Tuesday, August 31, 2021

 Ada film romantic comedy yang dirilis tahun 1999an. Zaman ketika Julia Roberts dan Richard Gere sedang ngetop-ngetopnya setelah duet mereka dalam film Pretty Woman. Runaway bride berkisah tentang salah satu fenomena sosial dimana calon mempelai wanita membatalkan pernikahan di menit-menit terakhir.


Hal ini rupanya pernah menjadi tren, sampai-sampai ada komentar begini dari Groucho Marx, seorang komedian Amerika - yang saya rasa tidak ada hubungannya dengan Richard Marx apalagi Karl Marx, 


 "In Hollywood, brides keep the bouquets and throw away the groom." 


Speaking of Runaway Bride. Setiap ingat film ini saya selalu ingat komentar salah satu sahabat saya yang seorang psikolog. Ia berkata saat kita diskusi tentang film itu dengan sebuah pernyataan yang makjleb, masuk ke hati saya sampai sekarang terasa. Katanya, "Kamu itu runaway bride"


Oh no. No-no-no-no. That's definetely not me. Begitu pembelaan saya dulu. Sampai sekian tahun kemudian saya mengakui apa yang dia katakan benar adanya. I see that most of my live i tended to run away from problems. Saat keadaan rumah tangga orang tua saya nampak tidak harmonis saya pindah untuk tinggal di rumah lain milik orang tua. Saat merasa tidak betah di pekerjaan, saya langsung pindah tanpa memberi solusi bagaiman bisa menciptakan suasana kerja yang lebih baik lagi. This was my way of coping with difficult challenges. Dan kebiasaan itu bertumbuh seakan menjadi bagian dari diri sendiri. Tanpa sadar hal  itu mengepung hati saya sendiri.


Orang pertama yang menunjukkan saya dengan gamblang akan hal itu adalah almarhum Mursyid saya. Beliau dengan wajah yang sangat luar biasa ramah, dengan senyum mengembang dan tatapan mata yang teduh mengatakan berkali-kali, "Nak Tessa ini takut nikah" Dan berkali-kali pula hati saya menolaknya. Sampai akhirnya saya dibuat bertekuk lutut oleh aliran takdir-Nya. I started to surrender...


I did have problem of having commitment. Itu adalah hal yang menakutkan buat saya. Harus bersabar menjalani yang tidak menyenangkan ketika kita bisa pergi saja menjauh. I was young and stupid. Belum paham bahwa kita tidak bisa terus menerus melarikan diri dari permasalahan. Dan belajar menerima bahwa kesempurnaan hidup bukan diukur dari apa-apa yang kita raih dan miliki. Tapi semua menjadi sempurna ketika kita memiliki hati yang bersyukur. Karena tanpa hati yang syukur apapun akan nampak kurang.


Jadi teringat pesan sepasang kakek dan nenek yang sudah menikah selama 65 tahun lamanya ketika ditanya apa kiatnya bisa bertahan menikah sekian lama. Mereka menjawab, "Jika ada yang tidak pas dan tidak sesuai dalam pernikahan jangan cepat-cepat mengambil keputusan untuk mengakhirinya." Just because something is broken, doesn't mean you have to throw it right away.

 Hawa nafsu dan syahwat manusia itu cenderung tak mau susah. Inginnya hidup mudah, tanpa tantangan, nyaman dan meraup kenikmatan selama mungkin. 


Tapi istilah "selama mungkin" pun adalah sebuah ilusi. Karena kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa semua hal berbatas waktu di dunia ini. Situasi pandemi yang tengah mencengkeram dunia saat ini menyadarkan kita bahwa kematian itu nyata dan demikian dekat. Bahwa itu bukan sebuah skema di masa yang jauh dan membuat kita tenang saja dengan alasan "cease the day" lalu menjustifikasi syahwat sendiri untuk untuk meraih apa-apa yang dia inginkan. 


Ironinya adalah dalam upaya melindungi dirinya dari sakit dan derita, manusia malah menggali lubang sendiri dalam sebuah kubangan kesengsaraan yang tak berujung. 


We tried so hard to numb our pain. Sakit yang timbul dari kekecewaan kita, sakit yang diakibatkan oleh trauma, sakit hati karena perlakuan orang dekat. Kita coba mengatasinya dengan melarikan diri dari semua itu. Menyingkir jauh-jauh dari sumber sakit. Memutus komunikasi, pretend that it never happened, mengalihkan kepada kesibukan atau kesenangan lain yang berfungsi seperti obat anti nyeri yang hanya menghilangkan rasa sakit itu sesaat. And yet, it never worked, we still feel the pain somehow.


Sekarang saya mulai paham, bahwa upaya untuk keluar dari rasa sakit di alam dunia ini adalah bagaikan mengejar bayangan sendiri. Kita merasa sudah berlari jauh tapi ia tak akan pernah terjangkau.


Jalaluddin Rumi berkata , "Wahai jiwa, jangan melarikan diri dari rasa sakit, akan tetapi carilah obat di dalam sakit itu sendiri." 


Karena obat dari setiap sakit kita ada di dalam rasa sakit itu sendiri. Solusi dari permasalahan kita ada di masalah itu sendiri.

Jalan keluar dari kemumetan dunia kita ada di dalam labirin kehidupan itu sendiri.


