Monday, March 11, 2019

“Kadang petani suka menemukan tulang belulang atau emblem tentara saat mengolah tanah sekitar sini.” Tutur Teh Lien yang sudah hampir 20 tahun tinggal di daerah Perancis. Saat itu kami sedang mengunjungi pemakaman di Gauche Wood yang merupakan tempat dimana jenazah para tentara Inggris yang gugur di Perang Dunia Pertama dikuburkan. Pemakaman ini hanya satu dari sekian banyak pemakaman yang tersebar di daerah Villers-Guislain, Perancis Utara ini. Jika ada jenazah yang berupa tulang belulang ditemukan maka akan dilakukan tes DNA untuk menelusuri keluarga yang bersangkutan. Diperkirakan sekitar 600.000 prajurit Inggris gugur di medan perang dalam pertempuran Epehy yang terjadi pada 18 September 1918 sebagai gerakan melawan pasukan Jerman yang bergerak mendekati Perancis.

Pertempuran yang dimulai pada dini hari pukul 5.20 itu berlangsung sengit dengan dibantu oleh 6.800 pasukan dari divisi pertama dan keempat negara Australia. Walaupun hasil akhir pertempuran di Epehy ini bukan merupakan kesuksesan yang besar, akan tetapi sudah menandakan bahwa pasukan Jerman mulai melemah. Hal ini kemudian menjadi dasar dilakukan aksi militer selanjutnya dengan pertempuran di Kanal St. Quentin.

Satu abad kemudian.

Saya berhenti di sebelah pusara 43 prajurit Inggris yang dimakamkan di Gauche Wood dalam hening, hanya terdengar angin bertiup kencang. Andai mereka dapat bicara dan menceritakan apa yang terjadi pada saat itu. Bagaimana kerasnya dan kejamnya medan  perang. Bagaimana mereka kehilangan nyawa dalam sesaat tersabet oleh peluru kaliber besar yang didesain satu, untuk menghilangkan nyawa orang yang disasar. Bagaimana mereka tidak pernah bertemu kembali orang-orang yang mereka cintai, orang tua, istri, anak dan keluarga.

Di tengah kegilaan medan perang itu mereka bertahan. Tiarap menghindari terjangan peluru tajam. Lari tergopoh-gopoh menyelamatkan diri dari ledakan granat. Di saat genting seperti itu, dimana nyawa bisa hilang dalam hitungan detik adalah mudah untuk mundur ke belakang dan melarikan diri, seperti yang dilakukan oleh beberapa prajurit yang mangkir, jumlahnya ratusan. Yet, they stayed. Walaupun akhirnya harus kehilangan nyawanya.

Seratus tahun kemudian.

Dunia berubah. Tidak ada perang dunia. Setidaknya saat ini.
Namun kita kerap lupa, bahwa keadaan damai seperti ini bukan datang begitu saja. Sebuah perjuangan panjang harus ditempuh dan ditebus oleh nyawa para pendahulu kita. Lantas kita yang hidup di era damai, yang diberi banyak waktu, keluangan, demikian banyak sumber daya untuk menuntut ilmu malah sering terlalaikan  oleh hal-hal yang tidak penting. Menghabiskan waktu dalam sesuatu yang bukan urusannya. Mengerdilkan potensi dahsyat  yang ada dalam dirinya dengan hanya mengejar hal yang remeh-temeh.

Melihat jajaran pusara di pemakaman Gauche Wood.

Saya dibuat termenung. Oleh betapa nisbinya hiruk-pikuk kehidupan. Oleh betapa hidup kita terlalu singkat dalam rentang pagelaran manusia hingga akhir masa ini. Pertanyaannya adalah. Apa yang harus kita perbuat dalam penggal waktu yang sangat singkat ini? Berkutat di zona nyaman atau ‘berperang’ dengan kemalasan dan sekian rasa takut dalam diri dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam tangan Tuhan yang gaib.

Jajaran pusara itu tenggelam dalam sepi.

Namun gaung semangat yang mereka kobarkan masih terasa. Semangat tentang keberanian. Berani melawan arus kehidupan. Berani dikatakan gagal oleh masyarakat. Berani dibilang miskin. Berani keluar dari zona nyaman. Berani kalah. Berani tidak dianggap. Berani dilecehkan. Berani difitnah. Berani menjalani karsa-Nya untuk membuka gulungan kitab kehidupan diri sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, “Jangan merasa puas dengan kisah-kisah, bagaimana hidup berjalan bagi orang lain. Bentangkanlah kisah dirimu sendiri.”



No comments:

Post a Comment