahnya.
Banjir bandang dan kekeringan yang melanda Malawi mengakibatkan wabah kelaparan di area itu pada tahun 2002 yang merenggut 300 hingga 3000 nyawa. William dan keluarganya adalah keluarga petani yang miskin dan hanya mengandalkan hasil panen untuk hidup, seperti halnya 85% penduduk Malawi yang bertumpu pada hasil panen untuk menyambung hari.
Musim kering yang panjang dan panas membuat panen tak bisa diharapkan. Satu persatu penduduk desa di tempat William dan keluarganya berada mulai meninggalkan tempat itu menuju tempat yang mereka pikir mendatangkan penghidupan yang lebih baik. Satu-satunya sekolah di desa itu pun akan ditutup karena jumlah murid terus berkurang sementara murid yang ada tidak mampu membayar uang sekolah karena orang tua mereka yang kebanyakan para petani mengalami gagal panen, sehingga guru-guru pun tidak mendapat gaji.
William adalah salah satu dari sekian anak didik yang terpaksa putus sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah. Akan tetapi minatnya yang besar kepada ilmu teknik sangat besar. Saat menemukan buku berjudul “Using Energy” dengan bantuan guru di sekolahnya, matanya berbinar-binar. Di dalam buku itu diterangkan bagaimana cara membuat energi angin menjadi energi listrik. Listrik yang ada dapat digunakan untuk menyalakan lampu untuk belajar serta penerangan di malam hari, menghidupkan radio untuk mendengar berita dan hiburan lagu-lagu reggae khas Afrika, dan yang lebih penting arus listrik bisa mengaktifkan pompa air yang dapat menghisap air sumur untuk dialirkan ke kebun milik mereka.
Dengan dibantu orang tua dan teman-temannya, William membangun kincir angin pembangkit listrik yang kemudian menyelamatkan desa itu dari kelaparan. Karena dengan sistem irigasi dari pompa yang dijalankan oleh kincir angin itu maka para penduduk desa masih bisa menumbuhkan tanaman di musim kering. Saat itu William berusia 14 tahun.
“Saya sedih menyaksikan kesulitan yang melanda desa kami. Saat duduk di padang terbuka saya rasakan tiupan angin kencang menerpa wajah. Lalu saya berkata kepada diri saya sendiri ‘Hei, kita punya banyak angin!’ Dan saat menemukan buku yang mengajarkan bagaimana mengubah energi angin menjadi energi listrik di perpustakaan sekolahku, saat itu aku tahu apa yang harus kulakukan.”
Kabar penemuan William si anak desa ini cepat menyebar. Dimulai dari sang guru perpustakaan yang mengundang wartawan sekitar untuk menyaksikan karya muridnya ini. Lalu satu persatu wartawan dari dalam dan luar negeri datang ingin melihat secara langsung kincir angin buatan William. Kemudian tawaran beasiswa pun mengalir untuk William, anak cerdas yang putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah ini. Hingga akhirnya ia lulus pada tahun 2007 dari salah satu perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat.
Sepulang dari Amerika, William yang juga pernah dijuluki sebagai “MacGyver” di salah satu wawancara radio di Amerika lebih bersemangat mengembangkan desanya dengan mengajarkan penduduk desa memperbaiki pompa airnya sendiri - hal yang penting bagi petani yang mengandalkan air sumur untuk menyirami ladangnya di musim kering. Ia juga mengajari membuat instalasi lampu tenaga matahari di rumah para penduduk sehingga anak-anak yang kebanyakan membantu orang tua di ladang sepulang sekolah dapat belajar di bawah penerangan cahaya lampu di malam hari. Selain itu ia mengembangkan teknologi biogas yang mengubah kotoran sapi menjadi energi panas yang dapat digunakan untuk memasak yang biasanya menggunakan kayu bakar. Tidak berhenti disana, William juga memperkenalkan penggunaan laptop bagi setiap anak dan membuatkan “egranary”, sebuah kotak yang berfungsi sebagai jaringan lokal yang menyimpan semua informasi akademik, yaitu semacam perpustakaan digital yang dapat diakses offline.
This is a story about how one child, one book and one inspiring teacher can change the world around them.
No comments:
Post a Comment