Artinya rasa sakit yang kita rasakan adalah sebuah keniscayaan dari sebuah proses terbukanya sebuah khazanah baru dalam diri. Seperti halnya tak akan ada sebuah kelahiran tanpa sebuah kontraksi. Dan semua ibu yang pernah melahirkan tahu persis bagaimana rasanya meregang nyawa menahan sakit saat melahirkan.


Kita harus belajar menahan derita dalam kehidupan. Belajar sabar menghapi hal yang tidak masuk akal. Belajar tawakal kepada Dia dalam menapaki masa depan yang penuh misteri ini. That it's okay not to be okay.


Tanda kedewasaan adalah kemampuan untuk menelan pil pahit dalam kehidupan. Kita harus terbiasa menelan kedukaan. Itu satu-satunya cara untuk bertumbuh. Sebagaimana raga pun merasa sakit saat ia bertumbuh. A growing pains.


"...Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu..." firman Allah Ta'ala dalam QS Luqman: 17

 Menyalahkan orang lain atau situasi atas apa yang terjadi kepada kita itu adalah jalan yang paling mudah. Tapi jika modus kita begitu terus, maka selamanya kita tidak pernah akan belajar dalam hidup karena tidak pernah menjadikan episode itu menjadi sebuah cermin untuk melihat ke dalam diri.


Di dalam rumah tangga atau pekerjaan misalnya, adalah jauh lebih mudah melihat kesalahan dan kekurangan pasangan atau rekan kerja dibanding melihat kekurangan kita sendiri. Seperti kata pepatah, "Gajah di pelupuk mata tak nampak, kuman di seberang lautan tampak".


Memang tidak mudah untuk meneropong ke dalam diri. Butuh sebuah keberanian untuk melakukannya. Karena banyak orang takut untuk menghadapi kenyataan yang sesungguhnya dan cenderung ingin hidup dibuai oleh ilusi diri yang bukan kenyataan sebenarnya. Itu mengapa orang kemudian cenderung lebih suka dibelai oleh pujian dibanding berbesar hati menuai kritikan.


Di sisi lain, kebiasaan menyalahkan apa yang ada di sekitar kita itu membuat pandangan kita terkaburkan bahwa semua hal yang hadir di semesta hidup kita datang dari Allah Ta'ala. Memang datang melalui mekanisme sebab akibat, tapi tanpa kehendak dan izin-Nya tak ada satu atom pun bisa bergerak, tak ada satu pesan pun bisa sampai, tak ada satu ucapan pun terlontar, tak ada satu kejadian pun terjadi. 


Inilah fungsi dzikir, membaca jejak kehadiran-Nya dalam situasi dan kejadian apapun yang dibentangkan dalam ruang takdir hidup kita. Dengannya kita mulai introspeksi, mulai tenang dan tidak selalu reaktif merespon kehidupan, mulai mencoba membaca pesan-Nya yang dalam. Mulai bisa membaca pola semesta diri bahwa apapun yang mewujud tak lain merupakan amplifikasi dan proyeksi dari apa-apa yang ada dalam hati kita.[]

Monday, August 30, 2021

 Dzikir kepada Allah itu bukan sekadar dzikir menyebut asmaNya atau memujinya di lisan sebanyak ribuan kali. 


Dzikir lisan itu bagus dibanding tidak sama sekali. Tapi dzikir itu harus hingga menjejak di hati. Jangan sampai lisan dzikir menyebut nama-Nya tapi hati gemetar dicekam kekhawatiran. Takut uang kurang, takut suami atau istri diambil orang, takut tidak naik pangkat, takut dihina, takut mati, takut gagal bisnis dan berbagai ketakutan lain yang menghantui diri kita. 


Merasa takut itu bagian dari menjadi manusia. Tapi kalau sudah dikendalikan rasa takut, itu artinya ia sedang tidak berdzikir kepada Allah Ta'ala. Karena ia merasa seolah Allah jauh dan lambat dalam menjawab doa dan memenuhi segenap kebutuhannya.

 Siapa itu orang yang mulia?


Apakah yang punya jabatan tinggi?

Apakah yang memiliki harta banyak?

Apakah yang reputasinya terkenal?


Orang yang mulia sesungguhnya adalah yang paling dekat dengan Allah Ta'ala, karena Dia Yang Maha Mulia dan sumber kemuliaan sejati.


Adapun jabatan setinggi apapun ada akhirnya. Harta banyak bisa habis diperebutkan, pun yang tersisa tak akan dibawa ke alam barzakh jika tidak diinfaqkan. Reputasi apa lagi, sekejap bisa  jungkir balik didera skandal. Dan sayangnya banyak yang terjebak mengejar kemuliaan semu. Karena ingin dipandang hebat di mata orang, ingin dianggap sukses, malu kalau disebut miskin, gengsi kalau dikatakan gagal. 


Ah, manusia...ia kerap menyiksa dirinya sendiri dalam alam pikiran semunya. Jika saja ia mau membebaskan diri dari semua waham kebesaran seperti itu, pasti akan lebih ringan hidupnya. Tak perlu memasang topeng dan memaksakan diri menjalani kehidupan palsu hanya semata ingin menuai pujian atau menyenangkan hati orang. Tak usah diberatkan dengan post power syndrome, karena toh hidup memang akan terus mengalir. 


