Tuesday, August 31, 2021

 Ada film romantic comedy yang dirilis tahun 1999an. Zaman ketika Julia Roberts dan Richard Gere sedang ngetop-ngetopnya setelah duet mereka dalam film Pretty Woman. Runaway bride berkisah tentang salah satu fenomena sosial dimana calon mempelai wanita membatalkan pernikahan di menit-menit terakhir.


Hal ini rupanya pernah menjadi tren, sampai-sampai ada komentar begini dari Groucho Marx, seorang komedian Amerika - yang saya rasa tidak ada hubungannya dengan Richard Marx apalagi Karl Marx, 


 "In Hollywood, brides keep the bouquets and throw away the groom." 


Speaking of Runaway Bride. Setiap ingat film ini saya selalu ingat komentar salah satu sahabat saya yang seorang psikolog. Ia berkata saat kita diskusi tentang film itu dengan sebuah pernyataan yang makjleb, masuk ke hati saya sampai sekarang terasa. Katanya, "Kamu itu runaway bride"


Oh no. No-no-no-no. That's definetely not me. Begitu pembelaan saya dulu. Sampai sekian tahun kemudian saya mengakui apa yang dia katakan benar adanya. I see that most of my live i tended to run away from problems. Saat keadaan rumah tangga orang tua saya nampak tidak harmonis saya pindah untuk tinggal di rumah lain milik orang tua. Saat merasa tidak betah di pekerjaan, saya langsung pindah tanpa memberi solusi bagaiman bisa menciptakan suasana kerja yang lebih baik lagi. This was my way of coping with difficult challenges. Dan kebiasaan itu bertumbuh seakan menjadi bagian dari diri sendiri. Tanpa sadar hal  itu mengepung hati saya sendiri.


Orang pertama yang menunjukkan saya dengan gamblang akan hal itu adalah almarhum Mursyid saya. Beliau dengan wajah yang sangat luar biasa ramah, dengan senyum mengembang dan tatapan mata yang teduh mengatakan berkali-kali, "Nak Tessa ini takut nikah" Dan berkali-kali pula hati saya menolaknya. Sampai akhirnya saya dibuat bertekuk lutut oleh aliran takdir-Nya. I started to surrender...


I did have problem of having commitment. Itu adalah hal yang menakutkan buat saya. Harus bersabar menjalani yang tidak menyenangkan ketika kita bisa pergi saja menjauh. I was young and stupid. Belum paham bahwa kita tidak bisa terus menerus melarikan diri dari permasalahan. Dan belajar menerima bahwa kesempurnaan hidup bukan diukur dari apa-apa yang kita raih dan miliki. Tapi semua menjadi sempurna ketika kita memiliki hati yang bersyukur. Karena tanpa hati yang syukur apapun akan nampak kurang.


Jadi teringat pesan sepasang kakek dan nenek yang sudah menikah selama 65 tahun lamanya ketika ditanya apa kiatnya bisa bertahan menikah sekian lama. Mereka menjawab, "Jika ada yang tidak pas dan tidak sesuai dalam pernikahan jangan cepat-cepat mengambil keputusan untuk mengakhirinya." Just because something is broken, doesn't mean you have to throw it right away.

No comments:

Post a Comment