“Allah Pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya”
(QS Al Baqarah [2]: 257)
Kegelapan adalah lawan dari cahaya. Ia
hadir dalam ketiadaan cahaya. Dunia yang kita tinggali saat ini pada dasarnya
adalah alam kegelapan, walaupun sinar matahari menyinari dunia dan membuat
manusia hidup dan beraktivitas di dalamnya. Akan tetapi yang dimaksud adalah
dalam kegelapan hakikat cahaya yang sesungguhnya. Karena dunia adalah ujung
jubah ciptaan Sang Maha Pencipta. Di alam mulk inilah wajahnya Dzahir-Nya Allah
Ta’ala dibentangkan hingga ke ufuk yang terjauh. Dimana cahaya berkelindan
dengan kegelapan. A twilight zone.
Cahaya adalah bagian dari wajah-Nya, juga
salah satu asma-Nya. Dia adalah pembawa kebaikan, kebahagiaan, kesejahteraan,
kelimpahan, kehangatan dan kedamaian. Sebaliknya, aspek kejahatan diwakili oleh
simbol kegelapan, darinya semua fenomena anti-cahaya berasal. Kebengisan, dendam,
pembunuhan, keserakahan, semua hal yang merusak tatanan harmoni dunia dan
kehidupan pernah kita saksikan, dan barangkali sedang kita alami dan rasakan.
Kenapa Allah Yang Maha Kuasa membiarkan
kejahatan merajalela di muka bumi? Kenapa Dia mengizinkan sebuah pembantaian di
dunia? Bagaimana juga dengan anak-anak kecil yang mati kelaparan di sebuah
belahan dunia? Atau nasib para saudara kita yang terenggut nyawanya dengan
zalim dalam sebuah tindakan aniaya?
Dunia dengan segala fenomena di dalamnya
bisa membuat seseorang dibuat bingung bahkan putus harapan kepada Allah. Karena
memang membaca dunia tidak bisa mengandalkan akal lahiriah saja. Kebingungan
dan ketidaktahuan itu justru sebuah ajakan dari Allah agar manusia mulai
mengaktivasi komponen akal batinnya yang memiliki daya nalar yang dahsyat.
Hanya manusia dengan akal hati yang hidup, yang disebut dengan “ulil albaab” yang akan memahami seluruh dinamika kehidupan
dalam rentang kehidupannya sendiri dan fenomena yang ada di sekitarnya. Sang “ulil
albaab”-lah yang bisa bersaksi “Rabbanaa maa khalaqta haadza baathilaa” , wahai
Tuhanku sungguh tidak ada sesuatupun yang Engkau ciptakan sia-sia.
Sebelum seseorang dihidupkan “lubb” (akal
hati)nya, maka ia akan senantiasa dalam kebingungan, kecemasan, ketakutan, dan
mudah diombang-ambing oleh arus dunia yang akan selalu menguji iman seseorang.
Suluk diantaranya adalah perjalanan untuk
menghidupkan akal hati (lubb) tersebut.
Lantas dimulai dari mana?
Dimulai dari mensyukuri hari ini, mensyukuri
apapun yang Allah hadirkan dalam genggaman kehidupan kita. Dimana bumi dipijak
disitu langit dijunjung. Tangga langit kita ada di atas bumi kehidupan yang
tengah kita pijak saat ini juga. Bukan di esok hari. Bukan di bumi yang lain.
Dimulai dari memperbaiki shalat kita.
Dimulai dari menertibkan waktu shalat, mengejar shalat di awal waktu, mendisiplinkan
diri terutama menjaga waktu shalat shubuh dan shalat maghrib – dua waktu shalat
saat pergantian hari malam menuju siang dan sebaliknya yang menjadi kunci
turunnya rezeki lahir batin di waktu itu. Kemudian menertibkan wudhu, gerakan
shalat, mempelajari kembali bagaimana Rasulullah saw menlakukan wudhu dan
shalat. Jadikan shalat sebagai sebuah momen yang sangat dinantikan. Hingga
adzan menjadi suatu panggilan kerinduan yang menerangi hati kita. Jika kita
memperbaiki sikap terhadap pertemuan khusus antara seorang hamba dengan Allah, maka yakinlah bahwa Allah
Ta’ala akan membalas dengan sebuah kemuliaan yang lebih jauh lagi, karena
itulah akhlak-Nya, Dia akan selalu memberi balasan yang terbaik!
No comments:
Post a Comment