Sibukkan saja diri mendekat kepada-Nya. Mulai memperbaiki wudhu dan shalat. Agar hati lebih bersinar dengan cahaya kemuliaan-Nya. Itulah kemuliaan sejati yang lebih menenteramkan.

 Seorang peneliti Rusia yang atheis suatu ketika terjebak dalam longsoran salju beberapa hari lamanya. Ketika dalam keadaan tubuh yang lemah dicekam oleh dingin dan pasokan oksigen yang makin menipis itu ia pun berkata dengan lirih, "Tuhan jika memang engkau ada tolong selamatkan aku dari sini..."


Sang peneliti kemudian dengan izin Allah Ta'ala selamat hingga bisa membagi pengalamannya itu.


Itulah indahnya ujian hidup, dia bisa mengeluarkan isi hati nurani seseorang berupa fitrah sebagai ciptaan yang memuja Sang Pencipta. 


Ujian bisa mengungkap isi hati seseorang. Melalui ujian dan kesulitan hidup itu pun seseorang menjadi dilatih untuk banyak kontak dengan Allah Yang Maha Kuasa. Dan momen dzikir ini, ketika hati terhubung kepada-Nya itu justru yang merupakan pemberian yang tak ternilai, bahkan jauh melebihi pemberian berupa solusi untuk keluar dari segenap permasalahan yang melingkupi seseorang. Karena kalau yang dikejar sebatas pengabulan doa atau pemberian-Nya, tak sedikit yang kemudian melupakan Sang Pemberi dan sibuk lagi dengan alam ciptaan.


Kemudian selanjutnya kita harus belajar membiasakan diri agar hati sesering mungkin kontak dengan-Nya. Agar jangan sampai dipaksa mendekat dan merasakan indahnya bermunajat hanya melalui kesulitan dan ujian.

Sunday, August 29, 2021

 Bagaimana caranya agar saya tidak malas?


Sejujurnya secara teori tak ada yang bisa menang melawan musuh bernama kemalasan. Kekuatan itu demikian kuat sampai dalam Alkitab dikatakan bahwa "Kemalasan adalah musuh nabi-nabi". Artinya setaraf para nabi pun dibuat kewalahan menghadapinya. Tapi para nabi dan para arif bisa kemudian menundukkan rasa malas. Apa kuncinya? Mereka minta pertolongan kepada Allah Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang bisa mengendalikan hawa malas. Hanya dengan kekuatan dari-Nya kita bisa bangkit dari keterpurukan akibat dominansi kemalasan setelah sekian lama.


Yang membuat kita lama pontang-panting menghadapinya adalah karena kita tidak menghadapkan wajah ke hadapan Allah Ta'ala dan mengakui kelemahan serta ketidakmampuan kita. Akhirnya kita terjebak dalam peperangan melawan diri sendiri yang berlangsung bertahun-tahun sambil mengandalkan kekuatan diri dan selain-Nya sambil tetap saja akhirnya dibuat bertekuk lutut olehnya.


Buktinya setelah bertahun-tahun tetap saja malas tahajjud, berat untuk bangun untuk shalat shubuh di awal waktu, tetap saja enggan beranjak dari gadget atau televisi ketika adzan telah berkumandang. Tetap saja berat untuk shaum dan zakat. Dan masih dibuat terpaksa untuk menuntut ilmu. Ada saja alasan bersifat ragawi, mulai dari ngantuk, lupa, badan lemas, pusing dll. Tanda kita pun belum memegang kendali atas raga kita sendiri.


Jangan kecil hati. Jadikan semua keadaan sebagai sarana bermunajat kepada-Nya. Karena tak ada yang Allah Ta'ala nantikan selain kembalinya hati si hamba kepada-Nya. ❤

Saturday, August 28, 2021

 Look Beyond


Kehidupan itu memiliki berbagai dimensi. Jika kita hanya disibukkan dengan dimensi fisik dalam hidup ini dijamin akan kelelahan, sering sedih dan kecewa sampai menderita. Karena banyak hal yang Allah izinkan terjadi dan itu tidak sesuai dengan keinginan kita.


Kalau hanya melihat kenyataan bahwa diri tidak "sesukses" orang lain. Kita menjadi kehilangan orientasi bahwa di titik dimana kita berada sekarang demikian banyak nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kita. Tapi kita hanya berkutat mengeluhkan hal yang belum kita raih alih-alih mensyukuri apa yang ada. Mungkin merasa belum membanggakan orang tua dengan peraihan kesuksesan dunia, merasa belum memiliki karir yang tinggi, merasa bisnisnya belum dianggap berhasil, merasakan "career stuck"- tak ada kemajuan dll.


Kalau kita merasa hidup bagai tergadai oleh mimpi-mimpi kita, maka kita akan menjalaninya seakan-akan selalu ada yang kurang dengan diri ini. Padahal apa-apa yang Allah Ta'ala telah sampaikan jauh lebih banyak dan lebih baik dari sekadar keinginan kita. Mungkin merasa jodohnya belum juga datang, merasa miskin, atau merasa diri kurang berharga dibanding saudara-saudara yang lain.


