Thursday, August 26, 2021

 Kenapa susah sekali mengenal diri kita yang sejati?


Karena kebanyakan kita tumbuh besar dengan diselubungi oleh waham yang didapatkan dari lingkungannya, termasuk orang tua, pengasuh, pertemanan, tetangga, tontonan dll. 


Seorang bayi terlahir fitrah. Seandainya dia bisa bicara dia akan bercerita siapa dirinya. Tapi karena daya artikulasi bayi terbatas, ia belum mampu mengisahkannya. Maka peran sentral orang tua untuk memohon kepada Allah Ta'ala agar dibimbing dalam merawat anak-anaknya agar ia bertumbuh sesuai dengan apa yang Allah inginkan, bukan dengan apa yang orang tuanya inginkan.


Dalam tradisi Jawa, dikenal upacara Tedak Sinten (turun tanah), sebuah prosesi yang dilaksanakan ketika anak memasuki usia 8 bulan dimana kebanyakan sudah mulai kuat kakinya untuk menjejak tanah. Ini sebenarnya sebuah ikhtiar untuk mengenal bakat bawaan si anak. Si anak akan ditempatkan di dalam kurungan - simbol batasan takdir yang melingkupinya. Di dalamnya ada beberapa mainan yang menjadi simbol profesi di masa depan. Ada yang menyimpan stetoskop mainan, kamera mainan, buku, mobil-mobilan dll. Memang tidak mudah membaca hasil yang ada, tapi apapun benda yang dipilih si anak pada masa awal ini akan merupakan sebuah informasi dari bakat dan kesukaan jiwanya. Setidaknya hal itu bisa jadi sebuah informasi berharga dalam mendidik anak di kemudian hari.


Proses menemukan diri ini hal yang tidak mudah. Seseorang harus kehilangan dirinya dulu untuk kemudian bisa menemukannya. Sebuah keniscayaan bahwa kebanyakan orang akan dibuat lupa tentang jati dirinya, karena dia tenggelam dalam alam 3 kegelapan yang berlapis. Kegelapan jasadnya, kegelapan waham yang diberika oleh orang tuanya dan kegelapan waham dunia ini. 


Karenanya sangat sedikit manusia yang bisa merdeka dari belenggu waham yang berlapis ini. Waham yang mengendalikan pilihan karir mereka, cara berpakaian, selera makanan dan minuman, gaya hidup, hingga pilihan jodoh. Sedemikian rupa manusia melingkupi dirinya dengan hal-hal yang sebenarnya bukan bagian dari diri sejatinya. Ia menyangka semua itu bisa membawa kebahagiaan, tapi selalu hatinya terasa hampa. Ia tak menyadari bahwa ia telah diperbudak oleh wahamnya sendiri. Maka ketika ada seruan untuk membebaskan orang dari perbudakan dalam Al Quran, bisa jadi seruan itu untuk kita sendiri yang tengah diperbudak oleh wahamnya. Wallahu'alam.

No comments:

Post a Comment