Tuesday, August 24, 2021

 Setiap hari kita memohon agar ditunjukkan "jalan yang lurus" (shiraathal mustaqiim) dalam shalat. Kalimat permohonan dalam doa Al Fatihah itu didahului dengan pernyataan "Iyya ka na'budu wa iyyakan nasta'iin"  - hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan. Kata 'pertolongan' itu sudah jadi kunci bahwa kita akan dihadapkan dengan sekian banyak situasi yang membuat kita tidak berdaya. 


Kalau selama ini masih sering mengandalkan orang tua, pasangan, gaji bulanan, bisnis, tabungan, warisan, koneksi dll. Akan ada suatu saat dimana semua pintu itu seolah tertutup. Itu yang dinamakan saat "hari Tuhan". Sebuah saat dimana Allah Ta'ala ingin menunjukkan kuasaNya dengan demikian jelas. Karena selama ini yang membuat kehadiran-Nya menjadi samar adalah keberadaan ilah-ilah dan sandaran-sandaran lain selain-Nya. 


Dalam Al Quran, episode kehidupan seperti itu merupakan tanda perjalanan taubat yang benar. Dinyatakan dengan kalimat "tujuh sapi gemuk ditelan oleh tujuh sapi kurus." (QS Yusuf:43). Yang tadinya ego gemuk dengan kesombongan, merasa serba bisa, merasa sukses terus, bangga diri, merasa diri lebih baik dsb. Tiba-tiba dicabut itu perlahan-lahan. Dunianya dikuruskan. Semua dibalik 180 derajat. 


Orang yang tidak paham akan melihat itu sebagai sebuah kesialan. Tapi orang yang berilmu akan tersenyum dan memandang orang tersebut dengan gembira karena yang bersangkutan sedang dijamah oleh Allah Ta'ala kehidupannya.


Jadi jangan putus asa dan kecil hati ketika dunia seakan berpaling pergi. Ketika impian kita seakan runtuh. Ketika kesulitan tak berhenti mendera dan kita mulai bertanya, "Dimana pertolongan Allah?"


Dia ada dan akan selalu ada. Tapi karena pandangan kita terlalu lama terburamkan oleh obyek-obyek lain selain-Nya, kita merasa jauh karena belum terbiasa menangkap siluet kehadiran-Nya yang demikian dekat. 


Jalaluddin Rumi berkata, "Kamu harus belajar menelan dukamu. Memang tidak enak dan sakit rasanya. Tapi itu adalah cara untuk membongkar hijab gelap yang menghalangi pandangan kita hingga ia tidak bisa melihat kebenaran dan hidup dalam dunia ilusi yang berbatas waktu itu.


Bagaikan menelan obat yang biasanya berupa pil pahit. Sang syahwat memang akan menolak rasanya yang tidak lezat di lidah itu. Tapi tak ada jalan lain, agar mulai sembuh si jiwa dari dominasi hawa nafsu dan syahwat, ia harus dilatih agar terbiasa menerima hal-hal yang bertolak belakang dengan keinginannya yang dikendalikan oleh hawa nafsu. Artinya untuk segenap fenomena yang tidak kita sukai, belajarlah untuk berhenti mengeluhkan itu apalagi meronta-ronta dan berupaya menolak takdir kehidupannya sendiri. Belajar menerima kehidupan apa adanya. Menerima pasangan apa adanya. Menerima anak kita apa adanya. Menerima takdir hidup masing-masing apa adanya. Berhenti menyalahkan si A, si B atau fenomena ini-itu sampai mencari-cari kambing hitam. Don't shoot the messenger. Mereka tidak akan bisa demikian tanpa Allah kehendaki. Maka di setiap keadaan, terima dulu dan syukuri. Itu langkah penting. Terima dan syukuri apa yang ada. Agar dengannya semoga kita mulai mendekati sampai menemukan shiraathal mustaqiimnya masing-masing. Aamiin ya Rabb

No comments:

Post a Comment