Kalau kita merasa diri hina dan berlumur dosa,serta ibadah kurang sekali sedemikian rupa hingga membuat kita berkecil hati dari mengharapkan ampunan dan rahmat-Nya maka kita seakan mengecilkan keluasan kasih sayang-Nya yang tak bertepi itu. 


Akan selalu ada hal yang membuat kita kecewa, sedih, rendah diri, dan berkecil hati dalam hidup. Tapi itu kalau kita hanya berhenti memandang fenomena lahiriyah yang ada. Coba pandang lebih jauh, look beyond. Pandang lebih dalam. Bentangkan imajinasi kita dan coba bayangkan bahwa semua yang mewujud di alam kehidupan ini sungguh tidak datang atau terjadi dengan sendirinya. Ini adalah tauhid dasar. Tak ada satupun ciptaan yang mewujud tanpa Dia Sang Maha Wujud izinkan hadir. Artinya dibalik semua fenomena ada Allah Ta'ala yang menggerakkan itu semua. Agar kita belajar untuk memandang jauh, bahwa semua yang hadir dihadirkan melalui tangan Sang Maha Kuasa. Jika itu bisa mulai kita lihat, maka hati akan merasa tenang. Karena iman membawa kita kepada sebuah keyakinan yang dalam bahwa jika sesuatu itu Allah izinkan maka pasti berlimpah kebaikan di dalamnya. Perkara akal pikiran belum mampu memahaminya per saat ini, sabar dulu dan mohonlah agar diberi pemahaman yang baik tentang hidup. Ini salah satu makna "ihdina shiraathal mustaqiim", petunjuk yang kita minta dalam setiap shalat. Karena untuk membaca petunjuk diperlukan kemampuan akal dalam yang baik. Agar kita bisa menangkap semua dimensi kehidupan yang Allah Ta'ala gelar di setiap saat, baik dimensi lahir maupun batinnya. Dengannya hati merasa tenang, karena dia terus tersambung dengan-Nya.


"Ingatlah hanya dengan dzikr kepada Allah hati menjadi tenteram" (QS Ar Ra'd 28)

Thursday, August 26, 2021

 Kenapa susah sekali mengenal diri kita yang sejati?


Karena kebanyakan kita tumbuh besar dengan diselubungi oleh waham yang didapatkan dari lingkungannya, termasuk orang tua, pengasuh, pertemanan, tetangga, tontonan dll. 


Seorang bayi terlahir fitrah. Seandainya dia bisa bicara dia akan bercerita siapa dirinya. Tapi karena daya artikulasi bayi terbatas, ia belum mampu mengisahkannya. Maka peran sentral orang tua untuk memohon kepada Allah Ta'ala agar dibimbing dalam merawat anak-anaknya agar ia bertumbuh sesuai dengan apa yang Allah inginkan, bukan dengan apa yang orang tuanya inginkan.


Dalam tradisi Jawa, dikenal upacara Tedak Sinten (turun tanah), sebuah prosesi yang dilaksanakan ketika anak memasuki usia 8 bulan dimana kebanyakan sudah mulai kuat kakinya untuk menjejak tanah. Ini sebenarnya sebuah ikhtiar untuk mengenal bakat bawaan si anak. Si anak akan ditempatkan di dalam kurungan - simbol batasan takdir yang melingkupinya. Di dalamnya ada beberapa mainan yang menjadi simbol profesi di masa depan. Ada yang menyimpan stetoskop mainan, kamera mainan, buku, mobil-mobilan dll. Memang tidak mudah membaca hasil yang ada, tapi apapun benda yang dipilih si anak pada masa awal ini akan merupakan sebuah informasi dari bakat dan kesukaan jiwanya. Setidaknya hal itu bisa jadi sebuah informasi berharga dalam mendidik anak di kemudian hari.


Proses menemukan diri ini hal yang tidak mudah. Seseorang harus kehilangan dirinya dulu untuk kemudian bisa menemukannya. Sebuah keniscayaan bahwa kebanyakan orang akan dibuat lupa tentang jati dirinya, karena dia tenggelam dalam alam 3 kegelapan yang berlapis. Kegelapan jasadnya, kegelapan waham yang diberika oleh orang tuanya dan kegelapan waham dunia ini. 


Karenanya sangat sedikit manusia yang bisa merdeka dari belenggu waham yang berlapis ini. Waham yang mengendalikan pilihan karir mereka, cara berpakaian, selera makanan dan minuman, gaya hidup, hingga pilihan jodoh. Sedemikian rupa manusia melingkupi dirinya dengan hal-hal yang sebenarnya bukan bagian dari diri sejatinya. Ia menyangka semua itu bisa membawa kebahagiaan, tapi selalu hatinya terasa hampa. Ia tak menyadari bahwa ia telah diperbudak oleh wahamnya sendiri. Maka ketika ada seruan untuk membebaskan orang dari perbudakan dalam Al Quran, bisa jadi seruan itu untuk kita sendiri yang tengah diperbudak oleh wahamnya. Wallahu'alam.

 "Siapa suka berjumpa dengan Allah, maka Allah suka berjumpa dengan-Nya. dan siapa yang benci dengan Allah maka Allah benci berjumpa dengannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Kenapa seseorang bisa tidak suka untuk berjumpa dengan Sang Maha Kuasa?


