“Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa.” (QS Huud : 7)
Enam masa penciptaan meliputi empat masa pembentukan bumi,
gunung-gunung serta rezeki di dalamnya (QS Fushshilat: 9-12) dan dua hari
terakhir adalam mengembangkan langit menjadi tujuh buah langit. Jika
direnungkan, untuk apa Allah Yang Maha Kuasa, yang bisa menciptakan seluruh
alam dalam sekejap mata harus ‘repot-repot’ membentangkan masa penciptaan
menjadi enam masa?
Inilah luar biasanya Allah Dzat Yang Maha Kasih. Kita tengah
berhadapan dengan Dzat yang hanya ingin memberi yang terbaik. Kalau manusia
biasanya mengejar sesuatu karena ada hal yang diinginkan darinya. Tapi tidak
bagi Allah, Dia menarik manusia agar Dia bisa melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya. Oleh karenanya kepentingan digelarnya waktu penciptaan menjadi enam
masa sungguh untuk kepentingan si hamba sendiri. Dalam kalimat Albert Einstein
kira-kira beliau berkata bahwa alasan diciptakannya dimensi waktu adalah agar
semua hal tidak terjadi pada saat yang bersamaan. Bayangkan semua peristiwa
terjadi bersamaan sejak lahir hingga dewasa, tentu banyak hal yang akan kita
luputkan pesan yang disampaikan karena semua terjadi terlalu cepat.
Maka empat masa pembentukan bumi adalah sejalan dengan empat
puluh tahun kehidupan manusia di muka bumi sejak ia dilahirkan dari rahim ibu
hingga ia sampai ke usia “life begins at forty. Lima windu lamanya setiap orang
ditempa oleh takdir hidup yang beragam. Silakan sediakan waktu bertafakur
sejenak sambil mengingat kembali penggal waktu kehidupan yang telah dijalani
pada kurun usia 0-8 tahun, 8-16 tahun, 16-32 tahun, dan 32-40 tahun. Pasti ada sekian
banyak kejadian yang membentuk takdir hidup kita yang meninggalkan jejak ke
jiwa kita. Itulah pada dasarnya pembelajaran yang Allah turunkan, sangat
spesifik dan khas diturunkan untuk setiap jiwa. Sebagaimana Rasulullah saw
sabdakan, “Jalan menuju Allah sebanyak nafs (jiwa) hamba-Nya”. Artinya setiap
kita – bahkan bagi orang yang kembar siam sekalipun pasti menjalani sungai
takdir kehidupan yang berbeda.
Apa target dari sebuah pembelajaran selama 40 tahun itu?
Agar memasuki usia 40 tahunan, seseorang sudah matang jiwanya untuk
dikembangkan menjadi tujuh lapis langit. Sebagaimana raga bertumbuh dari bayi
hingga bertubuh dewasa, maka jiwa pun harus tumbuh. Hanya pertumbuhan jiwa
berbeda dengan pertumbuhan badan. Yang tumbuh di dalam jiwa adalah akalnya.
Tujuh lapis langit juga menggambarkan tujuh tingkatan akal mulai dari fu’ad
hingga lubb. Istilah dalam Al Quran bagi orang yang sudah memiliki “lubb”
disebut dengan ulil albaab.
Jika akal jiwa mulai tumbuh, seseorang akan semakin bijak,
semakin matang, semakin tidak emosi, semakin tidak mudah dibuat ruwet oleh
fenomena dunia, ia akan semakin bisa berdamai dengan takdir kehidupan. Hari
demi hari ia jalani dalam sabar dengan ujian-Nya, syukur dengan pemberian-Nya,
serta ridho dengan ketetapan-Nya. Hingga kemudian jika ia mencapai usia 60-70
tahunan itulah usia yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai usia panen umatnya.
Jika kita bicara panen, maka biasanya yang dipanen adalah
hasil dari suatu tumbuhan. Ini menarik, karena hadits lain Rasulullah yang
dikutip oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani dalamkitab Sirrur Asrar menggambarkan sebuah
pohon sebagai berikut:
Syariat sebagai pohon, thariqah sebagai cabang pohon atau
ranting-rantingnya, dedaunan pohon sebagai ma’rifat dan buah pohon sebagai haqiqat.
Haqiqat adalah buah yang bisa dipetik dari setiap insan yang
bertumbuh, jika ia berserah diri menjalani setiap takdir kehidupan dengan suka
cita. Haqiqat inilah kesejatian yang ingin diberikan oleh Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Kita mengenal istilah “kebahagiaan hakiki” – dari kata
haqiqat, artinya kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan semu yang bersifat
sementara dan mudah pudar. Berdasarkan skema hadits tentang gambaran pohon di
atas, maka haqiqat itu harus dicapai dengan ma’rifatullah. Sedangkan hadits
lain menerangkan “man ‘arafa nafsahu
faqad ‘arafa Rabbahu” Barangsiapa mengenal dirinya akan mengenal Rabbnya.
Jadi syarat untuk mengenal Rabb adalah mengenal diri sendiri dulu. Untuk
mengenal diri inilah jalan suluk mesti ditempuh dalam jalan thariqah. Agar
setiap kita menjadi hamba yang dibanggakan Allah dan Rasul-Nya, membuat senang
Sang Penanam benih, karena kita bisa mengeluarkan buah pribadinya
masing-masing. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment