Thursday, March 21, 2019


“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya” (QS Al Baqarah [2]: 257)

Kegelapan adalah lawan dari cahaya. Ia hadir dalam ketiadaan cahaya. Dunia yang kita tinggali saat ini pada dasarnya adalah alam kegelapan, walaupun sinar matahari menyinari dunia dan membuat manusia hidup dan beraktivitas di dalamnya. Akan tetapi yang dimaksud adalah dalam kegelapan hakikat cahaya yang sesungguhnya. Karena dunia adalah ujung jubah ciptaan Sang Maha Pencipta. Di alam mulk inilah wajahnya Dzahir-Nya Allah Ta’ala dibentangkan hingga ke ufuk yang terjauh. Dimana cahaya berkelindan dengan kegelapan. A twilight zone.

Cahaya adalah bagian dari wajah-Nya, juga salah satu asma-Nya. Dia adalah pembawa kebaikan, kebahagiaan, kesejahteraan, kelimpahan, kehangatan dan kedamaian. Sebaliknya, aspek kejahatan diwakili oleh simbol kegelapan, darinya semua fenomena anti-cahaya berasal. Kebengisan, dendam, pembunuhan, keserakahan, semua hal yang merusak tatanan harmoni dunia dan kehidupan pernah kita saksikan, dan barangkali sedang kita alami dan rasakan.

Kenapa Allah Yang Maha Kuasa membiarkan kejahatan merajalela di muka bumi? Kenapa Dia mengizinkan sebuah pembantaian di dunia? Bagaimana juga dengan anak-anak kecil yang mati kelaparan di sebuah belahan dunia? Atau nasib para saudara kita yang terenggut nyawanya dengan zalim dalam sebuah tindakan aniaya?

Dunia dengan segala fenomena di dalamnya bisa membuat seseorang dibuat bingung bahkan putus harapan kepada Allah. Karena memang membaca dunia tidak bisa mengandalkan akal lahiriah saja. Kebingungan dan ketidaktahuan itu justru sebuah ajakan dari Allah agar manusia mulai mengaktivasi komponen akal batinnya yang memiliki daya nalar yang dahsyat. Hanya manusia dengan akal hati yang hidup, yang disebut dengan “ulil albaab”  yang akan memahami seluruh dinamika kehidupan dalam rentang kehidupannya sendiri dan fenomena yang ada di sekitarnya. Sang “ulil albaab”-lah yang bisa bersaksi “Rabbanaa maa khalaqta haadza baathilaa” , wahai Tuhanku sungguh tidak ada sesuatupun yang Engkau ciptakan sia-sia.

Sebelum seseorang dihidupkan “lubb” (akal hati)nya, maka ia akan senantiasa dalam kebingungan, kecemasan, ketakutan, dan mudah diombang-ambing oleh arus dunia yang akan selalu menguji iman seseorang.

Suluk diantaranya adalah perjalanan untuk menghidupkan akal hati (lubb) tersebut.

Lantas dimulai dari mana?

Dimulai dari mensyukuri hari ini, mensyukuri apapun yang Allah hadirkan dalam genggaman kehidupan kita. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Tangga langit kita ada di atas bumi kehidupan yang tengah kita pijak saat ini juga. Bukan di esok hari. Bukan di bumi yang lain.

Dimulai dari memperbaiki shalat kita. Dimulai dari menertibkan waktu shalat, mengejar shalat di awal waktu, mendisiplinkan diri terutama menjaga waktu shalat shubuh dan shalat maghrib – dua waktu shalat saat pergantian hari malam menuju siang dan sebaliknya yang menjadi kunci turunnya rezeki lahir batin di waktu itu. Kemudian menertibkan wudhu, gerakan shalat, mempelajari kembali bagaimana Rasulullah saw menlakukan wudhu dan shalat. Jadikan shalat sebagai sebuah momen yang sangat dinantikan. Hingga adzan menjadi suatu panggilan kerinduan yang menerangi hati kita. Jika kita memperbaiki sikap terhadap pertemuan khusus antara seorang  hamba dengan Allah, maka yakinlah bahwa Allah Ta’ala akan membalas dengan sebuah kemuliaan yang lebih jauh lagi, karena itulah akhlak-Nya, Dia akan selalu memberi balasan yang terbaik!


No comments:

Post a Comment