Ibnu Arabi memberi pencerahan tentang hal ini. Beliau berkata bahwa satu-satunya alasan kenapa seseorang takut mati dan takut untuk berjumpa dengan Allah adalah ia malu dan takut dengan apa-apa yang dia bawa ketika menghadap-Nya"


Kalau seseorang meninggal masih membawa dosa-dosa yang tak sempat ditaubati. Masih membawa dendam, masih membawa bawa amarah, masih digelayuti dengan hawa nafsu dan syahwat yang tak terkendali, ia akan merasa takut untuk berjumpa Allah dalam keadaan demikian.


Gambaran lainnya juga seperti anak sekolah yang belum mengerjakan pekerjaan rumah. Dia pasti akan mengeluarkan keringat dingin dan takut menghadapi guru saat itu yang kemudian akan bertanya, "Pe-ernya sudah dikerjakan belum?" Mungkin sang guru akan memaklumi jika murid terlihat sudah mencoba mengerjakan pe-er itu tapi kesulitan mengerjakannya. Coba kira-kira bagaimana perasaan si guru menghadapi murid yang merespon, "Pe-er? Memangnya ada pe-er ya?"

Tuesday, August 24, 2021

 Setiap hari kita memohon agar ditunjukkan "jalan yang lurus" (shiraathal mustaqiim) dalam shalat. Kalimat permohonan dalam doa Al Fatihah itu didahului dengan pernyataan "Iyya ka na'budu wa iyyakan nasta'iin"  - hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan. Kata 'pertolongan' itu sudah jadi kunci bahwa kita akan dihadapkan dengan sekian banyak situasi yang membuat kita tidak berdaya. 


Kalau selama ini masih sering mengandalkan orang tua, pasangan, gaji bulanan, bisnis, tabungan, warisan, koneksi dll. Akan ada suatu saat dimana semua pintu itu seolah tertutup. Itu yang dinamakan saat "hari Tuhan". Sebuah saat dimana Allah Ta'ala ingin menunjukkan kuasaNya dengan demikian jelas. Karena selama ini yang membuat kehadiran-Nya menjadi samar adalah keberadaan ilah-ilah dan sandaran-sandaran lain selain-Nya. 


Dalam Al Quran, episode kehidupan seperti itu merupakan tanda perjalanan taubat yang benar. Dinyatakan dengan kalimat "tujuh sapi gemuk ditelan oleh tujuh sapi kurus." (QS Yusuf:43). Yang tadinya ego gemuk dengan kesombongan, merasa serba bisa, merasa sukses terus, bangga diri, merasa diri lebih baik dsb. Tiba-tiba dicabut itu perlahan-lahan. Dunianya dikuruskan. Semua dibalik 180 derajat. 


Orang yang tidak paham akan melihat itu sebagai sebuah kesialan. Tapi orang yang berilmu akan tersenyum dan memandang orang tersebut dengan gembira karena yang bersangkutan sedang dijamah oleh Allah Ta'ala kehidupannya.


Jadi jangan putus asa dan kecil hati ketika dunia seakan berpaling pergi. Ketika impian kita seakan runtuh. Ketika kesulitan tak berhenti mendera dan kita mulai bertanya, "Dimana pertolongan Allah?"


Dia ada dan akan selalu ada. Tapi karena pandangan kita terlalu lama terburamkan oleh obyek-obyek lain selain-Nya, kita merasa jauh karena belum terbiasa menangkap siluet kehadiran-Nya yang demikian dekat. 


Jalaluddin Rumi berkata, "Kamu harus belajar menelan dukamu. Memang tidak enak dan sakit rasanya. Tapi itu adalah cara untuk membongkar hijab gelap yang menghalangi pandangan kita hingga ia tidak bisa melihat kebenaran dan hidup dalam dunia ilusi yang berbatas waktu itu.


Bagaikan menelan obat yang biasanya berupa pil pahit. Sang syahwat memang akan menolak rasanya yang tidak lezat di lidah itu. Tapi tak ada jalan lain, agar mulai sembuh si jiwa dari dominasi hawa nafsu dan syahwat, ia harus dilatih agar terbiasa menerima hal-hal yang bertolak belakang dengan keinginannya yang dikendalikan oleh hawa nafsu. Artinya untuk segenap fenomena yang tidak kita sukai, belajarlah untuk berhenti mengeluhkan itu apalagi meronta-ronta dan berupaya menolak takdir kehidupannya sendiri. Belajar menerima kehidupan apa adanya. Menerima pasangan apa adanya. Menerima anak kita apa adanya. Menerima takdir hidup masing-masing apa adanya. Berhenti menyalahkan si A, si B atau fenomena ini-itu sampai mencari-cari kambing hitam. Don't shoot the messenger. Mereka tidak akan bisa demikian tanpa Allah kehendaki. Maka di setiap keadaan, terima dulu dan syukuri. Itu langkah penting. Terima dan syukuri apa yang ada. Agar dengannya semoga kita mulai mendekati sampai menemukan shiraathal mustaqiimnya masing-masing. Aamiin ya Rabb

 Jangan kaget, kehidupan seseorang yang bertaubat - kembali mencari Allah - akan mengalami sebuah episode 'pengurusan' dan 'pengeringan'. Itu sesungguhnya adalah sebuah rahmat atau pertolongan-Nya.


Kalau seorang yang merasa besar diri akan dipukul kehidupannya dengan didatangkan orang yang menghinanya atau ditempatkan dalam situasi yang seolah merendahkannya. 


Kalau merasa serba bisa, tiba-tiba akan dibuat sakit yang membuat dirinya tak berdaya. 


Jika merasa sukses selalu lalu menjadi tinggi hati, maka dibuatlah sebuah makar sehingga ia tergelincir dan khilaf hingga bahkan dicela orang banyak.


Jika hatinya demikian penuh dan gemuk dengan dunia dan kehebatan, maka Allah kuruskan caranya dengan tiba-tiba dibuat konflik di pekerjaan, kehilangan pekerjaan, usahanya gulung tikar, dll. Itu cara Allah untuk mengobati hati seseorang agar dia menjadi bersih dan selamat.


Maka jangan sembarangan berburuk sangka kepada orang-orang yang kehidupannya Allah jungkir balikkan demikian rupa. Siapa tahu mereka justru orang-orang pilihan yang sedang Allah tarik.

Friday, August 20, 2021

 Elia (9thn) hobinya origami. Setiap menemukan obyek-obyek yang bisa dilipat baik itu kertas atau tisu, dia akan langsung sulap jadi berbagai kreasi origami.


Pagi ini saya menemukan salah satu hasil kerajinannya tergeletak di meja dapur. Nampaknya anak itu berkreasi dengan salah satu bon belanjaan yang dia temukan disana, lalu membuat bentuk burung-burungan.


Burung origami itu saya simpan. Hangat hati menemukannya. Apalagi ini hari keenam saya belum berjumpa dengannya karena dia dan adiknya sedang mengikuti summer camp.


Begini rasanya rindu dan cinta ya.

Saya lalu membayangkan, bagaimana rasanya jika rindu pada Dia sudah mulai merekah di hati. Tentunya segala kekaryaan-Nya akan mengingatkan diri langsung kepada Sang Pencipta. Terlepas apapun bentuknya. Dengan sebuah kesadaran bahwa tak ada satupun yang mewujud dan terjadi di alam semesta ini yang bukan ciptaan-Nya dan tak pernah kosong dari izin-Nya. Artinya ia akan mulai melihat Dia di setiap langkah dan bahkan setiap nafas dan detak jantung. Indah sekali❤


Thursday, August 19, 2021

 Ada respon hati yang berubah saya perhatikan. Dulu kalau lihat suami ninggalin kaos kaki sembarangan atau membiarkan bekas makan atau camilan tidak dibereskan, hal itu kerap membuat saya kesal dan sering complain sama ybs meminta agar dibereskan sendiri.


Lama-lama rasa kesal itu anehnya mulai menghilang bahkan kalau lihat bekas makan siang tak dibereskan seperti ini hati melonjak girang sambil berkata "Yes! Ini rezeki amalku". 


Aneh memang. Bukti bahwa kita bahkan tak memiliki kendali atas hati kita sendiri...


#marriagelife

Wednesday, August 18, 2021

 Memasuki hari keempat anak-anak tengah mengikuti Summer Camp. Makin terasa sepi. Menghubungi mereka bukan hal yang mudah, karena anak-anak tidak diperbolehkan membawa handphone, jadi semua komunikasi harus melalui pembimbingnya.

Mungkin karena masih tergolong anak-anak, saya sebagai emak masih memikirkan hal-hal dasar seperti. Kalau kaos kakinya basah diganti tidak? Pakai jaketkah kalau udara dingin? Tidurnya nyenyakkah? Ditambah cerita tetangga kalau saat anaknya dulu ikut summer camp memasuki hari ketiga dia ditelepon panitia agar menjemput anaknya yang minta ingin pulang. Well, so far tidak ada telepon. Jadi saya berasumsi semua baik-baik saja.
Gara-gara kondisi ini saya jadinya punya imajinasi bagaimana orang tua menjelang masa pensiun, saat anak-anak sudah keluar rumah semua dan mandiri akan mulai merasakan "Empty Nest Syndrome". Disergap oleh kesepian. Apalagi bagi caregiver - biasanya para ibu - yang intensif mengurusi anak dari hari ke hari. Dia harus mendefinisi ulang seluruh tema kegiatannya.
Adalah penting setiap orang untuk menemukan bidang yang senang ditekuni. Apapun itu. Mursyid saya berkata, salah satu alasan tokoh-tokoh besar dunia baik itu mantan presiden, ilmuwan, dosen dll segar bugar di masa pensiun adalah karena mereka tetap sibuk beraktivitas. Akalnya digunakan terus untuk memikirkan hal-hal yang bermakna.
Makna. Inilah rupanya yang banyak dicari orang. Sebuah makna hidup. Setiap orang menjalani sebuah eksperimental kehidupan masing-masing dalam mencari makna hidup. Ada yang mengaitkan makna hidup dengan prestasi akademik, ada yang mengasosiasikan dengan memiliki keluarga harmonis dan sejahtera, ada yang mengartikan dengan pencapaian spiritual tertentu. Apapun itu, di jelang akhir masa hidup mau tak mau semua hal yang kita kira mendatangkan makna akan teruji sendiri. Mana yang benar-benar kualitas emas akan bertahan dilebur panasnya ujian kehidupan, sedangkan selain itu akan hilang dengan sendirinya.
Pada akhirnya, sebagaimana kita sendirian datang ke dunia ini. Kita pun akan kembali sendiri. Lantas, apa yang bisa kita bawa sebagai bekal di perjalanan berikutnya agar kita tidak kembali kepada-Nya dengan tangan hampa...

Monday, August 16, 2021

 Suatu hari Nabi Isa Almasih a.s. berlayar bersama para sahabat. Di tengah perjalanan, tiba-tiba badai menjelang. Semua awak kapal ketakutan bahwa kapal itu akan dihempas ombak dan tenggelam. Di saat semua orang panik ketakutan, Nabi Isa malah tertidur pulas. Para murid pun kemudian membangunkannya "Guru, bangunlah. Kami khawatir kapal ini akan karam." Nabi Isa terbangun dan berkata, "Kenapa kalian menjadi takut!" Beliau lalu menghadapi badai itu dan berkata-kata kepadanya. Tak lama kemudian badai itu reda. Itulah kekuatan iman.


Badai dalam kehidupan kita pun tak kalah menakutkannya. Ketika ditimpa sakit keras, hilang mata pencaharian, prahara rumah tangga, fitnah dan pergunjingan dan lain-lain yang berupa kemelut kehidupan sering kita tenggelam dalam kepanikan, khawatir akan kematian, akan kandasnya rumah tangga, akan penghidupan anak-anak dan masa depannya dll. 


Kita seperti lupa ikrar kita sendiri setiap shalat yang berkata "Allahu Akbar" katanya Allah Maha Besar. Seharusnya kuasa Dia melebihi segalanya. Bahkan ujian gelombang kehidupan segila apapun. 


Belajar dari kisah Nabi Isa, tampaknya kita masih harus belajar untuk tidak sedikit-sedikit mengeluhkan kepada Allah betapa besarnya masalah yang ada. Tapi barangkali coba sekali-kali hadapi ujian itu dengan hati yang berserah diri dan katakan kepadanya betapa besar kuasa Allah. Dan buktikan bahwa dengan kekuatan iman bahwa badai-badai kehidupan itu akan reda pada saatnya. Jangan panik.

 Salah satu topik pembicaraan favorit orang Belanda adalah cuaca. You can always talk about weather to them😅 Kalau udara sedang cerah dan hangat kita bisa saling menyapa dan mengatakan "Mooi weer, he!" (cuacanya enak ya!). Kadang kalau orangnya sudah agak kenal kita bisa mengatakan hal yang berbau sarkastik seperti "Lekker weer ja!" (asyik banget nih cuaca!) Sambil berlindung di balik payung di bawah hujan deras dan angin kencang.😁


Termasuk dengan tetangga sebelah. Saat berpapasan, kami mengomentari tentang hujan deras yang suhu yang turun dalam beberapa hari ke depan. "Wat een vervelende zomer" (musim panas yang mengecewakan) komentarnya. Seorang perempuan berambut putih yang tinggal pas di sebelah rumah. Orangnya sangat ramah dan senantiasa tersenyum manis. Kalau boleh jujur, saat kami survei rumah di awal waktu, respon beliau yang hangat ketika menyambut kami dan anak-anak itulah yang membuat saya mendorong suami untuk mengambil rumah ini saja. Setelah sebelumnya melakukan survei di sepuluh rumah yang berbeda. Sambil ingat pesan Rasulullah, bahwa kalau mau memilih tempat tinggal maka lihatlah tetangganya.


Alhamdulillah tetangga kami ini sangat perhatian dan tidak rewel. Pernah suatu saat pagar yang membatasi rumah kami dan dia mulai lapuk. Dengan mudah kami menyepakati biaya yang harus dibayar secara patungan, dan tidak hanya itu suami, adik dan anaknya dikerahkan untuk memasang sendiri pagar pembatas. Kata si penjual pagar, kejadian ini cukup langka. Bisa damai membayar bersama dan memilih pagar yang ada. Karena tidak jarang, masalah pagar ini bisa menyulut pertengkaran antara tetangga. 


Masih mengomentari tentang hujan yang cukup deras, ibu tetangga ini berpesan. Walaupun hujan turun deras tadi, tanaman tetap harus disiram. Banyak yang tidak paham ini. Dikiranya kalau hujan turun deras tanaman tak disiram, tapi dia tidak melihat bahwa turunnya hujan deras itu sesaat saja. Kalau kamu gali tanahnya maka bagian dalam tanah masih kering. Itu karena air banyak yang mental menimpa daun dan tidak menyentuh tanah. 


Entah kenapa saat ibu itu bercerita demikian saya jadi ingat pesan guru saya bahwa kalau menuntut ilmu itu yang penting sedikit-sedikit tapi teratur. Istiqomah. Jangan belajar ngebut berbanyak-banyak tapi lalu hilang berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tak menyentuhnya lagi. Itu kurang efektif. Ternyata penjelasan tentang itu tercermin juga di alam. Dalam hujan lebat sesaat yang tidak terlalu membasahi tanah tempat tanaman tumbuh. []

 Saat berada di stasiun Bijlmer Arena, tiba-tiba seorang pemuda berambut coklat dengan pakaian kotor dan lusuh mendekat. Usianya mungkin sekitar 20an tahun, tapi karena kondisinya kurang terawat ia tampak lebih tua. Dengan sopan dan dengan berbahasa Inggris khas orang Eropa Timur ia bertanya,"Do you speak English?"


"Yes, I do"


"I am homeless. Do you have a little money to help?"


Saya menghentikan langkah untuk memeriksa isi tas saya, sayangnya saya tidak menemukan uang kontan di dalamnya. Lalu saya berkata kepada dia, "I don't have cash. But if you want, i can buy you some food" Sambil menunjuk toko serba ada Albert Heijn yang terletak tak jauh dari tempat kami berbicara. 


"No, no...i have food" jawabnya sambil menepuk-nepuk bagian samping tas punggungnya yang berwarna hitam lusuh.


Penasaran saya tanya, "Where are you come from?"


"Hungary" jawabnya dengan menampakkan gigi geligi yang menguning.


Katanya dia sempat bekerja di Amsterdam tapi karena pandemi, ia kehilangan pekerjaan dan jadinya menggelandang sana-sini. Dia menolak dibelikan makanan dan lebih memilih diberikan uang kontan walaupun receh. Dengannya ia bisa mengumpulkan sen demi sen yang ada. Jika terkumpul sejumlah 3,5 euro maka ia bisa memesan tempat di salah satu yayasan yang ada bagi tuna wisma untuk mendapatkan jatah tempat tidur semalam, akses ke kamar mandi dan semangkuk makanan hangat. Hal-hal yang selama ini kita anggap biasa ternyata adalah sebuah kemewahan bagi sebagian orang. 


Dalam upaya terakhir saya ingin memberi orang tersebut uang, saya coba rogoh dalam-dalam kantung saya, siapa tahu ada yang koin yang terselip. Dan yes! Saya menemukan koin satu euro. Saya berikan kepada pemuda itu yang menerima dengan mata berbinar dan mengucap "Thank you" sambil tersenyum manis. 


Setelah dia berjalan jauh dan menghilang dari pandangan, dalam hati saya sematkan doa untuknya. Semoga Allah melindungimu. Sambil merenung bahwa nasib hidup yang menimpanya bisa saja menimpa kita. It could have been us....

Wednesday, August 11, 2021

 Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.


QS Ibrahim [14]:26


Saat menapaki sungai di perbukitan daerah Couvin, Belgia nampak ada beberapa pohon yang tumbang. Kemungkinan tersapu oleh banjir bandang beberapa waktu lalu yang melanda derah Belanda, Belgia dan Jerman.


Pemandangan yang menyedihkan, melihat sebatang pohon tumbang. Apalagi pohonnya sudah tumbuh besar. Ternyata ketinggian pohon tak menjamin kekuatannya. Buktinya banyak pohon yang lebih kecil di sekitarnya bertahan menghadapi terjangan aliran sungai yang cukup deras.


Manusia juga sepertinya begitu. Kekuatan sejati dari seseorang sangat tak bisa diukur dari hal yang nampak. Sepertinya saja shalih, banyak ibadah, banyak amal tapi bisa jadi imannya seperti akar serabut yang gampang tercerabut dan terkikis oleh ujian kehidupan.


Sekali lagi ditampakkan oleh Gusti Allah bahwa hal-hal yang berharga itu kerap kali tak nampak. Ia bisa tersembunyi jauh di dalam tanah. Jauh dari decak kagum dan riuh rendah orang yang mengelukannya. Sang akar bekerja dalam sunyi dan sepi. Ia tak kentara, tapi kekuatannyalah yang membuat pohon bisa tegak menghadapi angin sekencang apapun.


Akar itu adalah iman. Dia menembus bumi diri dan kehidupan kita sambil menyerap seluruh pengajaran Ilahiyah dan hikmah yang ada. Agar pohon jiwa terus bertumbuh dan berbuah pada


saatnya. Semoga...

Sunday, August 8, 2021

 Diam itu emas.

Banyak hal yang menyesakkan dada dan bisa memecahkan kepala rasanya jika dipikirkan, tapi toh dengan berjalannya waktu perlahan tapi pasti satu demi satu benang kusut itu bisa terurai dengan sendirinya. Itulah pertolongan Allah.
Dalam diam terdapat banyak kekuatan. Karena seseorang yang mengeluhkan keadaan hidupnya dan takdir yang Allah Ta'ala hadirkan kepadanya hanya akan menambah penderitaan bagi dirinya sendiri dan menjadi penghalang bagi terbukanya solusi yang sudah Allah siapkan. Karena Dia menciptakan segala sesuatu berpasangan. Jika ada penyakit pasti ada obat, di balik kesulitan ada kemudahan, setelah kesempitan pasti ada kelapangan. Seperti siang dan malam semuanya dipergilirkan agar jiwa kita bertumbuh.
Percayalah bahwa semua dalam kendali Sang Penanam benih, Dia ingin agar banyak potensi jiwa kita bertumbuhan dan pada saatnya berbuah. Itulah jalan untuk menjadi rahmatan lil 'alamiin.
Tentang takdir hidup yang kita masih merasakan berat menjalaninya. Seorang sufi perempuan bernama Fatimah binti al-Muthanna (beliau adalah guru dari Ibnu Arabi) berkata, "Aku heran kepada mereka yang mengaku mencintai Tuhan tapi mereka tidak menyukai apa yang Tuhan lakukan".